Konsep Kepemilikan
F. Intervensi Negara
Kepemilikan yang dimiliki oleh setiap individu tidaklah bersifat mutlak, namun kepemilikan itu dibatasi oleh beberapa hal. Dalam situasi dan kondisi tertentu, negara mempunyai hak intervensi (upaya campur tangan) terhadap kepemilikan, yaitu hak untuk membatasi atau mengatur kepemilikan itu dalam kehidupan masyarakat. Negara mempunyai hak intervensi dalam kondisi sebagai berikut:
Pertama, Sistem Pembagian Harta Warisan
Dalam Islam sistem pembagian harta warisan telah ditentukan dan diisyaratkan oleh Allah. Dalam sistem ini semua harta yang ditinggalkan oleh orang yang mewariskan akan dibagikan sesuai dengan hak masing-masing, hal ini bertujuan agar harta itu tidak berkumpul pada segelintir orang. Dalam pembagian harta warisan, akan menyeluruh terhadap semua ahli waris yang berhak menerima. Pembagian ini tidak hanya dikhususkan untuk sebagian ahli waris saja, misal anak lelaki yang tertua sebagaimana yang terjadi di Inggris, namun akan dibagikan semua kepada ahli waris sesuai dengan porsinya masing-masing.
Sistem waris merupakan salah satu sumber kepemilikan yang alami, kepemilikan yang bersifat given sesuai dengan ketentuan Allah. Dengan adanya sistem waris, mendorong bagi setiap orang tua untuk giat melakukan usaha guna mendapatkan upah/harta yang mencukupi agar bisa membina rumah tangga dan kehidupan yang mulia. Jika terdapat kelebihan atas harta yang dimiliki, akan disimpan dan diwariskan kepada ahli waris mereka sebagai jaminan atas kehidupan mereka diwaktu mendatang, tentu hal ini akan berdampak positif bagi masyarakat.
Dengan adanya sistem pembagian harta warisan, hal ini sesuai dengan fitrah manusia, menjawab keinginan fitrah jiwa manusia untuk selalu menunjukan adanya rasa cinta orang tua terhadap anak cucu mereka. Rasa cinta dan keinginan untuk melestarikan keturunan mereka di atas bumi dapat terjembatani dengan adanya sistem waris itu.
Demikian itu merupakan fitrah yang kuat, yang telah dititipkan oleh Allah kepada anak cucu Adam untuk mengembangkan kehidupan serta memberdayakan dan melewati kehidupan di atas bumi sesuai dengan batas yang telah ditentukan. Dengan adanya warisan, terdapat nilai saling tolong menolong antara generasi terdahulu dengan mendatang. Terdapat tali persaudaraan dan kasih sayang di antara mereka untuk meneruskan misi kehidupan.
Karena itu setiap usaha yang dilakukan untuk menghilangkan fitrah ini sama halnya dengan berkeinginan untuk menghilangkan fitrah jiwa manusia, dan pada akhirnya akan mengalami kegagalan. Mungkin saja pada kondisi tertentu mengalami keberhasilan, namun tetap pada akhirnya manusia akan kembali sesuai dengan fitrah yang telah ditetapkan oleh Allah atas kehidupan mereka. Solusi yang mungkin dilakukan bukan dengan berkeinginan untuk menghilangkan fitrah tersebut, namun berusaha untuk meluruskan dan mengarahkannya dengan petunjuk nilai-nilai keimanan kepada jalan yang lurus, dari sifat iri ataupun dengki, serta dibangun atas rasa cinta untuk mewujudkan kemaslahatan dan petunjuk hidup yang menyelamatkan.
Dengan tidak mengindahkan sistem warisan berarti telah melakukan penghinaan atas bangunan rumah tangga dan melemahkan tali persaudaraan di antara mereka. Keluarga merupakan pondasi pertama bagi terbangunya sebuah masyarakat, sebuah tempat untuk mendidik anak terhadap beberapa nilai, etika, dan akhlak sebagai bekal untuk menumbuhkan rasa sosial dalam masyarakat.
Masyarakat tidak akan bisa berdiri tegak tanpa adanya usaha untuk melakukan perbaikan didalam setiap keluarga, keluarga merupakan batu pertama bagi pendidikan anak. Seorang anak tidak akan mengenal makna rasa saling tolong menolong dan saling mengasihi, jika dalam keluarganya tidak diajarkan hal yang demikian. Dalam keluarga yang penuh dengan nilai kasih sayang, secara otomatis akan melahirkan seorang anak yang peka terhadap nilai-nilai tersebut.
Al-Quran sangat konsen terhadap warisan, sehingga Allah menjelaskan secara langsung dan sangat detail. Mungkin dunia telah mengakui bahwa hukum waris yang terbaik dan paling sempurna adalah hukum waris dalam Islam. Tidak diragukan bahwa hukum waris ini ditentukan secara langsung dari Allah yang dapat mengetahui fitrah manusia ciptaan-Nya. Dalam membahas warisan, Allah mengawalinya dengan ayat sebagai berikut:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” QS. An-Nisaa:11
Dalam ayat lain, saat menjawab pertanyaan yang diajukan kepada Nabi, dijelaskan:
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ
“Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah (seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak), katakanlah: ‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah’.” QS. An-Nisaa:176
Berdasarkan ayat-ayat di atas, Allah bermaksud mengukuhkan tentang pentingnya sistem waris dalam kehidupan manusia. Dalam sistem waris, Allah berkehendak untuk menisbahkan sistem ini pada Zat Allah yang Maha Mulia, dan Allah memberikan ancaman kepada orang yang berusaha untuk merusak dan tidak mau menerapkan sistem tersebut dalm kehidupan, dengan sebuah azab yang menghinakan.
Dalam pandangan Allah, orang itu berusaha untuk merobohkan sebuah asas bagi terciptanya public security (jaminan sosial) dalam Islam. Sistem waris merupakan hubungan untuk saling membantu sesama anggota keluarga. Dengan adanya jaminan ini akan memperkuat bangunan keluarga, sesama anggota keluarga bisa saling membantu dan tolong menolong, bagi orang yang kuat harus melindungi keluarga yang lemah, orang yang kaya membantu yang miskin. Islam mengajarkan bagi orang fakir yang tidak mampu harus ditopang nafkahnya dari anggota keluarga yang mempunyai kelebihan harta, harta itu bisa diambilkan dari warisan jika masih bisa untuk menutup segala keperluan.
Solidaritas sosial yang dibangun dengan instrumen warisan berlandaskan atas nilai-nilai Islam yang telah diturunkan oleh Allah dan sesuai dengan fitrah dasar yang terdapat dalam jiwa manusia. Jika solidaritas tersebut telah terbentuk dalam kalangan keluarga, maka tidak akan didapati suatu sikap untuk saling menyia-nyiakan dan tidak memperhatikan satu sama lainnya, fenomena ini merupakan langkah awal bagi terciptanya sebuah solidaritas sosial dalam cakupan yang lebih besar, yaitu masyarakat. Jika sikap untuk peduli terhadap orang lain ditemukan lemah dalam suatu keluarga, maka mungkin sifat dan sikap itu bisa ditumbuhkan dengan membentuk kumpulan-kumpulan lokal tertentu. Dengan perkataan lain, membentuk sebuah halaqah-halqah yang dapat dijadikan sebagai sarana intermediasi untuk menentukannya. Diharapkan, dengan adanya halaqah tersebut, masing-masing anggota satu sama lain saling membantu dan menolong untuk menyelesaikan dan mengentaskan beban yang ada. Masuk dalam kelompok sosial ini adalah hadirnya Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsen terhadap problem sosial masyarakat.
Jika kedua langkah seperti dijelaskan belum mampu untuk mewujudkan kepedulian dan solidaritas sosial, maka negara wajib hadir untuk berupaya membangkitkannya dengan tetap menjaga kerja sama antara keluarga dan kelompok-kelompok sosial yang ada. Dengan begitu beban untuk menanggung beban sosial tidak terfokus pada lembaga-lembaga pemerintah karena beberapa alasan sebagai berikut:
Pertama, lembaga sosial masyarakat yang relatif kecil akan mampu lebih cepat dan intensif untuk ikut menanggung beban sosial masyarakat secara langsung daripada lembaga pemerintah yang relatif besar, sehingga masalah sosial akan relatif cepat ditangani dan diselesaikan.
Kedua, solidaritas yang terbentuk dari keluarga dan halaqah-halaqah yang relatif kecil, akan mampu menciptakan sebuah proses yang intensif terhadap proses internalisasi nilai-nilai kebersamaan dan saling tolong menolong, daripada proses yang dilakukan secara struktural oleh pemerintah.
Ketiga, solidaritas yang terbentuk dari keluarga, akan memberikan dampak yang alami bagi jiwa manusia untuk senantiasa peduli dan mau untuk memperhatikan nasib kerabat dan keturunan yang dimiliki. Upaya yang dilakukan oleh setiap individu akan memberikan dampak yang positif kepada keluarga dan kerabatnya, sehingga akan mendorong masing-masing individu untuk saling meningkatkan upaya guna mewujudkan sebuah solidaritas sosial. Dampak yang dapat dirasakan, solidaritas itu akan muncul dengan sendirinya dalam kehidupan masyarakat, dalam pandangan Islam setiap individu merupakan pilar bagi kehidupan masyarakat. Adapun yang dimiliki dan dihasilkan oleh mereka akan mempunyai dampak terhadap masyarakat secara luas. Dengan demikian, Islam tidak akan menerima kehadiran orang yang tidak peduli menumbuhkan rasa solidaritas dalam kehidupannya, karena hal itu akan membentuk sebuah hubungan individu yang tidak mampu untuk mewujudkan solidaritas sosial tersebut dalam kehidupan masyarakat.
Adapun relevansinya dengan hukum waris, seorang pewaris akan mewariskan seluruh hartanya kepada ahli waris. Kehidupan ahli waris akan lebih terjamin dengan adanya harta warisan, karena pewaris merupakan orang yang menanggung beban atas ahli waris. Ia berusaha untuk peduli dan memperhatikan kehidupan ahli waris di masa mendatang, sehingga akan terbentuk sebuah solidaritas yang dibentuk oleh pewaris terhadap ahli waris. Kemudian pada akhirnya, hal itu akan mempunyai dampak yang positif terhadap kehidupan masyarakat dan akan terbentuk sebuah solidaritas sosial.
Dalam hukum waris Islam, harta peninggalan (tirkah) orang yang telah meninggal, telah ditentukan dan dibagi kepada ahli waris/kerabat dengan bagian-bagian yang telah ditentukan oleh Allah, dengan tujuan harta tersebut bisa dimanfaatkan dalam kehidupan. Harta warisan itu dibagikan kepada seluruh kerabat yang berhak, dan menghindari terjadinya pengumpulan atau pemusatan harta hanya pada kelompok atau golongan orang-orang tertentu. Dengan instrumen waris tersebut, harta yang ada berusaha didistribusikan secara proporsional di antara anggota keluarga. Hukum waris akan memberikan warisan kepada anak laki-laki, anak perempuan, bapak, ibu, kakek, nenek, suami, istri, saudara laki-laki, saudara perempuan, paman, dan lain sebagainya. Masing-masing kerabat berhak atas harta kerabat yang lain dan sebaliknya. Dengan keutamaan hukum waris ini, harata tidak akan berputar pada golongan tertentu. Harta akan dapat diakses dan dimanfaatkan oleh banyak pihak. Akhirnya, akan sedikit mengurangi kesenjangan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tidak akan ditemukan perbedaan yang cukup tinggi antara orang yang memiliki harta dengan orang yang miskin papa, sehingga akan tercipta sebuah keseimbangan dalam kehidupan.
Untuk membumikan ajaran waris tersebut, Allah telah menetapkan system “pengawalan” berupa adzab yang sangat pedih yang akan ditimpakan terhadap orang-orang yang berusaha merusak tatanan dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan Allah dalam warisan, Allah berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (13) وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ (14)
“(hukum-hukum) itu adalah ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasulnya, niscaya Allah memasukannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukannya ke dalam api neraka sedang ia kekal didalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.” QS. an-Nisaa: 13-14
Sebagian besar ulama fiqih sepakat bahwa wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris, karena dikhawatirkan akan bisa merusak tatanan dan kaidah hukum waris di mana ahli waris tersebut akan mendapatkan bagian yang lebih besar dari apa yang telah digariskan oleh syariat. Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ ، فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberikan masing-masing hak kepada orang yang berhak menerimanya, maka tidak diperbolehkan wasiat kepada ahli waris.” HR. At-Tirmidzi.
Bagi ulama yang membolehkan adanya wasiat, maka dibatasi hanya sepertiga dari harta warisan. Adapun wasiat yang diberikan bukan kepada ahli waris, maka diperbolehkan berdasarkan consensus (ijma’) ulama. Hal itu dimaksudkan untuk mempermudah bagi orang yang ingin berbuat kebajikan. Namun tetap wasiat tersebut dibatasi dengan sebuah ketentuan agar hal itu tidak merusak kaidah-kaidah hukum waris. Begitulah ketentuan Islam yang berusaha untuk menjaga hukum waris dan eksistensinya dalam kehidupan masyarakat, menjaga agar harta itu tidak dipergunakan sesuai dengan hawa nafsu dan keinginan pewaris yang dapat mendatangkan kerusakan dalam tatanan hidup sosial masyarakat.
Untuk tetap mempertahankan hukum-hukum waris, sebagian besar ulama fiqh berpendapat akan batalnya wakaf ahli, yaitu mewakafkan sebagian hartanya setelah ia meninggal dunia kepada seseorang atau lebih dari kerabatnya untuk dikelola dan diberdayakan sesuai dengan keinginan pihak wakif (orang yang mewakafkan). Karena hal ini disinyalir akan dapat merusak ketentuan-ketentuan waris dan akan menimbulkan perputaran harta pada golongan tertentu, dan harta tidak didistribusikan sebagaimana mestinya. Ulama yang berpendapat tentang hal ini di antaranya Ibnu Abbas, dengan merujuk kepada sabad Rasulullah bersabda, yang artinya: “Tidak boleh menahan harta dari ketentuan-ketentuan Allah (waris).” Maksudnya, tidak boleh menahan harta orang yang telah meninggal untuk tidak dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris) sesuai dengan ketentuan Allah.
Hukum waris merupakan hukum Allah yang paling rinci, ketentuan waris itu ditetapkan Allah dalam firman-Nya pada surat an-Nisa: 11-12.
Wasiat tetap diperbolehkan dalam hukum Islam, namun sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan yang telah diatur dalam hukum waris. Orang yang berkeinginan untuk mewasiatkan sebagian hartanya demi sebuah kepentingan umum, tetap diperbolehkan sepanjang tidak melanggar ketentuan yang ada. Sistem distribusi harta yang terdapat dalam kaidah hukum waris mempunyai tujuan sebagai berikut:
Pertama, harta warisan akan di berikan kepada kerabat yang paling dekat seorang kerabat yang bisa dijdikan manifestasi atas diri muwaris (orang yang mewariskan harta).
Kedua, berdasarkan tingkat kebutuhan, harta warisan akan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan dengan porsi yang lebih besar, maka dari itu, bagian anak lebih besar daripada orang tua.
Kebutuhan anak akan harta lebih besar, karena pada dasarnya mereka keturunan yang masih lemah dalam menghadapi kehidupan berikut tanggungan-tanggungan finansial yang harus dipikulnya. Kelompok orang tua akan meninggalkan kehidupan, dan biasanya mereka telah memiliki harta tertentu, sehingga kebutuhan mereka akan harta relatif lebih kecil. Dan bagian laki-laki dua kali bagian dari perpemilikan, karena laki-laki merupakan tulang punggung keluarga yang wajib untuk memberi nafkah kepada anak, istri, dan bertanggung jawab atas ibu dan saudara perpemilikannya, jika mereka sudah tidak mempunyai keluarga.
Ketiga, adanya pembagian (distribusi) dan menghindari terjadinya pemusatan harta pada satu kelompok tertentu, dengan adanya ketentuan waris, maka dimungkinkan bisa mengeliminasi adanya pewaris tunggal akan harta peninggalan, sehingga harta tidak akan berpusat pada seseorang.
Bagi sanak famili yang mempunyai hubungan kekerabatan yang kuat, jika mereka mempunyai harta peninggalan tanah yang cukup subur, maka sebaiknya tanah tersebut tidak dibagikan secara langsung dalam wujud petakan tanah, namun tanah tersebut dibiarkan tetap utuh. Kemudian dilakukan kerja sama masing-masing anggota keluarga untuk melakukan pemberdayaan dan saling tolong menolong untuk memeliharanya, jika nanti telah tiba saat panen, baru hasil panen tersebut dibagi sesuai dengan bagian yang berhak didapatkan.
Adapun orang yang tidak mempunyai ahli waris dan tidak juga memberikan sebuah wasiat atas hartanya, maka harta peninggalan tersebut harus diberikan kepada masyarakat, dalam hal ini bisa diwakili oleh negara. Dengan alasan, negara merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup orang yang tidak mempunyai keluarga dan tidak mampu untuk bekerja, serta orang tua yang lemah. Rasulullah bersabda:
مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ وَمَنْ تَرَكَ كَلًّا فَإِلَيْنَا
“Barangsiapa meninggalkan harta atau hak-hak tertentu, maka itu merupakan bagian ahli warisnya, dan barangsiapa meninggalkan kerabat atau keluarga maka itu tanggung jawab-ku.” HR. Al-Bukhari
By Amin Muchtar, sigabah.com