Konsep Kepemilikan
D. Sumber Kepemilikan
Salah satu konsep yang ditetapkan Islam adalah bahwa harta itu tidak bisa melahirkan harta. Artinya kepemilikan harta itu merupakan hasil dari jerih payah yang dilakukan. Dengan kata lain harta bisa dimiliki dengan adanya usaha. Kepemilikan dalam arti mengambil manfaat atas harta yang dimiliki oleh manusia harus memenuhi beberapa kriteria yang telah ditetapkan syariat. Dengan perkataan lain, hak kepemilikan itu bukan lahir dari bentuk atau karakter dasar suatu benda, namun lahir dari ketetapan syariat, sehingga syariat mempunyai otoritas penuh untuk menentukan kepemilikan dari manusia.
Berdasarkan kesepakatan ulama, ada beberapa “media” yang dapat digunakan untuk mendapatkan kepemilikan atas harta benda, sebagai berikut:
Pertama, Berburu
Berburu merupakan cara klasik yang digunakan untuk bisa memiliki sesuatu. Berburu bisa dilakukan terhadap ikan, burung, atau hewan lainnya dengan syarat hewan tersebut belum ada yang memiliki. Ketika hewan buruan itu sudah kita dapatkan, secara otomatis kita mempunyai kepemilikan atas hewan tersebut.
Kedua, Menghidupkan tanah
Dalam perkara ini, Nabi saw. bersabda
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ بَعْدَ ثَلاَثِ سِنِيْنَ
“Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah tersebut menjadi miliknya, dan hilang hak bagi muhtajir (yang memagari) setelah (menelantarkannya) selama masa tiga tahun”[1]
Hadis itu mengandung arti bahwa hak kepemilikan tersebut akan hilang setelah melewati masa tiga tahun. Dan hal itu dapat dimaklumi mengingat 3 tahun merupakan masa produktif atas usahanya dalam pemberdayaan tanah mati itu. Setelah 3 tahun tidak diberdayakan kembali, maka tanah mati itu akan kembali kepada masyarakat, seperti disabdakan Rasulullah. Hikmah yang dapat dipetik adalah adanya kewajiban bagi kita untuk melakukan investasi dan memberdayakan segala harta yang kita miliki, sehingga akan menghasilkan manfaat yang dapat dirasakan oleh kita secara pribadi dan masyarakat luas.
Ketiga, Mengeluarkan hasil perut bumi, seperti hasil tambang emas dan perak. Khusus untuk minyak bumi dan batu bara sebagai sumber energi tidak boleh dimiliki secara pribadi, karena merupakan milik umum (public goods) yang pengelolaannya diamanatkan kepada pemerintah. Dalam hal ini Nabi saw. bersabda:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; rumput (padang), air, dan api” [2]
Keempat, Nasionalisasi atas aset-aset yang tidak bertuan dan tidak terdapat ahli waris yang memilikinya dan diserahkan kepada Baitul Mal (kas negara), atau tanah yang sudah tidak diberdayakan oleh pemiliknya, kesemua itu merupakan hak otoritas imam/pemerintah. Nabi pernah memberikan sebagian bumi yang mati dan tidak bertuan kepada Abu Bakar dan Umar atas jasanya dan usahanya untuk mengabdi bagi Islam.
Proses pengambilan aset (sita) itu disyaratkan adanya pemberdayaan dan usaha investasi. Pada zaman Rasul, beliau pernah memberikan sebuah tanah mati kepada Bilal bin al-Harits untuk diberdayakan. Ketika zaman kekhalifahan Umar, Umar berkata kepada Bilal:
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَمْ يُقْطِعْكَ لِتَحْجُرَهُ عَنِ النَّاسِ ، إِنَّمَا أَقْطَعَكَ لِتَعْمَلَ ، فَخُذْ مِنْهَا مَا قَدَرْتَ عَلَى عَمَارَتِهِ وَرُدَّ الْبَاقِيْ
“Sesungguhnya Rasulullah saw. tidak memberikan tanah tersebut kepadamu untuk kamu pagari dari orang-orang (agar orang-orang tidak dapat mengambilnya), tetapi beliau memberikan kepadamu agar kamu menggarapnya. Maka, ambilah dari tanah tersebut yang mampu kamu kelola, dan yang lain (yang tidak dapat dikelola) kembalikanlah (demi kemaslahatan umat)” HR. Al-Qasim bin Salam[3]
Kelima, Warisan, hibah, dan hadiah
Sistem pembagian warisan dalam Islam telah ditentukan secara detail, sebagai sebuah sistem untuk mengembalikan semua hak kepada yang berwenang, sebagaimana difirmankan Allah Swt.
فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” QS.An-Nisa:11
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ # وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ #
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” QS.An-Nisa:13-14
Sementara hibah, menurut istilah syar’i ialah penyerahan hak milik kebendaan kepada orang lain tanpa imbalan apapun semasa hidupnya secara sukarela. [4] Dalam bahasa Sayyid Sabiq:
عَقْدٌ مَوْضُوْعُهُ تَمْلِيْكُ الإِنْسَانِ مَالَهُ لِغَيْرِهِ فِي الْحَيَاةِ بِلاَ عِوَضٍ
“Hibah adalah akad yang tujuannya penyerahan harta milik seseorang kepada orang lain semasa hidupnya tanpa imbalan apapun.” [5]
Perbedaan hibah dengan hadiah dan shadaqah dilihat dari aspek motif atau tujuan. Bila pemberian itu dengan tujuan taqarrub kepada Allah untuk mendapat pahala, maka disebut shadaqah. Bila pemberian itu dengan tujuan melakukan pendekatan kepada seseorang dalam rangka mencintainya atau penghormatan kepada seseorang, maka disebut hadiyah. Sedangkan hibah terlepas dari tujuan-tujuan itu, karena semata-mata pemberian sukarela. Sehubungan dengan itu, hibah dan hadiyah dapat dilakukan oleh orang mukmin dan juga kafir. Sedangkan shadaqah khusus bagi orang mukmin. [6]
Keenam, Bekerja dan mendapatkan upah
Islam sangat memuliakan bekerja. Bekerja yang ditumbuhi dengan semangat profesionalisme dan penuh dengan tanggung jawab, Allah Swt. berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu’.” (Q.s.At-Taubah: 105),
Allah Swt. juga berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمْ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah Zat yang menjadikan bumi ini mudah buat kamu. Oleh karena itu berjalanlah di permukaannya dan makanlah dari rezekinya.” (QS. Al-Mulk: 15)
Ayat ini merupakan prinsip (mabda’) Islam. Bumi ini oleh Allah diserahkan kepada manusia dan dimudahkannya. Karena itu manusia dianjurkan untuk memanfaatkan nikmat yang baik ini serta berusaha di seluruh seginya untuk mencari anugerah Allah itu. [7]
Ketujuh, Hak bagi orang-orang yang membutuhkan atas dana zakat, Allah berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” QS. At-Taubah:60
Ayat di atas menunjukkan bahwa secara garis besar sasaran zakat itu terbagi menjadi dua bagian:
Bagian pertama, terdiri atas orang-orang yang berhak menerima zakat untuk dirinya sendiri, yaitu al-fuqara, al-masakin, al-amilin, dan al-muallaf qulubuhum. Sedangkan bagian kedua terdiri atas orang-orang yang berhak menerima zakat bukan semata-mata kepentingan pribadi melainkan untuk kemaslahatan “acara” mereka, yaitu ar-riqab, al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil.
Lebih jauh Imam az-Zamakhsyari berpandangan bahwa perpindahan dari huruf “li” pada empat ashnaf pertama kepada “fie” pada empat ashnaf kedua mengandung rahasia, yaitu untuk memberitahukan bahwa empat golongan kedua ini lebih layak untuk diprioritaskan daripada empat golongan pertama, sebab “fie” merupakan wadah untuk menampung, yang dengan itu Allah mengingatkan bahwa mereka lebih berhak atasnya dan menjadikannya sebagai tempat harapan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin secara umum.
Setelah mengkaji beberapa “media” sebagai sumber kepemilikan yang dipandang legal oleh Syariat Islam, kita akan beranjak pada pembahasan tentang batas-batas kepemilikan pada edisi selanjutnya.
By Amin Muchtar, sigabah.com
[1]HR. Malik, al-Muwatha, V:30; Ahmad, Musnad Ahmad, XXIX:359, No. hadis 14310; Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, V:284; dan al-Baihaqi. As-Sunan al-Kubra, VI:99, tanpa kalimat laisa li muhtajir…
[2]HR. Ahmad, Musnad Ahmad, XXXXVII:57, No. Hadis 22004; Abu Daud, Sunan Abu Daud, IV:140, No. Hadis 3477; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz VII:335, No. Hadis 2463; Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, V:391; dan al-Baihaqi. As-Sunan al-Kubra, VI:150, dengan sedikit perbedaan susunan redaksi. Susunan redaksi di atas versi Abu Dawud.
[3]Lihat, al-Amwal, II:168.
[4]Lihat, Fathul Qadir, VII:113, ad-Darrul Mukhtar wa Raddul Mukhtar, IV:530, as-Syarh as-Shagir, IV:139, Mughnil Muhtaj, II:396, Kasysyaful Qina, IV:329, Ghayatul Muntaha, II:328.
[5]Lihat, Fiqhus Sunnah, III:534.
[6]Penjelasan lebih lengkap tentang Hibah, Hadiah, dan Shadaqah dapat dibaca pada artikel terpisah.
[7]Penjelasan lebih lengkap tentang bekerja dan usaha dalam perspektif Islam
dapat dibaca pada artikel terpisah.