Konsep Kepemilikan
E. Batas Kepemilikan
Ada pertanyaan mendasar atas kepemilikan manusia, apakah kepemilikan itu bersifat mutlak dan tanpa batas? Dalam hal ini terdapat perbedaan mendasar antara kepemilikan dalam sistem kapitalis dengan sistem Islam. Dalam sistem kapitalis, setiap individu memiliki kebebasan penuh tanpa batas untuk memiliki aset-aset, mendapatkan laba dari semua jenis usaha atau bahkan melakukan proses eksploitasi. Dalam Islam, proses kepemilikan tersebut tetap harus memperhatikan kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat, karena kepemilikan atas harta benda hanyalah sebuah titipan yang harus dijaga untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat luas. Namun dalam proses aplikasi kaidah tersebut terdapat sedikit perbedaan di antara para ulama. Abu Dzar al-Ghifari berpendapat untuk menafkahkan semua harta yang dimiliki setelah dikurangi untuk memenuhi kebutuhan pokok selama setahun. Sedangkan dalam kasus Abdurrahman bin Auf akan bepergian, beliau diperintahkan untuk menafkahi dahulu keluarganya, memberikan sesuatu pada para peminta-minta, memberikan makan pada orang miskin, serta menjamin kebutuhan para ibnu sabil.
Maka dapat dipahami dalam petunjuk Islam bahwa sesungguhnya manusia tidak berhak atas harta benda yang dimiliki kecuali sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan sudah seharusnya ia membebaskan atas kelebihan harta yang dimilikinya demi kemaslahatan hidup masyarakat. Ibnu Hazm berkata, yang artinya, “Tidak dihalalkan atas lahan pertanian kecuali tiga perkara; memperdayakan tanah tersebut dengan menggunakan alat, tenaga, bibit, dan hewannya sendiri; menyuruh orang lain untuk memberdayakan dan ia tidak mengambil sedikitpun dari hasil yang didapatkan. Dan jika ia bekerja sama/bersukutu dengan orang lain dalam tenaga, alat, bibit, ataupun hewan dan tidak memungut sewa atas tanahnya, maka itulah terbaik; dan adakalanya ia menyerahkan lahan pertanian berikut bibit, alat, atau hewannya kepada orang lain untuk menggarapnya, namun setelah mendapatkan hasil ia mendapatkan bagian setengah atau sepertiga, dan inilah yang diperbolehkan” [1]
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Ibnu Hazm memperbolehkan konsep muzaara’ah hanya digunakan atas lahan pertanian, dan jika lahan pertanian tersebut mengalami gagal panen, maka orang yang menyewakan tidak mendapatkan apapun. Seperti diketahui bahwa muzaara’ah adalah menyewakan tanah kepada orang lain dengan imbalan setengah atau sepertiga dari hasil panen.
Dalam kitab Shahih Bukhari terdapat bab yang membahas tentang penyewaan lahan pertanian. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ
“Barang siapa memiliki lahan pertanian, maka harus diberdayakan, atau diberikan kepada saudaranya untuk diberdayakan. Jika ia menolak, maka harus tetap dipegang teguh dan diberdayakan.” HR. Al-Bukhari
Dalam memahami hadis ini terdapat perbedaan di antara ulama, kemudian mereka merujuk kepada pendapat Ibnu Abbas sebagai berikut:
أَنْ يَمْنَحَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْخُذَ شَيْئًا مَعْلُومًا
“Memberikan lahan tersebut kepada saudaranya itu lebih baik daripada meminta sejumlah imbalan atasnya.” [2]
Merujuk kepada pendapat di atas dapat difahami bahwa sesungguhnya Rasul tidak pernah mengharamkan muzaara’ah, namun Rasul memerintahkan untuk berbuat kasih sayang dan belas kasihan terhadap sesama muslim. Diriwayatkan, telah terjadi keributan pada masa Rasul tentang muzaara’ah, kemudian Rasul memerintahkan untuk menyewakan lahan pertanian tersebut dengan jumlah uang tertentu dari emas atau perak, dengan tujuan untuk menghilangkan perselisihan. Kisah ini menguatkan tentang adanya praktek muzaara’ah pada zaman Rasul dan Khulafaur Rasyidin, dan tidak ada satu pun pendapat yang mengharamkan sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Hazm.
Terdapat sebagian ulama yang berpendapat bahwa ijarah hanyalah sebuah pekerjaan yang mendapatkan kompensasi (imbalan) karena adanya unsur penantian dalam batas waktu tertentu, dan hal ini identik dengan riba. Atas pendapat ini, Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah berpendapat, yang artinya, “Dalam ijarah terdapat obyek sewa yang dimiliki orang yang menyewakan kepada penyewa, dalam hal ini penyewa memiliki kekhususan dan diperbolehkan untuk memberdayakannya dengan segala cara. Obyek sewa yang diserahkan dalam ijarah berbeda dengan uang. Uang tidak bisa diberdayakan atas zatnya, namun harus dibelanjakan dalam bisnis yang menguntungkan. Agar uang dapat menghasilkan sesuatu maka dibutuhkan keahlian seseorang untuk melakukan investasi atasnya. Bukan dengan zatnya kita bisa memberdayakannya. Berbeda dengan lahan pertanian, kita bisa memberdayakannya atas zatnya disertai dengan usaha sang pekerja. Konsep sewa lahan pertanian lebih mendekati kepada proses pemberdayaan lahan. Bagian yang diterima orang yang menyewakan lahan dalam ijarah merupakan bagian dari apa yang dihasilkan oleh lahan pertanian. Jika hal ini diidentikkan dengan pekerjaan yang dijalankan hanya dengan menunggu waktu, maka penyerupaannya lebih kuat pada pekerjaan dengan jalan pemberdayaan lahan.”
Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah sepakat dalam berpendapat bahwa ketika lahan pertanian tidak bisa menghasilkan sesuatu (gagal panen) karena adanya bencana alam atau diserang hama, maka pihak yang menyewakan tidak mendapatkan upah apapun, dan hal ini yang dijadikan sandaran bagi hukum positif di Mesir untuk menumbuhkan rasa saling mengasihi di antara sesama, kemudian Allah tingkatkan perasaan tersebut pada level persaudaraan di antara sesama muslim dalam firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara.” (QS. al-Hujurat: 10), dan sabda Rasul, yang artinya: “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain.”
Konsep persaudaraan ini pernah terjadi dalam masyarakat Islam pada awal perkembangannya dan dimuliakan oleh Allah dalam firman-Nya:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (QS. al-Hasyr:9).
Untuk merealisasikan nilai saling tolong-menolong itu, pada masa sahabat terus dilakukan aktualisasi sabda Nabi (yang artinya): “Seorang mukmin atas mukmin yang lain bagaikan bangunan yang saling menguatkan satu sama lainnya.“ dan sabdanya: ”perumpamaan di antara orang-orang mukmin dalam rasa kasih sayang dan kecintaannya seperti jasad yang satu, ketika salah satu anggota tubuh merasakan sakit, maka seluruh anggota tubuh akan terasa panas dan tidak bisa tidur.” (HR. Al-Bukhari dan lain-lain)
Dewasa ini, apakah kita hidup dalam masyarakat seperti pada masa Rasul dan para sahabat? Apakah masih kita dapatkan orang-orang yang telah diberi anugerah oleh Allah berupa harta kekayaan untuk melakukan infaq atas sebagian harta mereka kepada orang-orang yang lemah, atau sebaliknya mereka sebagai wakil Allah mengambil dan memakan hak-hak mereka dalam kehidupan?
Islam mengajak umatnya untuk mendahulukan kemaslahatan masyarakat daripada kemaslahatan individu, yaitu ketika sesuatu menimbulkan kemadharatan bagi individu namun mendatangkan manfaat yang lebih bagi masyarakat, maka sesuatu itu harus dijalankan. Karena jika ditinggalkan akan mendatangkan kemadharatan yang lebih besar dalam kehidupan. Salah satu kaidah yang ditetapkan Islam adalah “mengambil kemaslahatan dan mencegah terjadinya kerusakan (Jalb al-Mashaalih wa Daf’u adh-Dharar)”. Setiap perbuatan yang dapat mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat dan dapat menghilangkan kemadharatan yang bersifat umum, maka wajib hukumnya untuk dijalankan oleh negara. Namun jika hal itu lebih banyak mendatangkan kemadharatan, maka haram untuk dilakukan.
Kefakiran dapat menarik seseorang untuk melakukan tindak kriminal dan menurunkan nilai-nilai moral dari diri mereka, maka sudah menjadi kewajiban negara untuk memeranginya, ataupun sifat tarf yang selalu menghambur-hamburkan kekayaan yang sangat dibenci oleh Allah:
وَأَصْحَابُ الشِّمَالِ مَا أَصْحَابُ الشِّمَالِ # فِي سَمُومٍ وَحَمِيمٍ # وَظِلٍّ مِنْ يَحْمُومٍ # لَا بَارِدٍ وَلَا كَرِيمٍ # إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُتْرَفِينَ
“Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu. Dalam (siksaan) angin yang amat panas dan air yang panas mendidih, dan dalam naungan asap yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan, sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewah-mewahan.” (QS. al-Waqi’ah: 41-45)
Sifat tafr itu akan mengakibatkan antara lain bertumpuknya harta pada golongan tertentu. Hal ini akan mendorong terjadinya kenaikan harga, komoditas yang di-supply (ditawarkan) di pasaran lebih sedikit dari purchasing power (daya beli) masyarakat. Kelebihan harta tersebut, biasanya hanya akan digunakan pada jalan-jalan dosa atau kesenangan yang diharamkan. Maka tidak ada keharaman bagi negara untuk melakukan penarikan atas harta tersebut dan digunakan untuk kemanfaatan bagi masyarakat, dan merupakan dosa bagi negara jika membiarkan mereka membelanjakan harta itu dalam jalan dan media dosa, seperti judi dan lainnya. Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla berkata (yang artinya): “Barangsiapa merasa haus dan khawatir akan mati, maka diwajibkan atasnya untuk mengambil air yang ia temukan walaupun ia harus dibunuh karena pengambilan itu, dan tidak dihalalkan bagi seorang muslim yang dalam keadaan lapar untuk memakan bangkai atau daging babi jika ia masih mendapatkan kelebihan makanan saudaranya, karena sudah menjadi kewajiban bagi orang-orang yang mempunyai makanan untuk memberi makanan kepada orang yang sedang lapar, jika hal itu dilakukan maka orang tersebut tidak akan butuh terhadap bangkai dan daging babi. Atas pencurian yang dilakukan ia berhak dibunuh, namun jika ia dibunuh, maka orang yang membunuh harus mendapatkan qishas, dan bagi siapa yang menghalangi qishas, maka layak untuk mendapatkan laknat Allah, dan termasuk golongan yang melampaui batas”
Allah berfirman:
فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ
“Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (QS. al-Hujurat:9).
Orang yang menghalangi orang lain untuk mendapatkan hak, maka orang tersebut telah melampaui batas atas hak-hak orang yang berhak menerimanya.
Atas dasar tersebut, had (hukum) potong tangan atas pencurian tidak akan dilaksanakan kecuali terhadap orang yang telah tercukupi kebutuhan pokok mereka, baik dipenuhi dengan hasil jerih payahnya atau ditanggung oleh orang lain, baik keluarga, ahli waris, atau mendapatkan zakat dari Baitul Mal. Diriwayatkan dari Rasyid bin Khattab, “Dia didatangi dua pemuda Ibnu Khatib bin Abi Bal’ah yang telah melakukan pencurian unta. Beliau membiarkan mereka bercerita, kemudian memutuskan kepada sayyid-nya (majikan) untuk mengganti unta tersebut dengan harga dua kali lipat. Ketika dilakukan penelitian masalah, ternyata majikan mereka tidak memberikan jatah yang cukup bagi kebutuhan pokok mereka.” Demikian pula had itu tidak dijalankan ketika terjadi paceklik.
Dalam kitab al-Takaful al-Ijtima’I, Muhammad Abu Zahrah mengatakan (yang artinya): “Suatu yang kami tetapkan dalam pembahasan ini adalah bahwa sesungguhnya hak kepemilikan yang dimiliki oleh seseorang dalam kondisi tertentu dapat berkurang atau bertambah, terutama dalam perjalanan dan kondisi paceklik.”
Sehubungan dengan itu, Nabi bersabda:
مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لَا ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لَا زَادَ لَهُ قَالَ فَذَكَرَ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ مَا ذَكَرَ حَتَّى رَأَيْنَا أَنَّهُ لَا حَقَّ لِأَحَدٍ مِنَّا فِي فَضْلٍ
“Barang siapa mempunyai kelebihan atas kendaraan yang dimiliki, maka berikanlah tumpangan kepada orang lain yang tidak punya kendaran, dan barang siapa mempunyai kelebihan atas bekal yang dimiliki, maka berikanlah kepada orang yang tidak mempunyai bekal” Kata Abu Said, “Lalu beliau menyebut jenis-jenis harta, sehingga kita memandang bahwa kita tidak berhak memiliki harta (selebih dari keperluan untuk mencukupi kebutuhan).”[3]
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab terjadi paceklik yang luar biasa selama satu tahun, dalam kondisi ini sesama muslim saling membantu dan menopang kebutuhan satu sama lain, dari wilayah barat samapai wilayah timur, untuk menghilangkan segala kesulitan yang disebabkan oleh paceklik di wilayah Jazirah Arab. Setelah masa paceklik selesai, Umar berkata:
لَوْ أَصَابَ النَّاسَ السَّنَةُ لَأَدْخَلْت عَلَى أَهْلِ كُلِّ بَيْتٍ مِثْلَهُمْ فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَهْلِكُوا عَلَى أَنْصَافِ بُطُونِهِمْ
“Jika paceklik ini menimpa orang-orang selama setahun, maka aku akan masukkan (gabungkan) setiap keluarga pada setiap keluarga (yang lain), karena orang-orang tidak boleh celaka (mati) karena masalah kelaparan.” [4]
Dalam redaksi lain:
لَوْ لَمْ أَجِدْ لِلنَّاسِ مَا يَسَعُهُمْ إِلاَّ أَنْ أُدْخِلَ عَلَى أَهْلِ كُلِّ بَيْتٍ عِدَّتُهُمْ فَيُقَاسِمُوْهُمْ أَنْصَافِ بُطُونِهِمْ فَعَلْتُ فَإِنَّهم لَنْ يَهْلِكُوا عَلَى أَنْصَافِ بُطُونِهِمْ
”Jika aku tidak menemukan sesuatu yang akan mencukupi kebutuhan orang-orang kecuali (dengan cara) aku memasukkan pada setiap keluarga yang seperti mereka (keluarga yang lain), lalu mereka (keluarga) membagi kepada mereka hak-hak perut mereka (menjadi tanggungan keluarga itu), pasti (hal itu) aku lakukan, karena mereka tidak boleh celaka karena hak-hak perut mereka (meninggal karena kelaparan).”
Berdasarkan riwayat ini, dapat dikatakan bahwa adanya kepemilikan pribadi dan kebebasannya bukan berarti menafikan hak masyarakat atas kepemilikan tersebut.
By Amin Muchtar, sigabah.com
[1]Lihat, al-Muhalla, VIII:211
[2]Lihat, Shahih al-Bukhari, 1997, hlm. 462
[3]H.r. Muslim, Shahih Muslim, V:134, No. 4538; Ahmad, al-Musnad, III:34, No. 11.313
[4]Lihat, Bada’I as-Shani’, VIII:212