Dalam gelar perkara ketiga di hari Rabu 26 Agustus 2015 itu, sidang Dewan Hisbah PP Persis mengangkat tema: “Nikah Dengan Wanita Hamil Karena Tidak Tahu.” Pembahasan masalah ini dipandu oleh KH.Uu Suhendar, sebagai moderator, dengan pemakalah KH. Zae Nandang.
- Zae Nandang, setelah menyampaikan latar belakang masalah berikut: “Seorang menikahi wanita, berumah tangga baru sembilan bulan, lahir seorang anak, ada kecurigaan dari suaminya, kalau-kalau anak itu dari yang lain, ternyata sebelum nikah wanita itu berzina dengan laki-laki lain, pengakuan ini terjadi setelah dua bulan dari waktu melahirkan (sudah terjadi bercampur suami istri)”
Selanjutnya, KH.Zae memaparkan rumusan masalah sebagai berikut:
Pertama, Apakah pernikahannya sah ?
Untuk menjawab permasalah pertama, KH. Zae merujuk kepada fatwa Dewan Hisbah sebelumnya, di mana Dewan Hisbah telah memutuskan bahwa menikahkan wanita hamil bukan kepada pelakunya hukumnya haram dan pernikahannya tidak sah. Karena itu bercampurnya seperti suami istri, ini termasuk zina (fahsya), karena bercampur tidak melalui aqad syara. Di sini, KH. Zae mengutip penjelasan pakar bahasa Al-Qur’an, Ar-Raghib al-Asfahani, tentang kriteria zina.
Selanjutnya, dengan merujuk firman Allah dalam surat Al Baqarah:283, KH.Zae menyatakan, dan bagi wanita itu telah melakukan kekejian yang besar, karena menyembunyikan sesuatu yang ada pada rahimnya. Akibatnya, terjadi nikah yang tidak sah dan terjadinya perzinahan yang terselubung (ditutupi dengan aqad nikah) sungguh dosa besar. Meski begitu, bagi laki-laki yang menzinahinya karena tidak tahu tidaklah berdosa.
Kedua, Apabila tidak sah, apakah harus pisah melalui talaq?
Dalam menjawab permasalah ini, KH. Zae menyatakan, apabila pernikahannya tidak sah maka harus berpisah, namun pisahnya tidak melalui talaq, karena hal ini termasuk fasakh nikah. Kasus ini, dalam pandangan KH.Zae, seperti kasus yang menikahi wanita sesusu dilihat dari sisi fasakhnya. Dalam hal ini, KH.Zae merujuk kepada kasus Uqbah bin al-Harits, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّهُ تَزَوَّجَ ابْنَةً لِأَبِي إِهَابِ بْنِ عَزِيزٍ فَأَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنِّي قَدْ أَرْضَعْتُ عُقْبَةَ وَالَّتِي تَزَوَّجَ فَقَالَ لَهَا عُقْبَةُ مَا أَعْلَمُ أَنَّكِ أَرْضَعْتِنِي وَلَا أَخْبَرْتِنِي فَرَكِبَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ وَقَدْ قِيلَ فَفَارَقَهَا عُقْبَةُ وَنَكَحَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ . (البخاري)
Dari Uqbah bin al-Harits, sesungguhnya ia menikahi anak perempuan Abi Ihab bin Aziz, kemudian seorang perempuan mendatanginya, lalu berkata, “Sungguh aku pernah menyusui Uqbah dan wanita yang ia nikahinya.” Uqbah berkata kepadanya, “Aku tidak tahu engkau telah menyusui aku dan engkau tidak (pernah) memberi tahu kepadaku.” Kemudian ia pergi menemui Rasulullah saw. di Madinah, lantas bertanya kepada beliau. Maka Rasulullah saw. Menjawab, “Bagaimana hal itu telah dikatakan.” Kemudian Uqbah bercerai dengannya, dan perempuan itu nikah lagi dengan yang lain. (HR. Al Bukhari)
Ketiga, Adakah iddah bagi wanita itu?
Menurut KH.Zae, karena iddah adalah satu di antara cara untuk mengetahui apakah wanita itu sudah berisi atau tidak, maka iddah itu tetap saja ada. Adapun masa iddahnya sama seperti wanita yang melakukan khulu, yaitu satu kali haid.
عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أُمِرَتْ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ (الترمذي)
Dari Rubaiyi binti Muawidz bin ‘Afraa, sesungguhnya ia melakukan khulu’ pada zaman Nabi saw. kemudian Nabi saw. suruh dia (atau ia disuruh) beriddah satu kali haid. (H.R. At- Tirmidzi)
Keempat, Apabila keduanya ingin terus bersama, apakah boleh? jika boleh, apakah melalui rujuk atau nikah ?
Dengan merujuk firman Allah dalam surat an-Nur:3, KH.Zae berpendapat bahwa selama wanita itu tidak bertaubat, maka tidak boleh bagi muslim menikahi wanita yang berzina. Tetapi apabila bertobat maka boleh memperistrinya, namun bukan dengan jalan ruju’, karena ruju’ adalah mantan suami menarik kembali mantan istrinya pada masa iddah, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al Baqarah :228. Sementara dalam masalah ini, mereka berdua bukan suami istri, sehingga tidak ada ruju’. Karena itu, jika mereka berdua ingin bersatu hendaklah menunggu hingga habis masa iddah dan dilakukan dengan nikah.
Setelah KH. Zae Nandang menyampaikan pokok-pokok pikiran, sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya KH.Uu Suhendar, sebagai moderator sidang tema keempat ini, memberikan kesempatan kepada para anggota Dewan Hisbah untuk menyampaikan pandangannya.
Setelah dilakukan diskusi dan penilaian dari para anggota Dewan Hisbah tentang masalah: “Nikah Dengan Wanita Hamil Karena Tidak Tahu” itu, akhirnya Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam menetapkan hukum (beristinbath) sebagai berikut:
- Menikahi wanita hamil karena tidak diketahui kehamilannya tidak berdosa, tetapi pernikahannya tidak sah dan harus berpisah.
- Jika kedua belah pihak ridha, maka mereka boleh menikah kembali dengan akad baru.
Demikian keputusan sidang Dewan Hisbah mengenai masalah tersebut, yang dapat dilaporkan dari arena sidang pada pukul 21.24 WIB.
Hasil liputan keputusan sidang Dewan Hisbah di hari perdana, mengenai masalah terakhir (ke-5): “Waris bagi Orang Tua Biologis Anak Zina dan Waris Bagi yang Membunuh tidak Sengaja,” akan ditayangkan pada edisi selanjutnya.
By Tim Sigabah Publika
Editor: Amin Muchtar, sigabah.com/beta