Sebelum Revolusi Iran tahun 1979, perbincangan mengenai gerakan Syiah di Indonesia boleh dikatakan hampir tidak ada, sekalipun bukan berarti gerakan ini tidak ada. Sebagai sebuah gerakan ideologis, Syiah tentu saja selalu ingin mengembangkan kepercayaan dan keyakinannya di manapun. Oleh sebab itu, sangat mungkin sejak lama Syiah sudah mengincar Indonesia. Akan tetapi, sampai tahun 1979, sejarah Islam di Indonesia tidak mencatat Syiah sebagai salah satu aktor yang ikut meramaikannya.
Memang ada yang meyakini bahwa Syiah telah ada sejak masa awal kedatangan Islam ke Indonesia. Bahkan diyakini bahwa “raja-raja” Aceh (Pasai) yang mula-mula adalah penganut Syiah yang kemudian pada periode berikutnya di-Sunnikan. Di antara ilmuwan yang meyakini teori ini antara lain Ali Hasymi dan Yusuf Syo’ub. Akan tetapi, bukti-bukti yang disodorkan lebih banyak yang sifatnya “konspiratif” (baca: teori konspirasi) yang sulit sekali untuk dijadikan pegangan. Misalnya, hikayat tentang Raja Perlak pertama Sultan Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah. Ia dianggap sebagai anak dari Ali ibn Muhammad ibn Ja’far Al-Shadiq. Ia adalah rombongan 100 orang angkatan dakwah Syiah dari Persia yang diusir karena melakukan pemberontakan pada masa kekuasaan Al-Makmun. Lalu ia dinikahkan dengan putri penguasa setempat dan mendirikan kekuasaan Islam pertama di Perlak (Aceh).[1] Jadi, kerajaan awal Islam di Nusantara adalah kerajaan yang rajanya beraliran Syiah. Argumen ini kemudian diperkuat dengan kesimpulan berikut.
Khusus di Nusantara, kegiatan dakwah kerajaan Fathimiyah yang beraliran Ismailiyah itu dikatakan turut mempengaruhi kawasan Sumatera. Bahkan pernah pula dikatakan agama Islam di Pasai (1042-1444) itu mulanya beraliran Syiah, kemudian dihapuskan oleh Malik Al-Shalih pada abad ke-13. Propaganda golongan Ismailiyah ini sungguh berkesan dan pernah dikatakan bahawa sepanjang abad ke-11 dan ke-12, Indonesia berada di bawah pengaruh Syiah. Ini sesuailah dengan suasana di Tanah Arab ketika itu yang juga sedang dipengaruhi oleh aliran Syiah.[2]
Dengan amatan sepintas mungkin saja berita ini benar. Akan tetapi, melihat pada argumen dan bukti-bukti yang ditunjukkan amat lemah. Pertama, argumen yang ditunjukkan terlalu banyak menggunakan teori konspirasi, yaitu mengaitkan perkembangan Syiah di Indonesia dengan pengusiran dan kekalahan orang-orang Syiah di tanah Arab dan Persia pada masa Umawiyah dan Abbasiyah. Mereka berdiaspora ke mana-mana termasuk ke Indonesia. Akan tetapi, sampai saat ini sama sekali tidak ditemukan bukti kongkrit bahwa, baik orang Arab maupun Persia, yang datang ke Indonesia benar-benar mengajarkan Syiah, apalagi dikaitkan dengan politik yang seringkali sangat kompromis, tanpa mempertimbangkan ajaran. Bukankan Abbasiyah sendiri dapat mengalahkan Umawiyah salah satunya didukung oleh kelompok Syiah, sekalipun tidak berarti Abbasiyah menjadi Syiah. Ini yang sampai sekarang menyebabkan teori berkembangnya Syiah di Indonesia lebih banyak bersifat klaim daripada kenyataan.
Kedua, kalau mempertimbangkan beberapa sumber lain yang menyebut para da’i Islam telah hadir sejak zaman Umar ibn Abdul Aziz dari Bani Umawiyah, maka Islamisasi awal Indonesia sudah pasti Sunni. Kalaupun ada Syiah zaman itu, belum terindikasi sebagai Syiah dari segi akidah, hanya syiah politik. Tidak mengherankan kalau di zaman-zaman itu, ada juga beberapa perawi hadis Imam Bukhori dan lainnya yang terindikasi Syiah. Akan tetapi, bukan Syiah dari segi akidah yang menyimpang seperti anggapan dari sebagian penulis Syiah yang ingin menunjukkan peran Syiah dalam penulisan hadis, melainkan Syiah politik yang secara akidah tetap Islam (baca: Sunni).[3]
Ketiga, sampai saat ini pengaruh yang paling kuat dalam tradisi Islam di Indonesia adalah Ahlus-Sunnah. Tidak ditemukan satupun komunitas Syiah yang hidup berkembang sebelum tahun 1979. Kalaulah Syiah pernah datang ke sini sejak periode awal, kemungkinan masih harus tersisa komunitas-komunitas Syiah sekecil apapun. Apalagi mempertimbangkan keyakinan Syiah yang bersifat ideologis dan berjejaring internasional yang mengharuskannya tetap mempertahankan kepercayaan mereka sampai titik darah penghabisan. Kalau melihat tidak bersisanya komunitas Syiah hanya ada dua kemungkinan: Syiah tidak pernah ada di Indonesia atau Syiah hanya numpang lewat sebelum menancapkan akarnya di bumi Indonesia ini.
Walaupun secara umum sulit dibuktikan secara meyakinkan bahwa Syiah pernah menapakkan kakinya di bumi Indonesia, apalagi sempat memiliki kekuasaan seperti di Perlak dan Pasai, akan tetapi semenjak Revolusi Iran tahun 1979, ekspansi Syiah ke seluruh dunia termasuk ke Indonesia, terlah menyebabkan pertumbuhan Syiah cukup spektakuler. Selama lebih dari tiga puluh tahun berada di Indonesia, saat ini jumlah penganut Syiah di Indonesia sudah lumayan banyak dan menyebar hampir di seluruh pelosok Nusantara. Berbagai yayasan sosial dan pendirikan didirikan. Dua ormas Syiah (ABI dan IJABI) juga telah berdiri. Itu semua menandakan bahwa keberadaan Syiah di negeri ini sudah cukup serius. Pengaruhnya semakin besar manakala gerakan ini masuk ke jantung kekuasaan negara.
Tahun 1980-an, kelompok Syiah pernah melakukan pengeboman kompleks Candi Borobudur karena terlalu bersemangat untuk mewujudkan Revolusi Iran di Indonesia. Akan tetapi, usaha ini sia-sia karena jumlah mereka masih sangat kecil. Oleh sebab itu, Syiah Indonesia kemudian mengubah haluan gerakannya melalui pendekatan intelektual. Mereka mulai menerbitkan buku-buku karangan para intelektual Syiah kontemporer seperti Khumaini, Murtadho Muthahhari, Ja’far Subhani, Ali Syariati, dan sebagainya. Di antara penerbit besar yang menyokong penerbitan ini adalah Mizan, Pustaka Hidayah, dan Lentera. Buku-buku yang diterbitkan bukan fikih dan ajaran ibadah, melainkan pemikiran Islam sehingga dapat masuk ke kalangan terpelajar Ahlus-Sunnah. Beberapa di antara mereka menjadi sangat tertarik pada Syiah dan kemudian benar-benar menjadi Syiah seperti Jalaludin Rahmat yang saat ini menjadi ikon Syiah di Indonesia.
Tahun 2000 boleh dikatakan sebagai tonggak kebangkitan gerakan Syiah di Indonesia ketika Jalaludin Rahmat bersama jamaah Syiahnya di Bandung mendeklarasikan berdirinya IJABI (Ikatan Jamaah Ahli Bait Nabi) pada 1 Juli 2000. Berdirinya IJABI menandakan kepercayaan diri penganut Syiah di Indonesia untuk menunjukkan eksistensi mereka. Tentu saja, mereka telah berhitung soal pengikut yang kelihatannya sudah cukup untuk menopang tegak dan berkembangnya Syiah di Indonesia. Ini dibuktikan hingga saat ini organisasi ini tetap eksis berdiri. Bahkan, tidak lama setelah itu sejak tahun 2006 selalu digelar Silaturahmi Nasional jamaah Syiah yang akhirnya merekomendasikan berdirinya ormas Syiah ABI (Ahlul Bait Indonesia). Ini menandakan bahwa kian kemari perkembangan aliran ini kian pesat.
Strategi dakwah yang digunakan oleh kedua ormas ini dalam menghadapi masyarakat Islam di Indonesia hampir sama, yaitu mengkampanyekan ukhuwah dan persaudaraan antar-mazhab dan golongan. Kedua ormas ini seperti saling berlomba menunjukkan bahwa ajaran mereka bukan ajaran sesat dan juga tidak menyesatkan, apalagi mengkafirkan kelompok lain. Berbagai buku diterbitkan oleh para aktivis kedua ormas Syiah ini. Jalaludin Rahmat, misalnya, menerbitkan buku berjudul Dahulukan Akhlak Daripada Fikih yang ingin menunjukkan kepada kaum Muslim Indonesia bahwa ia termasuk orang yang senang hidup damai berdampingan tanpa memperhatikan perbedaan pandangan fiqih. Aktivis IJABI lainnya, Muhammad Babul Ulum menulis buku Merajut Ukhuwah Memahami Syiah yang juga ingin menunjukkan secara paksa bahwa Syiah hanyalah satu jenis mazhab di dalam Islam, bukan aliran dan sekte sempalan. Selain itu, IJABI bersama beberapa oknum di DMI (Dewan Masjid Indonesia) mendeklarasikan MUHSIN (Majlis Ukhuwah Sunni Syiah) yang sangat controversial pada tahun 2010.
Tidak kalah agresifnya, ABI pun melakukan hal yang sama. Mereka ingin menunjukkan bahwa Syiah di Indonesia adalah gerakan yang ingin berdampingan menjalin ukhuwah bersama masyoritas masyarakat Ahlus-Sunnah di Indonesia. ABI ingin menyangkal berbagai tuduhan kepada Syiah yang dianggap aliran sesat dan bukan mazhab di dalam Islam. Untuk itu tahun 2012 mereka menerbitkan buku bertajuk Buku Putih Mazhab Syiah. Sambutan terhadap buku sangat luar biasa. Hanya dalam waktu sekitar 4 bulan, buku ini telah dicetak ulang sebanyak empat kali. Bahkan kemudian buku ini disebarkan secara gratis dalam bentuk e-book oleh situs resmi www.ahlulbaitindonesia.org.
Buku ini dari segi isi sebetulnya sangat tipikal. Argumennya dibangun berdasarkan apa yang ditulis oleh para intelektual Syiah kontemporer di Iran dan Irak yang ingin menghindarkan stigma Syiah berbeda dengan Islam. Misalnya, selama ini Syiah dituduh melakukan pengkafiran terhadap para sahabat, memiliki Al-Quran yang berbeda, rujukan sunnah yang berbeda, dan tata cara ibadah yang berbeda. Seandainya pandangan itu terus menyebar dan diyakini oleh mayoritas umat Islam di dunia, maka akan dengan sangat mudah Syiah akan dinyatakan sebagai kepercayaan yang lain dari kepercayaan umat Islam; atau minimal Syiah dinyatakan sebagai “aliran sesat”. Dalam konteks dakwah Syiah di kalangan Ahlus-Sunnah tentu saja stigma-stigma semacam itu akan sangat merugikan. Belum apa-apa kalangan Ahlus-Sunnah pasti akan segera menolak kedatangan pada pendakwah Syiah. Oleh sebab itu, buku ini diterbitkan oleh ABI untuk menjawab stigma-stigma tersebut.
Bagi para pembaca awam yang tidak mendalami pemikiran Syiah, buku ini bisa jadi sangat menyihir. Stigma-stigma yang selama ini dilekatkan kepada Syiah selama ini berhasil dinetralisir dengan cara-cara yang sangat halus dan elegan. Penulisnya menunjukkan penguasaannya yang sangat baik terhadap berbagai literatur, baik yang ditulis oleh kalangan Ahlus-Sunnah yang menyerang mereka maupun dari kalangan Syiah sendiri. Kemahiran penulisnya dalam mengolah kata-kata pun sudah tidak diragukan lagi sehingga siapapun yang membacanya tidak akan segara dapat menunjukkan di mana letak kesalahan argumennya. Tidak mengherankan buku ini cepat diserap pasar dan sangat mungkin dapat mengikis pandangan-pandangan sebagian Ahlus-Sunnah Indonesia yang sudah kadung menyesatkan Syiah.
Akan tetapi, Syiah tetap Syiah. Ia sejak lama telah menjelma menjadi satu keyakinan yang utuh dan kokoh di luar keyakinan mayoritas umat Islam (al-jamâ’ah). Standar keyakinan, perangkat ajaran, hingga konsep keilmuan dalam Syiah telah terbentuk relatif matang. Siapapun yang mau mempelajarinya agak mendalam dapat mengaksesnya secara terbuka. Buku-buku yang ditulis ulama dan intelektual Syiah jumlahnya sangat banyak karena telah beradab-abad dimapankan. Sekalipun terdapat banyak sekte yang berkembang di dalam tubuh Syiah sendiri, hal-hal mendasar yang tipikal sudah cukup mapan, terutama dalam sekte Syiah Imamiyah (Rafidhah).
Kalau tradisi intelektual dan ajaran Syiah telah mapan seperti itu sesungguhnya agak sulit untuk mengubahnya dalam bentuk ajaran baru yang berbeda sama sekali. Misalnya tentang status kekafiran orang-orang yang tidak mempercayai imâmah Ali ibn Abi Thalib dan 11 imam lainnya atau kekafiran mereka yang—dianggap—merebut imâmah dari Ali. Di dalam Al-Kâfi dan kitab-kitab standar yang ditulis ulama-ulama Syiah mengenai hal ini adalah sesuatu yang qoth’i (tegas dan jelas). Oleh sebab itu, di dalam keyakinan Syiah, para sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Aisyah, Abu Hurairah, dan lainnya dianggap kafir. Begitu juga para pengikut mereka yang belakangan disebut Ahlus-Sunnah. Selain tentang takfîr, juga ada juga keyakinan tentang posisi Al-Quran Mushaf Usmani yang ada sekarang yang dianggap telah diubah oleh Usman dan kawan-kawan. Ajaran-ajaran semacam ini merupakan bagian dari aqidah dan sistem kepercayaan dasar mereka. Kepercayaan dasar ini seperti hendak diubah dan ditolak dalam Buku Putih Mazhab Syiah.
Dalam bukunya itu, ABI ingin mencoba menolak akidah takfîr terhadap sahabat dan Ahlus-Sunnah dengan mengkritik sumber rujukannya, di antaranya kitab Al-Kâfi yang sering dirujuk untuk menunjukkan ajaran-ajaran Syiah yang sesungguhnya. Disebutkan bahwa tidak semua riwayat dalam Al-Kafi dapat diterima sebagai dasar kepercayaan dan ajaran. Riwayat-riwayat yang secara tegas menunjukkan hal tersebut disanggah dengan argumen dhaif dan sebagainya. Bahkan ada kesan bahwa Buku Putih Mazhab Syiah ini menolak Al-Kâfi sebagai rujukan ajaran Syiah yang sah dan valid. Benarkah semua itu?
Sekali lagi, argumen seperti ini sangat tipikal di kalangan penulis Syiah kontemporer yang ingin diterima di masyarakat Ahlus-Sunnah. Para ulama Islam pun telah banyak yang menunjukkan ketidakseriusan mereka dengan pendapat barunya. Mereka sebetulnya tetap saja pada pendirian awalnya yang telah mapan seperti keyakinan bahwa semua yang ada di dalam Al-Kâfi adalah shahih dan dapat diterima. Itu artinya semua informasi yang ada di dalamnya seperti akidah takfîr dan Al-Quran versi imam mereka masih diyakini sebagai ajaran pokok mereka. Itu artinya, kalau mereka mengatakan tidak ada takfîr dan tidak ada tahrîf Al-Quran, mereka sebetulnya tengah melakukan taqiyyah (pura-pura). Sayangnya, taqiyyah ini bagi Syiah merupakan suatu bentuk ibadah demi melindungi ajaran dan keyakinan ajaran mereka yang asli. Sehingga kita akan sulit membedakan kapan Syiah sedang jujur dan kapang sedang ber-taqiyyah seperti yang akan terbaca dalam Buku Putih Mazhab Syiah yang diterbitkan ABI ini.
Kajian-kajian tentang usaha-usaha Syiah kontemporer mengelabui Ahlus-Sunnah seperti dapat terbaca dalam Buku Putih Mazhab Syiah dalam bahasa Indonesia masih sangat sedikit jumlahnya. Sebagian besar masih ditulis dalam bahasa Arab. Tentu saja, ini cukup menyulitkan bagi pembaca Indonesia yang umumnya tidak menguasai bahasa Arab. Oleh sebab itu, apa yang telah diusahakan oleh Ustadz Amin Muchtar dengan menulis bantahan terhadap Buku Putih Mazhab Syiah ini merupakan suatu ikhtiar yang sangat berharga. Buku yang akan direncanakan beberapa jilid ini sangat tepat dimulai dengan pembahasan Al-Kâfi dan kedudukannya di kalangan ulama dan penulis-penulis Syiah. Sebab, ini merupakan rujukan pokok akidah dan ajaran Syiah yang di Indonesia oleh kalangan Syiah sedang ditutup-tutupi keberadaannya. Mudah-mudahan jilid-jilid berikutnya dapat segera terbit mengupas berbagai isu lain seperti takfîr, tahrîf al-Qur’ân, dan lainnya.
By DR. Tiar Anwar Bachtiar, M.HUM (Ketua Umum PP Pemuda Persis Masa Jihad 2010-2015), dalam Kata Pengantar Buku Hitam dibalik Putih, Bantahan Terhadap Buku Putih Madzhab Syiah, hlm. 54-61
[1] Mengenai kisah ini dapat dilihat dalam buku Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Umat Islam di Nusantara; Sejarah dan Perkembangannya hingga Abad ke-19. (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990) hal. 36-38
[2] Ibid. hal. 38-39
[3] Tentang perowi-perowi hadis Syiah yang dituduhkan leh para penulis Syiah terdap dalam kitab-kitab Ahlus-Sunnah ini dapat dilihat dalam Muhammad Ja’far Al-Tibsyi. Rijâl Al-Syi’ah fî Asânid Al-Sunnah. (Teheran: Muassasah Al-Ma’arif Al-Islamiyyah, 1420 H). Sedangkan yang meluruskan pandangan yang salah tentang pada perawi Syiah dalam kitab-kitab hadis Ahlus-Sunnah dalam dirujuk salah satunya di situs www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=243042 yang menurunkan artikel panjang berjudul “Asmâ’ Al-Syi’ah wa Man Rumiya bi Al-Tasyayyu’ fi Kutub Al-Sunnah.