Preloader logo

MENIMBANG SYI’AH (Bagian ke-39)

Syiah, Sahabat, dan Ahlussunnah (4)

Terkait erat dengan pembahasan mengenai pengkafiran terhadap para sahabat dan Ahlussunah yang dilakukan oleh para penganut Syiah, sebagaimana terurai pada pembahasan sebelumnya, Syiah kontemporer rupanya memiliki trik dan gaya baru dalam menyampaikan ajaran-ajaran mereka. Tentu saja tujuannya agar ajaran Syiah dengan mudah diterima (utamanya dikalangan awam) dan dengan demikian cepat berkembang.

Dalam konteks ini, mereka berupaya memungkiri, bahwa pengkafiran terhadap para sahabat dan Ahlussunnah memang merupakan salah satu tradisi yang berkembang di kalangan Syiah sekaligus anjuran yang memang mendapatkan justifikasi tegas dari kitab-kitab Induk mereka. Hal ini antara lain diungkapkan oleh Dr. Quraish Shihab. Dalam bukunya Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, beliau menulis:

Apa yang dikemukakan di atas (Syiah tidak mengkafirkan Ahlussunnah) sejalan dengan kenyataan yang terlihat, antara lain, di Makkah dan Madinah, di mana sekian banyak penganut aliran Syiah Imamiyah  yang shalat mengikuti shalat wajib yang dipimpin oleh Imam yang menganut madzhab Sunni yang tentunya tidak mempercayai imâmah versi Syiah itu. Seandainya mereka menilai orang-orang yang memimpin shalat itu kafir, maka tentu saja shalat mereka tidak sah dan tidak juga wajar imam itu mereka ikuti.

Memperhatikan tulisan Dr. Quraish Shihab di atas, seakan-akan Syiah yang sesungguhnya memang seperti apa yang digambarkan (tidak menganggap Ahlussunnah kafir dan najis). Akan tetapi siapa yang mengira bahwa faktanya tidak seperti penggambaran Dr. Quraish Shihab? Jika kita merujuk langsung pada fatwa-fatwa ulama Syiah, maka akan tampak bahwa sebetulnya Dr. Quraish Shihab hendak mengelabui pemahaman umat Islam akan hakikat Syiah.

Bahwa sejatinya, Syiah tetaplah Syiah. Apa yang mereka yakini hari ini tidak berbeda dengan keyakinan para pendahulu mereka. Dalam banyak literatur Syiah dikemukakan, bahwa orang-orang Syiah yang shalat di belakang (menjadi makmum) imam Sunni tetap dihukumi batal, kecuali dengan menerapkan konsep taqiyyah. Bahkan, dalam keyakinan Syiah, bukan hanya shalat sebagai makmun Sunni saja yang membatalkan shalat, akan tetapi membaca “âmîn” dan meletakkan tangan di atas tangan kiri pada saat berdiri, sebagaimana shalatnya orang-orang Sunni, juga dianggap membatalkan shalat.

Suatu ketika, tokoh Syiah terkemuka, Muhammad al-Uzhma Husain Fadhlullah, dalam al-Masâ’il al-Fiqhiyah ditanya: “Bolehkah kami (Syiah) shalat bermakmum kepada imam yang berbeda madzhab dengan kami, dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan di sebagian hukum antar shalat kita dan shalat mereka?” Muhammad Husain Fadhlullah menjawab, “Boleh, asalkan dengan menggunakan taqiyyah.”

Mengenai hal ini, Hur al-Amili, tokoh hadis Syiah terkemuka, dalam Wasâ’il asy-Syî’ah, Ensiklopedi Syiah yang otoritatif, membuat bab khusus dengan judul panjang sebagai berikut:

بَابُ اشْتِرَاطِ كَوْنِ إمَامِ الجَمَاعَةِ مُؤْمِنًا مُوَالِيًا لِلأَئِمَّةِ وَعَدَمِ جَوَازِ الإقْتِدَاءِ بِالْمُخَالِفِ فِي الإعْتِقَادَاتِ الصَّحِيْحَةِ الأصُولِيَّةِ إلَّا تَقِيَّةً.

“Bab menjelaskan tentang disyaratkan imam jama’ah shalat harus orang mukmin, mengakui wilayah para imam, dan tidak boleh bermakmum pada orang yang menyalahi akidah-akidah pokok Syiah yang benar, kecuali dengan taqiyyah.” 

Dalam Ahkâm asy-Syî’ah, Mirza Hasan al-Ha’iri al-Ahqaqi menulis di bawah judul Fî Mawârid al-Jamâ’ah sebagai berikut:

يَجِبُ الحُضُوْرُ عِنْدَ الضَّرُوْرَةِ وَالتَّقِيَّةِ فِي جَمَاعَةِ الْمُخَالِفِيْنَ وَالصَّلَاةُ مَعَهُمْ وَيَكْتَفِيْ بِهَا. إِذَا تَمَكَّنَ (أَيْ الشِّيْعِيُّ) أَنْ يُصَلِّيَ قَبْلَ الْحُضُوْرِ وَالإِقْتِدَاءِ بِهِمْ (أَيْ أَهْلِ السُّنَّةِ) فِي مَنْزِلِهِ ثُمَّ يَحْضُرُ الْجَمَاعَةَ مَعَهُمْ، أَوْ يُعِيْدَ صَلَاتَهُ بَعْدَ الحُضُوْرِ مَعَهُمْ فَافْعَلْ. وَقَالَ أَيْضًا يُسْتَحَبُّ فِي عَدَمِ الضَّرُوْرَةِ حُضُوْرُ جَمَاعَتِهِمْ (أي أهل السنة) وَالْوُقُوْفُ مَعَهُمْ فِي الصَّفِّ الأوَّلِ تَقِيَّةً وَمُتَابَعَتُهُمْ ظَاهِراً وَلَكِنْ يُصَلِّيْ بِنَفْسِهِ مِنْ غَيْرِ اقْتِدَاءٍ.

“Dalam keadaan terdesak dan menuntut taqiyyah, diharuskan menghadiri shalat orang-orang yang berbeda madzhab dan shalat bersama mereka mereka, dan shalat itu dianggap cukup.” “Jika orang-orang Syiah memungkinkan untuk shalat di rumah sebelum menghadiri jamaah dan shalat bersama mereka (Ahlussunnah), atau mengulangi shalatnya setelah hadir (shalat) bersama mereka, maka lakukanlah.” … “Dalam keadaan tidak mendesak, boleh menghadiri jamaah mereka (Ahlussunnah) dan shalat bersama mereka di shaf pertama dengan cara taqiyyah dan pura-pura mengikuti mereka, akan tetapi selanjutnya harus mengulangi shalatnya sendirian.”

Membenarkan fakta-fakta di atas, sorang da’i Syiah, Muhammad Tijani, mengungkapkan pertanyaan sebagai berikut:

فَكَانُوْا كَثِيْرًا مَّايُصَلُّوْنَ مَعَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ تَقِيَّةً وَيَنْسَحِبُوْنَ فَوْرًا انْقِضَاءَ الصَّلَاةِ وَلَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ يُعِيْدُ صَلَاتَهُ عِنْدَ الرُّجُوْعِ إِلَى البَيْتِ.

“Mereka `(orang-orang Syiah) seringkali shalat bersama Ahlussunnah wal Jama’ah dengan menggunakan taqiyyah dan bergegas menyelesaikan shalatnya. Dan barangkali kebanyakan mereka mengulangi shalatnya ketika pulang.”

Jadi, sebagai seorang pengkaji Syiah, cukup disayangkan jika Dr. Quraish Shihab tidak mengetahui fakta-fakta (keyakinan-keyakinan dan fatwa-fatwa) yang berserakan di dalam kitab-kitab Syiah itu. Atau, jika memang beliau mengetahuinya, kenapa tidak mengkajinya secara transparan layaknya seorang pengkaji profesional? Ketika orang-orang Syiah dengan jujur menyatakan bahwa shalat mereka di belakang imam Sunni hanya isapan jempol belaka, dengan kedok taqiyyah, Dr. Quraish Shihab justru berupaya mengaburkan dan menutup-nutupinya dari umat Islam. Adakah Dr. Quraish Shihab juga menerapkan semacam konsep taqiyyah? Wallâhu a’lam.

Selain memungkiri adanya pengkafiran yang dilakukan oleh para pemuka Syiah berikut penganutnya secara kesuluruhan,  Syiah kontemporer mencoba mencari alasan dan pembenaran akan hal tersebut. Dalam hal ini, mereka menyatakan bahwa pengkafiran tersebut hanya dilakukan oleh penganut Syiah kelas akar rumput (kalangan awam), bukan oleh Syiah papan atas-nya. Dalam bukunya yang sama, Dr. Quraish Shihab mengutip perkataan Abdul Husain Ahmad al-Amin an-Najafi, seorang penganut Syiah Imamiyah kontemporer dalam bukunya al-Ghâdir, ketika membantah buku-buku Sunni, sebagai berikut:

“Banyak tuduhan yang tidak benar dilontarkan kepada Syiah, seperti bahwa, mereka mencaci maki kebanyakan sahabat-sahabat nabi, atau mereka beranggapan bahwa Syiah menilai al-Qur’an yang beredar sekarang telah berubah atau berkurang. Tuduhan ini disebabkan karena para penulis tersebut tidak mengambil langsung dari sumber buku Syiah yang otentik, akan tetapi mereka mengutip atau mendengar cerita-cerita orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.”

Sebelumnya, mengutip Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’ dalam bukunya, Ashl asy-Syî’ah wa wa Ushûlihâ (Dar al-Qur’an al-Karim, Qum, Iran, 1415, hlm. 102-103), Dr. Quraish Shihab mengemukakan:

“Kesalahan yang merupakan musibah yang terjadi menyangkut pandangan keliru terhadap Syiah adalah para penulis tentang Syiah itu, pada umumnya merujuk kepada Ibnu Khaldun yang menulis di Afrika sana (Tunis), dan ujung bagian barat (Maghrib), menyangkut Syiah yang ada di Irak dan di ujung timur, atau menukil dari Ahmad bin Abdu Rabbih, yang berasal dari Andalusia (Spanyol) dan orang-orang semacam mereka. Kemudian penulis-penulis modern, bila hendak memperdalam pengetahuan tentang Syiah, maka mereka merujuk pada karya-karya tulis orang-orang Barat atau asing, seperti orientalis, Welhousen, atau Dozy dan semacam mereka. Lalu pendapat merekalah yang dianggap argumentasi pasti dan pemutus perbedaan pendapat. Adapun merujuk pada kitab yang ditulis oleh ulama Syiah, maka itu tidak pernah terlintas dalam benak salah seorang di antara penulis-penulis tentang Syiah.”

Selanjutnya, mengutip Abdul Halim Mahmud dalam At-Tafkîr al-Falsafî fî al-Islâm (hlm. 45), Dr. Quraish Shihab mengatakan:

“Dalam konteks ini, perlu juga dibedakan antara sikap orang-orang awam dengan sikap ulama dan cendekiawan. “Kita tidak dapat mengukur satu kelompok umat atau masyarakat dengan melihat pemikiran kaum awamnya… kita tidak dapat mengukur masyarakat Mesir masa lampau dan masa kini dengan pemikiran petani-petaninya yang tanpa alas kaki, atau yang telah bungkuk punggungnya akibat mencangkul. Kita juga tidak dapat mengukur peradaban Prancis dengan mendengar pandangan penduduk desa yang bodoh…” Demikian antara lain pandangan Syekh Abdul Halim Mahmud, guru penulis yang pernah menjabat pemimpin tertinggi lembaga-lembaga al-Azhar.”

Kiranya, kutipan tiga paragraf dari pernyataan Dr. Quraish Shihab di atas cukup jelas dalam menggambarkan trik Syiah kontemporer. Poin penting yang disampaikan Dr. Quraish Shihab di atas adalah, pertama: tuduhan ‘miring’ (seperti penambahan ayat-ayat al-Qur’an, pengkafiran, diperbolehkan membunuh Ahlussunnah dan lain-lain) yang dilontarkan kepada Syiah oleh para penulis, disebabkan karena mereka tidak merujuk langsung dari sumber buku Syiah yang otentik (seperti al-Kâfî, Man Lâ Yahdhuruhû al-Faqîh, Bihâr al-Anwâr, al-Anwâr an-Nu’mâniyah dan lain-lain).

Kedua: mempertegas pernyataan pertama, Dr. Quraish Shihab menengarai bahwa para pengkritik Syiah di masa lalu kebanyakan merujuk pada pandangan-pandangan para pemikir Islam yang jauh dari lingkungan Syiah, sementara para pengkritik Syiah kontemporer lebih banyak merujuk pada pandangan-pandangan para penulis Barat (orientalis). Sedangkan tulisan-tulisan orang-orang Syiah murni (maksudnya seperti al-Kulaini, ath-Thusi, al-Majlisi, al-Amili, al-Kasyani, Ni’matullah al-Jaza’iri, Abu Manshur ath-Thabrisi, Syarafuddin al-Musawi dan lain-lain), tidak ditemukan pernyataan-pernyataan sebagaimana ditulis oleh para penentangnya.

Ketiga: akhirnya, dalam memotret pemikiran Syiah yang sesungguhnya, kita seharusnya tidak merujuk pada pandangan-pandangan para awam dari kalangan Syiah, akan tetapi mesti merujuk langsung pada apa yang dituangkan oleh tokoh-tokoh dan para pemuka Syiah dalam buku-buku mereka. Karena orang awam bukan merupakan standar ukuran untuk menentukan karakter pemikiran suatu madzhab (aliran).

Sebetulnya, langkah yang dilakukan oleh para Syiah kontemporer ini hanyalah suatu kesia-siaan. Sebab, menutup-nutupi permasalahan seperti itu dengan taqiyyah menjadi tidak berguna setelah kitab-kitab Syiah telah tersebar luas, dan doktrin mereka yang sesungguhnya telah terbaca dengan jelas, termasuk dari uraian dalam buku ini yang menunjuk pada buku-buku dan pernyataan-pernyataan Syiah sendiri.

Siapa pun dapat menilai, bahwa pernyataan pengkafiran, legalitas pembunuhan, perampasan harta dan lain sebagainya yang telah kami paparkan di muka, adalah murni dari pernyataan para pionir dan pemuka Syiah, yang termuat dari karya-karya besar mereka. Di muka telah kami paparkan dengan lugas ungkapan-ungkapan pengkafiran terhadap Ahlussunnah yang dinyatakan dengan tegas oleh al-Kulaini (penulis al-Kâfî yang dipandang kitab hadis Syiah yang paling shahîh), al-Majlisi (penulis Bihâr al-Anwâr), ash-Shaduq (penulis Wasâ’il asy-Syi’ah) dan Husain Fadhlullah (penulis al-Masâ’il al-Fiqhiyah). Tentu hanya orang awam yang mungkin mengatakan bahwa mereka hanyalah Syiah kelas kacangan, dan amat ganjil rasanya jika itu muncul dari pernyataan seorang Dr. Quraish Shihab.

Selain dengan model seperti itu, dikursus Sunnah-Syiah kontemporer juga banyak bersembunyi di balik ‘topeng’ persatuan umat Islam. Tapi kebanyakan mereka sebenarnya suka menggunting dalam lipatan. Mula-mula mereka mengkaji dengan pengantar yang meyakinkan, mengusung suara persatuan. Akan tetapi dalam kajiannya, mereka memojokan Ahlussunnah dan memposisikannya di posisi zalim, sementara Syiah ditempatkan di posisi yang teraniaya (mazhlum), sehingga terkesan Ahlussunnah-lah yang memulai konflik, dari periode awal dan berlanjut hingga periode kita saat ini. Nah, setelah itu, baru di bagian akhir mereka menawarkan solusi untuk bersatu. Langkah ini jelas tidak sportif.

By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku: Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}