Pada edisi sebelumnya telah disampaikan gambaran umum tentang sumber dan metode editing al-Yunaini terhadap autograf Shahih al-Bukhari. Pada edisi ini akan kita banding dengan upaya Imam al-‘Aini dalam memelihara keaslian naskah Shahih al-Bukhari.
Sumber dan Metode Editing al-‘Aini
Al-‘Aini namanya aslinya Mahmud bin Ahmad bin Musa Ibn Ahmad bin al-Husain bin Yusuf. Terkenal dengan sebutan Badr al-Din al-‘Aini. Beliau lahir pada 762 H/1360 M. di Halb (Aleppo-Syiria), kemudian setelah dewasa menetap di Kairo, Mesir.
Al-‘Aini memiliki banyak guru dalam berbagai disiplin ilmu, yang paling terkenal antara lain Zain al-Din Abdurrahim al-‘Iraqi (W. 806 H/1403 M) dan Nur al-Din Abu al-Hasan Ali al-Haitsami. Dari berbagai disiplin ilmu itu, al-‘Aini berhasil melakukan kaderisasi dengan lahirnya para murid kredibel melalui bimbingannya, antara lain yang paling terkenal Muhamad bin Abdurrahman al-Sakhawi.
Al-‘Aini 14 tahun lebih tua usianya daripada Ibnu Hajar al-Asqalani. Di antara mereka berdua terjadi persaingan sehat (istibaaq al-khairat) dalam bidang keilmuan. Hal itu ditunjukkan dengan pengakuan akan kelebihan ilmu masing-masing pihak. Al-Asqalani pernah sima’ (belajar secara langsung) tentang dua hadis dalam Shahih Muslim dan satu hadis dalam Musnad Ahmad dari al-‘Aini, sedangkan al-‘Aini sering mengutip komentar al-Asqalani ketika mensyarahi Shahih al-Bukhari. Meskipun usia al-Asqalani lebih muda daripadanya, namun masa hidup al-‘Aini lebih lama dibandingkan al-Asqalani. Al-‘Aini wafat pada 855 H/1451 H, dalam usia 93 tahun. Sementara al-Asqalani wafat pada 852 H/1448 M, dalam usia 79 tahun.
Al-‘Aini termasuk ulama yang produktif dalam menulis karya ilmiah. Empat puluh lebih judul kitab pernah lahir dari tangannya. Paling luas di antaranya al-Jaman fi Tarikh al-Zaman, yang ditulis sebanyak 25 jilid, tersimpan di perpustakaan Syekh Islam Wali al-Din. Namun yang paling dikenal sepanjang zaman adalah Umdah al-Qari syarh Shahih al-Bukhari.[1]
Dalam mengautentikasi autograf Shahih al-Bukhari, al-‘Aini merujuk kepada dua naskah imam besar: Pertama, versi Zain al-Din al-‘Iraqi (W. 806 H/1403 M); Kedua, versi Muhamad bin Mu’in al-Din Muhamad bin Zain al-Din al-Dajuni.
Naskah pertama diterima al-‘Aini di berbagai majelis secara berkala, dan berakhir pada Sya’ban 806 H/Pebruari 1404 M di Kairo, Mesir. Naskah itu diterima al-‘Iraqi dari Syihab al-Din Ahmad bin Manshur al-Asymuni secara qiraah.[2] Naskah al-Asymuni bersumber dari salinan autograf Shahih al-Bukhari versi al-Firabri, yang disalin oleh dua orang sebagai “tangan keempat”:
- Karimah binti Ahmad al-Marwuziyyah, dari murid al-Firabri bernama Muhamad bin Makki al-Kusymihani,
- Abdurrahman bin Muhamad bin al-Muzhaffar al-Dawudi, dari dua murid al-Firabri, yaitu al-Kusymihani dan Abdullah bin Ahmad bin Hamuwaih.
Adapun naskah kedua, diterimanya di berbagai majelis secara berkala, dan berakhir pada Ramadhan 805 H/Maret 1403 M juga di Kairo, Mesir. Naskah itu diterima al-Dajuni dari Syihab al-Din Ahmad bin Muhamad al-Taqi al-Maliki secara qiraah. Naskah al-Maliki bersumber dari autograf versi al-Firabri, yang disalin oleh dua orang sebagai “tangan keempat”:
- Abu Sahl bin Muhamad bin Ahmad bin Abdullah al-Hafshi, dari al-Kusymihani dan Ibn Syabuwaih,
- al-Dawudi, dari Abdullah bin Ahmad bin Hamuwaih.[3]
Jika kita telusuri kitab Umdah al-Qari syarh Shahih al-Bukhari secara seksama, di situ kita akan temukan sejumlah periwayat naskah yang dijadikan acuan oleh al-‘Aini sebagai berikut:
Periwayatan “tangan ketiga”, antara lain:
- Riwayat al-Hamawi (الحموي) dijadikan acuan sekitar 112 kasus
- Riwayat al-Mustamli (المستملي) dijadikan acuan sekitar 428 kasus
- Riwayat al-Kusymihani (الكشميهني) dijadikan acuan sekitar 1100 kasus
Periwayatan “tangan keempat”, antara lain:
- Riwayat Abu Dzar (أبو ذر) dijadikan acuan sekitar 835 kasus
- Riwayat al-Ashili (الأصيلي)dijadikan acuan sekitar 378 kasus
- Riwayat Abu al-Waqti (أبو الوقت) dijadikan acuan sekitar 32 kasus
Untuk memahami sepenuhnya metode autentikasi Shahih al-Bukhari ala al-‘Aini, kami kemukakan sebuah contoh sebagai berikut:
Di dalam naskah cetak Shahih al-Bukhari, pada topik wahyu, tercantum bab dengan judul:
كَيْفَ كَانَ بَدْءُ الْوَحْيِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْلُ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ{إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ}
Bab bagaimana Permulaan Wahyu kepada Rasulullah saw. dan firman Allah Jalla dzikruhu: “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang datang kemudian.” (QS. An-Nisa: 163)
Terhadap judul bab di atas, Imam al-‘Aini berkomentar sebagai berikut:
وَوَقَعَ فِي رِوَايَةِ أَبِيْ ذَرٍّ عَنْ مَشَايِخِهِ الثَّلاَثَةِ هكَذَا كَيْفَ كَانَ بَدْءُ الْوَحْيِ إِلَى رَسُولِ الخ بِدُوْنِ لَفْظَةِ بَاب
“Pada riwayat Abu Dzar, yang diterima, dari ketiga gurunya tertulis demikian: Kaifa kaana bad’ul wahyi ilaa rasuulillaah…hingga akhir, tanpa kata baab.” [4]
Penjelasan atas komentar al-‘Aini di atas:
Abu Dzar, namanya Abdullah bin Ahmad (ada yang mengatakan: Abd bin Ahmad) al-Harawi, berasal dari Herat,[5] wafat pada 434 H/1042 M.[6] Ia periwayat naskah Shahih al-Bukhari generasi ke-4 atau “tangan keempat”. Adapun tiga gurunya yang dimaksud adalah:
Pertama, al-Mustamli. Nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad al-Mustamli, berasal dari Balkha/Balkh,[7] wafat pada 376 H/986 M.[8]
Kedua, al-Sarkhasi. Nama lengkapnya Abu Muhamad Abdullah bin Ahmad bin Hamawaih bin Yusuf al-Hamawi al-Sarkhasi, berasal dari Sarkhas/Serakhs, [9] lahir 293 H/905 M dan wafat pada 381 H/991.[10]
Ketiga, Al-Kusymihani. Nama lengkapnya Abu al-Haitsam Muhamad bin Maki al-Kusymihani, berasal dari Kusymihan,[11] wafat pada 389 H/998 M.[12]
Ketiga orang di atas sebagai periwayat naskah Shahih al-Bukhari generasi ke-3 atau “tangan ketiga”, para murid al-Firabri. Al-Firabri adalah murid Imam al-Bukhari, sebagai generasi ke-2 atau “tangan kedua”.
Selanjutnya, jika keterangan Imam al-‘Aini di atas kita terjemahkan menurut jalur periwayatan naskah Shahih al-Bukhari generasi ke-3—para murid al-Firabri, periwayat naskah yang berjumlah 9 orang—kita mendapatkan petunjuk bahwa teks di atas (tanpa kata baab باب) terdapat dalam periwayatan 3 murid al-Firabri (al-Mustamli, al-Sarkhasi, al-Kusymihani), sebagaimana diriwayatkan oleh muridnya, Abu Dzar.
Sementara dalam periwayatan 6 murid al-Firabri yang lain, tercantum teks baab (باب). Keenam murid yang dimaksud meliputi: (1) Abu Nashr al-Akhsaikati (W. 378 H/988 M), (2) Abu Ali al-Marwuzi (W. 470 H/1077 M), (3) Abu Ali Said bin Usman bin Said bin al-Sakan (W. 353 H/964 M), (4) Abu Zaid al-Marwuzi (W. 371/981 H), (5) Abu Ahmad al-Jurjani (W. 373 H/983 M), (6) Abu Ali al-Kusyani (W. 391 H/1000 M).
Untuk mengetahui sumber dan metode editing Imam al-‘Aini terhadap autograf Shahih al-Bukhari secara menyeluruh, sebagaimana contoh kasus di atas, kita harus mengkaji secara mendalam berbagai penjelasan beliau pada kitabnya, Umdah al-Qari syarh Shahih al-Bukhari.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
Lampiran 1. Cover Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhari, Terbitan Dar el-Fikr, Beirut.
Lampiran 2. Naskah Cetak Matan Shahih al-Bukhari dalam Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhari, karya Imam al-‘Aini
[1]Lihat, Muqaddimah Umdah al-Qari, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, t.t., juz I, hal. 2-10
[2]Salah satu metode penerimaan hadis dengan pola: seorang murid membacakan hadis di hadapan seorang guru, baik dari hafalan maupun catatannya. Sedangkan guru menyimak bacaan itu. Kadang-kadang yang mengecek bukan gurunya, melainkan orang yang telah diberi kepercayaan olehnya. Metode ini disebut pula ‘ardh (penyodoran).
[3]Lihat, Al-‘Aini, op.cit., juz I, hal. 4-5.
[4]Lihat, Umdah al-Qari syarh Shahih al-Bukhari, Juz 1, hlm. 15.
[5]Salah satu kota di wilayah Khurasan (lihat, Ibn al-Atsir, op.cit., II:448), dan sekarang termasuk salah satu kota di wilayah Afganistan.
[6]Lihat, Al-Suyuthi, op.cit., hal.425; Al-Dzahabi, op.cit., juz III, hal. 1103; Ibn al-Amad, op.cit., juzIII, hal. 254.
[7]Kota lama di Afganistan barat (lihat, Ibn al-Atsirop.cit., I:136)
[8]Lihat, Ibn al-Atsir, loc.cit.; Ibn al-Amad, op.cit., juz III, hal. 86; Dr. Said, op.cit. I:339.
[9]Kota di Turkmenistan, terletak antara Mary dan Meshad, Ibu kota Khurasan Iran. (Lihat, Ibn al-Atsir, op. cit., I:435)
[10]Lihat, Al-Dzahabi, op.cit., juz III, hal. 975; Ibn al-Amad, op.cit., juz III, hal. 100; Dr. Sa’id, op.cit., V:445.
[11]Salah satu desa di kota Marwa/Mary, Turkmenistan, dan sekarang sudah hancur (Lihat, Ibn al-Atsir, op.cit., II:254)
[12]Lihat, Al-Dzahabi, op.cit., juz III, hal. 1021; Ibn al-Amad, op.cit., juz III, hal. 132