Sebagaimana telah dimaklumi bahwa kaum muslimin tidak melaksanakan ibadah haji, pada tanggal 9 Dzulhijjah, disyariatkan untuk melaksanakan shaum yang popular dengan sebutan Shaum Arafah. Demikian itu berdasarkan hadis sebagai berikut:
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبِلَةً ، وَصَوْمُ عَاشُوراَءَ يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً – رواه الجماعة إلا البخاري والترمذي –
Dari Abu Qatadah, ia berkata,”Rasulullah saw. telah bersabda,’Shaum Hari Arafah itu akan mengkifarati (menghapus dosa) dua tahun, yaitu setahun yang telah lalu dan setahun kemudian. Sedangkan shaum Asyura akan mengkifarati setahun yang lalu.” HR. Al-Jama’ah kecuali Al-Bukhari dan At-Tirmidzi. [1]
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ath-Thabrani dari Sahabat Zaid bin Arqam, Sahl bin Saad, Qatadah bin Nu’man, Ibnu Umar, dan Abu Sa’id Al-Khudriy. Dalam versi Abu Sa’id Al-Khudriy dengan redaksi:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍالخُدِرِيِّ قَالَ : قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ السَّنَةِ المَاضِيَةِ وَالسَّنَةِ المُسْتَقْبِلَةِ
Dari Abu Said, dari Nabi saw. Shaum Arafah itu merupakan kifarat tahun yang telah lalu dan tahun yang akan datang. HR. Ath-Thabrani. [2]
Meski demikian sering timbul masalah bila kebetulan satu pemerintahan menetapkan tanggal yang berbeda dengan ketetapan pemerintah Saudi Arabia dalam masalah wukuf di Arafah, lalu apakah rakyat yang tinggal di negeri itu ikut shaum dengan tanggal yang ditetapkan pemerintah Saudi, ataukah tetap dengan tanggal yang telah ditetapkan di negerinya sendiri?
Demikian itu, karena ada sementara pihak yang berpendapat bahwa ketetapan waktu Idul Adha di negara manapun mesti ditetapkan berdasarkan waktu wukuf di Arafah. Dengan perkataan lain wukuf itu sebagai standar penetapan Iedul Adha. Istinbath ini ditetapkan berdasarkan sabda Nabi saw. tentang shaum ‘Arafah dalam hadis Abu Qatadah al-Anshari:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“Dan beliau ditanya tentang shaum hari Arafah. Maka beliau menjawab, ‘Ia (shaum Arafah) akan menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun mendatang.” [3]
Penamaan shaum ini dengan “shaumu yaumi ‘arafah”, dipahami oleh sebagian pihak bahwa shaum Arafah itu waktunya harus bersesuaian dengan waktu wukuf di ‘Arafah. Karena Idul Adha didahului oleh shaum hari Arafah, maka Idul Adha pun ditetapkan berdasarkan wukuf di Arafah itu.
Tulisan ini dibuat untuk menguji sejauhmana ketepatan argumentasi dan metodologi yang digunakan dalam menetapkan hukum (istinbath al-hukm) demikian itu, berdasarkan beberapa aspek sebagai berikut:
Pertama, Latar belakang Arafah
Dalam aspek ini, penetapan hukum di atas, dapat kita uji melalui analisa asal muasal kata ‘Arafah dan latar belakang penamaannya. Berkenaan asal muasal kata, Ibnu Abidin menjelaskan:
عَرَفَةُ إِسْمُ اليَوْمِ وَعَرَفَاتُ إِسْمُ المَكَانِ
“Arafah adalah ismul yaum (nama hari) dan Arafaat adalah ismul makan (nama tempat).” [4]
Menurut Imam ar-Raghib, al-Baghawi, dan al-Kirmani, Arafah adalah
إِسْمٌ لِلْيَوْمِ التَّاسِعِ مِنْ ذِي الحِجَّةِ
“Nama hari ke-9 dari bulan Dzulhijjah.” [5]
Hari tersebut dinamakan Arafah berkaitan dengan peristiwa mimpinya Nabi Ibrahim yang diperintah untuk menyembelih anaknya. Pada pagi harinya, Ibrahim mengetahui bahwa mimpi itu benar-benar (datang) dari Allah
فَسُمِّيَ يَوْمَ عَرَفَةَ
“Maka (hari itu) dinamakan hari Arafah.” [6]
Menurut Imam al-‘Aini dan ar-Raghib, Arafat, bentuk jamak dari ‘Arafah, adalah
عَلَمٌ لِهذَا المَكَانِ المَخْصُوصِ
“Nama bagi tempat yang khusus ini.” [7]
Adapun tempat tersebut dinamakan Arafat berkaitan dengan peristiwa pertemuan antara Nabi Adam dan Hawa ditempat itu, sebagaimana dijelaskan Ibnu Abas:
وَتَعَارَفَا بِعَرَفَاتِ فَلِذلِكَ سُمِّيَتْ عَرَفَاتِ
“Dan keduanya ta’aruf di Arafat, karena itu dinamai ‘Arafat.”[8]
Keterangan Ibnu Abas itu dijadikan pinjakan oleh para ulama generasi selanjutnhya, antara lain Yaqut bin Abdullah al-Hamuwi,[9] Ahmad bin Yahya bin al-Murtadha, [10] dan ar-Raghib al-Ashfahani. [11]
Meski demikian, untuk menunjuk tempat yang dimaksud terkadang digunakan pula kata ‘Arafah, dalam bentuk kata tunggal (mufrad). Penggunaan kata ‘Arafah (tunggal), untuk makna tempat, bukanlah bahasa orang Arab tulen. Karena itu Imam al-Jauhari (w. 393 H) mengatakan:
وَعَرَفَاتٌ: مَوْضِعٌ بِمِنًى وَهُوْ إِسْمٌ فِي لَفْظِ الْجَمْعِ فَلاَ يُجْمَعُ. قَالَ الْفَرَّاءُ وَلاَ وَاحِدَ لَهُ بِصِحَّةٍ وَقَوْلُ النَّاسِ نَزَلنْا عَرَفَةَ شَبِيهٌ بمُوَلَّد وَلَيْسَ بِعَرَبيٍّ مَحْضٍ
“Arafat adalah tempat di Mina, ia nama dalam lafal jamak, maka tidak dijamakkan. Al-Farra berkata, kata Arafat sebenarnya tidak memiliki kata tunggal, sedangkan perkataan orang-orang: ‘Kami singgah di Arafah” adalah serupa dengan bahasa peranakan Arab, bukan bahasa orang Arab tulen.” [12]
Penjelasan Imam al-Jauhari itu dikukuhkan pula oleh Zainuddin Abu Abdullah Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir ar-Razi (w. 666 H). [13]
Keterangan pakar bahasa di atas menunjukkan bahwa kata ‘Arafah mengalami “perkembangan makna”, dari “makna tunggal: “nama waktu (isim zaman)”, menjadi dwi makna: “nama waktu (isim zaman)” dan “nama tempat (isim makaan)”.
Karena itu, untuk menentukan salah satu makna yang dimaksud (waktu atau tempat) diperlukan indikator (qarinah). Hal ini berbeda dengan penggunaan kata ‘Arafat (bentuk kata jamak), karena sudah pasti menunjukkan “nama tempat”.
Secara praktik, penggunaan kata itu dapat kita telusuri dari sejumlah riwayat, baik berasal dari Nabi (marfu’) maupun shahabat (mauquf). Sebut saja dalam al-Kutub as-Sittah[14] (tujuh kitab hadis yang standar), kita temukan penggunaan kata ‘Arafah sekitar 262 kali. Sementara penggunaan kata Arafat, sebagai nama tempat, ditemukan sekitar 47 kali. Penggunaan kata ‘Arafah dapat disampaikan contoh hadis berikut ini:
عَنْ كُرَيْبٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ دَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عَرَفَةَ حَتَّى إِذَا كَانَ بِالشِّعْبِ نَزَلَ فَبَالَ ثُمَّ تَوَضَّأَ …
“Dari Kuraib Mawla Ibnu Abbas, dari Usamah bin Zaid, bahwa ia (Kuraib) mendengarnya (Usamah) berkata, “Rasulullah saw. Kembali dari ‘Arafah, hingga ketika berada di Syi’ib, beliau singgah lalu kencing, kemudian berwudhu…”HR.Al-Bukhari.[15]
Pada hadis di atas terdapat penggunaan kata ‘Arafah (bentuk tunggal). Kata Imam al-‘Aini (w. 855 H/1451 H):
دَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عَرَفَةَ أَيْ رَجَعَ مِنْ وُقُوْفِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ لِأَنَّا قُلْنَا أَنَّ عَرَفَةَ إِسْمُ الْيَوْمِ التَّاسِعِ مِنْ ذِيْ الْحِجَّةِ فَحِيْنَئِذٍ يَكُوْنُ الْمُضَافُ فِيْهِ مَحْذُوْفًا وَعَلَى قَوْلِ مَنْ يَقُوْلُ أَنَّ عَرَفَةَ إِسْمٌ لِلْمَكَانِ أَيْضًا لاَ حَاجَةَ إِلَى التَّقْدِيْرِ وَقَدْ مَرَّ أَنَّهُ لُغَةٌ بَلَدِيَّةٌ
“Rasulullah saw. bertolak dari Arafah, yaitu beliau kembali dari wukuf hari Arafah di Arafat, karena kami berpendapat bahwa Arafah adalah nama hari ke-9 bulan Dzulhijjah. Karena itu, kata yang disandarkan (wuquuf) tidak disebut. Sementara berdasar pendapat bahwa Arafah juga nama tempat tidak perlu penetapan (kata yang tidak disebut), dan sungguh telah berlalu bahwa kata itu adalah bahasa kedaerahan.” [16]
Penjelasan senada juga disampaikan Imam al-Qashthalani (w. 923 H) [17] dan Imam az-Zarqani (w. 1122 H). [18]
Setelah dianalisa, baik dari sisi asal muasal kata maupun latar belakang penamaannya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
- Penamaan Arafah, baik sebagai nama hari (ismul yaum) maupun nama tempat (ismul makaan), sudah digunakan sebelum disyariatkan ibadah haji.
- Penamaan Arafah bukan karena pelaksanaan wukuf dalam ibadah haji (fi’lun). Dengan perkataan lain, fi’lun (wukuf dalam ibadah haji) bukan muqaddamah wujud[19] penamaan Arafah.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
[1] Lihat, Ahmad, Musnad Ahmad, XXXVII:222, No. hadis 22.535, Muslim, Shahih Muslim, I:520, An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, II:150, No. hadis 2796, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:340, 343, Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Awsath, VI:300, No. hadis 5642.
[2] Lihat, Al-Mu’jam Al-Awsath, III:45, No. hadis 2086.
[3] Lihat, Shahih Muslim, II:819, No. Hadis 1162.
[4] Lihat, Hasyiah Radd al-Mukhtar, II:192.
[5] Lihat, Hasyiah asy-Syihab ‘Ala Tafsir al-Baidhawi, II:290.
[6] Lihat, al-Mughni, III:58.
[7] Lihat, Umdah al-Qari, I:263. Dalam redaksi ar-Raghib: “buq’ah makhshushah.” [tanah atau daerah yang khusus]. Lihat, al-Mufradat fi Gharib al-Quran, hlm. 969.
[8] Lihat, al-Kamil fii at-Tarikh, I:12.
[9] Lihat, Mu’jam al-Buldan, IV:104.
[10] Lihat, at-Taj al-Madzhab li Ahkam al-Madzhab, II:89.
[11] Lihat, al-Mufradat fi Gharib al-Quran, hlm. 969.
[12] Lihat, Ash-Shihaah Taaj al-Lughah wa Shihaah al-‘Arabiyyah, IV:1401.
[13] Lihat, Mukhtaar ash-Shihaah, I:203.
[14] Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasai, Sunan Ibnu Majah, dan Musnad Ahmad.
[15] Lihat, Shahih al-Bukhari, I:65, No. 139.
[16] Lihat, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, II:259
[17] Lihat, Irsyad as-Syari Syarh Shahih al-Bukhari, III:203
[18] Lihat, Syarh az-Zarqani ‘ala Muwatha al-Imam Malik, II:477
[19] Muqaddamah al-wujud adalah sesuatu yang menjadi tautan terwujudnya perkara yang wajib sesuai cara syariat. Muqaddamah al-wujud dapat berupa syarat atau rukun. Contoh syarat, seperti wudu bagi sahnya salat. Maka wudu disebut muqaddamah al-wujud. Artinya salat itu tidak akan sah (terwujud sesuai cara syar’i) kecuali dengan wujudnya wudu. Demikian juga berangkat ke miqat-miqat makani bagi sahnya haji. Contoh rukun, seperti ruku bagi sahnya salat.