Penamaan as-Salaf as-Shaleh, Salafiyyah, dan Salafiy
Selain dengan nama-nama di atas, Ahlul Haq dinamai pula as-Salaf as-Shaleh, Salafiyyah, dan Salafiy. Penamaan as-Salafus Shaleh sebenarnya telah dipergunakan sejak masa sahabat hingga kemunduran mu’tazilah (abad ke-3 H/ke-9 M). Hal itu tercermin pada ucapan para ulama yang hidup pada masa-masa itu, antara lain
a. Anas bin Malik (w.93 H/711 M) berkata:
لَوْ أَنَّ رَجُلاً أَدْرَكَ السَّلَفَ الأَوَّلَ ثُمَّ بُعِثَ الْيَوْمَ مَا عَرَفَ مِنَ الإِسْلاَمِ شَيْئًا قَالَ : وَوَضَعَ يَدَهُ عَلَى خَدِّهِ ثُمَّ قَالَ : إِلاَّ هذِهِ الصَّلاَةَ ثُمَّ قَالَ : أَمَّا وَاللهِ عَلَى ذلِكَ لِمَنْ عَاشَ فِي النُّكْرِ وَلَمْ يُدْرِكْ ذلِكَ السَّلَفَ الصَّالِحَ فَرَأَى مُبْتَدِعًا يَدْعُوْ إِلَى بِدْعَتِهِ وَرَأَى صَاحِبَ دُنْيَا يَدْعُوْ إِلَى دُنْيَاهُ فَعَصَمَهُ اللهُ مِنْ ذلِكَ وَجَعَلَ قَلْبَهُ يَحِنُّ إِلَى ذلِكَ السَّلَفِ الصَّالِحِ يَسْأَلُ عَنْ سُبُلِهِمْ وَيَقْتَصُّ آثَارَهُمْ وَيَتَّبِعُ سَبِيْلَهُمْ لِيُعَوِّضَ أَجْرًا عَظِيْمًا وَكَذلِكَ فَكُوْنُوْا إِنْ شَاءَ اللهُ
“Kalau seandainya seorang laki laki sezaman dengan as-Salaf yang awal, lantas dia diutus pada hari ini, maka ia tidak akan mengenal Islam sedikitpun -sambil meletakan tangannya di pipinya, lalu dia kembali berkata- kecuali salat ini.” Kemudian beliau berkata, “Adapun selanjutnya- demi Allah atas yang demikian- bagi yang hidup pada zaman ini, dan tidak sezaman dengan as-Salaf as-Shalih, maka dia akan melihat dimana seorang ahlu bid`ah menyeru kepada bid`ahnya, dan dia lihat juga ahlu dunia mengajak kepada dunianya, namun dia dipelihara oleh Allah dari hal itu. Allah jadikan hatinya terpaut dengan generasi as-Salaf as-Shalih tersebut sambil dia memohon kepada Allah untuk selalu berada diatas jalan mereka, berpedoman kepada atsar-atsar dan mengikuti jalan mereka, guna mengharapkan balasan yang sangat besar, maka hendaklah kalian menjadi seperti mereka insya Allah.” Lihat, Al-I’tisham karya as-Syathibi, hal. 12. Namun dalam al-Bida’ karya Ibnu Wadhah, hal. 190 dan Mufid al-Mustafid fi Kufri Tarikit Tauhid karya Muhamad Abdul Wahhab, hal. 321, disebutkan bahwa perkataan itu bersumber dari al-Hasan al-Bishri (w.110 H/728 M)
Yang dimaksud dengan as-salaf al-awwal oleh Anas adalah para shahabat karena Anas adalah seorang sahabat shighar (muda).
b. Rasyid bin Sa’ad (w. 113 H/731 M) berkata:
كَانَ السَّلَفُ يَسْتَحِبُّونَ الْفُحُولَةَ لِأَنَّهَا أَجْرَى وَأَجْسَرُ
“As-Salaf lebih menyukai al-fuhulah (tunggangan jantan) karena lebih cepat larinya dan lebih berani.” ( Lihat, Shahih al-Bukhari, III:1050, Kitabul Jihad was Siyar, Babur rukub ‘alad dabbah as-Sha’bah wal Fuhulah)
Yang dimaksud dengan as-salaf oleh Rasyid adalah para shahabat karena Rasyid adalah seorang Tabi’i (generasi yang sezaman dengan shahabat).
c. Maimun bin Mihran (w. 116 H/734 M) berkata:
لَوْ أَنَّ رَجُلاً نُشِرَ فِيْكُمْ مِنَ السَّلَفِ مَا عَرَفَ فِيْكُمْ غَيْرَ هذِهِ الْقِبْلَةِ
“Kalau seandainya seorang lelaki dikalangan as-Salaf dibangkitkan di hadapan kalian maka ia tidak akan mengenal pada kalian selain kiblat ini.” (Lihat, al-Bida’ karya Ibnu Wadhah, hal. 191)
Yang dimaksud dengan as-salaf oleh Maimun bin Mihran adalah para shahabat karena Maimun adalah seorang Tabi’i (generasi yang sezaman dengan shahabat).
d. Imam az-Zuhry (w. 125 H/742 M) berkata tentang tulang belulang bangkai seperti bangkai gajah dan lainnya:
أَدْرَكْتُ نَاسًا مِنْ سَلَفِ الْعُلَمَاءِ يَمْتَشِطُونَ بِهَا وَيَدَّهِنُونَ فِيهَا لَا يَرَوْنَ بِهِ بَأْسًا
“Saya telah mendapati sekelompok dari para ulama salaf mereka bersisir dengannya dan mengambil minyak darinya, mereka menganggap (hal tersebut) tidak apa-apa.” (Lihat, Shahih al-Bukhari, I:193, Kitabul Wudhu, Babu Ma Yaqa-u Minan Najasat fis Saman wal Ma-i)
Yang dimaksud dengan ulama salaf oleh az-Zuhri tentu saja para shahabat karena az-Zuhri adalah seorang Tabi’i (generasi yang sezaman dengan shahabat).
e. Imam Abu Hanifah (w. 150 H/767 M) :
قَالَ نُوْحٌ الْجَامِعُ قُلْتُ لأَبِي حَنِيْفَةَ رَحِمَهُ اللهُ مَا تَقُوْلُ فِيْمَا أَحْدَثَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمٍ فِي الأَعْرَاضِ وَالأَجْسَامِ فَقَالَ مَقَالاَتُ الْفَلاَسِفَةِ عَلَيْكَ بِالأَثَرِ وَطَرِيْقَةِ السَّلَفِ
Nuh al-Jami’ berkata, “Aku bertanya kepada Abu Hanifah, ‘Apa pendapat anda tentang perkara yang diada-adakan oleh orang-orang, yaitu perbincangan dalam hal a’radh (jiwa) dan jisim (jasad)?’ Abu Hanifah menjawab, ‘Itu adalah perkataan-perkataan filsafat, hendaklah kamu berpegang pada atsar dan metode salaf’.” ( Lihat, Dzam at-Ta’wil, I:32-33; Ahadits fi Dzamil Kalam, V:205-206)
f. Imam Ibnul Mubarak (w. 181 H/797 M) berkata:
دَعُوا حَدِيثَ عَمْرِو بْنِ ثَابِتٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَسُبُّ السَّلَفَ
“Tinggalkanlah hadis ‘Amr bin Tsabit karena ia mencerca as-salaf.” (Lihat, Shahih Muslim, I:16, Kitab Muqaddimah)
g. Imam al-Bukhari (w. 256 H/869 M) telah membuat judul dalam kitab Shahihnya:
بَاب مَا كَانَ السَّلَفُ يَدَّخِرُونَ فِي بُيُوتِهِمْ وَأَسْفَارِهِمْ مِنْ الطَّعَامِ وَاللَّحْمِ وَغَيْرِهِ
“Bab bagaimana para ‘ulama salaf berhemat di rumah-rumah mereka dan di dalam perjalanan mereka dalam makanan, daging, dan lainnya.” (Lihat, Shahih al-Bukhari, V:2068, Kitabul Ath’imah)
Yang dimaksud dengan kata salaf oleh Abu Hanifah, Ibnul Mubarak dan al-Bukhari tiada lain kecuali para shahabat dan tabi’in.
Sedangkan istilah as-Salafiyyah dan as-Salafiy mulai diperkenalkan penggunaannya pada abad ke-4 H/ke-10 M, oleh sebagian dari Hanabilah (pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal). Meskipun penggunaan istilah itu kemudian mengalami reduksi sedemikian rupa hingga istilah ini hanya diindentikan dengan madzhab Hanabilah.
Kesimpulan Historis Kronologis
Dari berbagai keterangan terdahulu dapat diambil suatu kesimpulan historis kronologis bahwa pada awalnya Ahlul Haq dinamai Ahlus Sunnah. Penamaan ini sebagai manifestasi kesetiaan mereka mengikuti manhaj Alquran dan sunah dalam segala dimensinya, baik akidah, ibadah, maupun suluk (akhlak). Di samping itu sebagai antitesis atas gerakan inkar sunnah. Kemudian setelah munculnya Ahlul Ahwa` wal Bida’, pada nama itu disematkan pula al-Jama’ah (Ahlus Sunnah wal Jama’ah).
Mereka dinamai pula Ahlul Hadis, Ashabul Hadis, atau Ahlul Atsar. Penamaan itu sebagai antitesis atas Ahlul Kalam yang menganggap bahwa akal harus didahulukan atas hadis Rasul dalam bidang akidah. Sedangkan penamaan as-Salaf as-Shalih untuk menunjuk suatu komunitas ideal pada sebuah masa terbaik yang pernah ada di muka bumi ini.
Berbagai nama itu telah dipergunakan sejak masa sahabat hingga puncak masa keemasan Islam (al-‘Ashr adz-Dzahabiy) pada abad ke-3 H/ke-9 M. Sedangkan istilah as-Salafiyyah dan as-Salafiy mulai diperkenalkan pada abad ke-4 H/ke-10 M, oleh sebagian dari Hanabilah (pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal).
Popularitas berbagai nama itu tidak sama tergantung trend atau seiring dengan perkembangan tantangan yang dihadapi dalam sejarah perjalanannya. Misalnya nama Ahlus Sunnah wal Jam’aah menemukan momentum popularitasnya justru pada masa Khalifah al-Mutawakkil dari dinasti Abasiyyah (233-247 H/847-861 M), ketika terjadi pergulatan pemikiran yang tajam antara firqah-fiqah kalamiyah mengenai masalah-masalah ushuludin, khususnya Alquran makhluk, dan amalan bid’ah mendominasi masyarakat Islam. Waktu itu Ahlus Sunnah wal Jam’aah populer di tangan Imam Ahmad, Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi. Meskipun sempat mengalami reduksi dan transmisi dari istilah umum untuk semua kaum muslimin yang mengikuti tuntunan Nabi saw. dan para Sahabat menjadi istilah khas; hanya dibatasi untuk madzhab tertentu dalam akidah, fikih dan siyâsah. Klaim seperti ini bisa terjadi, karena masing-masing membangun klaim dengan pijakan dan paradigma yang berbeda. Satu pihak menganggap Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai madzhab tertentu sehingga siapa saja yang tidak mengikuti madzhab tersebut dianggap bukan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Pihak lain menganggap Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukan sebagai madzhab tertentu, tetapi sebagai tuntunan Nabi saw. yang harus diikuti, sehingga siapa saja yang menyimpang dari tuntunan tersebut disebut Ahlul Bid‘ah, bukan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dengan kata lain, Ahlus Sunnah wal Jama’ah menurut Ahlul Hadis adalah istilah umum, bukan khusus untuk madzhab tertentu. Sebaliknya, menurut Ahlul Kalam, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah istilah khas, yang merujuk pada madzhab tertentu.
Dalam teori usul fikih, istilah tersebut dapat dikategorikan sebagai haqîqah ‘urfiyyah (makna hakiki menurut konvensi). Ada yang khâshash, atau konvensi tertentu, seperti konvensi Ahli Kalam, sehingga istilah tersebut disebut haqîqah ‘urfiyyah khâshah ‘inda al-mutakallimîn. Namun, ada juga yang bersifat ‘âmmah, atau konvensi umum, sehingga bisa disebut haqîqah ‘urfiyyah ‘âmmah. Berdasarkan teori ini dapat disimpulkan, bahwa Ahlul Kalam menggunakan istilah tersebut dalam konteks haqîqah ‘urfiyyah khâshah, sementara Ahlul Hadis menggunakannya dalam konteks haqîqah ‘urfiyyah ‘âmmah.
Setelah mengalami kemajuan yang sangat pesat, bahkan mampu mendominasi alam pikiran dunia Islam. Popularitas nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mulai menurun ketika mengalami pencemaran dalam masalah aqidah akibat ulah sebagian asy’ariyyah dan maturidiyah (penganut kedua madzhab tersebut) dalam mengajarkan akidah yang diselubungi khurafat dan faham kesufian. Di samping itu, pada masa ini terjadi kemunduran dan degenerasi umat Islam. Dikatakan masa kemunduran karena umat Islam sangat mundur dalam berbagai bidang, baik keagamaan, politik, sosial, ekonomi, maupun moral. Sementara itu, masyarakat muslim banyak menjadi penyembah kuburan nabi, ulama, tokoh-tokoh tarekat, dan sufi untuk mengharapkan berkat anbia (para nabi) dan aulia (para wali). Mereka sudah meninggalkan Alquran dan sunnah Rasul, melakukan perbuatan syirik dan bid’ah di samping percaya pada khurafat dan takhayul.
Dalam situasi seperti itulah muncul ulama yang ingin membangun alam fikiran kaum muslimin dengan menyadarkan mereka agar kembali pada Alquran dan sunnah sebagaimana yang telah ditempuh Ahlus Sunnah wal jama’ah. Gerakan ini dicetuskan pada abad ke-8. H/ke-14 M oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim. Beliau menganjurkan umat Islam agar mengikuti dan menerapkan ajaran salaf dalam kehidupan agamanya karena pola hidup ajaran salaf adalah pola hidup yang sudah terbentuk oleh Alquran dan sunnah Rasulullah saw.
Sifat gerakan ini tampak sekali dalam berbagai bidang kehidupan, baik berkaitan dengan akidah, ibadah, maupun mu’amalah. Ajaran yang paling menonjol dalam gerakan ini adalah: pintu ijtihad tetap terbuka sepanjang masa; taklid buta tanpa mengetahui sumbernya diharamkan; diperlukan kehati-hatian dalam berijtihad dan berfatwa; perdebatan teologis (kalamiah) seperti muktazilah, jahmiyyah, dan lainnya dihindarkan.
Dalam membangun gerakan ini beliau bukan saja berupaya menghidupkan kembali ajaran salaf, tapi juga lebih mempopulerkan nama as-Salafus Shaleh dan Thariqah Salafiyyah. Demikian besarnya penekanan dan perhatian beliau pada ajaran Salaf, sehingga tidak mengherankan jika dalam tulisan-tulisannya kita menemukan istilah itu diungkap ratusan kali. Misalnya kata salafiyyah dalam kitab Majmu’ al-Fatawa disebut sebanyak 12 kali; al-Fatawa al-Kubra 2 kali; Darut Ta’arudh Bainal ‘Aqli wan Naqli 8 kali; Iqtidha Shirathil Mustaqim 1 kali; Daqaiqiut Tafsir 2 kali; As-Shadafiyah 1 kali; Bayan Talbisil Jahmiyyah 1 kali. Sedangkan kata as-Salaf as-Shalih disebut sebanyak 31 kali yang tersebar di berbagai karya tersebut. Ungkapan yang melimpah seperti ini tidak kami temukan pada karya-karya ulama yang hidup sebelum Ibnu Taimiyyah. Karena itu tidak berlebihan kiranya bila diambil kesimpulan bahwa di tangan Ibnu Taimiyyah-lah istilah as-Salaf as-Shaleh dan Salafiyyah menemukan momentum popularitasnya.
Pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah menjadi embrio dari gerakan salafiyyah di zaman modern lewat tangan pembaharu salafiyyah di Jazirah Arab Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1201 H/1787 M), yang muncul pada abad ke-12 H/ke-17 M, sekitar 3 abad setelah wafatnya Ibnu Taimiyah.
Pemikiran yang dicetuskan oleh Ibnu Abdul Wahhab untuk memperbaiki kedudukan umat Islam timbul sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam waktu itu. Gerakan Ibn Abdul Wahhab didorong oleh keinginan untuk memurnikan ajaran Islam, khususnya di bidang tauhid, yang merupakan pokok ajaran Islam. Ia tidak berhasrat untuk mengubah ajaran Islam atau mengadakan penafsiran baru tentang wahyu, melainkan membawa misi pemberantasan unsur-unsur luar (bid’ah dan khurafat) yang masuk ke dalam ajaran Islam serta mengajak umat Islam untuk kembali kepada bentuk ajaran Islam yang murni. Yang di maksud dengan ajaran Islam yang murni itu ialah Islam yang dianut dan di praktikkan pada zaman Nabi Muhammad saw, para sahabat serta tabiin (sampai abad ke-3 H). Sejalan dengan misi yang di bawanya, pemikiran Ibnu Abdul Wahhab hampir seluruhnya bertemakan pemurnian tauhid.
Semangat Salaf, kembali pada Alquran dan sunnah serta berijtihad dilanjutkan oleh para imam salafiyyah modern, antara lain Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Syekh Muhamad Abduh (1849-1905), Syekh Muhamad Rasyid Ridha (1865-1935), pendiri majalah al-Manar, penulis Tafsir al-Manar. Ia banyak terwarnai gurunya Syekh Muhamad Abduh, yang membuatnya tidak terlalu banyak dilirik oleh kaum Salafiyun modern. Gerakan ini akhirnya menembus semua negara Islam dan negara yang berpenduduk muslim, seperti Indonesia yang waktu itu sedang berada di bawah cengkraman kaum kolonial. Gerakan ini seterusnya menyebar ke hampir seluruh pelosok tanah air sehingga menggetarkan kaum penjajah, melalui para tokoh panutan umat, antara lain K.H Ahmad Dahlan dengan organisasi Muhammadiyah-nya, Syekh Ahmad Syorkati, dengan organisasi al-Irsyad-nya, dan A.Hasan dengan organisasi Persis-nya.
Kesimpulan Ahlul Haq
Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Ahlul Haq merupakan identitas bagi mereka yang mengikuti akidah Islam yang benar, komitmen dengan manhaj Rasulullah saw bersama para sahabat Nabi, para tabi’in, dan semua generasi yang mengikuti petunjuk dan kehidupan mereka hingga hari kiamat.
Para imam mereka tidak mempunyai tokoh panutan yang mereka ikuti selain Rasulullah saw. Mereka adalah manusia yang paling tahu terhadap berbagai macam ucapan dan keadaan beliau, dan yang paling jeli dalam membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak shahih. Imam-imam mereka adalah orang yang paling faqih (faham) tentangnya dan yang paling mengerti dengan makna-maknanya. Dan mereka juga merupakan manusia yang paling setia dalam mengikutinya. Mereka mencintai orang yang mencintainya, dan memusuhi orang yang memusuhinya. Mereka tidak menisbatkan (diri) kepada suatu pendapat yang bersumber dari akal pikiran dan perasaan, dan tidak menjadikannya sebagai kaidah dalam agama mereka, apabila pendapat tersebut tidak terdapat di dalam risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Bahkan mereka menjadikan risalah Rasulullah saw. sebagai asas yang mereka yakini kebenarannya.
Mereka akan tetap eksis dan senantiasa mendapatkan pertolongan dari Allah hingga hari Kiamat. Mereka dinamai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, al-Firqatun Najiyah, Thaifah Manshurah, Ahlul Hadis was Sunnah, Ashabul Hadis, Ahlul Atsar, as-Salaf as- Shalih, Salafiyyah, dan Salafiy.
Oleh: Amin Muchtar