Rajab (رجب), diambil dari kata tarjiib (ترجيب), secara bahasa bermakna mengagungkan (تعظيم). Diungkapkan dalam kalimat Rajabtu as-sya’ia (رجبت الشيئ), bermakna aku mengagungkannya. Kata Raajib (راجب) artinya orang yang mengagungkan tuannya. Menurut al-Laits, dari situ kemudian bulan ini disebut Rajab.
Sementara para pakar bahasa lainnya, semisal Abu Ubaidah dan al-Asma’iy berpendapat bahwa Rajab berasal dari kata Rujbah (رجبة), bukan dari tarjiib. Rujbah adalah kayu bercabang dua sebagai penopang pohon kurma. Fungsi ini mirip dengan rujmah (رجمة) hanya saja rujmah berbentuk bangunan batu. Teknologi ini digunakan Arab jahiliyah dalam rangka pemuliaan pohon kurma ketika berbuah lebat. (Lihat, Tahdzib al-Lughah, 11:39)
Orang Arab jahiliah mengagungkan bulan ke-7 kalender qamariyah ini dengan beragam ritual, di samping penyembelihan hewan. Selain itu, memberi banyak nama untuk menunjuk keagungannya. Sekitar 20 nama disematkan padanya, antara lain: Ashab (الأصب), karena mereka meyakini bahwa rahmat tercurah pada bulan itu; Asham (لأصم) karena mereka tidak mendengar bunyi senjata tajam pada bulan itu; Rajam (رَجم) karena mereka meyakini bahwa setan dirajam pada bulan itu; ‘Atirah (العتيرة) karena mereka menyembelih hewan pada bulan itu; Munashilul Asinnah (مُنصِّلُ الأسنة) karena mereka mencabut besi dari senjata (mata tombak) pada bulan itu; Mu’allaa (المعلى) Karena bulan itu ditinggikan menurut mereka. Selanjutnya, Munafas (مُنَفس), Muthahhar (مُطهر), Haram (هَرَم), Mubri’ (المبرئ), Muqasyqasy (المقشقش), Hurum (الحُرم). Sehubungan dengan ritual dan penamaannya, Abu Rajaa al-‘Utharidi berkata:
كُنَّا نَعْبُدُ الْحَجَرَ فَإِذَا وَجَدْنَا حَجَرًا هُوَ أَخْيَرُ مِنْهُ أَلْقَيْنَاهُ وَأَخَذْنَا الْآخَرَ فَإِذَا لَمْ نَجِدْ حَجَرًا جَمَعْنَا جُثْوَةً مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ جِئْنَا بِالشَّاةِ فَحَلَبْنَاهُ عَلَيْهِ ثُمَّ طُفْنَا بِهِ فَإِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَجَبٍ قُلْنَا مُنَصِّلُ الْأَسِنَّةِ فَلَا نَدَعُ رُمْحًا فِيهِ حَدِيدَةٌ وَلَا سَهْمًا فِيهِ حَدِيدَةٌ إِلَّا نَزَعْنَاهُ وَأَلْقَيْنَاهُ شَهْرَ رَجَبٍ
“Dulu pada masa jahiliyyah kami menyembah batu. Maka bila kami menemukan batu yang lebih baik, maka kami lempar batu lama dan mengambil batu baru, apabila kami tidak menemukan batu maka kami kumpulkan tumpukan tanah, lalu kami membawa seorang kambing kemudian kami memeras air susunya untuk batu itu, lalu kami thawaf di situ. Apabila masuk bulan Rajab, kami menyebut: ‘Munashshlilul Asinnah, maka kami tidak biarkan tombak berbesi padanya, tidak pula panah berbesi kecuali kami cabut dan kami lempar pada bulan Rajab.” HR. Al-Bukhari.[1]
Menurut Ibnu al-Atsir, “Pada masa jahiliyyah, mereka menamai bulan Rajab dengan Munashshlilul Asinnah, artinya mencabut mata tombak dan panah untuk membatalkan peperangan dan memutus sebab-sebab huru-hara. Karena Rajab menjadi penyebab terhentinya peperangan, maka sebutan itu dinisbatkan kepada Rajab.”[2]
Meluruskan Pengagungan Ala Jahiliyyah
Rajab, di samping Dzulqa`dah, Dzulhijjah, dan Muharram termasuk empat bulan yang dihormati oleh hampir seluruh masyarakat Arab jahiliyah. Pakar tafsir, Abu Jafar Muhammad bin Jarir At-Thabari (224-310 H), atau yang lebih popular dengan sebutan Imam At-Thabari, di dalam kitab tafsirnya Jâmi’ Al-Bayân ‘an Ta`wîl âyi Al-Qurân, popular dengan sebutan Tafsîr at-Thabarî, sebagai kitab tafsir klasik yang banyak dirujuk oleh para mufassir berikutnya, menyebutkan bahwa empat bulan itu disebut haram, karena diagungkan dan dihormati oleh orang-orang jahiliyyah dan mereka mengharamkan peperangan atau pembunuhan pada bulan-bulan itu. Sedemikian besar pengagungan mereka sampai walau seseorang menemukan pembunuh ayahnya pada salah satu dari empat bulan, ia tidak akan mencederainya. [3]
Tiga bulan di antara keempat bulan haram itu mereka sepakati, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Adapun yang keempat, yakni Rajab, ini dianut keharamannya oleh mayoritas suku-suku masyarakat Arab, terutama suku Mudhar. Sementara suku Rabi’ah menganggap bulan haram yang keempat adalah Ramadhan, dan mengubah bulan Rajab dari posisi yang seharusnya, menjadi di antara Sya’ban dan Syawwal, sehingga dikenal dengan sebutan Rajab Rabi’ah. Sementara suku Mudhar tidak mengubah posisi bulan Rajab di antara Jumadis Tsaniah dan Sya’ban, tetap di urutan ke-7, sehingga dikenal dengan sebutan Rajab Mudhar. Karena itu, pada masa Jahiliyyah bulan Rajab pernah dikenal dengan dua versi: Rajab Mudhar dan Rajab Rabi’ah.
Praktek mengulur, menambah atau mengubah posisi bulan, yang disebut dengan Annasiy, telah menggeser bulan-bulan terhormat yang telah disepakati bersama itu dari posisi yang seharusnya. Sesudah Dzulhijjah ada bulan ketiga belas sehingga menggeser bulan Muharram.
Penambahan bulan itu untuk menyesuaikan dengan musim, tetapi dilakukan sepihak sehingga mengacaukan kesepakatan yang telah ada. Dalam prakteknya, annasiy bisa dilakukan dengan menambah satu bulan tambahan setiap tiga tahun untuk menggenapkan selisih tahunan yang berjumlah 11 hari.
Setelah datang masa Islam, praktek Annasiy yang hanya menambah kekafiran dan pengingkaran kepada Allah ala jahiliyyah itu dikecam dengan turunnya surat At-Taubah: 36-37:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (terhormat). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” QS. At-Taubah:36
Syekh Ahmad Mushthafa al-Maraghi, di dalam kitab tafsirnya Tafsîr Al-Maraghî, menyebutkan bahwa kata hurum merupakan bentuk jamak dari kata haram. Berasal dari kata hurmah, yang bermakna mengagungkan (ta’zhiim). Keempat bulan itu telah ditetapkan kehormatannya oleh Allah dan Allah mengharamkan peperangan atau pembunuhan pada bulan-bulan itu melalui lisan Ibrahim dan Ismail. Selanjutnya, dari mereka berdua, keagungan keempat bulan itu terus dipelihara secara turun temurun oleh seluruh masyarakat Arab sebelum Islam, baik secara lisan maupun perbuatan, meskipun terkadang ada di antara sebagian kabilah Arab yang melanggarnya karena mengikuti hawa nafsu. [4]
Pada ayat selanjutnya, Allah Swt. berfirman:
إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” QS. At-Taubah:37
Rasulullah saw. menegaskan kembali keempat bulan haram sesuai dengan ketetapan Allah Swt. dalam ayat di atas. Beliau bersabda:
إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya semula pada hari diciptakankan-Nya langit dan bumi. Satu tahun adalah 12 bulan, di antaranya terdapat 4 bulan haram; yaitu 3 bulan berurutan: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram serta Rajab Mudhar yang terletak antara 2 Jumadi (Jumadil Ula-Jumadis Tsaniah) dan Sya’ban.” HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad. [5]
Nabi saw. menyandarkan (idhaafat) kata Rajab kepada Mudhar guna mengukuhkan kebenaran sikap suku Mudhar yang tidak mengubah posisi bulan Rajab di antara Jumadis Tsaniah dan Sya’ban. Pada saat yang sama, penyandaran ini mengisyaratkan kekeliruan suku Rabi’ah yang mengubah bulan itu dari posisi yang seharusnya.[6]
Penghormatan Islam terhadap keempat bulan tersebut tentu saja menunjukkan adanya sesuatu yang istimewa di situ. Menurut Dr. Muhammad Mahmud Hijaziy, pengharaman perang atau pembunuhan pada bulan-bulan itu dalam rangka memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi orang-orang yang hendak menjalankan ibadah haji ke Baitullah, karena tidak diragukan lagi bahwa perjalanan haji galibnya dimulai dari bulan Dzulqa’dah hingga berakhir di bulan Muharram. [7]
Sementara dalam pandangan Syekh Muhammad Ali as-Sayis, keempat bulan itu dinyatakan terhormat karena pada bulan-bulan itu terdapat pengharaman bagi sebagian perkara yang dibolehkan pada bulan-bulan lainnya. Atau dapat dimaknai pula bahwa keempat bulan itu memiliki keagungan yang membedakannya dari bulan-bulan lain, sehingga sanksi kemaksiatan pada bulan-bulan itu lebih berat daripada bulan lain. Demikian pula ketaatan yang dilakukan pada bulan-bulan itu lebih besar pahalanya dibanding pada bulan lain. [8]
Khusus terkait dengan pengharaman bulan Rajab di pertengahan tahun tiada lain karena pelaksanaan ziarah ke Baitullah dan ibadah umrah padanya, bagi orang yang datang kepadanya dari daerah yang jauh dari Jazirah Arabia. Maka mereka dapat menunaikan ibadah umrahnya, lalu kembali ke negerinya masing-masing dalam keadaan aman. Demikian Ibnu Katsir menyatakan. [9]
Penjelasan senada disampaikan pula oleh Dr. Muhammad Mahmud Hijaziy, “Rajab yang berposisi di pertengahan tahun merupakan bulan gencatan senjata untuk rehat dan memberi kemudahan bagi orang yang hendak melaksanakan umrah.”[10]
Ritual Baru Abad Selanjutnya
Setelah kehidupan kaum muslim melewati fase periode Nabi dan para shahabatnya, pada sebagian kaum muslim timbul sikap pengagungan bulan Rajab yang tidak ditunjuki Allah dalam Al-Quran, juga tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabatnya. Pengagungan itu terwujud dalam bentuk keyakinan akan keutamaanya serta beragam ritual seperti shaum, salat, dan peringatan Isra-Mikraj. Keyakinan dan Ritual ini tampaknya tidak terlepas dari pengaruh hadis-hadis lemah bahkan palsu, antara lain sebagai berikut:
A. Penilaian Bahwa ’Rajab itu bulan Allah
رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانَ شَهْرِي وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِي
“Rajab itu bulan Allah, Sya’ban bulanku, dan Ramadan bulan umatku.”
Menurut Imam as-Suyuthi, hadis ini diriwayatkan oleh Abu al-Fath Ibnu Abu al-Firdaus dalam kitab Amali-nya, dari al-Hasan al-Bishri secara mursal (tanpa disebutkan nama shahabat dan Nabi).[11]
Menurut Syekh Muhammad bin Darwisy al-Hutt, hadis ini lemah (dha’if), dan tidak ada satupun hadis shahih tentang keutamaan bulan Rajab, sebagaimana dinyatakan Ibnu Rajab dan lainnya.[12]
Menurut Syekh Al-Albani, hadis ini lemah (dha’if), diriwayatkan oleh al-Ashbahani dalam kitabnya at-Targhib (1/226).[13]
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, hadis ini diriwayatkan oleh Abu Bakar an-Naqasy, melalui jalur periwayatan Ahmad bin al-Abbas ath-Thabari, dari al-Kasa’I, dari Abu Muawiyah, dari al-A’masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abu Sa’id al-Khudri, dari Nabi saw. Sanad ini merupakan pangkal atau sumber asal. Alqamah tidak diketahui pernah menerima hadis (sima’) dari Abu Sa’id, sedangkan Al-Kasai tidak diketahui siapa dia sebenarnya? Jadi kelemahan penyandaran ini terdapat pada an-Naqasy. [14]
B. Berdoa dengan rangkaian bulan Sya’ban dan Ramadhan
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ وَكَانَ يَقُولُ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ غَرَّاءُ وَيَوْمُهَا أَزْهَرُ
Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Nabi saw. apabila masuk bulan Rajab, beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan berkahilah kami pada bulan Ramadhan.’ Dan beliau berkata, ‘Malam Jumat itu indah dan siang harinya bercahaya’.” HR. Abdullah bin Ahmad.[15]
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Apabila masuk bulan Rajab, beliau berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan’.” [16]
Hadis yang berkaitan dengan doa khusus bulan Rajab, kedudukannya dhaif dan tidak dapat dijadikan hujjah untuk pengamalan. Penjelasan selengkapnya dapat dibaca pada lampiran.
C. Shaum Bulan Rajab.
Shaum Rajab dipengaruhi oleh beberapa hadis yang tidak benar bersumber dari Nabi saw., antara lain sebagai berikut:
عَنْ سَعِيدٍ أَبِي عَبْدِ العَزِيزِ قَالَ عُثْمَانُ وَكَانَتْ ِلأَبِيهِ صُحْبَةٌ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَجَبٌ شَهْرُ عَطِيْمٌ يُضَاعِفُ اللهُ فِيْهِ الْحُسْنَاتِ. فَقَالَ : مَنْ صَامَ يَوْمًا مِنْ رَجَبٍ فَكَأَنَّمَا صَامَ سَنَةً وَمَنْ صَامَ مِنْهُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ غُلِقَتْ مِنْهُ اَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَمَنْ صَامَ مِنْهُ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ فُتِحَتْ لَهُ ثَمَانِيَةُ اَبْواَبِ الْجَنَّةِ، وَمَنْ صَامَ مِنْهُ عَشْرَةً لَمْ يَسْأَلِ اللهَ شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ وَمَنْ صَامَ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَةً يَوْمًا نَادَى مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ قَدْ غُفِرَ لَكَ مَا مَضَى فَاسْتَعْنِفِ العَمَلَ . وَمَنْ زَادَ زَادَهُ اللهُ.- أخرجه الطبراني-
Dari Said Abu Abdul Aziz, Usman berkata, ‘dan ayahnya punya pershahabatan dengan Nabi’, ia berkata, ”Rasulullah saw. bersabda, ’Rajab itu bulan agung, padanya Allah melipatgandakan kebaikan-kebaikan.’ Lanjut beliau, ’Maka siapa yang shaum satu hari pada bulan Rajab, tak ubahnya telah shaum satu tahun. Siapa shaum tujuh hari, tertutup baginya pintu-pintu neraka. Siapa yang shaum delapan hari, dibuka untuknya delapan pintu surga. Siapa shaum sepuluh hari, maka ia setiap memohon apa pun kepada Allah pasti diberikan. Siapa shaum lima belas hari, maka akan menyeru seorang penyeru dari langit,’Sungguh telah diampuni segala apa yang sudah lalu. Maka sempurnalah amal itu dan siapa yang menambah (shaum Bulan rajab) itu, pastilah Allah akan menambahnya’.” HR. Ath-Thabrani.[17] Kata Syekh al-Albani, “Hadis ini palsu (maudhu’).” [18]
Dan pada hadis lain diterangkan:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : رَجَبٌ مِنْ شُهُورِ الحَرَاِم وَأَيَّامُهُ مَكْتُوبَةٌ عَلَى أَبْواَبِ السَّمَاءِ السَّادِسَةِ ، فَإِذَا صَامَ الرَّجُلُ مِنْهُ يَوْمًا وَجَدَّدَ صَوْمَهُ بِتَقْوَى اللهٍ نَطَقَ اْلبَابُ وَنَطَقَ اليَوْمُ وَقَالاَ : يَا رَبِّ اِغْفِرْ لَهُ، وَإِذَا لَمْ يُتِمَّ صَوْمَهُ بِتَقْوَى اللهِ لَمْ يَسْتَغْفِرْ لَهُ وَقِيْلَ : خَدَعَتْكَ نَفْسُكَ.-رواه الخلال-
Dari Abu Said, dari Nabi saw., beliau bersabda, “Rajab itu termasuk bulan-bulan haram, dan hari-harinya pun termaktub di pintu-pintu langit yang keenam. Maka apabila seseorang shaum dan membekali shaumnya dengan takwa kepada Allah, maka pintu dan hari itu akan berbicara, keduanya mengatakan, “Wahai Tuhanku, ampunilah ia”. Tetapi apabila shaumnya tidak dibekali dengan ketakwaan kepada Allah, maka Allah tidak akan mengampuninya. Dikatakan: ‘Nafsumu telah menipumu’.” HR. Al-Khalal.[19]
Ibnu Hajar al-Asqalani menisbatkan hadis ini kepada kitab Fadhl ash-Shiyam, karya Hafizh Abu Sa’id an-Naqasy, dan ia menilai hadis ini berpenyakit (dha’if) karena pada sanadnya terdapat rawi Ismail bin Yahya at-Taimiy, ia disebutkan pendusta. [20]
Bukti kepalsuan hadis ini bahwa kandungannya bertentangan dengan ketetapan Nabi saw. yang melarang shaum khusus semata-mata berkaitan dengan bulan Rajab.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، اَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ صِيَامِ رَجَبٍ
“Dari Ibnu Abas, bahwasannya Nabi saw. telah melarang shaum Rajab.” HR. Ibnu Majah.[21]
Komentar para ulama tentang keutamaan Bulan Rajab dan Shaum khusus Rajab
- Ibnu Shalah dan lain-lain mengatakan, “Tidak benar adanya (hadis shahih) tentang shaum Rajab, baik berupa larangan ataupun anjuran.
- Ibnu Rajab berkata, “Tidak shahih sedikit pun tentang keutamaan shaum Rajab secara khusus, baik dari Nabi saw. maupun dari para sahabatnya.”[22]
- Abdur Rauf al-Munawi mengatakan, “Di dalam kitab as-Shiratul Mustaqim dikatakan, ‘Bahkan hadis-hadis yang dinyatakan datang dari Nabi saw. tentang (shaum rajab) adalah dusta belaka’.”[23]
- Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadis-hadis tentang keutamaan bulan Rajab dikategorikan sebagai hadis batil. Tidak mengapa diungkapkan dengan penjelasan kebatilannya agar umat Islam tidak tertipu dengannya. [24]
D. Ritual Lain pada Bulan Rajab
- Membacakan kisah mi’raj Nabi saw.
- Pesta atau perayaan mi’raj Nabi saw. pada malam ke-27
- Pengkhususan doa-doa dan zikir-zikir serta berbagai ibadah
- Perayaan pergi dan kembalinya Nabi pada malam Isra’ dengan keyakinan bahwa malam itu Nabi saw. tidak meninggalkan kasurnya. Ini merupakan hal yang tidak benar, bahkan berasal dari kedustaaan orang-orang. [25]
Sehubungan dengan itu, mari kita agungkan apa yang diagungkan oleh Allah dan Rasul-Nya, karena pengagungan yang sesungguhnya tiada lain dengan mengikuti cara pengagungan Allah dan Rasul-Nya.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
Lampiran: Analisa Kedudukan Hadis Doa Bulan Rajab
Hadis tentang berdoa khusus bulan Rajab, meski diriwayatkan oleh banyak mukharrij (pencatat dan periwayat hadis), namun jalur periwayatan hadis itu sejatinya tunggal, karena semuanya bertumpu pada seorang rawi bernama Za’idah bin Abu ar-Ruqad. Ia menerima dari rawi Ziyad bin Abdullah an-Numairi. Dengan demikian, hadis di atas dikategorikan sebagai hadis gharib mutlaq (benar-benar tunggal).
Menurut penelitian para ahli hadis, hadis di atas dhaif karena dua sebab:
Pertama, rawi Za’idah bin Abu ar-Ruqad
Rawi tersebut telah di-jarh (dikritik) oleh para ahli hadis, antara lain:
Imam al-Bukhari berkata, “Dia munkar al-Hadits.” [26] Imam al-Bukhari berkata:
كُلُّ مَنْ قُلْتُ فِيْهِ مُنْكَرُ الْحَدِيْثِ لاَ تَحِلُّ الرِّوَايَةُ عَنْهُ
“Setiap orang yang aku katakan padanya, ‘munkar al-Hadits’ tidak halal meriwayatkan hadis darinya.” [27]
Abu Dawud berkata, “Saya tidak mengenal khabarnya.” [28] An-Nasai berkata, “Saya tidak tahu siapa dia.” [29] Adz-Dzahabi berkata, “Dia dha’if.” [30]
Kedua, rawi Ziyad bin Abdullah an-Numairi
Rawi tersebut telah di-jarh (dikritik) oleh para ahli hadis, antara lain: Ibnu Ma’in berkata, “Pada hadisnya terdapat kedhaifan.” [31] Abu Hatim berkata, “Hadisnya dicatat dan tidak dapat digunakan hujjah.” [32]
Abu Ubaid al-Ajiri berkata, “Saya bertanya kepada Abu Dawud tentangnya (Ziyad), maka ia mendhaifkannya.” Ibnu Hiban berkata, “Dia keliru.” [33]
Kata Ibnu Hajar, “Ibnu Hiban menyebutkannya pula dalam kitab ad-Dhu’afa, dan ia berkata, “Dia (Ziyad) munkar al-Hadits, meriwayatkan dari Anas sesuatu yang tidak menyerupai hadis para rawi tsiqat. Dia ditinggalkan oleh Ibnu Ma’in.” [34]
Penilaian Para ulama Terhadap Hadis di atas:
Al-Baihaqi berkata:
تفرد به زياد النميري وعنه زائدة بن أبي الرقاد قال البخاري : زائدة بن أبي الرقاد عن زياد النميري منكر الحديث
“Ziyad an-Numairi menyendiri dengan hadis itu, dan darinya diterima oleh Za’idah bin Abu ar-Ruqad. Al-Bukhari berkata, ‘Za’idah bin Abu ar-Ruqad dari Ziyad an-Numairi, munkar al-Hadits’.” [35]
An-Nawawi berkata:
وروينا في حلية الأولياء بإسناد فيه ضعف
“Dan kami meriwayatkan dalam kitab Hilyah al-Awliya dengan sanad yang padanya terdapat kedaifan.” [36]
Al-Haitasmi berkata:
رواه البزار وفيه زائدة بن أبي الرقاد قال البخاري منكر الحديث وجهله جماعة
“Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan padanya terdapat rawi Za’idah bin Abu ar-Ruqad. Al-Bukhari berkata, ‘Dia munkar al-Hadits’ dan dinilai majhul (tidak dikenal) oleh sekelompok ulama.” [37]
Al-Munawi berkata:
وقال البخاري : زائدة عن زياد منكر الحديث وجهله جماعة وجزم الذهبي في الضعفاء بأنه منكر الحديث
“Al-Bukhari berkata, ‘Dia munkar al-Hadits’ dan dinilai majhul (tidak dikenal) oleh sekelompok ulama. Dan Adz-Dzahabi telah menetapkan dalam kitabnya adh-Dhu’afa bahwa dia munkar al-Hadits.” [38]
Ahmad Syakir berkata, “Isnaduhu dha’iefun (sanadnya dhaif).” [39] Syekh Syu’aib al-Arnauth berkata, “Isnaduhu dha’iefun (sanadnya dhaif).” [40]
Kesimpulan
Hadis yang berkaitan dengan doa menyambut Rajab yang dirangkaikan dengan bulan Rajab dan Ramadhan kedudukannya dhaif dan tidak dapat dijadikan hujjah untuk pengamalan.
[1]Lihat, Shahih al-Bukhari, IV:1591, No. 4117
[2]Lihat, Jaami’ al-Ushul fii Ahaadits ar-Rasuul, XI:783
[3]Lihat, Tafsîr at-Thabarî, Juz 11, hlm. 440.
[4]Lihat, Tafsîr Al-Maraghî, Juz 10, hlm. 114.
[5]Lihat, Shahih Al-Bukhari, Juz 4, hlm. 1712, No. Hadis 4385; Shahih Muslim, Juz 3, hlm. 1305, No. 1679; Musnad Ahmad, Juz 5, hlm. 37, No. 20.402.
[6]Lihat, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 18, hlm. 266; Masyariq al-Anwar ‘ala Shihah al-Atsar, Juz 1, hlm. 553.
[7]Lihat, at-Tafsîr Al-Waadhih, Juz 1, hlm. 881.
[8]Lihat, Tafsir Aayaat al-Ahkaam, hlm. 452-453.
[9]Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, IV: 148.
[10]Lihat, at-Tafsîr Al-Waadhih, Juz 1, hlm. 881.
[11] Lihat, Al-Fath al-Kabir fii Dhamm az-Ziyadah ilaa al-Jaami’ ash-Shagiir, II:125
[12] Lihat, Asnaa al-Mathaalib fii Ahaadits Mukhtalafah al-Maraatib, hlm. 151
[13] Lihat, Silsilah al-Ahaadits adh-Dha’iefah wa al-Mawdhuu’aat, IX:390
[14]Lihat, Tabyiin al-‘Ajab bimaa warad fii Fadhl Rajab, hlm. 14
[15] Lihat, Musnad Ahmad, IV:180, No. hadis 2346.
[16] HR. Al-Bazzar, Musnad Al-Bazzar, II:290, No. 6494, Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath, IV:189, No. 3939, Ad-Du’a:284, No. 911, Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, III:375, No. 3815, Ad-Da’wat al-Kabir, II:142, No. 529, Ibnu Asakir, Mu’jam asy-Syuyukh:161, No. 309, Al-Mundziri, At-Targhib wa at-Tarhib, II:393, No. 1852, Abdul Ghani al-Maqdisi, Akhbar ash-Shalah:69, No. 127, Al-Khalal, Fi Fadha’il Syahr Rajab:45, No. 1, Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliya, VI:269
[17]Lihat, al-Mu’jam al-Kabir, VI : 83
[18]Lihat, Silsilah al-Ahadits adh-Dha’iefah wa al-Maudhu’ah, 11: 438
[19]Lihat, Faidh al-Qadir, IV: 210; As-Sunan wal Mubtada’at, hlm. 142
[20]Lihat, Tabyiin al-‘Ajab bimaa warad fii Fadhl Rajab, hlm. 20
[21]Lihat, Sunan Ibnu Majah, II : 346.
[22] Lihat, Faidh al-Qadir, IV: 210
[23] Ibid., IV : 18
[24]Lihat, Tabyiin al-‘Ajab bimaa warad fii Fadhl Rajab, hlm. 14
[25] Lihat, As-Sunan wal Mubtada’at, hlm. 143
[26] Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:272.
[27] Lihat, Ar-Raf’ wa at-Takmil fi al-Jarh wa at-Ta’dil: 208.
[28] Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:272.
[29] Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:272.
[30] Lihat, Mizan al-I’tidal, II:65.
[31] Lihat, Tahdzib al-Kamal, IX:493.
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, III:378.
[35] Lihat, Syu’ab al-Iman, III:375
[36] Lihat, Al-Adzkar:274
[37] Lihat, Majma’ az-Zawa’id, II:165
[38] Lihat, Faidh al-Qadier, I:325
[39] Lihat, Ta’aliq ‘Ala al-Musnad, IV:100
[40] Lihat, Ta’aliq ‘Ala al-Musnad, IV:180
Ustadz izin share
Ustadz izin share
Jazakumullah khoir ustadz atas ilmunya semoga menjadi berkah dan bermanfaat bagi org banyak