Preloader logo

Pemilu dan Kepemimpinan Indonesia dalam Perspektif Politik Islam.

Pengantar

Pemilihan pemimpin-pemimpin nasional melalui penyelenggaraan pemilihan umum (PEMILU) telah dipraktekan di Indonesia sejak tahun 1955 dan diikuti oleh mayoritas penduduk, tetapi kontroversi tentang hukumnya masih tetap menjadi polemik di kalangan sebagian gerakan Islam. Paper ringkas ini tidak berkompeten untuk membedah perbedaan pandangan maupun argumen dari masing-masing yang pro ataupun kontra, melainkan mencoba mencari keselarasan antara sistem pemilu yang dianut di Indonesia dengan prinsip-prinsip kepemimpinan politik dalam perspektif Islam.

Pemilu di Indonesia.

Mengapa Indonesia menempuh sistem pemilu sebagai mekanisme menegakan kepemimpinan politiknya? Paling tidak ada dua alasan dasar. Pertama, karena tuntutan dari falsafah negara yang menempatkan kerakyatan sebagai salah satu fondasi sistem politik tata negara kita yang menyatakan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Kedua, karena tuntutan Konstitusi dimana Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Jadi secara filosofis dan yuridis-konstitusional kekuasaan tertinggi negara Indonesia pada hakikatnya berada pada rakyat. Implementasi kekuasaan rakyat itu tidak mungkin dilaksanakan secara langsung dengan semua rakyat berkuasa, melainkan diwakili oleh sekelompok orang yang mendapat mandat sah dari rakyat untuk menjalankan kedaulatan tersebut. Konsekwensinya mesti ada mekanisme yang mengatur cara rakyat menetapkan wakil-wakil mereka yang akan duduk pada lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Untuk itu dibuatlah mekanisme pemilu dan dibuat pula peraturan perundang-undangannya. Lahirlah undang-undang pemilu legislatif, undang-undang pemilu presiden dan wakil presiden, maupun undang-undang pemilu kepala daerah. Demikian juga buat undang-undang tentang Penyelenggara Pemilu.

Atas dasar itu, pemilihan umum untuk memilih DPR,DPRD, dan DPD dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan “sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil…”  (UU No.8 Tahun 2012. Pasal 1 Ayat 1). Sedang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presidenadalah pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden (sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang akan melaksanakan semua program dan tujuan negara). (UU No.42 Tahun 2008)

Esensi dari uraian di atas, bahwa para pemimpin politik di Indoensia adalah sebagai para pengemban amanat kedaulatan rakyat. Sebagai para pengemban kedaulatan rakyat DPR, DPRD, DPD mempunyai tiga fungsi pokok yaitu fungsi legislatif (kewenangan membuat undang-undang), fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Sedang tugas utama presiden dan para kepala daerah adalah menjalankan pemerintahan berdasar perundang-undangan, disamping hak mengajukan rancangan undang-undang dan mengesahkannya bersama DPR.

Dengan sistem pemilu seperti di atas, kepemimpinan politik di Indonesia bukanlah sistem dinasty maupun monarchy, bukan pula otoritarianisme dan absolutisme, tetapi kepemimpinan yang dibentuk berdasarkan musyawarah sebagaimana butir ke 4 dari Pancasila, bahwa kerakyatan dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Sebagai pentuk pemberian mandat kepercayaan dari rakyat yang memilihnya maka dengan sistem pemilu ini terlaksanakan prinsip egaliter, kesamaan hak dan martabat semua warga negara dalam hal kepemimpinan politik.

Dalam menjalankan kekuasaan dan kewenangannya sebagai pemegang amanat kedaulatan rakyat itupun para pemimpin tidak dapat bertindak sewenang-wenang melainkan harus tunduk kepadaperaturan perundang-undangan yang berlaku sebagai produk bersama antara DPR dan Pemerintah, sebagai perwujudan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana bunyi Pasal I ayat 3 UUD 1945.

Perspektif Politik Islam

Apa yang dikemukakan di atas hanyalah gambaran singkat dan sederhana tentang  mekanisme kepemimpinan dalam sistem politik Indonesia. Bagaimana dengan pandangan politik Islam?  Paling tidak ada tiga prinsip utama yang menjadi fondasi paradigma politik Islam yang berkenaan dengan kekuasaan dan kepemimpinan untuk dikomparasikan dengan kepemimpinan politik di Indonesia.

  1. Kedaulatan mutlak hanya milik Allah.

Prinsip dasar aqidah Islam adalah tauhidullah secara murni. Pengesaan Allah bukan hanya i’tikad di dalam hati tetapi dalam pengabdian dan seluruh aktivitas kehidupan, termasuk pengesaan Allah dalam kekuasaan politik. Yaitu bahwa Allah adalah pemilik kedaulatan dan kekuasaan mutlak atas seluruh makhluk. Dialah sumber kekuasaan, bukan rakyat, bukan pula para raja dan para penguasa.

وَقُلِ الْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَم ْيَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَم ْيَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْه ُتَكْبِيرًا

)الإسراء: 111)

Dan katakanlah: “Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.”

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاء ُوَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ)  .آل عمران(26   :

Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

2Allah sumber segala hukum

Lanjutan dariketauhidan Allah dalam mulkiyahnya (kekuasaan), maka adanya tauhidullah dalam hâkimiyah, Allahlah satu-satunya sumber hukum, tidak boleh ada seorangpun makhluk yang disekutukan dengan-Nya dalam kewenangan membuat hukum.

قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَاعِنْدِي مَاتَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّلِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَخَيْرُالْفَاصِلِينَ (الأنعام(57 :

Katakanlah: “Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.”

……. إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّلِلَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ)    . يوسف(67:

Dan Ya’qub berkata: “Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri.”

  1. Implementasi kedaulatan Allah melalui wahyu dan musyawarah

Kedaulatan Allah dalam memilih dan menetapkan kepemimpinan di muka bumi terealisir dengan dua cara. Pertama, Allah memilih dan menetapkan langsung seorang hamba-Nya sebagai manusia pilihan untuk menjadi pemimpin di tengah manusia. Sebagaimana Allah pilih di antara manusia menjadi Rasul ataupun  Raja untuk manusia yang lain. Inilah zaman kepemimpinan nubuwah dan risalah seperti yang disebutkan pada beberapa ayat:

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ.

Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing), (Ali Imran: 33)

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْبَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُالْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةًفِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (Al Baqarah: 247)
Kedua. Penyerahan kekuasaan kepada umat melalui musyawarah. Setelah masa nubuwah dan zaman risalah berakhir, kepemimpinan Islam dilanjutkan dengan cara musyawarah yang dilakukan oleh umat.

فَبِمَارَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْكُنْتَ فَظًّاغَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْلَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَاعَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ.

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran: 159)

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُواالصَّلاَة َوَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.  (Asy Syura: 38)

عَنْ أَبِي حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَاهُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُوإِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُكُلَّمَاهَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَنَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّاللَّه َسَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

Dari Abu Hazim dia berkata, “Saya pernah duduk (menjadi murid) Abu Hurairah selama lima tahun, saya pernah mendengar dia menceritakan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap Nabi meninggal maka akan digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya. Dan sungguh, tidak akan ada Nabi lagi setelahku, namun yang ada adalah para khalifah (kepala pemerintahan) yang banyak.” Para sahabat bertanya, “Apa yang anda perintahkan untuk kami jika itu terjadi?” beliau menjawab: “Tepatilah baiat yang pertama, kemudian yang sesudah itu. Dan penuhilah hak mereka, karena Allah akan meminta pertanggung jawaban mereka tentang pemerintahan mereka.”(Shahih Muslim, No. 3429; Shahih Bukhari, No. 3196;  Musnad Ahmad, No.7619; dan Ibnu Majah  No. 2862)

“Mengislamkan” Sistem Kepemimpinan di Indonesia.

Dengan adanya dua paradigma yang seakan sangat berbeda seperti dikemukakan di atas, dimana teori kedaulatan rakyat sepertinya menempatkan rakyat sebagai “tuhan” yang berwenang memberi kekuasaan dan menetapkan hukum untuk dijalankan oleh pemimpin sedang dalam teori politik Islam kedaulatan memilih pemimpin dan menetapkan hukum hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, mungkinkah dapat dikompromikan antara teori kedautan rakyat di Indonesia  dengan teori kedaulatan Tuhan dalam politik Islam?

Jawabannya, sangat mungkin! Sebab secara filosofis, falsafah Indonesia menegaskan bahwa norma tertinggi dalam negara hukum Indonesia adalah norma “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Maka berdasar teori hirarki hukum, apapun perundang-undangan di Indonesia harus mengacu kepada norma dasar utamanya yaitu atas dasar Ketuhanan Yang Mahaesa. Kedaulatan rakyat dalam negara hukum Indonesia adalah kedaulatan rakyat yang dibimbing dan dibatasi oleh koridor ketauhidan, bukan kedaulatan rakyat yang absolut dan liberal. Maka kedaulatan rakyat harus dalam batas ketaatan dan ketundukan atas kedaulatan Allah SWT.

Dengan demikian kewenangan wakil-wakil dan para pemimpin rakyat dalam membuat undang-undang maupun peraturan perundang-undangan tidak boleh keluar dari batas apalagi menentang hukum Allah. Sehingga Indonesia dapat menjadi negara dengan prinsip “kedaulatan rakyat” yang dibatasi, dibimbing dan dituntun dengan prinsip “kedaulatan Allah (ketauhidan)” atau dalam istilah DR. Mohammad Natsir sebagai negara “Theistic Democracy”. Konsekwensinya, tentu saja kriteria para pemimpin pemerintahan dan para anggota legislatif yang harus dipilih rakyat adalah mereka-mereka yang faham dan taat akan hukum-hukum Allah, punya kemampuan dalam merumuskan norma-norma hukum Islam dari Al-Qur’an, Sunnah, kitab-kitab fiqih dan fatawa menjadi qanun (perundang-undangan), dan mampu mengimpelentasikannya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai kejayaan umat dan bangsa.

Kriteria para calon pemimpin Islam.

Dalam surat Ali Imran ayat 28, Allah SWT. melarang kaum muslimin menjadikan orang-orang kafir sebagai wali mereka. Jika kaum muslimin melakukan hal itu berarti telah melepaskan diri dari perlindungan Allah

Dalam surat An Nisa ayat 34 Allah teleh menjadikan kaum laki-laki sebagai pemimpin atas kaum wanita.

Menurut surat Al Qashash ayat 26, sebaik-baik pekerja (pemimpin) adalah yang kuat dan amanat.

Menurut surat Al Baqarah ayat 247, pemimpin yang baik adalah yang luas ilmunya dan perkasa fisiknya (Basthatan fil Ilmi wa al Jismi

Dengan ayat-ayat di atas, maka di antara kriteria calon pemimpin Islam adalah:

  1. Syarat agama yaitu Islam;
  2. Syarat gender yaitu harus laki-laki (dalam kepemimpinan tertinggi umat Islam)
  3. Syarat kematangan yaitu harus ‘aqil-baligh;
  4. Syarat keahlian yaitu harus ahlul ‘ilmi paling tidak pakar di bidangnya;
  5. Syarat kesehatan yaitu tidak cacat ingatan, cacat fisik atau disfungsi panca indera;
  6. Syarat integritas kepribadian yaitu orang shiddiq, amanah, fathanah, dan tabligh.
  7. Syarat keperwiraan yaitu keberanian dalam mewujudkan keadilan dan membela kebenaran.

Penutup

Inilah paper singkat yang penulis sajikan. Semoga dapat memberi tambahan ilmu dan pencerahan kepada kita semua. Yang benar hanyalah datang dari Allah dan yang salah hanyalah dari ketidaktahuan penulis. Sejauh tema ini dipandang sebagai wilayah ijtihad, maka peluang untuk terus didiskusikan dalam mencari kebenaran tetap terbuka. Wallahu a’lam bis shawab!

Oleh: Dr. KH. Jeje Zaenudin (Wakil Ketua Umum PP.PERSIS)

sigabah.com | persis.or.id

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}