Tabir (2) “Misteri 1”
Untuk menguak tabir-tabir lain, masih di “Misteri 1”, kayaknya, ke-5 paragraf Kata Pengantar Kang Jalal itu mesti kita mutilasi bagian demi bagian, sambil merujuk kembali kepada laporan asli al-Shafadi—yang telah ditampilkan apa adanya pada edisi ke-2—sebagai pembanding.
Kita ambil penggalan kalimat dalam paragraf ke-2 versi kang Jalal, sebagai berikut: “Dengan segala pujian itu, al-Shafadi tidak lupa untuk mengutip komentar salah seorang ulama di zaman itu Abu Isma’il bin Muhammad al-Ansari tentang al-Hakim, “Tsiqqatun fi al-hadits, rafidhiyyun khabits. Terpercaya dalam riwayat, Syiah yang jahat.”
Lalu kita banding dengan teks asli dalam laporan al-Shafadi sebagai berikut:
قال محمد بن طاهر المقدسي: سألت الإمام أبا إسمعاعيل عبد الله بن محمد الأنصاري بهراة عن أبي عبد الله الحاكم النيسابوري فقال: ثقة في الحديث رافضي خبيث،
Muhammad bin Thahir al-Maqdisi berkata, “Saya bertanya kepada Imam Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Anshari di Hirah [Herat] tentang Abu Abdullah al-Hakim an-Nisaburi. Beliau menjawab, ‘Dia tsiqah dalam hadis, rafidhiy khabits’. [1]
Hasil perbandingan teks asli al-Shafadi dengan penggalan kalimat versi kang Jalal di atas menunjukkan paling tidak terdapat 2 tabir misteri baru—sekali lagi, ini masih di “Misteri 1”—yang layak dikuak. Namun, pada edisi ini hanya 1 tabir dulu yang akan ditampilkan, yaitu:
Pertama, cara baca kata ثقة
Kata itu dibaca oleh kang Jalal dengan: “Tsiqqatun” (ثِقَّةٌ) huruf qaf bersyaddah (double qaf), dan dimaknainya “terpercaya”. Bagi pembaca yang tidak begitu akrab dengan kata itu, baik secara bahasa (etimologis) maupun secara istilah (terminologis), cara baca kang Jalal demikian itu bisa dianggap “benar” dan menganggap seperti itulah gambaran akurat mengenai bentuk dan maknanya. Tetapi, bagi yang paham, cara baca begitu dipandang tidak tepat—untuk tidak mengatakan keliru— karena tidak seperti itu asal-usul bentuk dan pemaknaanya.
Untuk itu, cara pembacaan kang Jalal di atas dapat kita telaah dari dua perspektif: (1) etimologi, dan (2) terminologi (haqiqah ‘urfiyyah khashah)
Secara etimologis—tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada kang Jalal sebagai pakar bahasa dan tanpa bermaksud menggurui—beberapa pakar bahasa Arab menyebutkan tashrif ushul (pola kata dasar) yang berhubungan dengan kata itu, antara lain Imam az-Zamakhsyari (467-538 H/1075-1144 M)[2], Ibnul al-Atsir (544-606 H/1150-1210 M)[3], Ibnu Manzhur (630-711 H/1232-1311 M)[4], dan Imam Murtadha az-Zubaidi (1145-1205 H/1732-1790 M)[5] sebagai berikut:
وَثِقَ يَثِقُ ثِقَةً
“watsiqa—yatsiqu—tsiqah.”
Penjelasan yang sama disampaikan pula oleh ulama Syiah, Syekh Tha’ifah at-Thusi (385-460 H/995-1067 M), ketika menjelaskan kata miitsaq (ميثاق) dalam surah al-Baqarah ayat 27. [6]
Penjelasan para pakar bahasa Arab di atas menunjukkan kata “tsiqah” (ثقة) dibaca tanpa huruf qaf bersyaddah, sebagai mashdar (original noun).
Santri Tsanawiyyah mengatakan, kata tsiqah (ثقة) asalnya watsqan (وثقا) menurut pola kata (wazan) fa’lan (فعلا). Huruf waw (و) pada kata watsqan (وثقا) dibuang lalu diganti dengan ta marbuthah atau ta ta’nits (ة) diakhirnya sehingga menjadi tsiqah (ثقة).
Dalam memaknai kata tsiqah (ثقة), secara etimologis, Syekh al-Husen bin Muhammad, yang populer disebut Ar-Raghib al-Ashfahani, dalam masterpiece-nya (Mufradaat Alfaazh al-Qur’aan dan al-Mufradaat fii Gharib al-Qur’aan), menjelaskan sebagai berikut:
وثقت به أثق ثقة: سكنت إليه واعتمدت عليه
“Watsiqtu bih—atsiqu—tsiqah, artinya aku senang dan percaya kepadanya.” [7]
وقالوا رجل ثقة، وقوم ثقة، ويستعار للموثوق به
“Dan mereka berkata, ‘Seorang yang tsiqah, dan kaum yang tsiqah.’ Dan kata tsiqah dipinjam untuk makna ‘yang dipercaya’.” [8]
Jadi, secara etimologis kata tsiqah (ثقة), bukan dibaca tsiqqah (ثِقَّةٌ), dapat dimaknai “yang dapat dipercaya”.
Sekarang secara terminologis, menurut beberapa pakar hadis dan ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil (kritik rawi)—tanpa bermaksud menyebut kang Jalal belum khatam ilmu hadis—kata tsiqah (ثقة)—bukan dibaca tsiqqah (ثِقَّةٌ)—merupakan istilah yang disematkan pada seorang periwayat hadis jika memenuhi kriteria ‘adalah dan dhabth. [9] Istilah ini—dan cara bacanya—banyak digunakan dalam kitab-kitab Rijal al-hadits (biografi periwayat hadis), misalnya Ibnu Abu Hatim (240-327 H/854-938 M), dalam kitab al-Jarh wa at-Ta’dil, mengutip kata tsiqah (ثقة) yang digunakan para kritikus periwayat sebanyak 1926 kali. [10] Syekh Yusuf al-Mizzi (654-742 H/1256-1341 M), dalam Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal, mengutip kata itu sebanyak 5405 kali. [11] adz-Dzahabi (673-748 H/1274-1347 M) , dalam Mizan al-I’tidal, mengutip kata itu sebanyak 705 kali.[12] Ibnu Hajar al-Asqalani (773-852 H/1372-1449 M), dalam Tahdzib at-Tahdzib, mengutip sebanyak 3271 kali. [13]
Meski begitu, para ahli hadis berbeda pendapat dalam klasifikasi istilah tsiqah (ثقة), sejalan dengan perbedaan klasifikasi beberapa istilah al-jarh wa at-ta’dil. Misalnya, Ibnu Abu Hatim menempatkan istilah tsiqah (ثقة) pada urutan ke-1. [14] Versi Ibnu Abu Hatim diikuti oleh Ibn as-Shalah (577-643 H/1181-1245 M).[15]Al-Khatib al-Baghdadi (392-463 H/1002-1072 M). [16] An-Nawawi (631-676 H/1233-1277 M). [17]
Sementara adz-Dzahabi menempatkannya pada urutan ke-2. [18] Versi Ad-Dzahabi ini diikuti oleh al-Iraqi (725-806 H/1325-1404 M).[19] Namun, Ibnu Hajar menempatkannya pada urutan ke-3. [20] Versi Ibnu Hajar diikuti oleh Dr. Mahmud Thahan. [21]
Dengan demikian, baik secara etimologis maupun terminologis, kata itu dibaca tsiqah (ثِقَةٌ), bukan dibaca tsiqqah (ثِقَّةٌ). Bila dibaca tsiqqah (ثِقَّةٌ) —seperti yang dipraktikkan kang Jalal—asal-usul kata serta perubahan dalam bentuk dan maknanya menjadi bias. Jadi, dari mana kang Jalal dapat inspirasi cara baca begitu (ثِقَّةٌ) namun dimaknai “terpercaya”?
Masalah ini, mungkin dianggap sepele oleh kang Jalal. Namun, saya tidak menghendaki “tersandung di tanah datar” hanya karena tidak apik, untuk tidak menyebut kang Jalal ceroboh. Jangan sampai al-Shafadi, Ibnu Thahir, dan Syekh Abu Ismail al-Anshari dianggap tidak faham bahasa Arab elementer oleh pembaca, gara-gara “Kata Pengantar” disertasi doktor kang Jalal. 🙂
By Amin Muchtar, sigabah.com
Lampiran Teks Asli al-Shafadi
al-Wafi bi al-Wafayat, Juz 3, hlm. 259, terbitan Dar Ihya at-Turats al-‘Arabiy, Cet. I 1420 H/2000 M, pentahqiq Ahmad al-Arnauth.
Lampiran “kutipan” Kang Jalal (1)
Disertasi doktor: Asal Usul Sunnah Shahabat: Studi Historiografis atas Tarikh Tasyri, hlm. v;
Lampiran “kutipan” Kang Jalal (2)
Buku Misteri Wasiat Nabi, hlm. 5.
[1]Lihat, al-Waafiy bi al-Wafayaat, Juz 3, hlm. 259, terbitan Dar Ihya at-Turats al-‘Arabiy, Cet. I 1420 H/2000 M, pentahqiq Ahmad al-Arnauth.
[2]Lihat, al-Fa’iq fi Gharib al-Hadits, Juz 4, hlm. 56.
[3]Lihat, an-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, Juz 5, hlm. 385.
[4]Lihat, Lisan al-‘Arab, Juz 8, hlm. 388.
[5]Lihat, Taj al-‘Arus min Jawaahir al-Qamus, Juz 22, hlm. 314.
[6]Lihat, at-Tibyan fii Tafsir al-Qur’an, Juz 1, hlm. 121, terbitan Dar Ihya at-Turats al-‘Arabiy, t.t. taqdim oleh Syekh ath-Thahraniy.
[7]Lihat, Mufradaat Alfaazh al-Qur’aan, Juz 2, hlm. 489; al-Mufradaat fii Ghariib al-Qur’aan, hlm. 511-512.
[8]Ibid.
[9]Lihat, Syarh Kitab al-Muqidhah, hlm. 286; al-Mufashshal fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 469; Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, hlm 80; Taisir Mushthalah al-Hadits, hlm. 125.
‘Adalah, menurut Dr. ‘Ajaj al-Khatib:
صِفَةٌ رَاسِخَةٌ فِي النَّفْسِ تَحْمِلُ صَاحِبَهَا عَلَى مُلاَزَمَةِ التَّقْوَى وَالْمُرُوْءَةِ فَتَحْصُلَ ثِقَةُ النَّفْسِ بِصِدْقِهِ وَيُعْتَبَرُ فِيْهَا الإِجْتِنَابُ عَنِ الْكَبَائِرِ وَعَنْ بَعْضِ الصَّغَائِرِ…
“Sifat yang melekat pada jiwa, yang akan membawa (pemiliknya) kepada ketetapan taqwa dan muru’ah secara menyeluruh, hingga memperoleh kredibilitas karena kejujurannya, dan dalam hal ini diperhatikan pula meninggalkan dosa-dosa besar serta sebagian dosa kecil…” (Lihat, Ushul al-Hadits, Dar al-Ma’arif, 1985, hlm. 231-232. Bandingkan dengan Muhamad bin Ali bin Muhamad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Dar el-Fikr, t.t., hlm. 51; Dr. M. Azami, Manhaj al-Naqad ‘Inda al-Muhadditsin, Maktabah al-Kautsar, Mekah, 1990, hlm. 24)
Dalam pandangan Ibn al-Shalah, al-dhabth mengandung pengertian:
أَنْ يَكُوْنَ الرَّاوِي مُتًيَّقِظاً غَيْرَ مُغْفِلٍ، حَافِظاً إِنْ حَدَّثَ مِنْ حِفْظِهِ، ضَابِطاً لِكِتَابِهِ إِنْ حَدَّثَ مِنْ كِتَابِهِ.وَإِنْ كَانَ يُحَدِّثُ بِالْمَعْنَى: أُشْتُرِطَ فِيْهِ مَعَ ذَلِكَ أَنْ يَكُوْنَ عَالِماً بِمَا يُحِيْلُ الْمَعَانِي، والله أعلم.
“Keadaan rawi ingatannya kuat, lancar bila menyampaikan hafalannya dan menguasai (redaksi) tulisannya bila menyampaikan dari kitabnya. Dan jika ia menyampaikan secara makna, maka disyaratkan harus mengetahui sesuatu yang dapat mengubah makna. Wallahu A’lam.” (Lihat, Muqaddimah Ibn al-Shalah, hlm. 84-85)
[10]Lihat, al-Jarh wa at-Ta’dil, terbitan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I 1372 H/1953 M, dengan pentahqiq Syekh Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimiy, jilid 1-9.
[11]Lihat, Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal, terbitan Muassasah ar-Risalah, Cet. II 1403 H/1983 M, dengan pentahqiq Dr. Basyar Awad Ma’ruf, jilid 1-35.
[12]Lihat, Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal, terbitan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I 1416 H/1995 M, dengan pentahqiq Syekh Ali Muhammad Mu’awwad, jilid 1-8.
[13]Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, terbitan Muassasah ar-Risalah, 1416 H/1995 M, dengan pentahqiq Ibrahim az-Zaibaq dan ‘Adil Mursyid, jilid 1-4.
[14]Lihat, Muqaddimah al-Jarh wa at-Ta’dil, I: 37.
[15]Lihat, Muqaddimah Ibn ash-Shalah, hlm. 94.
[16]Lihat, Al-Kifayah fi ‘Ilm ar-Riwayah.
[17]Lihat, Tadrib ar-Rawi, karya asy-Suyuthi, hlm. 227-230.
[18]Lihat, Mizan al-I’tidal, I:4.
[19]Lihat, Fath al-Mughits bi Syarh Alfiyah al-Hadits, hlm. 173
[20]Lihat, Taqrib at-Tahdzib, I:8
[21]Lihat, Taisir Mushthalah al-Hadits, hlm. 152-153