Syiah, Sahabat, dan Ahlussunnah (6)
Sikap Syiah terhadap Imam yang Empat
Sisi lain kegemaran kalangan ulama Syiah adalah melontarkan kata-kata laknat terhadap A’immat al-Arba’ah (Imam yang empat: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal). Hal ini bisa kita temukan—misalnya—dalam kitab standar mereka, al-Kâfi, sebagai berikut:
عَنْ أَبِي الْحَسَنِ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلام، قَالَ: قُلْتُ: أَصْلَحَكَ اللهُ. إِنَّا نَجْتَمِعُ فَنَتَذَاكَرُ مَا عِنْدَنَا. فَلَا يَرِدُ عَلَيْنَا شَيْءٌ إِلَّا وَعِنْدَنَا فِيهِ شَيْءٌ مُسْطُورٌ. وَذَلِكَ مِمَّا أَنْعَمَ اللهُ بِهِ عَلَيْنَا بِكُمْ. ثُمَّ يَرِدُ عَلَيْنَا الشَّيْءُ الصَّغِيرُ لَيْسَ عِنْدَنَا فِيهِ شَيْءٌ فَيَنْظُرُ بَعْضُنَا إِلَى بَعْضٍ، وَعِنْدَنَا مَا يُشْبِهُهُ، فَنَقِيْسُ عَلَى أَحْسَنِهِ. فَقَالَ: وَمَا لَكُمْ وَلِلْقِيَاسِ؟ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ هَلَكَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِالْقِيَاسِ. ثُمَّ قَالَ: إِذَا جَاءَكُمْ مَا تَعْلَمُونَ، فَقُولُوا بِهِ، وَإِنْ جَاءَكُمْ مَا لَا تَعْلَمُونَ فِيْهَا – وَأَهْوَى بِيَدِهِ إِلَى فِيهِ – ثُمَّ قَالَ: لَعَنَ اللهُ أَبَا حَنِيفَةَ، كَانَ يَقُولُ: قَالَ عَلِيٌّ وَقُلْتُ أَنَا، وَقَالَتِ الصَّحَابَةُ وَقُلْتُ الخ.
Dari Abi al-Hasan Musa As., ia berkata: aku berkata—semoga Allah Swt. memberimu kebaikan: Kami berada dalam perkumpulan dan membahas permasalahan kami. Apa saja yang menjadi kejanggalan kami, pasti jawabannya kami temukan secara tertulis (dalam kitab rujukan kami). Hal itu merupakan nikmat yang diberikan Allah Swt. pada kami. Lalu ada permasalahan kecil yang menghinggapi kami, yang ternyata tidak kami temukan jawabannya sedikit pun. Lalu masing-masing dari kami saling melemparkan pandangan pada yang lain. Tapi kami memiliki acuan yang hampir sama dengan kejanggalan tersebut, lalu kami analogkan terhadap yang terbaik. Kemudian Abi al-Hasan berkata: apa hubunganmu dengan Qiyas? Kerusakan orang-orang sebelum kalian tak lain sebab melakukan Qiyas. Abu al-Hasan meneruskan perkataannya: jika ada permasalahan yang telah kalian ketahui hukumnya, maka berpendapatlah dengan hukum itu, namun jika permasalahan yang datang itu tidak kalian ketahui, (maka diamlah)—dan Abu al-Hasan berisyarat dengan meletakkan tangannya pada mulutnya—selanjutnya ia berkata: semoga Allah Swt. melaknat Abu Hanifah, ia (Abu Hanifah) berkata: Sayyidina Ali berpendapat dan aku pun punya pendapat, para sahabat punya pendapat dan aku pun punya pendapat.[1]
Selain dalam al-Kâfî, kita juga bisa menemukan kata-kata yang senada dengan laknat, semisal perkataan Muhammad Ridha ar-Ridhawi, salah satu tokoh Syiah, dalam kitab Kadzdzabû ‘alâ as-Syî’ah sebagai berikut:
قَبَّحَكَ اللهُ يَا أبَا حَنِيْفَةَ كَيْفَ تَزْعُمُ أنَّ الصَّلَاةَ لَيْسَ مِنْ دِيْنِ اللهِ.
“Semoga Allah Swt. menimpakan kejelekan padamu wahai Abu Hanifah, bagaimana kamu bisa beranggapan bahwa shalat bukan termasuk ajaran Allah Swt.?”[2]
Selanjutnya dalam kitab yang sama juga dikatakan:
وَلَوْ أَنَّ أَدْعِيَاءَ الإِسْلَامِ وَالسُّنَّةِ أَحَبُّوا أَهْلَ البَيْتِ عليهم السلامُ لَاتَّبَعُوهُمْ وَلَمَا أَخَذُوا أَحْكَامَ دِينِهِمْ عَنِ المُنْحَرِفِينَ عَنْهُم كَأَبِى حَنيفَةَ والشَّافِعِى ومَالِكٍ وابنِ حَنْبَلٍ.
“Andai para dai Islam dan Sunnah mencintai Ahlul Bait, niscaya mereka mengikuti jejak langkah Ahlul Bait dan tidak akan mengambil hukum-hukum agama mereka dari para penyeleweng, seperti Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Imam Malik dan Ibnu Hanbal.”[3]
Dalam ash-Shirât al-Mustaqîm ilâ Mustaqqi at-Taqdim, juz 3 hlm. 223, an-Nabathi, salah satu tokoh kondang di kalangan Syiah abad ke-9, mencaci-maki Imam Ahmad bin Hanbal, ia berkata:
هُوَ مِنْ أَوْلَادِ ذِيْ الثَّدْيَةِ جَاهِلٌ شَدِيْدُ النَّصْبِ.
“Ia dari keturunan Dzi ats-Tsadyah[4] bodoh dan termasuk paling anti Syiah.”
Darah dan Harta Ahlussunnah Halal
Syiah mengatakan bahwa orang-orang Ahlussunnah adalah halal darahnya. Pernyataan ini telah banyak diungkapkan oleh para imam Syiah dalam beberapa kitab yang mereka jadikan pedoman. Berikut kami paparkan di antara pernyataan-pernyataan tersebut:
Syekh Syiah, Muhammad bin Ali bin Babawaih al-Qummi yang diberi gelar “ash-Shadûq” dan “Ra’îs al-Muhadditsîn”, dalam ‘Ilal asy-Syarayi’ (hlm. 601), meriwayatkan dari Dawud bin Farqad, ia berkata, “Aku berkata kepada Abi Abdillah:
مَا تَقُوْلُ فِي قَتْلِ النَّاصِبِ؟ قَالَ: حَلَالُ الدَّمِ. وَلَكِنِّي أتَّقِي عَلَيكَ، فَإنْ قَدَرْتَ أنْ تُقْلِبَ عَلَيْهِ حَائِطًا أَوْ تُغْرِقَهُ فِي مَاءٍ لِكَيْ لَا يُشْهَدَ بِهِ عَلَيْكَ، فَافْعَلْ! قُلْتُ فَمَا تَرَى فِي مَالِهِ؟ قَالَ: خُذْ مَا قَدَرْتَ.
‘Apa pendapat Anda perihal membunuh nâshib (anti-Syiah)?’ Abi Abdillah menjawab, ‘Darahnya dihalalkan (boleh dibunuh). Sayangnya aku masih menghawatirkanmu, namun seandainya kamu bisa merobohkan tembok pada mereka (nâshib) atau menenggelamkan mereka ke dalam air tanpa diketahui seorang pun, maka lakukanlah!’ Saya berkata, ‘Apa pendapatmu mengenai harta mereka?’ Abi Abdillah menjawab, ‘Ambillah selagi kamu bisa’.”
Riwayat ini juga ditulis oleh Syekh-syekh Syiah yang lain, yaitu al-Hur al-‘Amali dalam Wasâ’il asy-Syî’ah (juz 18, hlm. 463) dan Ni’matullah al-Jaza’iri dalam al-Anwâr an-Nu’mâniyah (juz 2, hlm. 308). Juga al-Majlisi dalam Bihâr al-Anwâr, juz 27, hlm 231.
Pernyataan-pernyataan tersebut tidak hanya tertuang dalam kitab-kitab mereka sebagai fatwa, akan tetapi telah dibuktikan dalam sejarah, bagaimana mereka bersikap kejam dan sadis dalam memerangi Ahlussunnah, sebagai pengejawantahan dari perintah para Syekh mereka.
Sekadar contoh, jika kita menengok pada sejarah, kita tahu bahwa daulah Abbasiyah adalah dinasti Sunni. Berangkat dari anggapan baik dari khalifah Abbasiyah, maka sang khalifah merekrut salah satu pengikut Syiah sebagai salah satu dalam kabinetnya, yakni Khawajah Nashiruddin ath-Thusi. Tanpa diduga, ternyata ath-Thusi membalas itikad baik dari khalifah dengan keburukan. Ia mengkhianati khalifah dan bersekongkol dengan orang-orang Tartar, dan terjadilah pembantaian di Baghdad, yang memakan ratusan ribu korban (lebih besar dari korban Tsunami di Aceh) dari pihak Ahlussunnah.
Yang membuat kita tak habis pikir, ternyata perbuatan ath-Thusi ini mendapat simpati dan apresiasi yang luar biasa dari pihak Syiah. Layaknya seorang pahlawan yang telah melakukan pekerjaan-pekerjaan gemilang, orang-orang Syiah membanggakan dan menyanjungnya setinggi langit. Muhammad Baqir al-Musawi, yang dijuluki sebagai al-muttaba’ oleh orang-orang Syiah, ketika menulis biografi ath-Thusi, berkata: “Beliau (ath-Thusi) adalah orang yang memiliki keilmuan mendalam, berpengetahuan luas, teolog besar, yang bijaksana dan agung… Di antara perbuatannya yang populer dan terekam dengan jelas dalam sejarah, adalah ketika ia menjadi menteri Iran dalam pemerintahan Hulagu Khan bin Tuli Khan bin Jengkis Khan (pemuka Tartar) dalam menghancurkan dinasti Abbasiyah dan mengobarkan pembantaian massal terhadap para pengikut orang-orang bejat (Ahlussunnah) sampai darah-darah kotor mereka mengalir deras bagaikan sungai. Darah-darah itu memerahkan aliran sungai Tigris, dan dari sana kemudian mengalir ke neraka jahanam, tempat bersinggah bagi orang-orang celaka.”[5]
Tak ketinggalan, tokoh Syiah kontemporer dan penggerak revolusi Iran, Ayatullah Ruhullah Khomaini dalam kitabnya yang populer, al-Hukûmah al-Islâmiyah (hlm. 142), juga memberi penilaian istimewa terhadap Khawajah Nashiruddin ath-Thusi, selain juga memuji-muji Ali bin Yaqtin.[6] Ia menilai bahwa langkah ath-Thusi dan Ali bin Yaqtin tersebut merupakan pembelaan terhadap kepentingan Islam dan Muslimin.[7]
Dari ungkapan Muhammad Baqir al-Musawi dan penilaian Khomaini ini, maka bisa dibayangkan, bagaimana doktrin-doktrin Syiah benar-benar menjadi landasan kuat bagi gerak langkah orang-orang Syiah, sehingga mereka menilai pembantaian terhadap Ahlussunnah dan musuh-musuh Syiah yang lain sebagai perbuatan mulia yang patut diacungi jempol dan mendapat penghargaan melangit. Selain jauh dari nilai-nilai agama, sikap seperti ini juga jauh dari nilai-nilai kemanusian yang luhur.
Selain keyakinan-keyakinan ganjil di atas, Syiah juga menganggap harta Ahlussunnah halal, layaknya harta jarahan orang-orang kafir (ghanîmah). Sebab mereka memang menganggap Ahlussunnah kafir. Dalam doktrin Syiah, keyakinan seperti ini dapat ditemukan dalam berbagai riwayat syekh-syekh mereka, seperti yang dikeluarkan oleh Abu Ja’far ath-Thusi dalam kitabnya Tahdzîb al-Ahkâm (juz 4, hlm. 122), al-Kasyani dalam al-Wâfi (juz 6, hlm. 43), ad-Darazi al-Bahrani dalam al-Mahâsin an-Nafsânî (hlm. 167), dari imam mereka yang terkemuka, Abu Abdillah, bahwa ia berkata:
خُذْ مَالَ النَّاصِبِ حَيْثُ مَاوَجَدْتَهُ وَادْفَعْ إلَيْنَا الخُمُسَ.
“Ambillah harta para nashîb (anti-Syiah) dan serahkanlah seperlimanya kepada kami..”
Dalam kitabnya, al-Anwar al-Nu’maniyyah, Ni’matullah al-Jazairi mengeluarkan pernyataan sebagai berikut: “Harus membunuh mereka (anti-Syiah) dan harta-harta mereka adalah halal.”[8]
Mereka menganggap riwayat ini sebagai khabar mustafîdh (hadits populer).
Dalam kitab yang sama, Ni’matullah al-Jazairi juga mengatakan:
إِنَّهُمْ كُفَّارٌ أَنْجَاسٌ بِإِجْمَاعِ عُلَمَاءِ الشِّيْعَةِ الإِمَامِيَّةِ، وَإِنَّهُمْ شَرٌّ مِنَ اليَهُودِ، وَالنَّصَارَى، وَإِنَّ مِنْ عَلَامَاتِ النَّاصِبِي تَقْدِيْمُ غَيْرِ عَلِيٍّ عَلَيْهِ في الإِمَامَةِ.
“Mereka (nâshib) adalah kafir dan najis dengan konsensus ulama Syiah Imamiyah. Mereka lebih jelek daripada orang Yahudi dan Nashrani. Dan sesungguhnya tanda-tanda dari nâshibi adalah mendahulukan selain Sayyidina Ali dalam imâmah.”[9]
Seperti biasa, Khomaini selanjutnya juga mengeluarkan fatwa yang menjustifikasi pernyataan dan tindakan Abu Abdillah barusan. Dalam Tahrîr al-Washîlah (juz 1, hlm. 352), ia berkomentar:
وَالأقْوَى إلحَاقُ النَّاصِبِ بِأَهْلِ الحَرْبِ فِي إبَاحَةِ مَا اغْتُنِمَ مِنْهُمْ وَتَعَلُّقِ الخُمُسِ بِهِ. بَلْ الظَّاهِرُ جَوَازُ أَخْذِ مَالِهِ أَيْنَ وُجِدَ وَبِأَيِّ نَحْوٍ كَانَ وَوُجُوبُ إخْرَاجِ خُمُسِهِ.
“Pendapat yang lebih kuat adalah menyamakan nâshib (Ahlussunnah) denga kafir harbi dalam hal diperbolehkannya merampas harta dari mereka dan mengambil seper limanya dari harta tersebut. Bahkan pendapat yang zahir, adalah diperbolehkannya mengambil harta mereka di mana saja dan dengan cara apa saja, serta wajib mengeluarkan seperlimanya.”
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku: Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] Lihat, Al-Kâfî, juz 1, hlm. 58 (cetakan Teheran) dan hlm. 57 (cetakan Dar al-Kutub). Riwayat yang sama juga dicantumkan oleh al-Hurr al-Amili dalam Wasa’il asy-Syî’ah, juz 18, hlm. 23 (Cetakan Beirut).
[2] Lihat, Kadzdzabû ‘alâ as-Syî’ah, hlm. 135 (cetakan Iran).
[3] Ibid, hlm. 279.
[4] Dzi ats-Tsadyah adalah pimpinan khawarij pada masa Sayyidina Ali Ra. Lihat, Mausû’at Firaq asy-Syî’ah, juz 1, hlm. 100.
[5] Lihat, Abdullah bin Abdullah al-Maushili, Haqîqat asy-Syî’ah, Maktabah Ibn Taimiyah, hlm. 34.
[6] Seperti halnya ath-Thusi, Ali bin Yaqtin juga melakukan pembunuhan sadis terhadap Ahlussunnah, dengan cara merobohkan kamp penjara yang berisi 500 orang Ahlussunnah. Perbuatan ini dinyatakan oleh orang terpandang dikalangan Syiah yang mereka juluki dengan Ra’îs al-‘Ulamâ’, Ni’matullah al-Jaza’iri, dalam al-Anwâr an-Nu’mâniyah (juz 2, hlm. 308).
[7] Lihat, Ruhullah Khomaini, al-Hukûmah al-Islâmiyah, tt. hlm. 142. Selain kedua pemuka tersebut, pemuka Syiah yang lain juga berlomba-lomba memberikan aplaus dan apresiasi tinggi pada ath-Thusi, seperti al-Hurr al-Âmalî dalam Amal al-Amal, Abdul Husain Syarafuddin dalam al-Yaqîn wa al-Ijtihâd dan lain-lain. Rujuk kembali, Haqîqat asy-Syî’ah, hlm. 35. Tragedi Ali bin Yaqthin juga bisa dilihat dalam al-Anwâr an-Nu’mâniyah juz 3, hlm. 308.
[8] Ni’matullah al-Jazairi, al-Anwar al-Nu’mâniyyah, juz 2 hlm. 307.
[9] Ibid, juz 2 hlm. 206-207.