Syiah, Sahabat dan Ahlussunnah (1)
Syiah adalah kelompok yang amat ekstrem. Agaknya, ungkapan “fanatisme” tidak terlalu tepat untuk melukiskan keekstreman itu. Mereka, misalnya, meletakkan para Imam mereka di atas segalanya. Para Imam adalah rujukan utama dalam segenap aspek kehidupan umat Syiah, baik di ranah keagamaan, sosial-kemasyarakatan maupun kenegaraan. Kata-kata Imam adalah suatu ketetapan hukum yang harus selalu menjadi acuan dalam bertindak, berkata-kata, melakukan perbuatan, dan sebagainya. Bagi mereka, Imam menempati posisi para Nabi, setelah berakhirnya periode kerasulan Muhammad saw.[1] Lebih jauh, Syiah beranggapan bahwa wilâyah mereka memang telah mendapatkan legitimasi dari Allah Swt.[2]
Karena setara dengan para nabi, maka para Imam juga terjaga dari sifat-sifat kekeliruan dan dosa (ma’shûm).[3] Kata-kata mereka tidak berbeda dengan nash-nash yang bersumber dari wahyu[4], karena bagi Syiah, wilâyah para Imam memang ditunjuk oleh Allah Swt., melalui wasiat dari Rasulullah saw. atau penunjukan dari imam sebelumnya. Setelah para imam tak lagi eksis, atau dalam versi mereka masih dalam penantian munculnya Muhammad al-Muntazhar (al-Mahdi), maka posisi tersebut diisi oleh para mujtahid Syiah, yaitu tokoh yang dianggap memiliki kecakapan dan kemampuan di bidang keilmuan dan keagamaan serta memiliki kapabilitas yang tinggi.[5] Kesimpulannya, apa yang telah difatwakan, diucapkan atau dikerjakan oleh para Imam Syiah dan mujtahid penggantinya, adalah merupakan suatu ‘kebenaran mutlak’ yang mesti dibenarkan dan diaplikasikan, kendati itu berupa pelaknatan, pengkafiran, pembunuhan, dan sebagainya.[6]
Pengkafiran Sahabat dan Ahlussunnah
Dalam keyakinan Syiah, kebanyakan para sahabat telah murtad setelahnya wafatnya Nabi saw. Mereka juga beranggapan bahwa Ahlussunnah adalah orang-orang kafir dan dianggap sebagai nâshib. Sedangkan keyakinan kita (Ahlussunnah) adalah mendahulukan (lebih mengutamakan) Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Usman Ra. daripada Sayyidina Ali Ra. Dengan demikian, berarti umat Islam adalah kafir, demikian pula dengan tiga khalifah sebelum Ali Ra. dan semua sahabat yang ikut membai’at ketiga khalifah tersebut. Na’ûdzubillâh. Mengenai hal ini telah disebutkan dalam hadis-hadits Syiah, antara lain:
Pernyataan yang dinisbatkan kepada Abu Ja’far Muhammad al-Baqir (w. 114 H), diklaim oleh Syiah sebagai Imam Syi’ah ke-5, bahwa para sahabat telah murtad sesudah wafatnya Rasulullah Saw, kecuali tiga orang. Hadis al-Baqir ini diriwayatkan oleh al-Kulaini melalui jalur periwayatan Hanan bin Sadir, dari ayahnya (Sadir):
عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ (عليه السلام) قَالَ : كَانَ النَّاسُ أَهْلَ رِدَّةِ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله إِلاَّ ثَلاَثَةً فَقُلْتُ: وَمَنِ الثَّلاَثَةُ؟ فَقَالَ: الْمِقْدَادُ بْنُ الأَسْوَدِ وَأَبُوْ ذَرٍّ الْغِفَارِيْ وَسَلْمَانُ الْفَارِسِيُّ رَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْهِمْ ثُمَّ عَرَفَ أُنَاسٌ بَعْدَ يَسِيْرٍ وَقَالَ: هؤُلاَءِ الَّذِيْنَ دَارَتْ عَلَيْهِمْ الرَّحَا وَأَبَوْا أَنْ يُبَايِعُوْا حَتَّى جَاؤُوْا بِأَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ (عليه السلام) مُكْرَهًا فَبَايَعَ وَذلِكَ قَوْلُ اللهِ تعالى: وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
“Dari Abu Ja’far ‘alaihis salaam, ia berkata, “Manusia setelah Nabi shallaahu ‘alaihi wa aalih murtad kecuali tiga orang.” Saya (Sadir) bertanya, “Siapa tiga orang itu?” Abu Ja’far menjawab, “al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi rahmatullah wa barakatuhu ‘alaihim. Tidak lama setelah itu, orang-orang mengetahui.” dan berkata, ‘Mereka itulah orang-orang yang akan dikelilingi oleh awan (Islam, iman, dan kemenangan al-haq), dan mereka enggan berbai’at sehingga mendatangi Amirul Mukminin (Ali) ‘alaihis salam (yang ketika itu tidak disenangi), maka dia berbaiat. itulah firman Allah Ta’ala, ‘Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul, apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur (Qs. Ali Imran: 144)’.” [7]
Dalam pernyataan lain, yang juga diriwayatkan oleh al-Kulaini melalui jalur periwayatan berikut:
الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ مُعَلَّى بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُمْهُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ حَمَّادِ بْنِ عُثْمَانَ عَنِ الْفُضَيْلِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ عليه السلام: قال إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَ جَلَّ نَصَبَ عَلِيّاً عليه السلام عَلَماً بَيْنَهُ وَ بَيْنَ خَلْقِهِ. فَمَنْ عَرَفَهُ كَانَ مُؤْمِناً. وَ مَنْ أَنْكَرَهُ كَانَ كَافِراً، وَ مَنْ جَهِلَهُ كَانَ ضَالًّا، وَ مَنْ نَصَبَ مَعَهُ شَيْئاً كَانَ مُشْرِكاً، وَ مَنْ جَاءَ بِوَلَايَتِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ .
Al-Husen bin Muhammad, dari Mu’alla bin Muhammad, dari Muhammad bin Jumhur. Ia berkata, “Yunus telah menceritakan kepada kami, dari Hammad bin Usman, dari al-Fudhail bin Yasar, Abi Ja’far As. (diklaim Syiah Imam ke-6), ia berkata: “Sesungguhnya Allah swt. menjadikan Sayyidina Ali Ra. sebagai tanda (Imam) antara Allah swt. dan makhluk-Nya. Barangsiapa mengetahuinya, maka ia mukmin, barangsiapa mengingkarinya, maka ia kafir, barangsiapa tidak mengetahuinya berarti ia tersesat, barangsiapa menempatkan sesuatu yang lain (Imam lain) bersamanya, maka ia musyrik, dan barangsiapa datang dengan (mengakui) wilayahnya, maka ia akan masuk surga.”[8]
Lebih jauh, orang-orang yang tidak meyakini keimanan Sayyidina Ali dan imam-imam sesudah beliau dari keturunannya (imam Dua Belas), dan tidak mengutamakan mereka daripada yang lain, juga masuk dalam vonis kafir. Mengenai hal ini, Mulla Muhammad al-Majlisi mengatakan:
إِعْلَمْ أَنَّ إِطْلَاقَ لَفْظِ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ عَلَى مَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ إِمَامَةَ أَمِيْرِ المُؤْمِنِيْنَ وَالأَئِمَّةِ مِنْ وَلَدِهِ عَلَيْهِم السَّلَامُ وَفَضَّلَ عَلَيْهِمْ غَيْرَهُمْ، يَدُلُّ أَنَّهُمْ مُخَلِّدُوْنَ فِي النَّارِ.
“Ketahuilah bahwa mengatakan syirik dan kufur pada orang yang tidak meyakini keimanan amir al-mu’minin (Sayyidina Ali) dan imam-imam dari keturunan beliau serta mengutamakan yang lain, menunjukan bahwa mereka kekal di neraka.”[9]
Menampakkan keekstremannya yang melampaui batas, Syiah tidak hanya mengkafirkan orang-orang yang tidak meyakini ushul-ushul mereka. Dalam masalah furu’ sekalipun, yang tidak meyakini juga dianggap kafir (keluar dari agama Islam) terhadap siapa saja yang tidak meyakini kehalalan nikah mut’ah. Sedangkan Ahlussunnah justru mengharamkan praktik nikah mut’ah. Dengan demikian, berarti Ahlussunnah kafir. Dalam Man Lâ Yahdhuruhû al-Faqîh, kitab standar hadits Syiah kedua satelah al-Kâfî, Syekh Abu Ja’far Muhammad ibnu Ali ibnu Husain ash-Shaduq menyatakan sebagai berikut:
إنَّ الْمُتْعَةَ دِيْنِىْ وَدِيْنُ آبَائِي فَمَنْ عَمِلَ بِهَا عَمِلَ بِدِيْنِنَا، وَمَنْ أَنْكَرَهَا أَنْكَرَ دِيْنَنَا، وَاعْتَقَدَ بِغَيْرِ دِيْنِنَا.
“Sesungguhnya mut’ah adalah agamaku dan agama para pendahuluku. Barangsiapa yang mengamalkannya, berarti telah mengamalkan agama kita, dan barangsiapa yang mengingkarinya, berarti telah mengingkari agama kita, dan berkeyakinan dengan selain keyakinan kita.”[10]
Berbagai tanggapan terhadap sikap ekstrem Syiah di atas akan disampaikan pada beberapa edisi selanjutnya.
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku:
- Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
- Hitam dibalik Putih: Bantahan Terhadap Buku Putih Madzhab Syi’ah, karya Amin Muchtar, terbitan al-Qalam, cetakan kedua, Desember 2014
[1] Lihat, Al-Kulaini, Al-Kâfi, juz 1 hlm. 270 no. 7 dan hlm. 272 no. 3.
[2] Lihat, Al-Kulaini, Al-Kâfi, juz 1 hlm. 437 no. 4.
[3] Lihat, Dr. Ali as-Salus, Ma’a asy-Syî’ah al-‘Asyariyah fi al-Ushûl wa al-Furû’, juz 1 hlm. 17.
[4] Al-Majlisi mengatakan: “Para sahabat kita telah bersepakat atas keterjagaan (‘Ishmah) para nabi dan Imam dari segenap dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar.
[5] Lihat, Ensiklopedi Islam (entri Syiah).
[6] Kepatuhan seperti ini bisa digambarkan dengan amat jelas dari tokoh Syiah yang telah keluar dari Syiah, Sayyid Husain al-Musawi, dalam bukunya Lillâh tsumma li at-Târîkh. Suatu ketika Imam Khomaini menikahi anak perempuan di bawah umur lima tahun secara mut’ah. Rupanya Khomaini tahu bahwa al-Musawi tidak suka dengan kelalkuannya. Khomain pun bertanya kepada al-Musawi: “Sayyid Husain, apa pendapatmu tentang melakuakan mut’ah dengan anak kecil?” al-Musawi berkata kepadanya: “Ucapan yang paling tinggi adalah ucapanmu, yang benar adalah pendapatmu dan engkau adalah seorang imam mujtahid. Tidak mungkin bagiku untuk berpendapat atau mengatakan kecuali sesuatu dengan pendapat dan perkataanmu. Perlu dipahami bahwa tidak mungkin bagi saya untuk menentang fatwamu.” Lihat, Lillâh tsumma li at-Târîkh (edisi bahasa Indonesia, hlm. 48).
[7] Lihat, al-Kafi, bagian ar-Rawdhah, terbitan Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, Cetakan III, tahun 1388 H, Juz 8, hal. 245-246, Hadis No. 341, bab:
النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله أَهْلُ رِدَّةٍ إِلاَّ ثَلاَثَةً
Lihat pula, al-Kafi versi baru, terbitan Dar al-Hadits, Qum, Iran, tahun 1430 H, tahqiq Markaz Buhuts Dar al-Hadits, juz 15, hal. 558-559, Hadis No. 15.156, bab:
إِنَّ عَامَّةَ الصَّحَابَةِ نَقَضُوْا عَهْدَهُمْ وَارْتَدُّوْا بَعْدَ رَسُوْلِ اللّه صلى الله عليه و آله = النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و آله أَهْلُ رِدَّةٍ إِلاَّ ثَلاَثَةً
Lihat pula dalam al-Wafi Syarh al-Kafi, karya al-Faydh al-Kasyani, Juz 2, hal. 198-199, pada bab
إِنَّ عَامَّةَ الصَّحَابَةِ نَقَضُوْا عَهْدَهُمْ وَارْتَدُّوْا بَعْدَ رَسُوْلِ اللّه صلى الله عليه و آله
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh al-Kasyyi, dengan sedikit perbedaan redaksi pada kalimat:
…وَأَبَوْا أَنْ يُبَايِعُوْا لِأَبِيْ بَكْرٍ حَتَّى جَاؤُوْا بِأَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ…
(Lihat, Rijal al-Kasyyi, hal. 26-27, Hadis No. 12)
Hadis di atas dijadikan rujukan oleh para ulama Syi’ah, antara lain Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayyasyi dalam Tafsir al-‘Ayyasyi, Juz 1, hal. 199, Hadis No. 148; Syekh al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar, Juz 28, hal. 236, Hadis No. 22. Kata Syekh al-Majlisi:
الْحَدِيْثُ الْحَادِيُّ وَالأَرْبَعُوْنَ وَالثَّلاَثُمِائَةِ : حَسَنٌ أَوْ مُوَثَّقٌ
“Hadis No. 341, Hasan atau Muwatsaq.” Lihat, Mir’ah al-‘Uqul fi Syarh Akhbari Ali ar-Rasul, Juz 26, hal. 213, Hadis No. 341, bab:
إِرْتِدَادُ النَّاسِ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله إِلاَّ ثَلاَثَةً
Penjelasan tentang kriteria Hasan atau Muwatsaq menurut ulama Syi’ah, dapat dibaca pada edisi sebelumnya.
[8] Lihat, Al-Kulaini, Al-Kâfi, juz 1 hlm. 437.
[9] Lihat, Al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr, juz 23 hlm.390.
[10] Lihat, Man Lâ Yahdhuruhû al-Faqîh, juz 3 hlm. 366.