Syiah dan Hadis (2)
Syiah mencela Abu Hurairah Ra.
Dalam upaya membumikan doktrin bahwa hadis yang shahih hanya melalui jalur Ahlul Bait, rekayasa Syiah berlanjut dengan mengorek para pemuka sahabat yang terhitung sebagai al-Muktsirîn (bendaharawan) di bidang hadis, utamanya Abu Hurairah Ra., sebagaimana telah disinggung pada edisi sebelumnya.
Sebagaimana telah kita maklumi, bahwa Abu Hurairah masuk Islam pada masa perang Khaibar, bulan Muharram tahun 7 H. Sejak itu hingga Nabi Saw. wafat tahun 11 H, persahabatannya dengan beliau relatif singkat, sekitar 4 tahun lebih. [1]
Meski singkat, namun dia mampu mengoleksi hadis Nabi sebanyak 5.374 hadis. Jumlah ini menempatkan posisi Abu Huraerah pada urutan pertama sebagai bendaharawan hadis di kalangan sahabat. Urutan berikutnya (2) Abdullah bin Umar bin Khatab sebanyak 2.630 hadis; (3) Anas bin Malik, sebanyak 2.286 hadis; (4) Aisyah, sebanyak 2.210 hadis; (5) Abdulah bin Abas, sebanyak 1.660 hadis; (6) Jabir bin Abdullah, sebanyak 1.540 hadis; dan (7) Abu Said al-Khudri, sebanyak 1.170 hadis. [2]
Selain mereka jumlah hadisnya tidak melebihi angka 1000 hadis, termasuk di dalamnya para tokoh Muhajirin dan Anshar, yang lebih lama bergaul dengan Nabi. Dengan demikian, Abu Huraerah menjadi rujukan banyak sahabat Nabi dan para tabi’in. Kata Imam al-Bukhari, “Hadis Abu Huraerah diriwayatkan oleh 800 orang lebih. [3]
Bagi orang yang sentimen, seperti Syi’ah Imamiyyah, jumlah hadis sebanyak itu tentu saja akan menimbulkan kecurigaan. Namun bagi yang objektif melihat kiprah dan kinerjanya, bahkan yang paling penting berkah doa Nabi pada dirinya, tentu saja angka sebanyak itu dapat dipahami.
Sejatinya, melancarkan suara-suara miring terhadap sahabat pemuka hadis sekaliber Abu Hurairah Ra., dengan menggunakan pendekatan apa pun, tidak akan pernah bisa meruntuhkan reputasi dan kebesaran beliau, sebab sudah pasti akan bertentangan dengan dalil-dalil hadis, pengakuan para pemuka sahabat dan pemuka ulama serta realita sejarah.
Jawaban untuk secuil sentilan terhadap Abu Hurairah Ra. sebetulnya telah dilakukan oleh para ulama secara ilmiah dan rasional. Banyak buku-buku yang ditulis oleh para ulama khusus untuk membantah tudingan miring terhadap sahabat senior Nabi saw. tersebut, di antaranya adalah al-Burhân fi Tabri’at Abî Hurairah min al-Buthân yang ditulis oleh Abdullah bin Abdul Aziz bin Ali an-Nash, Dr. Al-A’zhami dalam Abû Hurairah fi Dhaw’i Marwiyâtih, Muhammad Abu Shuhbah dalam Abû Hurairah fi al-Mîzân, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dengan bukunya Abû Hurairah Riwâyat al-Islâm dan lain-lain.
Karenanya, di sini, kami hanya akan menampilkan poin-poin penting yang kiranya lebih dari cukup untuk meruntuhkan asumsi-asumsi Syiah seputar Abu Hurairah Ra., baik dari hadis, ungkapan sahabat, ulama serta realita sejarah. Dalam hadis, banyak sekali ditemukan penjelasan-penjelasan yang meneguhkan supremasi Abu Hurairah Ra. dalam bidang hadis, berkenaan dengan doa Nabi saw. untuk beliau, ketekunan beliau dalam mempelajari hadis, ketekunan daya ingat beliau, keadaan beliau yang senantiasa menyertai Nabi Muhammad saw. dan lain sebagainya. Hadis-hadis tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Imam al-Bukhari berkata:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ أَبُو مُصْعَبٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَسْمَعُ مِنْكَ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنْسَاهُ قَالَ ابْسُطْ رِدَاءَكَ فَبَسَطْتُهُ قَالَ فَغَرَفَ بِيَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ ضُمَّهُ فَضَمَمْتُهُ فَمَا نَسِيتُ شَيْئًا بَعْدَهُ.
“Ahmad bin Abu Bakar Abu Mush’ab telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, ‘Muhammad bin Ibrahim bin Dinar telah menceritakan kepada kami, dari Ibnu Abi Dzi’bin, dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah Ra., ia berkata, ‘Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah saw, saya banyak mendengar hadis dari Baginda, namun saya banyak yang lupa.’ Kemudian Nabi saw. bersabda, ‘Hamparkan selendangmu.’ Kemudian Abu Hurairah menghamparkan selendangnya, lalu Nabi mecidukkan kedua tangannya (dengan isyarat, dan meletakkan ke dalam selendang), lalu Nabi saw. bersabda, ‘Dekaplah selendang itu.’ Lalu selendang itu Aku dekap. Dan setelah kejadian itu, Aku tidak pernah lupa terhadap hadis-hadis Nabi Muhammad saw. sedikitpun’.”[4]
Dalam riwayat lain, Abu Hurairah menerangkan latar belakang mengapa dirinya banyak mengoleksi hadis.
… عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ إِنَّ النَّاسَ يَقُولُونَ أَكْثَرَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَلَوْلاَ آيَتَانِ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَا حَدَّثْتُ حَدِيثًا ثُمَّ يَتْلُو إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنْ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى إِلَى قَوْلِهِ الرَّحِيمُ إِنَّ إِخْوَانَنَا مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ الصَّفْقُ بِالأَسْوَاقِ وَإِنَّ إِخْوَانَنَا مِنْ الأَنْصَارِ كَانَ يَشْغَلُهُمْ الْعَمَلُ فِي أَمْوَالِهِمْ وَإِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِشِبَعِ بَطْنِهِ وَيَحْضُرُ مَا لاَ يَحْضُرُونَ وَيَحْفَظُ مَا لاَ يَحْفَظُونَ.
“Dari Abi Hurairah Ra., ia berkata, ‘Sesungguhnya mereka berkata, ‘Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadis.’ Andaikan tidak ada dua ayat dalam al-Qur’an niscaya aku tidak akan pernah meriwayatkan sebuah hadis. Kemudian Abu Hurairah membaca ayat “Innal ladzîna yaktumûna….” Sesungguhnya para sahabat Muhajirin sibuk dengan berdagang di pasar, dan sahabat Anshar juga sibuk bertani di ladang mereka, sedangkan Abu Hurairah (berkata sendiri), untuk menunjang kebutuhan pangannya, maka ia hadir (bersama Nabi) di majlis yang tidak dihadiri oleh mereka (para sahabat), dan menghafal (hadis) yang tidak dihafal oleh mereka.”[5]
Dalam perkataannya terkait dengan kaum Muhajirin dan Anshar, tersirat petunjuk bahwa aspek keislaman, hijrah, dan persahabatan dengan Rasul tidak dijadikan sebagai tolok ukur. Karena dilihat dari aspek-aspek ini para sahabat lain lebih istimewa. Namun yang dijadikan sebagai tolok ukur adalah aspek mulaazamah (intensitas pergaulan dan interaksi ilmiah). Karena pada aspek ini Abu Huraerah lebih unggul dari para sahabat lainnya. Meski demikian, aspek ini dibicarakan oleh Abu Huraerah bukan dalam konteks pamer kehebatan ilmu atau paling semangat mencari ilmu, melainkan sebagai uslub tawadhu (gaya ungkap merendahkan diri) dengan menyatakan: “untuk menunjang kebutuhan pangannya.” Atau dalam ungkapan lain: “karena memenuhi perutku.”Maksud perkataannya itu bahwa Abu Huraerah merasa cukup dengan apa yang dapat dimakan sehingga tidak tersibukkan dengan mencari dan mengelola harta kekayaan.
Dalam redaksi lain, Abu Huraerah menjelaskan faktor terpenting berupa berkah yang dianugerahkan Allah kepadanya, melalui khidmat kepada Rasulullah. Sehubungan dengan itu, Nabi saw. bersabda:
أَبُوا هُرَيْرَةَ وِعَاعُ الْعِلْمِ
“Abu Hurairah adalah gudang ilmu.”
Di antara bukti akan kekuatan hafalan Abu Hurairah, adalah cerita yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dengan sanadnya: Sekretaris Marwan bin al-Hakam, Zu’aizi’ah, bercerita padaku, bahwa suatu ketika Marwan mengundang Abu Hurairah Ra. (untuk membacakan hadis). Kemudian Marwan menyuruhku duduk di belakang tabir guna mencatat hadis-hadis yang dibaca Abu Hurairah tanpa sepengetahuannya, dan Marwan pun bertanya pada Abu Hurairah tentang hadis-hadis Nabi saw. Pada tahun berikutnya, Marwan kembali memanggil Abu Hurairah guna membacakan hadis yang beliau baca tahun kemarin. Dan Marwan kembali menyuruhku untuk duduk di belakang tabir guna menyesuaikan bacaan Abu Hurairah dengan catatanku. Ternyata bacaan Abu Hurairah di tahun ini persis sama dengan bacaan beliau tahun kemarin tanpa ada pengurangan atau penambahan satu huruf pun.
Selain dari hadis-hadis Nabi saw., keunggulan-keunggulan Abu Hurairah di bidang hadis juga dapat diketahui dari pernyataan-pernyataan para sahabat tentang beliau. Dalam hal ini, misalnya, Syu’bah mengatakan: dari Asy‘ats bin Salim, dari ayahnya, ia berkata: Saya mendengar Abu Ayyub bercerita tentang Abu Hurairah. Lalu dikatakan padanya: “Kamu adalah sahabat Rasulullah saw., mengapa yang kau ceritakan adalah Abu Hurairah? Lalu ia menjawab: “Abu Hurairah telah mendengar apa yang tidak kami dengar. Dan aku lebih suka menceritakan sesuatu dari Abu Hurairah, daripada menceritakan dari Rasulullah saw., apa yang tidak Aku dengar langsung dari beliau.”[6]
Sejarawan dan mufassir Islam terkemuka, Ibnu Katsir, mengatakan bahwa Abu Hurairah Ra. merupakan sahabat yang paling kuat hafalannya, kendati beliau bukan yang paling utama.[7] Ibnu Katsir juga memaparkan rekaman sejarah seputar biografi Abu Hurairah Ra. Katanya: Abu Hurairah Ra. selalu menyertai Rasulullah saw. setelah beliau masuk Islam, dan tidak pernah berpisah dengan beliau, baik pada saat bepergian maupun tidak. Abu Hurairah ra. adalah sahabat yang paling gemar menyimak hadis dari Rasulullah saw. dan belajar dari beliau. Abu Hurairah selalu menyertai Nabi saw. dan tidak menghiraukan isi perutnya.[8]
Nâshir as-Sunnah, Imam asy-Syafi’i mengatakan: “Abu Hurairah ra. adalah orang yang memiliki hafalan yang paling cemerlang dalam meriwayatkan hadis pada masanya.”[9] Sementara al-Hakim mengatakan: “Saya telah menyelidiki keutamaan-keutamaan Abu Hurairah ra., karena beliau telah menghafal banyak hadis-hadis Nabi saw., dan hal itu telah disaksikan oleh para sahabat dann tabi’in, sebab setiap orang yang berusaha menghafal hadis mulai dari awal kerajaan Islam sampai pada masa sekarang, pasti orang tersebut menjadi pengikut dan pendukung Abu Hurairah ra., dialah (Abu Hurairah) pemukanya dan yang lebih berhak diberi gelar al-hâfizh.”[10]
Dengan demikian, maka keagungan, ketekunan, kecerdasan dan daya ingat Abu Hurairah tidak perlu disangsikan, dan karena itulah posisi beliau di bidang hadis demikian tinggi tak tertandingi. Yang perlu disangsikan justru pertanyaan kesangsian terhadap Abu Hurairah ra., seperti ditulis oleh Dr. Quraish Shihab: “Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, maka semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan suatu keharusan.”[11]
Pernyataan seperti yang dilontarkan oleh Dr. Quraish Shihab tersebut sebetulnya hanya muncul dari asumsi-asumsi tanpa dasar dan tidak memiliki landasan ilmiah sama sekali. Sebab jelas sekali jika beliau telah mengabaikan dalil-dalil tentang keutamaan Abu Hurairah dalam hadis-hadis Nabi saw., data-data sejarah dan penelitian sekaligus penilaian ulama yang mumpuni di bidangnya (hadis dan sejarah). Kekurang-cakapan Dr. Quraish Shihab di bidang hadis semakin tampak, ketika beliau justru menjadikan buku Mahmud Abu Rayyah, Adhwâ’ ‘ala as-Sunnah Muhammadiyah sebagai rujukan dalam upaya menurunkan reputasi Abu Hurairah Ra. Padahal, semua pakar hadis kontemporer paham betul akan status dan pemikiran Abu Rayyah dalam hadis.[12]
Mengenai hitungan matematis Muhammad Tijani, yang menyatakan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. terlalu banyak, sehingga terkesan absurd, sebenarnya muncul dari kekurang-telitian Tijani dan mereka yang menyepakatinya. Dalam Abû Hurairah fî Dhaw’i Marwiyâtih, Dr. Al-A’zhami melakukan penelitian tentang hal ini, dan menghasilkan temuan bahwa jumlah hadis riwayat Abu Hurairah Ra. yang mencapai 5000 lebih itu jika menghitung hadis yang diulang-ulangi substansinya. Jika penghitungan dilakukan dengan mengabaikan hadis-hadis yang diulang-ulangi, maka hadis-hadis Abu Hurairah Ra. yang ada dalam Musnad dan Kutub as-Sittah tinggal 1336 saja. Nah, kadar ini, kata Ali as-Salus, bisa di hafal oleh pelajar yang tidak terlalu cerdas dalam waktu kurang dari satu tahun. Bagaimana dengan Abu Hurairah, yang hafalannya merupakan bagian dari mukjizat kenabian?[13]
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] Lihat, keterangan Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, Juz 2, hlm. 128.
[2] Lihat, Ushul al-Hadits, hlm. 404-405.
[3] Lihat, keterangan adz-Dzahabi dalam Tadzkirah al-Hufazh, Juz 1, hlm. 36; Ibnu Hajar dalam al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, Juz 4, hlm. 205.
[4] Lihat, Shahîh Bukhâri, juz 1, hlm. 202.
[5] Lihat, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz 1, hlm. 189.
[6] Diceritakan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, juz 3, hlm. 512 dan adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâm an-Nubalâ’, juz 2, hlm. 606.
[7] Lihat, Ibnu Katsir, al-Bidbâyah wa an-Nihâyah, juz 8, hlm. 106.
[8] Ibid, juz 8 hlm. 104.
[9] Lihat, Asy-Syafi’i, ar-Risâlah, hlm. 281.
[10] Lihat, Al-Hakim, Mustadrak, juz 3 hlm. 512.
[11] Lihat, Dr. Quraish Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, hlm. 160.
[12]Mahmud Abu Rayyah adalah penentang hadis kontemporer. Inti dari karya-karya dan pemikirannya adalah menolak otentisitas dan otoritas hadis, mempersoalkan integritas (‘adâlah) para sahabat pada umumnya dan Abu Hurairah Khususnya. Karya-karyanya antara lain: Ka’b al-Akhbâr huwa ash-Shahyûniyu al-Awwal; Adhwa’ ‘alâ as-Sunnah Muhammadiyah dan Syekh al-Madhîrah Abu Hurairah.
Karena pemikiran dan karya-karyanya itu, Abu Rayyah langsung dihujani kritik oleh para ulama, antara lain Muhammad Abu Shuhbah dengan bukunya Abû Hurairah fi al-Mîzân; Muhammad as-Samahi, Musthafa as-Saba’i, Sulaiman an-Nadwi, Muhibbuddin al-Khatib et all (dalam karya bersama mereka: Difâ’ ‘an al-Hadîts an-Nabawî wa Tafnîd Syubuhat Khushûmîhî; Abdurrazaq Hamzah dalam Zhulumât Abî Rayyah Imâm Adhwâ’ ‘alâ as-Sunnah an-Nabawiyah; Abdurrahman ibn Yahya al-Yamani dalam al-Anwâr al-Kâsyifah limâ fi Kitab Adhwâ’ ‘alâ as-Sunnah min adh-Dhalâl wa at-Tadhlîl wa al-Mujâzafah; Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam Abû Hurairah Riwâyat al-Islâm. Kendati menyangkal jika pikirannya terpengaruh oleh orientalis, namun tidak bisa dimungkiri jika pemikirannya (Abu Rayyah) dan pemikiran orientalis tentang hadis memang sulit dibedakan. Dari sini, yang sulit dipercaya namun nyata kebenarannya adalah, bahwa di tengah hujan kritik yang membanjiri Abu Rayyah ini, Dr. Quraish Shihab justru mengadopsi pemikirannya begitu saja, tanpa beban apa pun.
[13] Lihat, Dr. Ali as-Salus, Ma’a asy-Syi’ah Itsna ‘Asyariyah fi al-Ushûl wa al-Furû, juz 2, hlm. 390.