Syiah dan Hadis (1)
Pandangan Ahlussunnah
Hadis adalah fondasi Syariat Islam kedua setelah al-Qur’an. Kekuatan hujjahnya tidaklah terbantahkan. Hadis juga berperan sebagai penjelas dan penafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Maka, sebagaimana kewajiban mengikuti dan mengamalkan ajaran al-Qur’an, umat Islam juga berkewajiban mengikuti serta menjalankan ajaran-ajaran al-Hadis. Perintah ini telah termaktub di dalam beberapa ayat al-Qur’an sebagai berikut:
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا (المائدة ]5[: 92)
“Dan takutlah kamu kepada Rasul dan berhati-hatilah.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 92)
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ (النساء ]4[: 80)
“Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (QS. An-Nisa [4]: 80)
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (الحشر ]59[: 7)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ (الأحزاب ]33[: 21)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21)
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ (آل عمران ]3[: 31)
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mecintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’.” (QS. Ali-Imran: 31)
Dalam hadisnya, Rasulullah saw. juga menjelaskan:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
“Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka, yang jika kalian berpegang-teguh pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” HR. Malik[1]
Hal demikian tak lain karena hadis sejatinya juga merupakan wahyu yang diturunkan Allah Swt.. kepada Nabi Muhammad saw. Mengenai hal ini, Allah Swt. menjelaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4) عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى (5).
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” (QS. An-Najm [53]: 3-5)
Selanjutnya, sahabat memegang peranan kunci dalam periwayatan hadis. Para sahabat yang menimba langsung hadis-hadis dari sumbernya (Nabi Muhammad saw.), melakukan transmisi hadis-hadis tersebut kepada generasi selanjutnya, dan hal ini terus berlangsung hingga Hadis-Hadis Rasulullah saw. sampai pada kita. Jadi, para sahabat saw. merupakan tonggak dari ajaran Islam, sebab pada merekalah ajaran-ajaran Islam tertuangkan; pada merekalah Nabi Muhammad saw.. membacakan al-Qur’an, menjelaskan maksud dan mempraktikan isinya. Pada mereka pula Nabi Muhammad saw. menyampaikan hadis-hadis beliau.
Nah, lantaran berstatus sebagai pembawa ajaran Islam yang diterima dari Nabi Muhammad saw.. itulah, para sahabat menempati posisi yang sangat tinggi dalam Islam; posisi yang tidak dapat dicapai oleh siapapun dari generasi umat Nabi yang muncul kemudian. Dan, melalui dalil nash-nash al-Qur’an dan Hadis, rasio serta realita,[2] para ulama sepakat (ijma’)[3] menilai bahwa semua sahabat memenuhi syarat ‘adâlah (integritas), termasuk yang terlibat dalam konflik internal umat Islam (lâbisa al-fitan). Ibnu Shalah menulis:
ثُمَّ إِنَّ الْأُمَّةَ مُجْمِعَةٌ عَلَى تَعْدِيلِ الصَّحَابَةِ، وَمَنْ لَابَسَ الْفِتَنَ مِنْهُمْ، فَكَذَلِكَ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ الَّذِينَ يُعْتَدُّ بِهِمْ فِي الْإِجْمَاعِ، وَكَأَنَّ اللهَ أَتَاحَ الْإِجْمَاعَ عَلَى ذَلِكَ لِكَوْنِهِمْ نَقَلَةَ الشَّرِيعَةِ.
“Kemudian umat bersepakat dalam menilai adil terhadap semua sahabat, mereka yang terlibat dalam konflik internal umat Islam. Demikianlah konsensus para ulama yang pendapatnya dapat dianggap dalam menetapkan ijma’. Seakan Allah Swt.. memang menganugerahkan ijma’ terhadap status keadilan karena mereka adalah para pembawa syari’at Islam.” [4]
Para ulama menjelaskan, bahwa syarat ‘adâlah (integritas) sahabat bukan berarti mereka berstatus ma’sûm atau terjaga dari kema’siatan dan dosa. Akan tetapi yang dikehendaki adalah diterimanya riwayat-riwayat mereka tanpa memaksakan penyelidikan terhadap faktor-faktor dan indikasi-indikasi keasilan pada diri mereka, sebab mereka sudah dipastikan keadilannya.[5]
Pandangan Syiah
Pandangan Syiah terhadap hadis Nabi Muhammad saw. tidak sebagaimana pandangan Ahlussunnah di atas. Dalam hal ini, ada perbedaan yang sangat prinsip antara Syiah dan Ahlussunnah, baik mengenai epistomologi, jalur periwayatan, penerimaan maupun penggunaannya.
Definisi Sunnah versi Syiah adalah “setiap sesuatu yang muncul dari orang yang ma’shum, baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.”[6] Sementara orang yang ma’shum itu adalah Rasulullah saw. dan Imam Duabelas. Maka dalam Syiah tidak ada bedanya antara Imam Dua Belas dengan orang yang disebut dalam al-Qur’an sebagai man lâ yanthiqu ‘an al-hawâ in huwa illâ wahyun yûhâ (Rasulullah saw.). Demikian pula tidak dibedakan antara yang masih bocah dengan yang sudah berpikiran matang dari Imam Duabelas, sebab dalam pandangan Syiah, mereka (Imam Dua Belas) terjaga dari salah dan lupa sepanjang hidupnya.
Karenanya, Syiah berkeyakinan bahwa Hadis-Hadis yang bersumber dari para Imam adalah shahih tanpa perlu kesinambungan riwayat (ittishâl) dengan Rasulullah saw.. sebagaimana persyaratan kesahihan Hadis dalam Ahlussunnah.[7] Dan bahwa status para Imam layaknya para Rasul, perkataan mereka sama dengan firman Allah dan perintah mereka sama dengan perintah Allah Swt.., begitu pula menyalahi mereka sama halnya dengan menyalahi perintah Allah Swt.., sebab mereka tidak berkata-kata melainkan ada koneksi langsung dengan Allah Swt.. melalui wahyu.[8]
Pandangan di atas sudah menjadi cara pandang kalangan Syiah secara umum, baik yang ekstrem maupun yang lunak, yang modern lebih-lebih yang klasik. Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’, salah seorang tokoh Syiah kontemporer yang menjadi rujukan kaum Syiah masa kini, menyatakan sebagai berikut:
إنَّ الشِّيْعَةَ لَا يَعْتَبِرُوْنَ مِنَ السُّنَّةِ (أعْنِي الأحَادِيْثَ النَّبَوِيَّةَ) إلَّا مَا صَحَّ لَهُمْ مِنْ طُرُقِ أَهْلِ الْبَيْتِ… أمَّا مَا يَرْوِيْهِ مِثْلُ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، وَسَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، وَعَمْرو بْنِ الْعَاصِ وَنَظَائِرِهِمْ فَلَيْسَ لَهُمْ عِنْدَ الْإِمَامِيَّةِ مِقْدَارُ بَعُوْضَةٍ.
“Syiah tidak menerima hadis-hadis Nabi saw. kecuali yang dianggap sah dari jalur Ahlu Bait. Sementara hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para perawi semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Amr bin Ash, dan sesamanya, maka dalam pandangan Syiah Imamiyah, mereka tidak memiliki nilai walau senilai nyamuk sekalipun.[9]
Senada dengan Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’, Dr. Quraish Shihab juga menulis sebagai berikut:
“Disebabkan oleh pandangan Syiah seperti yang penulis kemukakan di atas, maka ulama-ulama Syiah sangat selektif dalam menerima hadis-hadis, bahkan boleh jadi tidak keliru jika dikatakan bahwa mereka tidak menerima hadis-hadis kecuali jika diriwayatkan melalui Ja’far ash-Shadiq, dari ayahnya Muhammad al-Baqir, dari ayahnya Ali Zainal Abidin, dari ayahnya Sayyidina Husain (cucu Nabi saw..), dari ayahnya Amirul Mu’minin Ali ibnu Abi Thalib, dari Rasulullah saw… Adapun semacam Hadis-Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Samurah ibnu Jundub, Marwan ibnu Hakam, Amran ibnu Haththan, ‘Amr ibnu ‘Ash, maka di sisi Syiah mereka tidak memiliki sedikit nilai walau senilai lalat sekalipun”.[10]
Dari pernyataan di atas, kita dapat mencerna, bahwa dalam upaya meraih supremasi di bidang hadis, Syiah tidak menyatakan bahwa mereka hanya mau menerima Hadis-Hadis dari kalangan Ahlul Bait, akan tetapi mereka juga berupaya menoreh (jarh) para pemuka sahabat yang memiliki otoritas di bidang hadis, terutama Abu Hurairah Ra. Mengenai hal ini, seorang pemuka Syiah, Muhammad Tijani, berupaya menciptakan angka-angka matematis guna mendustakan Abu Hurairah Ra. secara rasional. Ia menulis antara lain sebagai berikut:
وَجَمَعَ بَعْضُ الْمُحَقِّقِيْنَ مَجْمُوعَ مَرْوِيَّاتِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ وَالْعَشْرَةِ الْمُبَشَّرِيْنَ وَاُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَأَهْلِ الْبَيْتِ الطَّاهِرِيْنَ فَلَمْ تَبْلُغْ كُلُّهَا عُشُرَ مِعْشَارِ مَارَوَاهُ أبُوْا هُرَيْرَةَ.
“Sebagian ulama muhaqqiqin telah mengumpulkan Hadis-Hadis riwayat Khulafâ’ ar-Râsyidîn, al-‘Asyrah al-Mubasyarûn bi al-Jannah, Ummahât al-Mu’minin dan Ahlul Bait ra., ternyata jumlah kumpulan Hadis tersebut tidak sampai seper sepuluh dari seper sepuluhnya Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra.”[11]
Pernyataan semacam at-Tijani di atas diamini dan diteladani oleh mufassir Indonesia kenamaan, Dr. Quraish Shihab. Dalam bukunya, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, beliau menulis sebagai berikut:
“Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan suatu keharusan. Di samping itu semua, harus diakui juga bahwa tingkat kecerdasan dan kemampuan ilmiah, demikian juga pengenalan Abu Hurairah ra. menyanngkut Nabi saw.. atau istri Nabi saw.. Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ.”[12]
Upaya memperoleh supremasi di bidang hadis ini, tentu juga tidak lepas dari doktrin mereka yang paling pokok, yakni imâmah. Doktrin imâmah dalam Syiah berarti menjadikan Imam-imam sebagai poros: Hadis-hadis selain dari para Imam tidak dianggap lebih kuat dari hadis-hadis para Imam, dan karenanya layak ditolak, sebab para Imam adalah pemimpin tertinggi, sebab para Imam berstatus ma’hûm, dan siapa saja yang mencoba untuk menyaingi mereka berarti kafir.[13]
Di antara teori antagonistis Syiah dalam berhujjah, adalah apa yang kebanyakan dilakukan oleh Syiah kontemporer. Dalam menjawab kejanggalan-kejanggalan dari Ahlussunnah terkait dengan isi hadis, periwayatan serta status perawinya, mereka (Syiah) malah menuding balik dan menyatakan bahwa Ahlussunnah yang berlaku sepihak dan diskriminatif. Mengenai hal ini, Organization of Ahlulbayt for Social Support and Education (OASE) berkomentar sebagai berikut:
“Bacalah Tafsir Mizan dari ath-Thabathabai sebagai contoh, dan Anda akan menemukan hadis-hadis Sunni yang banyak. Tetapi ambillah kitab tafsir yang ditulis oleh ulama Sunni mana pun, dan Anda tidak akan menemukan satu pun hadis Syiah dimuat di dalamnya. Jadi siapakah yang diskriminatif sebenarnya.”[14]
Tak ketinggalan, Dr. Quraish Shihab juga memunculkan statemen senada. Dengan mengutip penulis Syiah kontemporer, Murtadha al-‘Asykari dalam Ma’âlim al-Madrasatain (jilid 1 hlm. 39), Dr. Quraish Shihab menulis sebagai berikut:
“Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar Hadis Ahlussunnah tidak meriwayatkan dari imam-imam mereka. Imam Bukhari, misalnya, tidak meriwayatkan satu Hadis pun dari Ja’far ash-Shadiq, Imam ke-6 Syiah Imamiyah, padahal Hadis-Hadisnya cukup banyak diriwayatkan oleh kelompok Syiah.”[15]
Kesimpulannya, upaya Syiah untuk mendapatkan kedudukan tak tertandingi di ranah hadis sudah maksimal dan memuncak; mulai dari argumen Ahlul Bait, ‘ishmat al-Imâm (kemaksuman para Imam), menoreh para pemuka sahabat sampai pada pendiskreditan posisi Ahlussunnah di bidang Hadis. Namun, adakah semua itu cukup kuat untuk menyampaikan sekte Syiah pada apa yang mereka harapkan?
Tanggapan
Data-data mengenai pandangan Syiah terhadap hadis yang telah kami cantumkan di atas, tentu sangat kontras dengan pandangan Ahlussunnah. Ada beberapa poin yang penting untuk dikritisi, antara lain adalah pernyataan mereka bahwa Syiah tidak menerima hadis-hadis Nabi saw. kecuali yang dianggap shahih dari jalur Ahlul Bait. Komentar yang antara lain diungkapkan oleh Kasyif al-Ghitha’ ini, sebenarnya tak lebih dari sekedar pengkaburan dari kalangan Syiah.
Memang, pernyataan-pernyataan Syiah seringkali menjebak, dengan menggunakan premis-premis logika yang ketika dinalar, nantinya akan mengantarkan pada kesimpulan (natîjah) bahwa pernyataan mereka memang benar. Dalam hal ini, pernyataan Syiah yang “tidak menerima Hadis kecuali yang datang dari Ahlul Bait”, akan memunculkan kesan di kalangan awam, bahwa hadis-hadis mereka memang bersumber dari Nabi Muhammad saw. Sebab logikanya, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq sudah pasti nyambung (ittishâl) pada Nabi saw., dengan penalaran persis seperti yang dibuat oleh Dr. Quraish Shihab di atas: “Imam Ja’far ash-Shadiq dari ayahnya Muhammad al-Baqir, dari ayahnya Ali Zainal Abidin, dari ayahnya Sayyidina Husain, dari ayahnya Amirul Mu’minin Ali ibnu Abi Thalib, dari Rasulullah saw.”
Selanjutnya, logika di atas diback-up dengan doktrin Syiah yang menyatakan bahwa semua Imam adalah ma’shum, terpelihara dari dosa apa pun. Sehingga, hadis yang diriwayatkan dari Imam Duabelas pasti shahih tanpa harus ittishâl dengan Rasulullah saw. Sementara hadis-hadis dari perawi yang lain, tentu sangat patut untuk disangsikan, dan mudah untuk ditolak.
Dengan logika semacam itulah, Syiah kemudian menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh selain Ahlul Bait. Padahal, sebagaimana telah kami tekankan sebelumnya, bahwa hal tersebut tak lebih dari sekedar pengkaburan semata. Sebab nyatanya tidak semua riwayat Ahlul Bait yang mereka terima. Riwayat yang datang dari keturunan Sayyidah Fathimah radhiyallâhu ‘anhâ dari jalur Sayyidina Hasan Ra. mereka tolak dengan alasan bahwa keturunan Sayyidina Hasan Ra. bukan Imam.[16] Lebih mempertegas sikap Syiah dalam penerimaan riwayat secara sepihak dan sarat kepentingan ini, ath-Thusi dalam al-Istibshâr menolak mentah-mentah hadis dari Zaid bin Ali ra.[17]
Statemen Syiah bahwa mereka tidak meriwayatkan hadis shahîh kecuali melalui jalur Ahlul Bait, sebenarnya akan menjadi senjata makan tuan, ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa tidak semua hadis Nabi diterima oleh Sayyidina Ali Ra. Mungkinkah Sayyidina Ali Ra. dapat meriwayatkan semua hadis Nabi saw. kepada anak cucunya hanya seorang diri, padahal Sayyidina Ali Ra. tidak selamanya kumpul dengan Rasulullah saw.? Juga bagaimana mungkin Sayyidina Ali dapat meriwayatkan secara langsung ihwal Nabi saw. yang hanya mungkin diketahui oleh para istri beliau?
Selain itu, telah jelas pula bahwa penyebaran ilmu-ilmu agama ke berbagai wilayah dunia tidak sepenuhnya melalui jalur Ahlul Bait. Di Madinah, yang pertama kali mengajak penduduknya memeluk agama Islam dan mengajari sahabat-sahabat Anshar tentang al-Qur’an adalah As’ad bin Zurarah atas perintah dari Nabi Muhammad saw. Di Bahrain, yang membawa panji Islam adalah ‘Alla’ bin al-Hardhamy, sedangkan di Yaman adalah Abu Musa al-Asy’ary dan Mu’adz bin Jabal.[18]
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] Lihat, al-Muwatha, Juz 2, hlm. 899, No. Hadis 1594
[2] Mengenai dalil-dalil akan keadilan sahabat akan kami kemukakan lebih rinci dalam pembahasan Syiah, Sahabat dan Ahlussunnah pada beberapa edisi selanjutnya.
[3] Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki menyatakan, bahwa di antara ulama yang menyatakan ijma’ tersebut adalah Ibn Abd al-Barr, Imam Nawawi dan Imam al-Haramain. Lihat, Manhal al-Lathîf fî Ushûl al-Hadîts asy-Syarîf, hlm. 177.
[4] Lihat, Ibn Shalah, Muqaddimah Ibn Shalâh, hlm. 147.
[5] Lihat, Manhal al-Lathîf fî Ushûl al-Hadîts asy-Syarîf, hlm. 177.
[6] Lihat, Muhammad Taqi al-Hakim, al-Ushûl al-‘Ammah li al-Fiqh al-Muqârin, hlm. 122.
[7] Lihat, Abdullah Fayyadh, Târikh al-Imâmiyah, hlm. 140.
[8] Lihat, I’tiqâdât Ibn Bâbawaih, hlm. 106. Lihat juga dalam Ushûl al-Madzhab ar-Râfidhi, karya Dr. Nashir bin Abdullah bin Ali al-Qifari, juz 1 hlm. 363; Dr. Shalih ar-Raqb, Al-Wâsyi’ah fî Kasyf Syanâi’ ‘Aqâ’îd asy-Syi’ah, hlm. 73, cet. 1 (1424 H/2003 M).
[9] Lihat, Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’, Ashl asy-Syî’ah wa Ushûliha, hlm. 79.
[10] Lihat, Dr. Quraish Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, hlm. 154-155.
[11] Dikutip oleh al-Qifari dalam Ushûl al-Madzhab ar-Râfidhi, juz 1, hlm. 363.
[12] Lihat, Dr. Quraish Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, hlm. 160.
[13] Lihat, Al-Kâfi, juz 1, hlm. 372, Hadis No. 2, Dar al-Kutub al-Islamiyah.
[14] Lihat, Emila Renita AZ, Mengapa Kita Memilih Syiah? Tanggapan untuk Majalah Sabili Edisi No. 5 th. XVIII, 22 September 2005, hlm. 16.
[15] Lihat, Dr. Quraish Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, hlm. 150.
[16] Lihat, Al-Qifari dalam Ushûl al-Madzhab ar-Râfidhî, juz 1, hlm. 363.
[17] Lihat, Al-Istibshâr, juz 1 hlm. 66.
[18] Lihat, Al-Qifari dalam Ushûl al-Madzhab ar-Râfidhî, juz 1 hlm. 365; Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah juz 5 hlm.34.
At last! Someone who unseastrndd! Thanks for posting!