Pada edisi sebelumnya telah disebutkan konsep bada’ dalam keyakinan Syiah—yang identik dengan keyakinan Yahudi—diartikan sebagai penyesalan Tuhan karena telah terlanjur mengerjakan hal-hal yang kurang tepat. Pada edisi ini akan dikupas masa kemunculan konsep bada’—dalam keyakinan Syiah—yang awalnya tidak dikenal di kalangan Islam.
Munculnya Bada’
Doktrin bada’ sama sekali tidak dikenal dalam Islam periode awal, dan setelah dikaji ulang juga tidak ditemukan sumbernya, baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Ternyata, doktrin serupa (bada’) sebelumnya memang berkembang dalam ajaran keagamaan Yahudi. Maka, penalaran yang paling mendekati kebenaran mengenai awal mula munculnya doktrin ini adalah, bahwa bada’ memang bersumber dari doktrin Yahudi.
Kesimpulan ini semakin rasional jika kita kembali pada kenyataan bahwa pionir dari sekte Syiah memang seorang Yahudi tulen, yakni Abdullan bin Saba’. Dalam beberapa reverensi ditemukan penjelasan bahwa dalam upaya mensosialisasikan ajaran Yahudi—untuk dikonversikan menjadi Syiah, Abdullah bin Saba’ berusaha memperkenalkan bada’ pada kalangan pengikutnya, di samping terus mengajak kaum Muslimin untuk membela hak Imam Ali RA, yang menurutnya telah dirampas oleh khalifah-khalifah sebelumnya.
Dalam hal ini, Abdullah bin Saba’ meyakinkan para pengikutnya bahwa Allah SWT. juga bisa memiliki ide-ide baru, menyesal atau berbuat salah, karena itulah golongan Syiah Sabaiyah (pengikut Ibnu Saba’) mempercayai bahwa Allah SWT. bisa memiliki sifat bada’. Selanjutnya, istilah bada’ semakin populer setelah dijadikan akidah resmi oleh golongan Kaisaniyah, atau golongan yang juga dikenal dengan sebutan Mukhtariyah (pengikut al-Mukhtar bin Abi Ubaid ats-Tsaqafi). Disebutkan bahwa yang menyebabkan mereka memasukan bada’ sebagai salah satu akidah pokok adalah kesalahan ramalan al-Mukhtar bin Abi Ubaid ketika mengabarkan kepada pasukannya bahwa Allah SWT. telah berjanji akan memberikan kemenangan kepada mereka dalam menghadapi pasukan Mush’ab bin Zubair. Pasukan yang dipimpin panglima Ahmad bin Symith itu dipukul mundur oleh Mush’ab. Mereka mendatangi al-Mukhtar dan menagih janji Tuhan itu: “Mana kemenangan yang dijanjikan Tuhan?!” Al-Mukhtar pun menjawab:
هَكَذَا وَعَدَنِيْ رَبِّيْ، ثُمَّ بَدَا فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى قَدْ قَالَ: “يَمْحَقُ اللهُ مَا يَشاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ اُمُّ الْكِتَابِ.
“Demikianlah janji Allah kepadaku, namun Dia mempunyai pemikiran lain, sesungguhnya dia benar-benar telah berfirman: “Allah menghapus dan menetapkan apa yang dikehendakinya, sedangkan disisinya Ummu al-Kitab.”
Al-Mukhtar berkilah sedemikian sebab sebelumnya ia telah menyampaikan kepada seluruh pengikutnya bahwa dirinya bisa mengetahui hal-hal yang ghaib. Namun, ketika ‘pengetahuan terhadap hal-hal ghaib’ itu sedang tidak berfungsi, maka ia mencari celah, bagaimana sekira kepercayaan para pengikutnya tidak pudar, dan akhirnya ia menunjuk ayat di atas sebagai justifikasi bagi pilihannya tersebut.[1]
Sementara Syiah Itsna Asyariyah percaya bahwa imamah akan selalu diwasiatkan kepada putra tertua dari Imam sebelumnya, kecuali Imam Husain AS, karena memang ada Nash langsung dari Rasulullah SAW. seperti yang diriwayatkan dalam kitab mereka:
الحَسَنُ وَ الْحُسَيْنُ إِمَامَانِ قَامَ أَوْ قَعَدَا.
“Hasan dan Husain merupakan dua Imam ketika duduk ataupun ketika berdiri.”[2]
Komitmen Syiah Itsna Asyariyah ini terus berlangsung hingga periode Imam Ja’far Shadiq (Imam keenam Syiah). Beliau—menurut kepercayaan Syiah—juga berwasiat bahwa yang akan menggantinya kelak adalah putra tertuanya, Isma’il bin Ja’far. Namun ternyata Isma’il meninggal saat ayahnya masih hidup. Akhirnya, imamah diwasiatkan kepada adiknya, yaitu Musa bin Ja’far.[3] Tentunya, keputusan ini dengan sendirinya mendekonstruksi kepercayaan awal, bahwa wasiat hanya bisa diberikan kepada putra tertua. Di sini mereka mencari solusi agar bisa keluar dari masalah yang tengah dihadapi. Akhirnya mereka membuat hadits bada’ yang dinisbatkan kepada Ja’far al-Shadiq AS sebagai berikut:
مَا بَدَا لِلّهِ بَدَاءٌ كَمَا بَدَا لَهُ فِيْ إسماعيل اِبْنِيْ.. إِذِ اخْتَرَمَهُ قَبْلِيْ لِيُعْلِمَ بِذَلِكَ أَنَّهُ لَيْسَ بِإِمَامٍ بَعْدِيْ.
“Tidak ada perubahan rencana Allah yang lebih besar daripada pengubahan rencananya dari Isma’il anakku… sebab Dia telah mengambilnya lebih dahulu sebelum aku, itu semua agar Dia memberitahu bahwa Isma’il tidak akan menjadi Imam sepeninggalku.[4]
Syiah Itsna Asyariyah sangat resah, sebab kasus ‘salah tunjuk’ yang terjadi pada Imam Ja’far Ash-Shadiq ini benar-benar membuat mereka kehilangan muka. Mereka terlanjur membikin satu kepercayaan yang menyatakan bahwa para Imam adalah orang-orang yang ma’shum serta mengetahui hal-hal yang ghaib, sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab hadits mereka:
يَعْلَمُوْنَ مَاكَانَ وَمَا يَكُوْنُ وَلَا يَخْفَى عَلَيْهِمُ الشَّيْئُ.
“Para Imam itu mengetahui segala apa yang telah terjadi di masa lampau dan yang akan terjadi di kemudian hari. Tidak sesuatu pun yang samar dari mereka.”[5]
Akan tetapi kemudian Imam Ja’far yang ‘maksum’ masih bisa salah dalam hal ini. Maka di sini, bada’ menjadi satu-satunya solusi terbaik. Dengan mengatakan bahwa Allah SWT. mempunyai pertimbangan lain yang sebelumnya tidak terpikirkan, Syiah telah mengelabuhi para pengikutnya yang awam. Kasus ini juga bisa dijadikan sebagai titik awal munculnya bada’ dalam doktrin Syiah Itsna Asyariyah, sebagaimana telah terjadi pada Syiah Mukhtariyah. Dengan demikian, berarti bada’ pada kelompok ini baru muncul pada abad ke-3 hijriyah.
Karena memang tidak maksum, maka ramalan-ramalan para ‘Imam Syiah’ seringkali luput dari sasaran dan tidak menjadi kenyataan, seperti ramalan Ja’far ash-Shadiq. Dalam salah satu riwayat Syiah, dinyatakan bahwa orang-orang Syiah akan berjaya 70 tahun kemudian, namun ternyata setelah 70 tahun berlalu, janji itu tidak kunjung menjadi kenyataan. Akhirnya umat Syiah menanyakan hal ini kepada tokoh-tokoh terkemuka mereka, dan pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya ditanggapi dengan enteng dan cukup menjawab dengan bada’.[6]
Dalam Tafsir al-Qummi disebutkan riwayat yang mengemukakan satu trik yang hendaknya digunakan sebagai salah satu cara dalam upaya antisipatif jika suatu ketika terdapat desakan akibat pernyataan Imam yang kontradiktif:
إِذَا حَدَّثْنَاكُمْ بِشَيْءٍ فَكَانَ كَمَا نَقُوْلُ فَقُوْلُوْا: صَدَقَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِنْ كَانَ بِخِلَافِ ذَلِكَ فَقُوْلُوْا: صَدَقَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ تُؤْجَرُوْا مَرَّتَيْنِ…
“Bila kami mengabarkan kepada kalian tentang sesuatu dan benar-benar terjadi, maka katakanlah “Maha Benar Allah dan Rasul-Nya.” Namun bila tidak terjadi, maka katakanlah, “Maha Benar Allah dan Rasul-Nya,” kalian akan mendapatkan pahala dua kali.”[7]
Begitulah, totalitas Syiah terhadap doktrin bada’ memang benar-benar melekat, hingga doktrin ini teraplikasi dalam ritual keseharian mereka. Sebagai contoh, jika warga Iran akan memasuki makam Imam Ali at-Taqi, (Imam yang kesepuluh) dan Imam Hasan al-Askari (Imam yang kesebelas), mereka selalu mengucapkan salam sebagai berikut:
السَّلَامُ عَلَيْكُمَا يَامَنْ بَدَا للهِ فِيْ شَأنِكُمَا.
“Semoga keselamatan atas kalian berdua, wahai Imam yang Allah mengubah rencana-Nya dalam diri kalian.”
Jika ditelusuri lebih jauh, fungsi bada’ dalam keberagaman Syiah, seperti halnya taqiyyah, rupanya memang sangat krusial dalam rangka menjaga kedok dan doktrin-doktrin mereka yang lain, seperti imamah, ‘Ishmah al-Imam (kemaksuman imam), dan yang lain. Sebab ternyata, apa yang menimpa Imam Ja’far ash-Shadiq juga menimpa Imam Ali bin Muhammad (Ali at-Taqi). Putra tertua beliau (Imam Ali bin Muhammad), yakni Muhammad Abu Ja’far, juga meninggal saat Imam Ali at-Taqi masih hidup. Imamah-pun diwasiatkan kepada adiknya, yaitu Al-Hasan Abu Muhammad al-Askari. Yang aneh, justru perpindahan imamah dari Muhammad Abu Ja’far kepada Al-Hasan lebih populer di kalangan masyarakat Syiah daripada perpindahan ke-imamah-an Isma’il kepada Musa bin Ja’far. Padahal kedua putra Imam Ja’far Shadiq-lah sebenarnya yang menjadi cikal bakal lahirnya doktrin bada’ sebagai akidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah.
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] Rujuk kembali dalam Al-Tabshir fi-ad-Din, hlm. 120, al-Farqu baina al-Firaq, hlm. 50-52, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 1136-1137.
[2] Lihat, al-Tasyayyu’ wa al-Tashih, hlm. 184
[3] Permasalahan ini, seperti telah kami kemukakan pada edisi awal kajian ini, merupakan awal mula perpecahan dalam Syiah Itsna Asyariyah; sebagian tetap meyakini bahwa yang berhak menggantikan Isma’il adalah putra tertuanya, sebab imamah tidak boleh berpindah kepada saudaranya yang lain, selain Imam Husain AS, golongan ini disebut Isma’iliah, golongan yang lain tetap meyakini ke-imamah-an Musa bin Ja’far.
[4] Ibnu Babawaih, al-Tauhid, hlm. 336.
[5] Ushul al-Kafi, juz 1 hlm. 260
[6] Keterangan lebih rinci bisa di rujuk dalam Tafsir al-‘Ayasyi, juz 2 hlm. 218, al-Gha’ibah li ath-Thusi, hlm. 263, Bihar al-Anwar, juz 4 hlm. 214, dan Ushul Madzhab asy-Syi’ah juz 2 hlm. 1138.
[7] Lihat, Tafsir al-Qummi, juz 1 hlm. 310.