Pada beberapa edisi sebelumnya telah disajikan pengertian dan garis besar keragaman hukum taklifi dan hukum wadh’I. Pada edisi ini akan dibahas rincian ragam hukum taklifi, dengan topik awal al-iijaab.
Hukum Taklifi: al-Iijaab
Sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya, bahwa hukum taklifi terbagi ke dalam beberapa satuan hukum. Dilihat dari segi sifat khithâb (titah Allah), hukum taklifi secara garis besar terbagi menjadi tiga bagian: Pertama, tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan. Apabila sifat tuntutan itu tegas atau keras disebut al-iijaab. Namun apabila lunak disebut an-nadb. Kedua, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Apabila sifat tuntutan itu tegas atau keras disebut at-Tahrim. Namun apabila lunak disebut al-karaahah. Ketiga, pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat, disebut al-ibaahah.
Satuan-satuan hukum itu disebut taklifi karena mengandung pembebanan kepada para mukallaf (subjek hukum, cakap hukum) untuk dikerjakan, ditinggalkan, atau dipilih antara dikerjakan dan ditinggalkan. Tuntutan untuk mengerjakan suatu perbuatan atau untuk meningalkannya adalah sebagai pemberian beban. Sedangkan pilihan pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pembebanan, tetapi hanya alternatif (pilihan) belaka yang tidak berakibat hukum. Para ulama ushul fiqh memasukan satuan hukum al-ibaahah (kebolehan) ke dalam taklifi semata-mata berdasarkan keumuman (lil ghaalib).
Jadi, dilihat dari segi sifat khithâb (titah Allah), hukum taklifi terdiri atas: (1) al-iijaab, (2) an-nadb, (3) at-tahriim, (4) al-karaahah, dan (5) al-ibaahah.
Kriteria al-iijaab
Para ulama Ushul Fiqh mendifinisikan al-Iijaab sebagai berikut:
الإِيْجَابُ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالَى يَقْتَضِي الْفِعْلَ إِقْتِضَاءً جَازِمًا
“Al-iijaab adalah khithaab Allah yang menuntut agar dilakukan suatu pekerjaan dengan tuntutan yang tegas atau keras.”
Atsar (akibat hukum) dari khithaab iijaab disebut wujuub, dan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakannya disebut wajib atau fardhu, dan ini yang dimaksud hukum oleh ahli fiqih. Jumhur ahli fiqih tidak membedakan antara wajib dan fardhu, sebagaimana istilah hatmun dan laazimun. Tetapi ahli fiqih mazhab Hanafiyyah membedakan antara wajib dan fardhu dilihat dari sumber dalilnya. Apabila tuntutan itu berdasarkan dalil-dalil qath’I (Quran dan hadis mutawatir) maka dinamai fardhu. Misalnya hukum menjalankan salat yang lima waktu dinilai fardhu, karena sumber dalilnya Quran dan hadis mutawatir. Sedangkan apabila berdasarkan dalil zhanni (hadis ahad), maka disebut wajib, tidak mencapai derajat fardhu. Seperti hukum membaca al-Fatihah dalam salat dinilai wajib, bukan fardhu, karena sumber dalilnya ahad, yaitu sabda Nabi saw. :
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surah al-Fatihah.”
Untuk lebih memahami pengertian istilah satuan hukum al-iijaab di atas, berikut ini disampaikan beberapa contoh:
Firman Allah Swt.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” QS. Al-Maidah: 1
Firman Allah (QS. Al-Maidah: 1) adalah khithaab Allah yang berkaitan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yaitu tuntutan memenuhi akad. Karena sifat tuntutannya tegas atau keras (dengan indikasi perintah), maka Firman Allah itu disebut iijaab.
Atsar (akibat hukum) dari khithaab iijaab disebut wujuub, dan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakannya (memenuhi akad) disebut wajib atau fardhu.
Firman Allah Swt.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku.” QS. Ali Imran: 31
Firman Allah (QS. Ali Imran: 31) adalah khithaab Allah yang berkaitan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yaitu tuntutan menaati Nabi saw. Karena sifat tuntutannya tegas atau keras (dengan indikasi perintah), maka Firman Allah itu disebut iijaab.
Atsar (akibat hukum) dari khithaab iijaab disebut wujuub, dan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakannya (menaati Nabi saw) disebut wajib atau fardhu.
Suatu khitaab yang menuntut suatu perbuatan dikategorikan iijaab dapat diketahui dari indikasi Shighah (bentuk) atau ushlub (gaya bahasa)nya sebagai berikut:
Shighah (bentuk) atau ushlub (gaya bahasa) al-Iijaab
Pertama, khitaab itu mengandung tuntutan (insyaa’i), antara lain dalam bentuk:
[a] فِعْلُ الأَمْرِ fi’il amr (kata perintah), dan ini bentuk lazim/umum khithaab iijaab. Secara praktik kita bedah kembali seperti contoh di atas:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat.” (QS. Al-Baqarah:43)
Firman Allah (QS. Al-Baqarah:43) adalah khithaab Allah yang berkaitan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yaitu tuntutan mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Sifat tuntutannya tegas atau keras. Sifat tegasnya diketahui dari indikasi bentuk kata perintah, yakni kata aqiimuu (dirikanlah oleh kalian) dan aatuuu (tunaikanlah). Karena indikasi itulah maka Firman Allah itu disebut iijaab.
[b] فِعْلْ الْمُضَارِعِ بِلاَمِ الأَمْرِ (fi’il mudhaari bi laamul amri), yaitu terdapat kata kerja yang menunjukkan waktu sedang atau akan, yang disertai huruf lam sebagai simbol perintah. Secara praktik kita bedah kembali seperti contoh di atas:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” QS. At-Thalaq: 7
Firman Allah (QS. At-Thalaq:7) adalah khithaab Allah yang berkaitan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yaitu tuntutan memberi nafkah. Sifat tuntutannya tegas atau keras. Sifat tegasnya diketahui dari indikasi bentuk kata perintah, yakni kata yunfiqu disertai laam amr: liyunfiq (hendaklah memberi nafkah). Karena indikasi itulah (liyunfiq) maka Firman Allah itu disebut iijaab.
[c] sesuatu yang dipergunakan sebagai fi’il amr, yaitu:
C.1. إِسْمُ فِعْلِ الأَمْرِ isim fi’il Amr, misalnya kata ‘alaika bermakna ilzam (mesti), ilaika seperti dalam perkataan ilaikal kitaaba yang maknanya ambillah kitab itu.
Secara praktik kita bedah kembali seperti contoh di atas:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” QS. al-Maidah:105
Firman Allah (QS. al-Maidah:105) adalah khithaab Allah yang berkaitan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yaitu tuntutan menjaga diri. Sifat tuntutannya tegas atau keras. Sifat tegasnya diketahui dari indikasi bentuk kata alaikum. Kata alaikum dalam ayat ini adalah isim fi’il, yakni bentuknya bukan fi’il (kata kerja) tetapi mengandung makna fi’il. Dalam konteks ini bermakna: jagalah. Karena indikasi itulah (alaikum) maka Firman Allah itu disebut iijaab.
C.2. الْمَصْدَرُ النَّائِبُ عَنْ فِعْلِهِ al-Mashdar an-naa’ib ‘an fi’lih, maksudnya mashdar (akar kata) yang menggantikan fi’il (kata kerja)nya.
Secara praktik kita bedah kembali seperti contoh di atas:
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak.” QS. al-Baqarah:83, dan surat-surat lainnya.
Firman Allah (QS. al-Baqarah:83) adalah khithaab Allah yang berkaitan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yaitu tuntutan berbuat baik kepada orang tua. Sifat tuntutannya tegas atau keras. Sifat tegasnya diketahui dari indikasi bentuk kata ihsaanan. Kata ihsaanan dalam ayat ini adalah isim mashdar, sebagai pengganti dari fi’il amr (kata perintah) ahsinuuu (berbuat baiklah). Karena indikasi itulah (ihsaanan) maka Firman Allah itu disebut iijaab.
Kedua, خَبَرِيَّةُ الَّلفْظِ إِنْشَائِيَّةُ الْمَعْنَى
Yaitu menggunakan kalimat berita (khabariyyah al-lafzh) tetapi maksudnya mengandung tuntutan (insya’iyyah al-ma’naa).
Secara praktik kita bedah kembali seperti contoh di atas:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” QS. Al-Baqarah:228
Firman Allah (QS. al-Baqarah:228) adalah khithaab Allah yang berkaitan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yaitu tuntutan agar wanita yang ditalak menunggu sampai tiga kali suci. Meskipun kalimatnya berupa berita (informatif), namun kalimat tersebut digunakan sebagai kalimat yang mengandung tuntutan. Artinya, bahwa wanita yang ditalak harus menunggu iddahnya sampai 3 kali suci. Karena indikasi itulah (kalimat yang mengandung tuntutan) maka Firman Allah itu disebut iijaab.
Ketiga, menggunakan berbagai ungkapan kata yang mengandung makna keharusan untuk dikerjakan, antara lain:
(a) Bersuku kata amara, seperti firman Allah Swt.:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” QS. an-nisa:58
(b) Bersuku kata kataba, seperti firman Allah Swt.:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” QS. al-Baqarah:178
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat...” QS. al-Baqarah:180
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu bershaum.” QS. al-Baqarah:183
C. Bersuku kata faradha, seperti firman Allah Swt.:
قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu.” QS. at-Tahrim:2
Keempat, dalam khithaab tersebut diterangkan sanksi bagi orang yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana diperintahkan. Contoh kewajiban membagikan harta waris sesuai ketentuan Alquran dalam ayat 11 dan 12, lalu diakhiri dengan ayat 14 yang isinya mengancam orang-orang yang tidak mau melaksanakan pembagian harta waris menurut ketentuan Allah akan dimasukkan ke dalam neraka.
Jadi, jika pada suatu khithaab, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah, terdapat salah satu di antara 4 indikasi Shighah (bentuk) atau ushlub (gaya bahasa) di atas, maka khithaab tersebut dapat dikategorikan iijaab.
By Amin Muchtar, sigabah.com