Dalil-dalil Hukum
Pada tiga edisi sebelumnya telah disajikan pengantar Ushul Fiqh, meliputi pengertian Ushul Fiqh, perbedaan dan persamaannya dengan fiqih, juga kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyyah, dan diakhiri dengan kajian sejarah perkembangan dan corak pemikiran Ushul Fiqh. Pada edisi kali ini dan selanjutnya, kita akan masuk pada kajian beberapa topik utama di bidang Ushul Fiqih. Kajian ini kita awali dengan topik adillah al-ahkam (dalil-dalil hukum).
Pengertian Dalil
Kalimat adillah al-ahkam tersusun dari dua suku kata, yakni adillah bentuk jamak dari daliil, dan ahkaam bentuk jamak dari hukm. Kata daliil secara bahasa berarti
أَلْهَادِيْ إِلَى شَيْئٍ حِسِّيٍّ أَوْ مَعْنَوِيٍّ
“Sesuatu yang menunjuk atau memberi petunjuk kepada hal-hal yang dapat ditanggap secara inderawi atau maknawi.” (Lihat, Ushul al-Fiqh, hlm. 20)
Dalil dalam istilah ahli fiqh adalah
مَا يَلْزَمُ مِنَ الْعِلْمِ بِهِ الْعِلْمَ بِآخَرَ وَالأَوَّلُ أَلدَّالُّ وَالثَّانِي أَلْمَدْلُوْلُ
“Sesuatu yang diketahui untuk mengetahui sesuatu yang lain. Yang pertama disebut dalil, yang kedua disebut madlul.” (Lihat, At-Ta’arif, hlm. 340; At-Ta’rifat, hlm. 140)
Misalnya, ayat-ayat Quran yang diketahui untuk mengetahui hukum melaksanakan salat. Ayat-ayat Quran yang sudah diketahui itu disebut dalil, sedangkan hukum yang diketahui disebut madlul.
Pengertian dalil dalam istilah ahli fiqh berbeda dengan dalil dalam istilah ahli ushul fiqh. Di sini dapat dikemukakan beberapa contoh definisi dalil menurut ahli ushul fiqh, antara lain:
Menurut Imam as-Syawkani (Irsyadul Fuhul, hlm. 5), al-Munawi (at-Ta’arif, hlm. 340), Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan (al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi, hlm. 147), dalil adalah
هُوَ مَا يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ بِصَحِيْحِ النَّظَرِ فِيْهِ إِلَى مَطْلُوْبٍ خَبَرِيٍّ
“Sesuatu yang dapat menghubungkan atau mengantarkan pandangan yang benar kepada khabar yang dicari.”
Definisi dalil di atas pada dasarnya mengadopsi definisi versi Syaifuddin al-Amidi (w. 631 H/1233 M) dalam kitabnya al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, (juz 1, hlm. 28), dengan catatan bahwa yang dimaksud dengan “khabar yang dicari (mathlub khabari)” itu adalah hukum syariat. (Lihat, al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi, hlm. 147). Dalil dalam definisi ahli ushul fiqh di atas sama pengertiannya dengan thariq dalam istilah ahli kalam. (lihat, at-Ta’arif, hlm. 82)
Sedangkan menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, dalil itu
هُوَ مَا يُسْتَدَلُّ بِالنَّظَرِ الصَحِيْحِ فِيْهِ عَلَى حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَمَلِيٍّ عَلَى سَبِيْلِ الْقَطْعِ أَوِ الظَّنِّ
“Sesuatu yang diambil atau dipergunakan sebagai petunjuk bagi pandangan yang benar untuk menetapkan hukum syara’ tentang amal perbuatan manusia secara qath’i (pasti) atau zhanni (dugaan kuat).” (Lihat, Ushul al-Fiqh, hlm. 20)
Dalil dalam istilah ahli ushul fiqh, menurut Abdul Wahab Khalaf sudah mencakup pengertian amarah, namun tidak sama pengertiannya dengan thariq dalam istilah ahli kalam. Di samping itu, menurut beliau adillah al-ahkaam sama pengertiannya dengan ushuluul ahkaam (dasar-dasar atau pokok-pokok hukum) dan al-mashaadir at-tasyri’iyyah lil ahkaam (sumber-sumber pembuatan hukum-hukum)
Sementara Ustadz Abdul Hamid Hakim mengadopsi definisi di atas dengan sedikit perubahan redaksi sebagai berikut:
هُوَ مَا يُمْكِنُ التَّوَسُّلُ بِصَحِيْحِ النَّظَرِ فِيْهِ إِلَى الْمَطْلُوْبِ مِنْ عِلْمٍ أَوْ ظَنٍّ
“Dalil adalah sesuatu yang dapat menghubungkan atau mengantarkan pandangan yang benar kepada (sesuatu) yang dicari, berupa ilmu atau zhan (dugaan kuat).” (Lihat, as-Sulam, hlm. 6) Namun dalam kitabnya al-Bayan (hlm. 4) menggunakan redaksi:
هُوَ مَا يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ بِصَحِيْحِ النَّظَرِ فِيْهِ إِلَى الْمَطْلُوْبِ
“Sesuatu yang dapat menghubungkan atau mengantarkan pandangan yang benar kepada (sesuatu) yang dicari.”
Dalil dengan pengertian di atas (versi Abdul Wahab Khalaf dan Ustadz Abdul Hamid Hakim) pada dasarnya merujuk kepada pendapat jumhur (mayoritas) ahli ushul fiqh. Karena ada sebagian kecil di antara ahli ushul fiqh yang membedakan pengertian dalil dan amarah. Kelompok minoritas ini mengkhususkan pengertian dalil kepada sesuatu yang digunakan untuk menetapkan hukum syariat berupa perbuatan secara qath’I (pasti, jelas dan tegas). Sedangkan amarah, menurut mereka, dikhususkan kepada sesuatu yang digunakan untuk menetapkan hukum syariat berupa perbuatan namun secara zhanni (dugaan kuat).
Klasifikasi Dalil
Dalil-dalil hukum terbagi menjadi beberapa macam, tergantung dari sudut mana dilihatnya. Penulis mencoba menawarkan tiga sudut pandang:
Pertama, pembagian dalil-dalil dilihat dari segi hubungannya dengan berbagai masalah dan hukum. Dilihat dari aspek ini, dalil terbagi kepada dua macam: ijmali (kulli) dan tafshili (juz’i)
1.1. Dalil ijmali atau kulli
Dalil ijmali atau kulli adalah satuan-satuan dalil yang tidak berkaitan dengan masalah-masalah tertentu dan tidak menunjuk kepada suatu hukum perbuatan tertentu, tetapi menujuk kepada ketentuan umum, seperti tentang sumber-sumber hukum syariat (mashadir al-ahkam as-syar’iyyah) dan yang berkaitan dengannya, misalnya cara penunjukkan Alquran kepada hukum. Adakalanya dengan shigah amr (bentuk kalimat perintah), shighah nahyi (kalimat larangan). Adakalanya pula menggunakan kalimat yang bersifat umum, mutlaq, dan sebagainya. Dari pembahasan inilah diciptakan kaidah-kaidah, seperti al-amru lil ijab (perintah itu untuk mewajibkan), an-nahyu lit tahrim (larangan itu untuk mengharamkan). Kaidah-kaidah inilah yang disebut dengan dalil ijmali atau kulli. Dalil-dalil kulli inilah yang menjadi objek pembahasan ahli ushul fiqh.
1.2. Dalil tafshili atau juz’i
Dalil tafshili atau juz’I adalah satuan-satuan dalil yang masing-masing menujuk kepada suatu hukum perbuatan tertentu, seperti firman Allah:
…وأقيموا الصلاة
“…..dirikanlah shalat….” Q.s. An-Nisaa: 77. Firman Allah ini menunjukkan kepada kewajiban shalat.
Atau seperti sabda Rasulullah saw.
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar.” H.r. Al-Bukhari dan Muslim, dari Jabir bin Abdullah. Hadis tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli khamar.
Dalil-dalil tafshili inilah yang menjadi objek pembahasan ahli fiqh.
Kedua, pembagian dalil-dalil dilihat dari segi sumber rujukan atau pengambilannya. Dilihat dari sumbernya, dalil terbagi pula kepada dua macam: Naqli dan aqli.
Dalil naqli adalah ayat-ayat Quran, hadis-hadis Nabi, dan ijma’ sahabat. Sebagian ahli ushul fiqh memasukan pula syar’u man qablana (syariat umat para nabi terdahulu sebelum Muhamad). Di antara pembahasan dalil naqli adalah tentang dilaalah (penunjukkan) terhadap hukum, ada yang qath’iyud dilaalah dan ada yang zhanniyud dilaalah. Dalil-dalil ini disebut naqli karena merujuk kepada perkara-perkara yang dinukil dari syariat, bukan hasil ijtihad.
Sedangkan dalil aqli adalah dalil-dalil yang diperoleh melalui ijtihad, misalnya qiyas, istihsan, urf, maslahatul mursalah, saddud dzari’ah, dan istishab. Dalil-dalil ini disebut aqli karena merujuk kepada hasil penalaran akal, yaitu melalui ijtihad. Karena itu, dalil-dalil ini disebut pula dalil ijtihadi.
Ketiga, pembagian dalil-dalil dilihat dari segi kedatangan atau sampainya (wurud) kepada umat. Dilihat dari wurudnya, dalil terbagi pula kepada dua macam: qath’iyul wurud dan zhanniyul wurud.
Dalil disebut qath’iyul wurud, karena keberadaan dalil itu sudah dapat dipastikan kebenarannya, sehingga tidak perlu kepada penelitian. Dalil qath’iyul wurud meliputi Quran dan sunah atau hadis mutawatir. Sedangkan disebut zhanniyul wurud, karena keberadaan dalil itu tdk dapat dipastikan kebenarannya, sehingga untuk memastikannya perlu kepada penelitian. Ahli ushul fiqh yang membedakan antara hadis masyhur dan ahad, berpendapat bahwa dalil zhanniyul wurud meliputi hadis masyhur dan hadis Ahad. Namun ahli ushul fiqh yang tidak membedakannya berpendapat bahwa hadis masyhur itu sudah termasuk dalam kategori hadis ahad. Sehingga dalil zhanniyul wurud itu adalah hadis ahad.
By Amin Muchtar, sigabah.com