1. Pendha’ifan Abu Dawud Itulah yang Dha’if
Selain berhujjah dengan sebab kelemahan Habib bin Salim—yang telah dikritik balik pada artikel sebelumnya—pengkritik hadis Khilafah Akhir Zaman riwayat Ahmad juga berhujjah dengan sebab kedha’ifan rawi lainnya bernama Sulaiman bin Dawud, atau yang lebih popular dengan sebutan Abu Dawud Thayalisiy (L.133 – W. 204 H/750 – 819 M)
Pendha’ifannya pada Abu Dawud Thayalisiy bersandar kepada penilaian ghalath dari Ibn Hajar. Ghalath versi Ibnu Hajar ditafsirkannya dengan: “Suka keliru dalam periwayatannya.”
Padahal, memposisikan penilaian Ghalath dari Ibnu Hajar—dengan tafsirannya seperti itu—sebagai dasar pendha’ifan Abu Dawud tidaklah tepat dengan beberapa sebab sebagi berikut:
Pertama, Ibnu Hajar tidak menyatakan “Suka Keliru”
Pengkritik mengatakan, “Abu Daud At-Thoyalisy: Tsiqotun, Hafidzun ada kekeliruan dlm hadits-haditsnya (ibn Hajar)”
Pengkritik mengatakan pula, Abu Daud At-Thoyalisy ini Tsiqoh namun Ibnu Hajar memberikan sedikit tambahan nilai padanya bahwa rowi ini ada kekeliruan dalam hadits-hadits yang dibawanya.”
Namun dalam kesimpulannya No. 6, ia mengatakan: “Sulaiman bin Daud walaupun Tsiqoh namun dinilai oleh Ibn Hajar (gholat) yakni suka keliru juga dlm periwayatannya.” Cek kesimpulan itu di sini
Jadi, yang benar penilaian Ibnu Hajar itu yang mana??? Yang benar tentu saja Ibnu Hajar tidak menyatakan “Suka Keliru”, karena pernyataan Ibnu Hajar sebenarnya sebagai berikut:
سليمان ابن داود ابن الجارود أبو داود الطيالسي البصري ثقة حافظ غلط في أحاديث من التاسعة مات سنة أربع ومائتين خت م 4 (تقريب التهذيب : 250 ت رقم 2550 )
Dengan demikian, memahami kalimat Ibnu Hajar:
غلط في أحاديث
Dengan: “suka keliru juga dalam periwayatannya” merupakan pemahaman yang tidak tepat, untuk tidak menyebut syaadz (menyimpang).
Kedua, Keliru Memilah Lafal & ‘Ibaarah
Dalam menilai rawi Abu Dawud, Ibnu Hajar menggunakan lafal dan ibaarah:
ثقة حافظ غلط في أحاديث
Pengkritik “berusaha” menginjek opini pribadi dalam rangkaian ungkapan Ibnu Hajar itu dengan memilah kalimat: “Ghalitha fii Ahaadits” dari rangkaian kalimat: “Tsiqah, Haafzih.” Akibatnya, akan menimbulkan kesan pada pembaca bahwa Ibnu Hajar sedang mengkritik (Tajriih) Abu Dawud. Padahal sejatinya, Ibnu Hajar sedang memuji (ta’dil) Abu Dawud.
Dalam tartib martabat dan istilah al-Jarh wa at-Ta’dil versi Ibnu Hajar (sebanyak 12 martabat: 6 ta’dil dan 6 tajrih) [1], ungkapan demikian ditempatkan pada martabat ta’dil tertinggi kedua, setelah martabat shahabat. Sehubungan dengan martabat ke-1 dan ke-2, Ibnu Hajar menyatakan:
من أكد مدحه بأفعل التفضيل (كأوثق الناس) أو بتكرير الصفة لفظا كـ(ثقة ثقة) أو بمعنى (كثقة حافظ).
Dalam kitabnya[2] yang lain, beliau menyatakan,
ثم ما تأكد بصفةٍ مِن الصفات الدالة على التعديل، أو وصفين: كثقةٍ ثقةٍ، أو ثبتٍ ثبتٍ، أو ثقةٍ حافظٍ، أو عدلٍ ضابطٍ، أو نحو ذلك.
Karena itu, rangkaian kalimat tersebut tidak boleh dipilah dalam konteks lafal dan ibaarah al-Jarh wa at-Ta’dil, khususnya ibaarah versi Ibnu Hajar.
Ketiga, Ghalath berbeda dengan Fuhsyu Ghalath atau Katsirul Khatha’
Ghalath, menurut para ahli Bahasa:
الغَلَطُ أَنْ تَعْيا بالشَّيْءِ فلا تَعْرِفَ وَجْهَ الصَّوابِ فيه
“Ghalath ialah anda lemah atau tidak cakap dengan sesuatu, maka anda tidak mengenal aspek yang benar padanya.” [3]
Imam Abu Hilal Al-Askari membedakan makna Ghalath dan Khatha’.
أن الغلط هو وضع الشيء في غير موضعه، ويجوز أن يكون صواباً في نفسه، وأما الخطأ لا يكون صواباً على وجه
“Ghalath ialah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, dan boleh jadi sesuatu itu benar pada hakikatnya. Adapun khatha’ sesuatu yang tidak benar pada aspek manapun.” [4]
Sementara menurut para ahli hadis, Ghalath ialah keliru dalam meriwayatkan hadis (fii al-Ismaa’ wa al-Adaa’). Adapun keliru dalam menerima hadis disebut Ghaflah (fii as-Simaa’ wa at-tahammul).
Semata-mata ghalath, ghaflah, dan khatha’ tidak mencederai kapasitas intelektual (Dhabth) seorang rawi. Karena itu, para ahli hadis membatasi sifat dan ukuran keliru yang dapat mencederai dhabth dengan Fuhsyu/Fahusya/Katsrah al-Ghalath atau al-ghaflah atau al-khatha’,
وفحش الغلط: كثرته، وكل شيء جاوز حدّه فهو فاحش وذلك بأن يكون غلط الراوي أكثر من صوابه أو يتساويان. أما إذا كان الغلط قليلاً فإنه لا يؤثر، إذ لا يخلو الإنسان من الغلط والنسيان.
“Dan fahusya al-Ghalath adalah banyak sekali salahnya, dan segala sesuatu yang melewati kadarnya maka itu adalah faahisy, dan demikian itu kesalahan rawi lebih banyak daripada benarnya atau sebanding. Adapun bila kesalahannya sedikit maka hal itu tidak berpengaruh karena manusia tidak terlepas dari salah dan lupa.”
روى الخطيب البغدادي بسنده عن سفيان الثوري أنه قال: ليس يكاد يفلت من الغلط أحد إذا كان الغالب على الرجل الحفظ، فهو حافظ وإن غلط وإن كان الغالب عليه الغلط ترك
“Al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dengan sanadnya dari Sufyan Ats-Tsauri, bahwa ia berkata, ‘Hampir tidak ada seorang pun yang terbebas dari ghalath. Apabila hifzh lebih banyak/dominan pada seseorang maka ia hafizh meski pernah ghalath, dan jika ghalat yang lebih dominan padanya maka ia ditinggalkan.”[5]
Karena itu dalam pandangan Ibnu Hajar, ghalatnya Abu Dawud Ath-Thayalisi pada beberapa hadis (Ghalitha fii Ahaadits) tidak mencedarai tsiqah dan hafizh-nya Abu Dawud, sehingga Ibnu Hajar menempatkannya pada martabat hujjah (ke-2)
2. Abu Dawud Keliru pada 1000 Hadis ???
Untuk memperkuat kesan pada pembaca bahwa Ibnu Hajar sedang mengkritik (Tajriih) Abu Dawud—karena suka keliru dalam periwayatan—pengkritik mencoba mengajukan “bukti ghalath” Abu Dawud berupa perkataan Imam Ibrahim bin Said al-Jauhary:
أَخْطَأَ أَبُو دَاوُدَ فِي أَلفِ حَدِيْثٍ
“Abu Dawud At-Thayalisy keliru pada 1000 hadis.”
Pada penilaian Ibrahim Al-Jauhari itu telah dibantah oleh para kritikus hadis, semisal Imam Adz-Dzahabi:
قُلْتُ: هَذَا قَالَهُ إِبْرَاهِيْمُ عَلَى سَبِيْلِ المُبَالَغَةِ، وَلَوْ أَخْطَأَ فِي سُبُعِ هَذَا، لَضَعَّفُوهُ.
“Saya berpendapat, ‘Apa yang dinyatakan Ibrahim ini menunjukkan sikap berlebihan, dan sekiranya ia (Abu Dawud) keliru pada 1/7 saja (dari 1000 hadis) niscaya mereka telah mendhaifkannya.” [6]
Pernyataan Imam Adz-Dzahabi di atas menunjukkan bahwa tidak benar Abu Dawud At-Thayalisy keliru pada 1000 hadis. Jangankan pada 1000 hadis, jika keliru pada 140 hadis (1/7 = 0,14 atau 14 %) saja niscaya telah didhaifkan oleh para ulama hadis. Faktanya, tidak seorang pun ulama hadis yang mendhaifkannya.
3. Abu Dawud Keliru pada berapa Hadis ???
Abu Dawud Ath-Thayalisi pernah keliru pada beberapa hadis (Ghalitha fii Ahaadits), sebagaimana dinyatakan Ibnu Hajar. Berapa persisnya jumlah hadis itu dan pada hadis mana saja ia pernah keliru? Ibnu Hajar menyebutkan jumlah kesalahan Abu Dawud sebanyak 70 kasus yang telah diralatnya, dengan mengutip riwayat Yunus bin Habib sebagai berikut:
و قال الخليلى : حدثنا محمد بن إسحاق الكسائى سمعت أبى سمعت يونس بن حبيب قال: قدم علينا أبو داود و أملى علينا من حفظه مئة ألف حديث أخطأ فى سبعين موضعا فلما رجع إلى البصرة كتب إلينا بأنى أخطأت فى سبعين موضعا فأصلحوها .
“Abu Ya’la Al-Khaliliy berkata, ‘Muhammad bin Ishaq Al-Kasaa’I telah menceritakan kepada kami (ia berkata), ‘Saya mendengar ayahku (berkata), ‘Saya mendengar Yunus bin Habib berkata, ‘Abu Dawud datang kepada kami dan mendiktekan 100.000 hadis dari hapalannya, ia keliru pada 70 tempat. Ketika ia kembali ke Bashrah, ia menulis surat kepada kami bahwa ‘Saya telah keliru pada 70 tempat, maka perbaikilah itu oleh kalian.” [7] Riwayat ini dikutip pula oleh Imam Adz-Dzahabi. [8]
Ibnu Hajar juga menyebutkan beberapa contoh kasus kesalahan Abu Dawud, dengan mengutip riwayat Imam Ad-Daraquthni sebagai berikut:
وحكى الدارقطني في الجرح والتعديل عن ابن معين قال كنا عند أبي داود فقال ثنا شعبة عن عبدالله بن دينار عن ابن عمر قال نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن النوح. قال فقيل يا أبا داود هذا حديث شبابة قال فدعه قال الدارقطني لم يحدث به إلا شبابة. قال وهذه قصة مهولة عظيمة في أبي داود
“Ad-Daraquthni telah menceritakan dalam kitabnya al-Jarh wa at-Ta’dil, dari Ibnu Ma’in, ia berkata, ‘Kami berada di dekat Abu Dawud, makai a berkata, ‘Syu’bah telah menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar, ia berkata, ‘Nabi saw. Melarang dari niyahah.’ Ibnu Ma’in berkata, ‘Lalu ditanyakan kepadanya, ‘ Wahai Abu Dawud, ini hadis Syababah.’ Ia berkata, ‘Maka tinggalkan itu.’ Ad-Daraquthni berkata, ‘Tidak ada yang menceritakan hadis itu kecuali Syababah.’ Ibnu Ma’in berkata, ‘Inilah kisah besar yang ditakuti yang menimpa pada Abu Dawud.’
Menimpali kejadian itu, Ibnu Hajar berkata:
قلت: أخطأ أبو داود في هذا الحديث أو نسي أو دلس فكان ماذا
“Menurut saya, Abu Dawud telah keliru dalam hadis ini, atau ia lupa atau mentadlis, maka ia kenapa?”[9]
Ibnu Hajar juga memberikan contoh kesalahan Abu Dawud, dengan mengutip penjelasan Ibnu ‘Adi sebagai berikut:
قال ابن عدي وأبو داود الطيالسي كان في أيامه احفظ من بالبصرة مقدما على اقرانه لحفظه ومعرفته وما أدري لاي معنى قال فيه ابن المنهال ما قال وهو كما قال عمرو ابن علي ثقة وإذا جاوزت في اصحاب شعبة معاذ بن معاذ وخالد بن الحارث ويحيى القطان وغندر فأبو داود خامسهم وله أحاديث يرفعها وليس بعجب من يحدث باربعين الف حديث من حفظه أن يخطئ في احاديث منها يرفع احاديث يوقفها غيره ويوصل احاديث يرسلها غيره وإنما اتى ذلك من حفظه وما أبو داود عندي وعند غيري إلا متيقظا ثبتا وقال ابن سعد كان ثقة كثير الحديث وربما غلط.
“Ibnu Adiy berkata, ‘Abu Dawud Ath-Thayalisiy, pada masanya, ia paling hafizh di Basrah dan diutamakan daripada orang-orang yang sebaya dengannya karena hafizh dan pengetahuannya, dan saya tidak tahu, apa maksud pembicaraan Ibnu Al-Minhal tentangnya, padahal ia sebagaimana dinyatakan Amr Ibnu Ali, orang tsiqah dan apabila saya melalui pada para shahabat Syu’bah, yaitu Mu’adz bin Mu’adz, Khalid bin Al-Harits, Yahya Al-Qathan, dan Gundar, maka Abu Dawud orang yang kelima di antara mereka, dan ia memiliki beberapa hadis yang dimarfu’kannya, dan tidak aneh orang yang menceritakan 40.000 hadis dari hapalannya ternyata ia keliru dalam beberapa hadis, seperti memarfu’kan hadis-hadis yang dinilai mauquf oleh para rawi lainnya, memaushulkan hadis-hadis yang dinilai mursal oleh para rawi lainnya, dan yang demikian itu terjadi dari hapalannya, dan tidaklah Abu Dawud menurut saya dan yang lainnya kecuali ia orang yang tayaqquzh lagi tsabit, dan Ibnu Sa’ad berkata, ‘Ia tsiqah, banyak hadisnya, dan sedikit sekali keliru.”[10]
Berbagai contoh kasus di atas cukup menjadi bukti bahwa Abu Dawud pernah keliru dalam masalah isnad, bukan dalam kasus matan, dan kekeliruannya itu telah diralat olehnya.
Dengan demikian, menilai hadis khilafah akhir zaman riwayat Ahmad sebagai hadis dhaif dengan alasan ghalathnya Abu Dawud Ath-Thayalisi merupakan kesimpulan yang tergesa-gesa, untuk tidak menyebut tasaahul (ceroboh).
Bandung, 8 Maret 2018
Penulis, Para Santri Pesantren Ibnu Hajar kelas Ulum al-Hadits
Editor: Amin Muchtar, Anggota Dewan Hisbah Persis
[1]Lihat, Taqrib at-Tahdzib, I:8.
[2]Lihat, Nuzhah An-Nazhar fii Tawdhih Nukhbah al-Fikr fii Mushthalah Ahl Al-Atsar, hal. 176
[3]Lihat, Al-Qamus Al-Muhith, II:229, Taj Al-‘Arus Min Jawaahir Al-Qamus, 19:517
[4]Lihat, Mu’jam Al-Furuq al-Lughawiyyah, hal. 36
[5]Lihat, Al-Kifayah fii ‘Ilm ar-Riwayah, hal. 144.
[6]Lihat, Siyar A’lam An-Nubala, 17:393
[7]Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, IV: 163
[8]Lihat, Mizan Al-I’tidal, III: 171
[9]Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, IV: 163
[10]Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, IV: 162
artikel ini telah tayang pula di laman persis.or.id klik di sini