Kebersihan hati dan fikiran akan mempermudah seseorang menangkap ilmu dan hakekat kehidupan dari peristiwa yang didengar, dibaca dan dialami oleh dirinya sendiri. Setiap peristiwa yang menimpa manusia, baikĀ menyenangkan ataupunĀ berupa musibah, akan dimaknai sebagai āibrohĀ (pelajaran)Ā yang mengantarkan pada kehidupan berikutnya agar lebih dewasa dan berkualitas bila diyakini bahwa semua itu adalah bagian dariĀ kehendak dan takdir Allah Yang Maha Penyayang. Demikian juga sikapnya terhadap kejadian masa lalu yang terkemas dalam peristiwa sejarah danĀ kisah-kisah yang diabadikan dalam al-Qur’an dan hadis nabawiy.
Bila kita renungkan banyak peristiwa yang dialami manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya merupakan pengulangan dari peristiwa dan sejarah. Kesamaannya disebabkan oleh kesamaan pola pikir terhadap ajaran Ilahi yang menghasilkan tata nilai dan perilaku yang sama pula. Karena itu manusia terbagi pada dua golongan: (1) mereka yang menjadikan ajaran Ilahi sebagai totalitas tuntunan kehidupan, sehingga setiap langkahnya di bawah naungan cahaya Allah Rabb alam semesta, dan (2) mereka yang hidup dalam kesesatan dan murka Allah Swt.
Penodaan terhadap keikhlasan untuk menerima ketentuan hukum (ajaran) dari Allah Pencipta alam semesta akanĀ membuka peluang setan untuk membisikan kekufuran setahap demi setahap. Aturan Allah “diperindah” oleh hawa nafsu sehingga melahirkan berbagai peribadatan baru yang tidak diajarkan dan dicontohkan oleh Rasul-Nya atau menyepelekannya karena dianggap tidak masuk akal, hingga berpeluang besar untukĀ melanggar dan meninggalkannya .
Gelombang banjir laksana gunung yang menghancurkanĀ kekufuran umat Nabi Nuh As., seharusnyaĀ dijadikanĀ layar penutup drama kehidupan manusia yang kelam untuk menyongsong kehidupan di bawah naungan cahaya Ilahi oleh generasi berikutnya, yakni kaum ‘Ad dan Tsamud, yang keduanya keturunanĀ dari Sam putranya Nabi Nuh paska banjir. Namun kenyataannya ?
Kaum ‘Ad hidup di pegunungan Ahqaf di Yaman antara Oman dan Hadratul Maut sekitar tahun 3993-3043 SM. Allah menganugrahi kekuatan dan keistimewaan tubuh mereka (QS. Al-A’raf: 69) sehinggaĀ memiliki kepandaian memahat gunung menjadi istana-istana tinggi untuk kemegahan semata tanpa ditempatiĀ serta keterampilan mengolah tanahĀ (bidang pertanian). Namun kemakmuran itu ternyata menjadi fitnah kehidupan. Mereka menjadi generasi pertama yang menyembah patung-patung setelah peristiwa banjir besar di masa Nabi Nuh as. Patung-patung mereka adalah Sadd, Samud dan Hera.
Meski begitu perilaku mereka, Allah memiliki sifat al-Hakiim (Maha Bijaksana) terhadap manusia, karenanya kekufuran mereka tidak langsung dimurkai, tapi disiram oleh sifat Rahman ( Maha Penyayang)-Nya, dengan cara mengirim Rasul dari kalangan mereka sendiri bernama Hud As. untukĀ mengajak mereka pada jalan yang diridhai Allah dan segera memohon ampunan-Nya.Ā Namun anugerah keistimewaan yang berasal dari Allah, membutakan hati mereka untuk melihat kebenaran dan menulikan pendengaran mereka terhadap ajakan untuk kembali pada fitrah ketauhidan yang bersih.
Kaum ‘AdĀ sangat mengutamakan ajaran nenek moyang mereka yang penuh kebodohan dan tanpa ilmu sedikitpun. Mereka menghina Nabi Hud dan menantang azab Allah. PadaĀ suatu hari, Allah menjawab tantangan itu dengan mengirim badai pasir yang disambut dengan kegembirakan, karenaĀ mereka mengira bahwa badai tersebut adalahĀ awan hitam yang akan menurunkan hujan danĀ menyuburkan ladang mereka. Namun ternyata awan tersebut adalah badai pasir selama tujuh malam delapan hari terus-menerus. Kaum ‘Ad yang kufur mati bergelimangan bagaikan pohon kurma yang lapuk (QS.Al-Ahqaf: 6-8). Seiring berjalannya waktu hasil karya dan kehidupanĀ mereka tertutup pasir sekitar 12 m, sehinggaĀ seolah-olah kaum ‘Ad tak pernah ada danĀ hidup di tempat itu.
Kaum ‘Ad dalam kisah ini adalah kaum ‘Ad yang pertama, termasuk salah satu bangsa Arab al-Ba’idah (bangsa Arab pra Islam yang punah). Keberadaan mereka sudah tidak diketahui lagi hingga Allah mengisahkannyaĀ melaluiĀ beberapa ayat al-Qur’an. Pembuktian secara empiris ilmiah, jejak kaum ‘AdĀ ditemukan oleh Nicholas Clapp, seorang arkeolog pada tahun 1990 M. Subhanallaah, sungguh benar semua firman Allah.
Semoga kisah kaum ‘Ad bisa menjadi renungan seluruh manusia masa kini dan yang akan datang. Pembangunan gedung-gedung dan rumah seharusnya untuk memenuhi kebutuhan saja agar kita terlindung dari sengatan matahari dan cucuran air hujan, sehinggaĀ menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk berzikir kepada Allah, bukan dijadikan sebagai kepuasan dan simbol kemegahanĀ sebagaimana yang dilakukan kaum ‘Ad.
Kaum ‘Ad ternyata mengulang kesalahan yang pernah dilakukan oleh kaum sebelumnya, yakni kaum Nabi Nuh As. Kekufurun dari satu generasi ke generasi berikutnya terakumulasi, sehingga mengantarkan pada puncak kekufuran dengan membuat berhala-berhalaĀ sebagai sesembahan. Hal seperti ini akan terus berlangsung selama manusia tidak Ā merasa puas dengan ketetapan (hukum) Allah yang telah disampaikan melalui para rasul-Nya.
Semoga kita menjadi generasi yang ikhlas dan ridha dengan hukum Allah Swt.Ā sertaĀ mewariskan ketaatan mutlak kepada Allah Swt. bagi generasi berikutnya.
Sumber: Buletin Humaira, Edisi 7, Nopember 2015
Info dan pemesanan Buletin, Hubungi: 0813120261681
bagus sekali artikelnya, keep on writing
bagus sekali artikelnya, keep on writing