Jika tidak ada aral gendala, besok Ahad 30 Oktober 2016, Perhimpunan Masyarakat Bandung, akan melaksanakan Pertemuan Besar Masyarakat Bandung dalam rangka menyampaikan komitmen seluruh elemen masyarakat Bandung tentang pentingnya persatuan dan kesatuan melalui kegiatan Deklarasi Bandung Untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (BUNKRI).
Dikabarkan akan ada puluhan ribu orang dari berbagai kalangan seperti mahasiswa, serta pegawai negeri sipil yang akan mengikuti kegiatan tersebut. Hingga saat ini, peserta yang sudah melakukan konfirmasi untuk mengikuti deklarasi sudah berjumlah 12 ribu orang.
Bertitle “Deklarasi Bandung Untuk NKRI”, ini merupakan suatu kegiatan pernyataan bersama yang dilakukan oleh puluhan ribu warga Indonesia yang menetap di Bandung sebagai pegingat kembali akan arti pentingnya nilai-nilai Pancasila dan UUD 45.
“Tentunya tak hanya mengingat nilai-nilai tersebut tetapi juga Bhineka Tunggal Ika, Persatuan dan Kesatuan, Perdamaian, Kerukunan Hidup, Cinta Tanah Air, dan Nasionalisme,” ujar Ketua Pelaksana Deklarasi Bandung Untuk NKRI, Inge Bunga Suprayogi kepada Merdeka Bandung.
Gerakan BUNKRI ini mendapat dukungan dari Wali Kota Bandung Ridwan Kamil atau biasa disapa Kang Emil. Melalui akun twitternya, Kang Emil mengajak warga Bandung turut hadir mengikrarkan solidaritas dan kesetiaan kepada NKRI yang akan dilaksanakan di stadion Siliwangi itu. “Warga BDG mari kita ikrarkan kesetiaan dan solidaritas kita pd NKRI. 30 Oktober di Stadion Siliwangi. Gabung? Daftar, tulis Kang Emil di akun twitternya.”
Selain dari pemerintahan kota Bandung, kegiatan ini didukung pula oleh komunitas lintas agama dan kepercayaan, antara lain Masyarakat Tionghoa (Yayasan Minnan), komunitas Kristen dan gereja seperti Nafiri Indonesia, Jaringan Doa Sekota (JDS) Bandung, Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI), dan My Home Indonesia, juga aliran sempalan Islam: Syiah IJABI.
Mengapa dan Apa Target BUNKRI??
Menurut Ketua Pelaksana Deklarasi BUNKRI, Inge Bunga Suprayogi, latar belakang diselenggarakannya deklarasi ini, melihat beberapa persoalan yang masih muncul dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta dalam pelaksanaan pembangunan adalah lunturnya nilai-nilai kebangsaan, kerukunan, cinta tanah air dan nasionalisme.
Lebih jauh Ketua Umum Panitia Deklarasi, Priana Wirasaputra, yang juga menjabat sebagai asisten pemerintahan di Kota Bandung, menjabarkan, beberapa peristiwa dan fakta menunjukkan adanya sikap-sikap intoleransi, radikalisme, separatisme, serta pemaksaan kehendak yang inkonstitusional dari sebagian kelompok masyarakat sesama anak bangsa.
“Berangkat dari hal tersebut dan kondisi faktual inilah kemudian warga Bandung bergerak, bertindak, dan terpanggil untuk mengingatkan kembali tentang nilai-nilai kebangsaan Indonesia,” kata Priana.
Sementara tujuan kegiatan itu dinyatakan sebagai berikut:
- Melalui kegiatan SOLIDARITAS MASYARAKAT BANDUNG UNTUK NKRI diharapkan masyarakat Bandung dapat membentengi dirinya dari perubahan-perubahan situasi dan kondisi yang ekstrim, termasuk menguatnya perilaku intoleran, radikal dan bahkan masuknya paham/ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
- SOLIDARITAS MASYARAKAT BANDUNG UNTUK NKRI yang membawa pesan kemajemukan budaya masyarakat Bandung dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat Indonesia untuk mengembangkan semangat nasionalisme, sehingga terwujudnya persatuan dan kesatuan di berbagai wilayah Indonesia. Baca selengkapnya di sini
Spirit para penggagas kegiatan layak diapresiasi, namun isu yang disorot sebagai latar kegiatan bisa menjadi “bola panas” yang menyebabkan kota Bandung “terbakar”. Sebab, menuding berbagai isme dengan label: terorisme, fundamentalisme, radikalisme, dan intoleranisme, sebagai factor penentu disharmoni kebangsaan dan melemahnya semangat nasionalisme boleh jadi menciptakan disharmoni berkelanjutan, bahkan bisa jadi abadi, antara “kelompok penuding VS yang dituding.” Coba perhatikan pernyataan provoktif Syiah IJABI dalam memanfaatkan momentum ini:
“IJABI Kota Bandung berpartisipasi dan mendukung Deklarasi BANDUNG UNTUK NKRI. Merdeka !! IJABI adalah bagian dari NKRI melawan kaum intoleran yang membahayakan dan mengancam keutuhan NKRI. Siapapun yang memecah belah umat Islam dan persatuan bangsa adalah musuh NKRI.” (cek di sini)
Kang Emil Perlu Tegaskan Tafsir ISME
Dewasa ini, label isme-isme itu telah menjadi hantu yang amat menakutkan, sekaligus label yang secara serampangan gampang ditudingkan kepada orang atau kelompok orang, tanpa melihat duduk perkara sebenarnya. Saking serampangannya, hanya karena bersikap tegas terhadap perilaku maksiat, misalnya, kini orang bisa saja dicurigai sebagai penganut, pengikut, bahkan penganjur terorisme, fundamentalisme, radikalisme, dan intoleran.
Di Indonesia, labelisasi isme-isme itu terus “digoreng” tanpa kenal waktu dan event hingga terasa renyah, tak terkecuali dalam hajat Deklarasi Bandung Untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (BUNKRI) yang rencananya akan dihadiri Presiden RI Joko Widodo itu.
Jika kita merujuk pengertian terorisme dan radikalisme secara netral atau lazim, tentu saja pernyataan bersama lintas agama dan kepercayaan itu sangat membingungkan namun juga menggelikan. Sebab, definisi terorisme dan radikalisme—selain ambigu secara implementatif (penerapan)—sudah pasti berbeda versi antar agama dan keyakinan pada satu sisi, versi Syiah dan Ahmadiyyah pada sisi yang lain.
Dalam pengertian netral atau lazim, terorisme adalah perbuatan dengan kekerasan yang menimbulkan kekacauan dan ketakutan pada rakyat. Sedangkan radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Ketika kepentingan pengguna label “ikut bermain”, maka secara implementatif kedua label ini seringkali dipisahkan dari makna lazimnya.
Istilah terorisme dan radikalisme pada umumnya ditujukan untuk aksi-aksi yang dilakukan oleh pegiat Amar M’ruf-Nahi Munkar. Sedangkan aksi-aksi oleh Misionaris Salibis dan aliran sesat semacam Syiah, Ahmadiyyah, Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme (SIPILIS) dikatakan bukan terorisme dan radikalisme melainkan Hak Asasi !!!
Nah, dalam konteks kepentingan Deklarasi BUNKRI, tampaknya Kang Emil dan pihak penyelenggara perlu mempertegas tafsir isme dimaksud. Sebab bagi Syiah, semua yang melawan usaha-usaha syiahisasi dinilai intoleran dan takfiri (pengkafiran). Jika takfiri akan melahirkan gerakan radikal, maka gerakan radikal bisa berujung tindakan terorisme. Ini berarti, terorisme dan radikalisme versi Syiah dapat dimaknai sebagai “semua pihak yang menentang syiah”. Demikian pula kiranya versi Ahmadiyyah dan gerakan SIPILIS. Dengan begitu, label radikalisme secara serampangan gampang ditudingkan kepada orang atau kelompok orang, seperti MUI, MIUMI, ANNAS, FPI, yang bersikap tegas terhadap berbagai aliran itu.
Apakah dapat dibenarkan, atas nama toleransi dan Hak Asasi Manusia (HAM), perilaku orang menistakan kitab suci? Begitu pula usaha misionaris salibis di pesisir Bandung Utara, atau usaha syiahisasi di pinggiran Bandung Selatan, atau pernikahan sesama jenis, yang jumlah anggota komunitasnya di kota Bandung sudah mendekati angka ratusan ribu?
Jangan sampai niat mulia mengadakan kegiatan Solidaritas Masyarakat Bandung Untuk NKRI itu memicu penafsiran sebagian orang Bandung: “hanya sebagai tameng” untuk menghalangi sekaligus mengamankan usaha berbagai aliran itu di kota Bandung, atau paling tidak dimanfaat oleh mereka.
Kang Emil Perlu Tafsirkan Lagi Nasionalisme Sejati
Menuding berbagai faham intoleran dan radikalisme sebagai pemicu melemahnya rasa solidaritas dan meredupnya semangat nasionalisme merupakan tindakan kurang bijaksana. Karena boleh jadi hal itu dipengaruhi oleh factor internal anak bangsa umumnya, barudak Bandung pada khususnya, yaitu rasa cinta anak bangsa terhadap Indonesia bukan datang dari dalam diri dan hati kita. Terlihat mencintai Indonesia padahal kita hanya mencintai momen-momen ke-Indonesia-an.
Kecintaan kita pada Indonesia, seperti dikatakan Mas Triyanto P. Nugroho, direktur Lembaga Pengkajian Kebijakan Publik (LPKP) Yogyakarta, tergantung pada proses pendidikan yang kita jalani. Sewaktu sekolah dasar kita diajarkan bagaimana menyanyikan lagu Indonesia Raya, mengikuti upacara bendera setiap Senin pagi, dan menghafal nama-nama pahlawan dalam pelajaran kewarganegaraan.
Tiap tahun rakyat Indonesia merayakan kemerdekaan dengan nuansa yang sama; lomba-lomba, seperti makan krupuk, balap karung dan pawai busana daerah. Sebuah euforia nasionalisme yang tampak seperti asli (sebenarnya), padahal sama sekali bukan yang asli karena tak diimbangi dengan pemenuhan janji-janji kemerdekaan, yang tertulis sebagai tujuan negara Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945.
Kini para pejabat tak lagi mengerti benar emosi, gairah serta kerinduan akan pemenuhan janji-janji kemerdekaan. Saya bingung apakah para wakil rakyat kita masih memiliki nasionalisme, ketika menganggarkan Rp. 20,3 miliar hanya untuk perbaikan ruang. Saya juga menemukan makna mencintai produk negeri sendiri ketika kursi pun harus impor dari Jerman dengan harga Rp 24 Juta per kursi. Sementara ada ratusan siswa sebuah SMP “Negeri” yang harus melawan rasa takut belajar di kelas karena atap yang bocor dan tak layak lagi.
Bagaimana kita mengaku seorang nasionalis—sebagai sebuah kesatuan bangsa dan tanah air—ketika yang terjadi malah penggusuran suku asli Papua dari tanah leluhur yang telah diwariskan turun temurun oleh aparat negeri sendiri yang disponsori korporasi.
Apakah ada nasionalisme dalam sila “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ketika yang terjadi justru kekayaan 40 orang (Rp. 680 triliun) setara dengan kekayaan sekitar 60 juta jiwa keluarga miskin? Nasionalisme tak lagi dipahami mencintai bangsa, tana air dan orang-orang yang hidup di dalamnya dan berbuat untuk kepentingan negara. Tapi telah menjadi “mencintai Indonesia bila menghasilkan banyak duit.”
Nasionalisme telah bermetamorfosis menjadi nasionalisme semu. Yang hanya larut dalam derai air mata ketika menyaksikan kekalahan timnas saat piala AFF tahun lalu, tapi tak ada air mata yang jatuh ketika kekayaan alam Indonesia dikeruk oleh pihak asing. Cita-cita untuk menerapkan undang-undang yang berbunyi “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” terasa hambar jika melihat fakta bahwa Exxon Mobil akan tetap berada di Blok Cepu hingga tahun 2036.
Iklan-iklan di televisi yang seringkali menampakkan kekayaan alam Indonesia, dengan sawah yang menghijau, hutan-hutan yang lebat dan juga pantai-pantai yang mempesona hanyalah sesuatu yang semu. Sementara menurut data Walhi, tiap hari Indonesia kehilangan hutan seluas 80 kali lapangan sepak bola! Sikap nasionalisme seakan-akan terbukti ketika kita melakukan voting terbanyak untuk masuknya Pulau Komodo sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia. Tindakan memaki Malaysia yang “mencuri budaya Indonesia” seolah mengukuhkan seseorang menjadi pahlawan. Barangkali Indonesia memang tengah berusaha dengan susah payah untuk menjamin kelayakan hidup setiap warganya, untuk mencintai warganya, yang entah sial atau beruntung menjadi bagian dari Indonesia. Namun bukankah tidak mudah untuk terus bertahan dalam keadaan “cinta bertepuk sebelah tangan”?
Bukankah inti nasionalisme itu rasa cinta terhadap bangsa secara tulus dan ikhlas tanpa adanya suatu paksaan dari pihak manapun? Dalam konteks ini, Kang Emil sebagai “Bapak Bandung” memiliki peran strategis dalam menumbuhkan nasionalisme sejati, sehingga nasionalisme tidak luntur dalam simbol-simbol yang membebalkan; tetap hidup sebagai falsafah hidup.
Semoga saja Deklarasi BUNKRI tidak sekadar menumbuhkan nasionalisme semu, yang seperti topeng kaca; terlihat indah namun sebenarnya palsu sekaligus ringkih, sehingga dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan hakiki, bukan imitasi. Yuk kita bantu Kang Emil !!! 🙂
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
Good article…..