Setiap 21 April, sekolah, instansi Pemerintah dan swasta, disibukkan dengan kegiatan memperingati Hari Kartini. Sejak subuh kaum wanita berbondong-bondong ke salon untuk sanggulan dan berdandan. Kaum pria juga tak mau kalah, ikut sibuk berpakaian adat sesuai daerahnya masing-masing. Kesibukan ala “Kartini-an” seperti ini sudah berlangsung sejak tahun 1964, saat Presiden RI ke-2 Soeharto menetapkan R.A. Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan sekaligus menetapkan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. Artinya selama 52 tahun setiap tanggal 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Pada “peringatan” yang ke-52 kalinya ini, kita ingin berpikir dan bersikap kritis, bukan terhadap makna kata “Hari Kartini”, bukan pula “penokohan Kartini” yang telah “mengubur” peran pejuang-pejuang wanita lain, yang boleh jadi lebih hebat jasanya terhadap negeri ini, seperti Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan, yang sudah “digugat” Prof. Dr. Hasja W. Bachtiar, guru besar dari Universitas Indonesia.Tapi soal efek negatif “pemitosan Kartini” terhadap daya pikat generasi penerus muslim dan kecintaan mereka akan para tokoh sesungguhnya, para istri Rasulullah saw., yang lebih penting “diperingati” sebagai suri tauladan bagi anak-anak dan para siswa kita. Para ibu kaum mukmin ini bisa jadi tidak mendapat ‘tempat’ yang sama dengan Kartini di hati anak-anak, para siswa sekolah kita. Mungkin saja anak-anak dan para siswa kita kurang mengenal peran Khadijah atau Aisyah yang sesungguhnya, bahkan bisa jadi mereka tidak tahu kapan Ibu Kita Aisyah dilahirkan.
Kita sebagai orang tua dan pendidik memiliki kewajiban untuk meluruskan sejarah yang dibengkokkan. Mari berbuat adil terhadap para pahlawan dengan menempatkan mereka pada posisi yang semestinya.
Ibu Kita dalam Pandangan Allah
Ibu kita adalah orang-orang yang telah mengorbankan waktu dan raganya untuk membela dakwah Nabi saw., setia menemani dan menghibur beliau ketika ditimpa berbagai musibah di dalam mengemban amanah dakwah.
Sudah sepantasnya bila Allah Swt. menempatkan mereka pada kedudukan mulia dan mengangkat derajat mereka di atas wanita lainnya. Allah Swt. berfirman yang artinya:
يَانِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ
“Wahai istri Nabi, (kedudukan) kalian bukanlah seperti wanita-wanita yang lainnya.” (QS. Al Ahzab: 32)
Allah Swt. telah meridhai mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang termulia, hingga melarang beliau untuk menceraikan mereka. Allah Swt. berfirman:
لاَ يَحِلُّ لَكَ النِّسَاءُ مِنْ بَعْدُ وَلاَ أَنْ تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنْ أَزْوَاجٍ وَلَوْ أَعْجَبَكَ حُسْنُهُنَّ
“Tidak halal bagimu wahai Nabi, untuk mengawini wanita-wanita lain sesudahnya, dan tidak halal (pula) bagimu untuk mengganti mereka dengan wanita-wanita lain walaupun kecantikan mereka memikat hatimu.” (QS. Al Ahzab: 52)
Para istri Nabi saw. adalah para ibu kaum mukmin yang paling layak untuk dimuliakan dan dihormati. Oleh karena itu para istri beliau mendapat gelar Ummahatul Mu`minin. Allah Swt. berfirman:
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu lebih berhak untuk dicintai kaum mukminin daripada diri mereka sendiri, sedangkan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka (kaum mukminin).” (QS. Al Ahzab: 6)
Dalam tulisan sederhana ini akan diulas “peringatan tentang Ibu Kita” dengan menggunakan nama tokoh Aisyah Ra., tanpa memperkecil penghargaan kita pada Ummahatul Mu`minin lainnya.
Biodata Ibu Kita Aisyah
Aisyah lahir pada bulan Syawal akhir tahun ke-5 kenabian, bertepatan dengan Juli tahun 613 Masehi. Wafat pada 17 Ramadhan tahun 58 H. bertepatan dengan 678 M, pada usia 65 tahun. Demikian penjelasan para pakar sejarah tokoh Islam, seperti Ibnu Hajar al-Asqalaniy dan az-Zarkaliy.
Ia terlahir dari rahim seorang ibu bernama Ummu Ruman dan seorang ayah bernama Abdullah, namun popular dengan julukan Abu Bakar ash-Shiddiq. Keluarga Abu Bakar merupakan keluarga tanpa tandingan kala itu dalam urusan antusiasme berjihad dan pengorbanannya demi penyebaran agama Islam. Rumah Abu Bakar saat itu menjadi tempat yang penuh berkah, tempat makna tertinggi kemuliaan, kebahagiaan, kehormatan, dan kesucian, di mana cahaya mentari Islam pertama terpancar dengan terang.
Sayyidah Aisyah dinikahi Rasulullah saw. pada bulan Syawal, saat itu Aisyah berusia 6 tahun dan mulai digaulinya pada bulan syawal setahun setelah hijrah pada usianya 9 tahun. Rasulullah saw tidak menikahi seorang perawan pun selain dirinya, tidak ada wahyu yang turun kepada Rasulullah saw untuk menikahi seorang wanita pun kecuali Aisyah Ra.” Demikian Ibnu Qoyyim al-Jauziyah menjelaskan dalam Zaadul Ma’ad, juz I, hlm. 105 – 106
Kecintaan Rasulullah saw. kepadanya diperlihatkan secara terus terang, hingga suatu saat beliau pernah ditanya:
أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : عَائَشِةُ قَالَ : فَمِنَ الرِّجَالِ ؟ قَالَ : أَبُوْهَا
“Manusia yang mana yang paling anda cintai, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Aisyah.” Dia bertanya lagi, ‘Lalu dari golongan laki-laki?’ Beliau menjawab, “Bapaknya.” Muttafaq ‘Alaih
Ibu Kita, Aisyah, banyak memiliki keutamaan, hingga Nabi saw. bersabda:
كَمُلَ مِنَ الرِّجَالِ كَثِيْرٌ وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ ، وَآسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ ، وَفَضْلُ عَائِشَةَ عَلىَ النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيْدِ عَلىَ سَائِرِ الطَّعَامِ
“Banyak di antara kaum laki-laki yang sempurna, akan tetapi tidak ada wanita yang sempurna kecuali Maryam bintu ‘Imran, Asiyah istri Fir’aun. Dan keutamaan ‘Aisyah atas kaum wanita seperti keutamaan tsarid (bubur yang sangat disukai oleh Rasul saw.) atas seluruh makanan.” Muttafaq ‘Alaih
Beberapa keutamaan Aisyah, yang dapat dikemukakan di sini, antara lain:
Pertama, wawasan keilmuan
Aisyah memiliki wawasan ilmu yang luas serta menguasai masalah-masalah keagamaan, baik yang dikaji dari Al-Qur’an, hadis-hadis Nabi, maupun ilmu fikih. Selain itu, ia mahir dalam ilmu medis, faraidh, bahasa dan sastra.
Dalam bidang hadis, ia termasuk dalam deretan bendaharawan hadis dari kalangan sahabat, dengan jumlah hadis di bawah Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan Anas bin Malik, sekitar 2210 hadis. Dalam kitab Musnad Ahmad saja hadisnya dimuat pada 253 lembar, dengan jumlah 1.340 hadis. Sementara dalam riwayat al-Bukhari-Muslim (Muttafaq ‘Alaih) sebanyak 174 hadis.
Tentang penguasaan ilmu waris (fara’idh), Masruq berkomentar, “Saya telah melihat para tokoh sahabat Nabi bertanya kepadanya tentang faraidh.” Tentang penguasaan bahasa dan sastranya, Urwah berkomentar, “Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih fasih daripada Aisyah selain Rasulullah sendiri.”
Setelah Rasulullah wafat, keluasan ilmunya menjadikan Aisyah sebagai rujukan para sahabat dan tabi’in. Para sahabat penghafal hadis sering mengunjungi rumah Aisyah untuk langsung memperoleh hadis Rasulullah karena kualitas kebenarannya sangat terjamin. Sebanyak 221 orang, baik dari kalangan shahabat maupun tabi’in telah menerima hadis dari Aisyah. Demikian menurut catatan Imam al-Mizzi dalam kitabnya Tahdzib al-Kamal.
Tentang masalah ilmu-ilmu yang dimiliki Aisyah ini, al-Hakim mengatakan bahwa sepertiga dari hukum-hukum syariat dinukil dan Aisyah. Abu Musa al-Asya’ari berkata, “Setiap kali kami menemukan kesulitan, kami temukan kemudahannya pada Aisyah.” Para sahabat sering meminta pendapat jika menemukan masalah yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri. Aisyah pun sering mengoreksi ayat, hadis, dan hukum yang keliru diberlakukan untuk kemudian dijelaskan kembali maksud yang sebenarnya. Setelah melewati masa kekhalifahan Ali bin Abu Thalib, Aisyah senantiasa berada di rumah dan memberikan pelajaran hadis dan tafsir ayat Al-Qur’an.
Di balik keutamaan Aisyah dalam penguasaan ilmu, paling tidak terdapat dua faktor yang dapat kita analisa: Pertama, “dari dalam” (dhakhiliy), dalam konteks ini potensi Aisyah. Kedua, “dari luar” (kharijiy), dalam konteks ini lingkungan di mana Aisyah berada.
Aspek “dari dalam”, Aisyah diberi anugerah daya ingat luar biasa pada usia belia yang sangat mendukung dalam proses pembelajaran. Selain itu, Aisyah gigih dan kritis dalam belajar, sehingga apa yang tidak dipahaminya tanpa segan ditanyakan dan mengajukan pendapatnya jika ia memiliki pemahaman berbeda. Tentang kegigihan belajarnya, Ibnu Abu Mulaikah berkomentar:
كَانَتْ لاَتَسْمَعُ شَيْئًا لاَتَفْهَمُهُ إِلاَّ رَاجَعَتْ فِيْهِ حَتَّى تَفْهَمَهُ
“Aisyah tidak mendengar sesuatu yang tidak ia pahami kecuali ia meminta penjelasan hingga ia dapat memahaminya.” HR.Al-Bukhari
Aspek “dari luar”, Aisyah diberi anugerah berupa kesempatan hidup pada suatu masyarakat yang menjunjung tinggi tradisi ilmiah dan suasana intelektual yang diciptakan “guru utama” umat manusia, Rasulullah saw. Aisyah mendapat bimbingan langsung dari beliau. Aisyah orang yang paling dekat dengan Rasulullah sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau. Bahkan, ia sendiri sering menjadi model atau pelaku utama bagaimana wahyu itu “dibumikan”, misalnya tentang tata cara ibadah haji bagi wanita yang haid (HR. Al-Bukhari); turunnya ayat Al Qur’an yang menyatakan kesucian Aisyah (QS. An Nur: 11-12) dan turunya ayat tayamum (QS. Al Maidah: 6)
Kedua, sosial-Politik
Kiprah Aisyah di tengah masyarakat tidak diragukan lagi. Posisinya sebagai seorang isteri tidak menghalanginya dari aktif di tengah masyarakat. Selain di bidang keilmuan dan pendidikan, sebagaimana terurai di atas, beliau sering kali ikut keluar Madinah turut berpatisipasi dalam berbagai operasi peperangan. Misalnya dalam perang Uhud, dia turut serta melayani pasukan, memanggul girbah (tempat air minum yang terbuat dari kulit ) di atas punggungnya, sedangkan waktu itu dia baru berusia sebelas tahun. Begitu pula sewaktu Perang Khandaq, ketika berusia dua belas tahun, ia turut serta mengikuti jejak pasukan Islam, hingga Umar berkata kepadanya, “Mengapa kamu datang ke sini? Astaghfirullah, kamu ini betul-betul nekad. Siapa yang bisa melindungimu kalau tiba bencana atau tempat ini tiba-tiba berubah menjadi kancah peperangan?”
Sepeninggal Rasulullah saw., kiprahnya tetap dilakukan. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, anak saudara laki-laki Aisyah, mengatakan bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Usman, Aisyah menjadi penasihat pemerintahan.
Saat terjadi pembunuhan Usman dan kepemimpinan beralih kepada Ali bin Abu Thalib, benih-benih fitnah dan petaka yang dapat mengguncang stabilitas Negara dan mengancam ikatan persatuan kaum muslimin mulai “dimainkan” musuh-musuh Islam. Mencermati situasi demikian, ‘Aisyah, ditemani Thalhah dan az-Zubair berangkat ke Basrah untuk menemui Ali dan meminta kepada Ali agar menegakkan hukum, yaitu men-qishash para pembunuh Usman. Aisyah dan kawan-kawan berinisiatif melakukan itu karena menurut ijtihadnya, penegakkan hukum lebih utama. Langkah ini diharapkan dapat menutup pintu-pintu terjadinya perpecahan disebabkan peristiwa pembunuhan yang zalim atas Usman. Namun Ali tidak menjawab permohonan mereka karena menunggu keluarga Usman agar mereka meminta putusan hukum darinya. Jika terbukti bahwa seseorang adalah di antara pembunuh Usman, maka dia akan mengqishasnya. Selain itu, Ali berijtihad bahwa jika menghukum pembunuh Usman terlebih dahulu, maka bisa jadi kondisinya akan tambah kacau. Sehingga Ali memilih untuk menstabilkan keadaan pemertintahan dengan me-reshuffle para pejabat pemerintahan yang sebelumnya ditunjuk Usman. Tapi ternyata, hal ini tidak terlalu meredam masalah. Karena banyaknya massa yang tidak setuju dengan kebijakan itu. (Lihat penjelasan lengkap misalnya dalam al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nihal, II: 83)
Orang-orang tertuduh sebagai pelaku pembunuhan, yaitu orang-orang yang memberontak kepada Usman, merasa khawatir jika para tokoh shahabat itu bersepakat untuk memerangi mereka, akhirnya mereka memanfaatkan situasi demikian dengan provokasi pertikaian di antara faksi Ali dan Aisyah. Para provokator membawa pasukan untuk menyerang Thalhah dan az-Zubair, sehingga Thalhah dan az-Zubair menyangka bahwa Ali telah menyerangnya. Kemudian mereka membawa pasukan untuk melakukan pertahanan sehingga ‘Ali menyangka bahwa mereka telah menyerangnya, sehingga beliau pun melakukan pertahanan hingga akhirnya tragedi pertempuran itu pun terjadi tanpa dapat dihindari. Sedangkan ‘Aisyah hanya menunggangi unta dan tidak ikut dalam pertempuran, juga tidak memerintah untuk melakukan pertempuran. Tragedi ini dikenal dengan sebutan jamal (waq’ah al-Jamal).
Ibnu Taimiyyah berkata, “Sesungguhnya Aisyah pergi tidak untuk melakukan perang, beliau pergi hanya untuk melakukan perdamaian di antara kaum muslimin, dan beliau mengira bahwa kepergiannya itu mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin, kemudian setelah itu beliau sadar bahwa tidak keluar lebih utama, maka jika beliau mengingat kepergiannya itu, beliau menangis sehingga kerudungnya basah, menyesali atas tragedi yang terjadi. Demikian pula dengan Thalhah, az-Zubair dan ‘Ali.” (Lihat, Minhaajus Sunnah, II:185)
Selain aktif di bidang politik, Aisyah juga banyak terlibat dibidang sosial untuk pemberdayaan masyarakat. Aisyah banyak memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan sehingga di dalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu dirham atau satu dinar pun. Sifat dermawan ini telah ditanamkan pada dirinya oleh Nabi saw. sebagaimana disebutkan dalam satu riwayat, “Aku didatangi oleh seorang ibu yang membawa dua orang putrinya. Dia meminta sesuatu dariku sedangkan aku tidak memiliki apa pun untuk diberikan kepada mereka selain satu biji kurma. Aku memberikan kurma itu kepadanya, dan ibu itu membaginya kepada kedua anaknya. Dia berdiri kemudian pergi. Setelah itu Rasulullah masuk dan bersabda, ‘Barang siapa mengasuh anak-anak itu dan berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.“ Muttafaq Alaihi.
Ada juga riwayat lain yang membuktikan kedermawanan Aisyah. Urwah berkata, “Mu’awiyah memberikan uang sebanyak seratus ribu dirham kepada Aisyah. Demi Allah, sebelum matahari terbenam, Aisyah sudah membagi-bagikan semuanya. Budaknya berkata, ‘Seandainya engkau belikan daging untuk kami dengan uang satu dirham.’ Aisyah menjawab, ‘Seandainya engkau katakan hal itu sebelum aku membagikan seluruh uang itu, niscaya akan aku lakukan hal itu untukmu.”
Demikianlah keteladanan Ibu Kita, Aisyah. Seorang wanita cerdas, muda dan cantik. Kehidupannya penuh kemuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, dan pengabdian sepenuhnya demi kejayaan Islam dan kaum muslimin.
Semoga kita dapat meneladani keutamaan dan menempatkannya pada posisi yang semestinya. Ibu Kita bukan saja pahlawan bangsanya namun lebih dari itu, pahlawan penyelamat hidup kita dan keturunan kita dari kegelapan menuju cahaya terang benderang. Habis gelap terbitlah terang !!!
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
Alhamdulillàh. Agar kita, anak kita, termasuk penguasa ramah sejarah.