Preloader logo

FIQIH DUIT (Bagian Ke-7)

Riba Uang

Kata ar-riba dalam Alquran ditemukan sebanyak 7 kali, tersebar pada surah Al-Baqarah 4 kali (ayat 275, 276, 278, dan 279), surah Ali Imran 1 kali (ayat 130), surah An-Nisa 1 kali (ayat 161), surah Ar-Rum 1 kali (ayat 39). Perlu diketahui bahwa larangan riba dalam Alquran tidak turun sekaligus melainkan secara bertahap, yakni melalui empat tahapan sebagai berikut:

Tahap pertama, turun ayat 39 surat ar-Rum

وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Rum: 39)

Ayat ini turun di Mekah, tidak mengharamkan secara jelas, hanya berupa penolakan terhadap anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai perbuatan taqarrub kepada Allah.

Tahap kedua, turun ayat 160-161, surat an-Nisa

فَبِظُلْمٍ مِنْ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا # وَأَخْذِهِمْ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisa: 160-161)

Ayat ini turun di Madinah sebelum tahun ke-3 hijriah. Ayat ini pun belum secara tegas mengharamkan riba, namun memberikan gambaran yang buruk sebagai ancaman yang keras terhadap orang Yahudi yang memakan riba.

Tahap ketiga, turun ayat 130 surat Ali ‘Imran

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran:130)

Ayat ini turun di Madinah pada tahun ke-3 hijriah, untuk memberikan gambaran bahwa pengambilan riba dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut.

Tahap akhir, turun ayat 278-279 surat al-Baqarah

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ # فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan tianggalkanlah apa yang tersisa dari riba jika kamu beriman. Jika kamu tidak melakukannya maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasulnya, dan jika kamu bertobat, bagian kamu adalah pokok-pokok harta kamu, kalian tidak aniaya dan tidak dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279)

Ayat ini turun di Madinah  pada tahun ke-9. Ayat ini dengan jelas dan tegas mengharamkan riba dalam jenis apapun.

Karakteristik Riba

Surah Ali-Imran ayat 130 mengecam sistem riba jahiliyyah, yang biasa disebut riba nasi’ah. Riba ini sudah lazim berlaku di zaman jahiliyyah, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Fakruddin ar-Razi sebagai berikut: “Adapun riba nasi’ah itu sudah masyhur dan sangat dikenal pada masa jahiliyyah, yaitu seseorang memberi hutang pada orang lain dengan syarat adanya tambahan tiap bulan, sedangkan pokok pinjamannya tetap. Jika telah jatuh tempo pembayaran hutangnya dan yang berhutang tidak dapat membayar hutangnya, maka pemberi hutang mengundurkan tempo pembayarannya dengan tambahan lagi, dan inilah riba yang biasa dilakukan orang jahiliyyah.” (Lihat, Tafsir ar-Razie, juz IV, hal. 62)

Pada sifat riba nasi’ah ini jelas sekali sifat ad’aafan mudhaafatan (berlipat ganda) itu, yakni dengan transaksi yang tidak berbatas waktu, dan selama si peminjam itu tidak mampu membayar pada waktu yang disanggupi maka riba itu akan terus bertambah, sesuai dengan bertambahnya waktu. Ini adalah suatu kondisi atau cara transaksi yang sangat lalim dan aniaya.

Dengan demikian ayat 130 surat Ali Imran ini menegaskan bahwa sifat (karakteristik) riba secara umum mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat ganda sesuai dengan berjalannya waktu dengan tanpa batas. Hal itu dibuktikan juga oleh kenyataan sejarah bahwa riba pada masa pra Islam adalah tambahan pada modal uang yang dipinjamkan dan harus diterima oleh yang berpiutang sesuai dengan jangka waktu peminjaman dan prosentase yang ditetapkan. Bila tidak mampu membayar pada waktu yang dijanjikan, maka terus bertambah. Maka semakin ia tidak mampu akan semakin teraniaya.

Adapun pembicaraan riba dalam hadis dapat terbaca antara lain sebagai berikut:

Rasulullah saw. bersabda:

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً

“Satu dirham riba yang dimakan oleh seorang laki-laki, padahal ia mengetahuinya, lebih berat dosanya daripada tiga puluh enam perzinaan.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, 36:288, No. hadis 21.957)

الرِّبَا اثْنَانِ وَسَبْعُونَ بَابًا أَدْنَاهَا مِثْلُ إِتْيَانِ الرَّجُلِ أُمَّهُ

“Riba itu ada tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan darinya ialah seperti seseorang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibnu Abu Syaibah, Al-Mathalib al-‘Aliyyah, VIII:120)

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ . رَوَاهُ الْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ

Dari Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya Nabi saw. telah melaknat pemakan riba dan yang memberinya, dan dua saksinya, dan penulisnya.” HR. Imam yang lima dan dinilai shahih oleh at-Tirmidzi. Dan dalam riwayat an-Nasai dengan redaksi:

آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ إذَا عَلِمُوا ذَلِكَ مَلْعُونُونَ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Pemakan riba dan yang memberinya, juga penulisnya. Jika mereka tahu yang demikian mereka dilaknat dengan lidah Muhammad saw. pada hari kiamat.” (Lihat, Bustan Al-Ahbar Mukhtashar Nail Al-Awthar, III:45)

Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa riba diharamkan bukan karena besar atau kecilnya prosentase, konsumtif atau produktif, melainkan karena ‘illat (sebab)nya, yakni sifat persyaratan atau perjanjian yang mengandung kezaliman. Hanya saja dalam memahami sifat yang mengandung kezaliman itu para ulama berbeda pendapat, sehingga melahirkan ta’rif atau definisi riba yang beragam.

By Amin Muchtar, sigabah.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}