Preloader logo

FIQIH DUIT (Bagian Ke-5)

Fungsi Uang Menurut Islam

Harta kekayaan, baik dalam bentuk uang maupun barang dinilai oleh Allah Swt. sebagai qiyaman, yaitu sarana pokok kehidupan (QS. An-Nisa: 5). Tidak heran jika Islam memerintahkan untuk menggunakan harta itu pada tempatnya dan secara baik, serta tidak memboroskannya. Bahkan memerintahkan untuk menjaga dan memeliharanya hingga Alquran melarang pemberian harta kepada pemiliknya sekalipun, apabila sang pemilik dinilai boros, atau tidak pandai mengurus hartanya secara baik. Dalam konteks ini, Alquran berpesan kepada mereka yang diberi amanat memelihara harta seseorang. Allah swt. berfirman:

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمْ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” QS. An-Nisa:5

Bukan hanya itu, Alquran memerintahkan siapa pun   yang melakukan transaksi hutang piutang, agar mencatat jumlah hutang piutang itu, jangan sampai oleh satu dan lain hal tercecer hilang atau berkurang.

وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ

“Jangan bosan (enggan) menulisnya sedikit atau banyak sampai batas waktu pembayarannya.” QS. Al-Baqarah: 282

Bahkan   kalau   perlu   meminta   bantuan   notaris   dalam pencatatannya. Kepada notaris serta yang melakukan transaksi itu, Allah berpesan pada lanjutan ayat di atas:

وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمْ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.” QS. Al-Baqarah: 282

Hendaknya notaris jangan merugikan orang yang melakukan   transaksi   terutama   dengan   mengurangi haknya masing-masing, dan bagi yang melakukan transaksi hendaknya jangan pula merugikan sang notaris dalam waktu, tenaga, dan pikirannya tanpa memberi imbalan yang wajar. Diperintahkan juga agar memilih saksi-saksi dalam hal hutang-piutang, kalau bukan dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan:

أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى

“Agar kalau seseorang tersesat/lupa, maka yang satu lainnya akan mengingatkannya.” QS. Al-Baqarah: 282

Pandangan Al-Quran terhadap uang atau harta seperti yang dikemukakan sekilas ini, bertitik tolak dari pandangannya terhadap   naluri   manusia.   Seperti   diketahui,   Al-Quran memperkenalkan agama Islam antara lain sebagai agama fitrah dalam arti ajaran-ajarannya sejalan dengan jati diri manusia serta naluri positifnya. Dalam bidang harta atau keuangan, Kitab Suci umat Islam ini secara tegas menyatakan:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternakdan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” QS. Ali Imran: 14

“Harta yang banyak” oleh Al-Quran disebut   khair   (QS Al-Baqarah [2): 180), yang arti harfiahnya adalah “kebaikan”. Ini bukan saja berarti bahwa harta kekayaan adalah sesuatu yang dinilai baik, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa perolehan dan penggunaannya harus pula dengan baik. Tanpa memperhatikan   hal-hal   tersebut,   manusia akan mengalami kesengsaraan dalam hidupnya.

Karena daya tarik uang atau harta seringkali menyilaukan mata dan menggiurkan hati, maka berulang-ulang Alquran dan hadis, memperingatkan agar manusia tidak tergiur oleh kegemerlapan uang, atau diperbudak olehnya sehingga menjadikan seseorang lupa akan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.

Demikian pandangan sekilas dari Alquran tentang harta dan keuangan serta pengembangannya dalam kegiatan ekonomi. Pada hakikatnya pandangan Alquran terhadap uang dan harta itu amat positif. Ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi keuangan sangat besar. Hal itu diperkuat oleh kenyataan sejarah di mana dalam perekonomian Islam uang dalam fungsinya sebagai alat tukar dan pengukur nilai telah dicetak sejak zaman Khalifah Umar dan Usman, bahkan mata uang yang dicetak pada masa Khalifah Ali masih tersimpan dalam sebuah museum di Paris. Hal ini menunjukkan bahwa dunia Islam telah mengenal mata uang jauh sebelum Adam Smith, Bapak Ekonomi Konvensional, menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766.

Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada ekonomi keuangan hingga tidak mengherankan jika konsep ekonomi moneter Islami telah dibahas dalam ribuan kitab Islam. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah, musyarakah, musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah, jialah, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya. Selain dalam kitab-kitab fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep ekonomi keuangan. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi keuangan yang dilakukan para ulama Islam klasik sangat melimpah, misalnya al-Ghazali dan Ibnu Khaldun.

Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin yang ditulis pada awal abad ke-11 telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, bahwa ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi jika kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang pihak kedua dan sebaliknya pihak kedua membutuhkan barang pihak pertama, misalnya seseorang mempunyai onta dan membutuhkan kain.

Menurut al-Ghazali, walaupun dalam ekonomi barter tetap saja dibutuhkan suatu alat pengukur nilai yang disebut sebagai “uang”. Sebagaimana contoh di atas, misalnya nilai onta adalah 100 dinar dan kain senilai 1 dinar. Dengan adanya uang sebagai alat pengukur nilai, maka uang akan berfungsi sebagai media penukaran.

Namun demikian, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, artinya uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Maksudnya, uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang, atau dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.

Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab Muqaddimah yang ditulis oleh Ibnu Khaldun pada abad ke-14. Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya.

Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang, karena jika satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali.

Merujuk kepada Alquran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham, karena mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan siapa pun yang menerimanya dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Dari sini tampak jelas bahwa al-Ghazali dan Ibnu Khaldun jauh mendahului Adam Smith, Keyneys, Ricardo dan Robert Malthus. Artinya al-Ghazali dan Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” di Eropa.

Dari paparan para ulama di atas, kita dapat mengetahui bahwa pada satu aspek terdapat kesamaan konsep uang dalam ekonomi Islam dan ekonomi konvensional. Namun, pada aspek lain terdapat perbedaan di antara keduanya. Menurut ekonomi Islam, uang adalah uang, bukan capital (modal). Sementara dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas, misalnya dalam buku “Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian. Dalam ekonomi Islam, uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept (konsep uang mengalir) dan merupakan milik umum (public goods), sedangkan capital bersifat stock concept (konsep uang mengendap) dan merupakan private goods (milik pribadi). Uang yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang mengendap menjadi private good.

Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyak membicarakan masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods tercermin dalam sabda Rasulullah saw.,

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ

Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: rumput (padang), air, dan api. [1]

Adapun persamaan fungsi uang dalam ekonomi Islam dan konvensional adalah uang sebagai alat tukar (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account). Sementara perbedaannya, ekonomi konvensional menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store of value), yang kemudian berkembang menjadi “motif money demand for speculation” yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang.”

Dengan demikian, dalam ekonomi Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai menjadi komoditi (barang dagangan) dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum Economic”, seperti memicu terjadinya inflasi, hilangnya kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata uang akan mengurungkan niat orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai/ karyawan, dan perdagangan dalam dan luar negeri akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang.

Sebenarnya, dampak tersebut sudah diingatkan oleh Ibnu Tamiyah, seorang ulama yang lahir di zaman pemerintahan Bani Mamluk tahun 1263. Ibnu Tamiyah, dalam kitabnya Majmu’ al-Fatawa, menyampaikan lima butir peringatan penting mengenai uang sebagai komoditi, yakni :

Pertama, perdagangan uang akan memicu inflasi; Kedua, hilangnya kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata uang akan mengurungkan niat orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, dan menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai/ karyawan; Ketiga, Perdagangan dalam negeri akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang; Keempat, Perdagangan internasional akan menurun; Kelima, Logam berharga (emas & perak) yang sebelumnya menjadi nilai intrinsic (nilai bahan untuk membuat mata uang) akan mengalir keluar negeri.

Prof.Dr. A. Mannan, salah seorang pakar ekonomi Islam, mengatakan bahwa Islam mengakui fungsi uang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi. Diterimanya fungsi ini dengan maksud melenyapkan unsur ketidakadilan, ketidakjujuran, dan pengisapan dalam ekonomi tukar menukar (barter), karena ketidakjujuran ini digolongkan sebagai riba al-fadhal yang dilarang agama. Karena itu, dalam Islam, ditandaskan Mannan, uang itu sendiri tidak menghasilkan sesuatu apapun. Dengan demikian, bunga (riba) pada uang yang dipinjamkan dan meminjam dilarang.

Oleh karena uang yang diakui sebagai alat tukar yang mempunyai nilai tukar, maka uang berfungsi juga sebagai pengukur nilai atau satuan hitung. Kalau fungsi uang tersebut demikian, maka teori nilai uang (value teory of money) dalam kaitannya dengan preferensi waktu (time preference) menyatakan bahwa uang sejumlah nilai yang sama berdaya beli lebih rendah di masa datang dibandingkan daya beli pada saat sekarang. Premis (anggapan) inilah yang menjadi dasar legitimasi praktek pembungaan uang. Premis ini telah mengajarkan manusia modern untuk menunjuk sejumlah nominal yang lebih besar di masa datang daripada menuntut jumlahnya pada saat sekarang, agar uang tersebut memiliki daya beli setara.

Dengan memperhatikan premis di atas dan dengan melihat pendapat Ibn Taimiyah bahwa uang itu berfungsi sebagai alat tukar dan bahkan Mannan berpendapat bahwa fungsi uang itu hanya sebagai alat untuk melaksanakan fungsinya sebagai fungsi sosial, yaitu mempermudah pengukuran nilai barang yang ditukarkan dan fungsi religious (untuk mempermudah pengambilan zakat dan pembayarannya pada orang miskin), penulis berpendapat bahwa uang tersebut berfungsi sebagai alat tukar dan sekaligus sebagai pengukur nilai. Dengan demikian, supaya fungsi yang dikehendaki itu dapat diwujudkan, maka nilai tukar uang tersebut kapan saja dimanfaatkan nilainya harus setara. Namun demikian, dalam hal ini penulis lebih condong adanya kemungkinan perubahan nominal di masa datang untuk menjaga nilai setara. Penulis juga berpendapat bahwa uang tidak dibolehkan sebagai komoditi, dan uang hanya sebagai alat tukar yang mempunyai nilai setara nominalnya. Hal ini untuk menjauhi kegiatan spekulasi dengan uang tersebut.

Untuk itu, marilah kita kembali kepada fungsi uang yang legal formal. Artinya dilegalisir dalam Islam serta diakui dalam ekonomi konvensional, yakni sebagai alat tukar dan satuan nilai, bukan sebagai salah satu komoditi. Di samping itu perlu dibangun kesadaran jama’i (kolektif), baik kesadaran minimal—bahwa sesungguhnya uang itu hanyalah sebagai perantara (wasilah) untuk menjadikan suatu barang kepada barang yang lain—maupun kesadaran maksimal bahwa sesungguhnya uang itu sebagai salah satu perantara (wasilah) untuk meraih kemuliaan Surga.

By Amin Muchtar, sigabah.com

[1]H.r. Ahmad, Musnad Ahmad, XXXXVII:57, No. Hadis 22004; Abu Daud, Sunan Abu Daud, IV:140, No. Hadis 3477; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz VII:335, No. Hadis 2463; Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, V:391; dan al-Baihaqi. As-Sunan al-Kubra, VI:150, dengan sedikit perbedaan susunan redaksi. Susunan redaksi di atas versi Abu Daud.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}