Sidang Dewan Hisbah di hari kedua, Kamis 27 Agustus 2015, dilanjutkan kembali dengan pembahasan tema terakhir (ke-11): “Baca Al-Quran dengan Langgam selain Arab”. Pembahasan tema terakhir ini diamanatkan kepada Prof.Dr.M.Abdurrahman, sebagai pemakalah yang juga menjabat sebagai Ketua Umum PP Persis periode 2010-2015. Untuk memandu jalannya persidangan dipercayakan kepada KH. Uus M.Ruhiat, sebagai moderator.
Prof.Dr.M.Abdurrahman, sebelum memaparkan pokok-pokok pikirannya, menyampaikan latar belakang masalah sebagai berikut:
“Membaca Al-Quran adalah perintah Allah Swt. yang sejak awal turunnya pun sudah amat jelas (QS. al-Alaq: 1-5), sehingga amat sulit kaum muslimin yang tidak membacanya, baik sedikit maupun banyak, sekalipun dalam kenyataan di lapangan hafalannya amat terbatas pada surat al-Fatihah dan surat-surat pendek untuk keperluan salat. Namun demikian, membaca Al-Quran bukan hanya berkaitan dengan salat karena dalam kehidupan keseharian seorang muslim harus membacanya. Bacaan Al-Quran ini melaksanakan perintah Allah dan Rasul saw. karena dengan membaca itu pula akan memperoleh ilmu dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan, Fiddunya wal akhirah. Belum lagi dilihat dari aspek pahalanya yang amat banyak. Atas dasar itu pula Rasulullah saw. banyak membaca dan terdengar para sahabatnya, bahkan dicatatnya bila terdapat ayat-ayat yang baru diwahyukan dengan tulisan yang diambil dari tulisan Arab kuno, Himyari, sehingga memunculkan Ilmu Rasmil Qur’an (Ilmu penulisan Al-Quran). Oleh karena itu pula banyak sahabat yang hafal Al-Quran, lebih-lebih setelah Rasulullah wafat. Al-Quran, bukan hanya sekedar hafalan saja, tetapi Rasulullah memerintahkan agar para sahabat dapat melantunkan Al-Quran (taghanna Al-Qur’an). Pelantunan ayat-ayat Al-Quran harus menggunakan adab-adabannya, yaitu secara tartil dan menggunakan lagu yang digunakan oleh orang Arab (luhun al-‘Arab) dan juga bukan lagu yang digunakan orang fasiq dan kafir, seperti dalam nyanyian-nyanyian atau disertai dengan musik-musik.
Akhir-akhir ini ramai dibicarakan luhun, lagu-lagu bukan bahasa Arab, seperti pada kasus peringatan Isra-Miraj di Istana Negara yang menggunakan lagu “Jawa”, dengan semboyan yang ramai pula di kalangan kaum muslimin Indonesia, yaitu Islam Nusantara, termasuk di dalamnya diperbolehkannya lagu-lagu apapun di Nusantara digunakan untuk membaca Al-Quran dengan alasan “Lagu adalah urusan Muamalah”, bahkan dikatakan umuuri dunyaakum, bukan urusan akidah atau ibadah. Membacanya adalah ibadah, lagu urusan muamalah. Sontak para ulama yang memiliki pesantren-pesantren “Tahfizh dan tahsin Al-Quran”, para Qurra, menolak pernyataan ini dan mempertanyakan niat orang yang membolehkannya, walau tidak sampai ke arah Islam-Pobhia, tak menyukai Islam. Dalam suatu “Musyawarah Nasional Tafsir Al-Quran” (Selasa-Kamis, 18-20 Agustus 2015), seorang Ulama dari Lombok, setelah mendengar orang pembawa makalah yang membolehkan lagu Quran Nusantara, menyanyikan, “Lagu Indonesia Raya dan Padamu Negeri dengan lagu daerah”, sehingga para hadirin pada tertawa. Kata ulama tersebut, baru Indonesia Raya saja diperolokan bila menggunakan lagu yang tidak baku, bagaimana jadinya dengan Al-Quran yang suci, dihormati, dan membacanya adalah ibadah dan menggunakan luhun yang keluar dari perintah Rasul saw. Di Persis sendiri beberapa puluh tahun lalu ada yang membolehkannya, tetapi KH.E. Abdurrahman tidak meresponnya, dan hilang sendiri.
luhun bacaan Al-Quran yang selama ini sudah dinilai matang dan tidak menjadi persoalan karena orang seluruh dunia sudah mengamalkan apa adanya. Pada dasarnya Ulama sejak dahulu sudah banyak membahas, sebagaimana mereka mengambil dasar dari Al-Quran dan Hadis, seperti tercantum pada buku al-Anjum al-Zawaahir fi Tahrim al-Qiraa’ah bi Luhuun Ahl al-Fisq wa al-Kabaa’ir, karya Zainuddin al-Barakat Ahmad bin Muhammad (w. 929 H.). Buku lainnya adalah ‘Ilm al-Tajwiid: Ahkaam Nazhariyah wa Mulaahazhat Tathbiiqiyyah, karya DR. Yahya Abdurrazaq al-Gutsani. Dalam kitab-kitab tersebut diuraikan secara mendalam mengenai bacaan, lagu bacaan, dan adab-adabanya.”
Cover Kitab Al-Anjum al-Zawaahir, karya Syekh Zainuddin
Selanjutnya, Prof.Maman, memaparkan pokok-pokok pikirannya, sebagai berikut:
Pertama, Dalil-dalil berkaitan dengan Bacaan Al-Quran
Menurut Prof.Maman, tajwid dan makhaarij al-huruuf wajib dipelihara berkaitan dengan makna-makna Al-Quran. Karena dibaca panjang dan pendek suatu kata bisa mengubah makna, seperti berubah makna bila salah membacanya. Kosakata aamanna, (bermakna kami sudah beriman) berbeda dengan kosakata amana (dia aman), seperti berbeda pula kosa kata kharaja (dia keluar) dengan haraja (dia kesulitan). Kata Syaawara (dia bermusyawarah) dengan syawara (memamerkan dagangan di pelelangan barang, pasar binatang).
Kemudian Prof.Maman mengajukan sejumlah dalil Al-Quran dan hadis tentang perintah membaca dan caranya. Dalil Al-Quran: surat al-Kahfi [18]: 1, al-Zumar [39]: 28, al-Muzammil [73]: 4, al-Furqan [25]: 32, al-Isra [17]: 106, Yusuf [12]: 2, dan Az-Zukhruf [43]: 3. Sementara dalil hadis, Prof.Maman mengajukan dua kategori: (1) hadis Nabi saw. (marfu’), (2) hadis para sahabat (mauquf). Hadis marfu’, antara lain riwayat an-Nasai, Malik, at-Thabrani, dari Hudzaifah al-Yamani: “Iqra’ul Quran bi Luhunil Arab wa ashwatiha wa iyyakum biluhuni ahlil fisqi wal kabair…”[1] Kata Prof.Maman, yang dimaksud dengan luhunil Arab adalah thabiah dari karakter atau tabiat bahasa Arab itu sendiri, bukan bikin-bikinan dan memaksakan diri, takalluf dengan dibuat-buat. Sedangkan yang dimaksud dengan luhun orang fasik ialah lagu-lagu yang diambil dari musik atau kesenian.
Sementara hadis mauquf atau atsar shahabat, antara lain dari Ibn Abbas, “Barangsiapa mendengar baik-baik (menyimak) pada suatu ayat dari kitab Allah maka baginya memperoleh cahaya.” Hr. Aburrazaq
Selain dalil-dalil Al-Quran dan hadis, Prof.Maman memperkuat pandangannya dengan sejumlah pendapat para ulama, seperti yang dirujuk dari kitab al-Anjum al-Zawaahir di atas, antara lain:
- Al-Mawardi, dalam al-Haawi, “Bacaan (Al-Quran) dengan lahn yang dibuat kalau mengeluarkan lafal dari shigatnya dengan memasukkan harakat padanya atau mengeluarkan harakat darinya atau memendekkan yang mesti dibaca panjang atau memanjangkan yang mesti dibaca pendek atau lafal tersembunyi, sehingga maknanya tak jelas, maka bacaannya haram, fasik pembacanya dan haram mustaminya, karena sudah belok dari manhaj yang lurus kepada yang berkelok-kelok, padahal Allah berfirman, seperti pada surat al-Zumar [39]: 28.”
- Az-Zawawi al-Maliki menyatakan, “Diperselisihkan Tarji’ (mengulang-ngulang lagam-lagam), yaitu lagam-lagam ‘Arabi. Imam Malik memakruhkan dan juga kebanyakan ulama karena bacaan keluar dari rasa takut, kekhusyuan, dan pemahaman, tapi Abu Hanifah membolehkannya karena bisa menambah “riqqah, (kelembutan dalam jiwa seseorang).”
Kedua, Cara-Cara Pembaca Al-quran
Dengan merujuk penjelasan Dr. Yahya Abdurrazaq dalam kitabnya ‘Ilm al-Tajwiid, Prof.Maman menyatakan, bahwa ada tujuh macam lagu yang dimungkinkan dalam membaca Al-Quran yang dibaca dengan kelembutan dan mudah, seperti, Shaba, Nahawand, Ajam, Bayati, Sika, Hijaz, Wasat. Lebih lanjut Prof.Maman mengatakan, bacaan Al-Quran harus sesuai dengan nada atau langgam ‘Arabi apapun dari tujuh macam tersebut, serta terpelihara Izhar, Idgham, Ikhfa, dan Makhaarij al-Huruf, madd wal-qashnya.
Ketiga, Adab-adab Membaca Al-Quran
Dengan merujuk penjelasan Dr. Yahya Abdurrazaq, Prof.Maman menyebutkan enam bentuk adab membaca Al-Quran, sebagai berikut:
- Membaca Al-Quran harus tartil yang meliputi tiga hal, berdasar pada ayat: “Warattilil Qur’aana tartiila.”
- Jauhi lagu-lagu, terlebih lagu-lagu musik, dan harus mengutamakan
- Tidak berlebihan, dan dilarang, dalam membaca harakat, sehingga menimbulkan huruf baru, seperti alaihim dengan alaihii Bismillahrahmanirrahiim, dengan bismiii illahi rahmaniirahim.
- Dalam membaca dilarang adanya bacaan-bacaan yang menimbulkan perubahan (ikhtilas), karena adakalanya dengan kecepatan membaca atau kelambatan dapat mengganggu makna.
- Jangan melagukan, sebagaimana dilakukan para
- Pembacaan Al-Quran yang konsistem, iltizam dengan hukum tajwid, kaidah-kaidah, dan pedoman-pedoman yang diakui dan didahulukan dari lagu-lagu itu.
Keempat, Praktek Kaum Muslimin dalam Membaca Al-Quran
Menurut Prof.Maman, kaum muslimin membaca Al-Quran, sebagaimana yang sudah ada sekarang karena harus sesuai dengan tujuh macam lagu di atas dan perlunya memelihara tahsin Qiraa’atil Al-Quran dan mereka kaum muslimin di dunia membaca dengan lahn tersebut, sebagaimana di Indonesia saat ini. Dalam membaca Al-Quran kaum muslimin di dunia tidak ada perbedaan, sehingga di manapun seseorang tidak dinggap aneh dalam membacanya. Di dunia Arab, dunia Islam, bahkan di Eropa, Amerika, Rusia, dan Asia membacanya sama. Bagaimana jadinya bila di suatu negara bacaan Al-Qurannya berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya?
Setelah menyampaikan berbagai pokok pikiran, sebagaimana tersebut di atas, Prof.Maman menutup makalahnya, dengan kesimpulan sebagai berikut:
- Cara membaca Al-Quran sudah ada kaidah dan pedoman dari Nabi dan para sahabat Nabi, yang selanjutnya diteruskan oleh tabiin dan ulama salaf, sampai kepada ulama khalaf
- Cara yang benar dan memadai tetap ada Luhunil ‘Arab, sebagaimana sudah berjalan saat ini.
- Wacana lagu Al-Quran selain dari luhun ‘Arab dapat membawa kepada perubahan makna, lebih-lebih bila mengutamakan laga dan lagu, sehingga mengubah panjang pendeknya dan merubah makna, maka dilarang dan dapat dikatakan
Selanjutnya, untuk mempertajam pokok-pokok pikiran Prof.Maman, KH.Uus M Ruhiat, sebagai moderator tema keenam (atau terakhir) pada sidang di hari kedua ini, memberikan kesempatan kepada para anggota Dewan Hisbah untuk menyampaikan pandangannya.
Setelah dilakukan diskusi dan penilaian dari para anggota Dewan Hisbah tentang masalah ini: “Baca Al-Quran dengan Langgam selain Arab”, yang sempat berjeda sekitar 1 jam untuk shalat magrib dan makan, akhirnya Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam menetapkan hukum (beristinbath) sebagai berikut:
“Membaca Al-Quran dengan berbagai langgam yang mengandung unsur istihza, takalluf dan tasyabuh dengan ritual agama lain serta melanggar kaidah-kaidah tajwid hukumnya haram.”
Demikian keputusan sidang Dewan Hisbah mengenai masalah tersebut, yang dapat dilaporkan dari arena sidang pada pukul 20.31 WIB.
Pada saat berita ini disusun, tengah dilaksanakan acara penutupan sidang Dewan Hisbah, yang telah berlangsung selama dua hari, Rabu-Kamis, 26-27 Agustus 2015.
Pimpinan dan anggota dalam sidang Dewan Hisbah, Rabu-Kamis, 26-27 Agustus 2015
Semoga hasil liputan berbagai keputusan sidang Dewan Hisbah, yang ditayangkan serial oleh tim sigabah.com ini, meski sederhana, dapat memenuhi harapan pini sepuh, Ketua Dewan Hisbah, KH.Muhammad Romli, dalam sambutan dan pengarahannya di hari Rabu, 26 Agustus 2015. Selain itu, semoga saja dapat membantu PP Persis dan sekretariat Dewan Hisbah dalam upaya sosialisasi berbagai keputusan Dewan Hisbah tersebut agar segera diketahui oleh umat di manapun mereka berada.
By Tim Sigabah Publika
Editor: Amin Muchtar, sigabah.com/beta
Baca fatwa Dewan Hisbah lainnya di sini
Bagaimana Jika Istri Menuduh Suami Zina?
Talaq Melalui Sms Dan Ruju’ Bagi Khulu’
Waris Bagi Orang Tua Biologis Anak Zina
Bolehkah Wakaf Diubah Status Dan Fungsinya?
Bolehkah Istri Wakaf Tanpa Izin Suami?
Bolehkah Mengulangi Ihrom Dari Tan’im?
Bolehkah Zakat Diinvestasikan?
[1]Hadis tersebut hanya kami temukan dalam riwayat ath-Thabrani, dengan redaksi:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ بِلُحُونِ الْعَرَبِ وَأَصْوَاتِهَا، وَإِيَّاكُمْ وَلُحُونَ أَهْلِ الْكِتَابَيْنِ وَأَهْلِ الْفِسْقِ
“Bacalah Al-Quran dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah lagu/irama ahlkitab dan orang orang fasiq…” (al-Mu’jam al-Ausath, Juz 7, hlm. 183, No. Hadis 7223)
Selain itu, didapatkan pula dalam riwayat al-Baihaqi (Syu’ab al-Iman, Juz 4, hlm. 208, No. Hadis 2406), dengan redaksi:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ بِلُحُونِ الْعَرَبِ وَأَصْوَاتِهَا، وَإِيَّاكُمْ وَلُحُونَ أَهْلِ الْفِسْقِ وَأَهْلِ الْكِتَابَيْنِ
Juga dalam riwayat at-Tirmidzi (Nawadir al-Ushul fii Ahadits ar-Rasul, Juz 3, hlm. 170), dengan redaksi:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ بِلُحُونِ الْعَرَبِ وَأَصْوَاتِهَا وَإِيَّاكُمْ وَلُحُونَ أَهْلِ العِشْقِ وَأَهْلِ الْكِتَابَيْنِ