Preloader logo

Demokrasi Indonesia Menuju Otoritarian

Indonesia kembali menuju negara otoritarian. Hal tersebut tidak terlalu berlebihan jika melihat trend penurunan kualitas demokrasi Indonesia dari rilis Indeks Demokrasi Dunia terbaru yang dikeluarkan oleh media ternama Amerika Serikat, The Economist. Dalam rilis tersebut, Indonesia terjun bebas 20 peringkat dari tahun sebelumnya.

Pada tahun 2006, di bawah kepemimpinan Presiden RI ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia berada pada ranking 65 dunia. Perlahan namun pasti, perbaikan dalam sistem politik dan iklim demokrasi Indonesia memberikan dampak peningkatan. Pada akhir jabatannya, SBY berhasil mengangkat ranking Indonesia menjadi peringkat 49 dunia.

Keberhasilan tersebut juga tidak sebatas penilaian angka-angka. SBY pada tahun 2013 dianugrahi penghargaan Global Statesman Award atau penghargaan negarawan dunia. Era 10 tahun kepemimpinan SBY dianggap oleh Executif Chairman World Economic Forum Klaus Martin Schwab sebagai era “Golden Years” Indonesia. Lebih jauh SBY dianggap mampu meyakinkan publik bahwa demokrasi menjadi pusat identitas politik di dalam keberagaman yang ada di Indonesia.

Sejumlah prestasi besar tersebut sayangnya tidak diteruskan oleh Presiden Joko Widodo. Dalam empat tahun kepemimpinannya, Indonesia malah jeblok ke peringkat 68 dunia. Turun beberapa peringkat lagi Indonesia akan selevel dengan negara-negara seperti Zambia, Mali, Kenya dan Uganda. Sungguh sesuatu pencapaian yang tidak menggembirakan.

Penurunan peringkat demokrasi Indonesia tersebut sangat berkorelasi dengan fakta yang terjadi akhir-akhir ini. Dimana kebebasan berpendapat sebagai hak sipil terkesan dikebiri oleh penguasa. Pihak ataupun kelompok yang berbeda pandangan dengan pemerintah kerap kali dianggap makar.

Parahnya lagi, instruksi presiden kepada aparatur penegak hukum untuk mensosialisasikan program pemerintah menjadi sebagai upaya represif untuk menekan pihak-pihak yang berseberangan. Pemerintah saat ini sudah melampui kewenangannya dengan menjadikan TNI dan Polri sebagai alat kekuasaannya menekan kebebasan berpendapat.

Selain itu, kooptasi politik yang dilakukan oleh penguasa juga berimbas pada angka partisipasi semu. Dalam partisipasi semu ini penguasa hanya menjadikan masyarakat sebagai objek politik. Seringkali dalam implementasinya terjadi mobilisasi masa dengan tujuan untuk memanipulasi seolah-olah masyarakat telah ikut berpartisipasi. Contohnya kejadian gerak jalan yang diboncengi kepentingan kampanye penguasa beberapa waktu lalu yang viral.

Hal lain yang membuat prestasi pencapaian demokrasi kita terus menurun adalah lunturnya kemulian nilai-nilai. Seperti lunturnya nilai-nilai kebangsaan dan keberagaman serta keberagamaan di dalam masyarakat. Bahkan tak jarang, nilai-nilai luhur yang telah terbentuk tersebut sengaja dibenturkan oleh elite-elite politik demi meraup keuntungan politik. Lihat saja tensi antara kelompok yang mengaku Pancasilais yang menuding kelompok agama sebagai anti NKRI, begitu juga sebaliknya.

Pemerintah sebagai otoritas tertinggi dalam hal menjaga kemuliaan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat telah gagal. Bahkan pemerintah terkesan bermain api dengan merawat benturan sosial tersebut. Jadi wajar dan tidak mengherankan jika penilaian terhadap demokrasi kita dimata dunia malah menurun, bahkan menuju negara hybrid regime seperti Zambia, Mali dan lainnya.

Pemerintah Jokowi harus bertanggung jawab dengan kegagalan dan kerusakan yang diciptakannya. #2019GantiPresiden adalah hak berpendapat masyarakat yang dijamin oleh konstitusi. Sama halnya dengan kebebasan yang didapat oleh kelompok #JKW2P. Jika Jokowi terus menekan salah satu kelompok, jangan salahkan akan terjadi people power. Karena dalam teorinya, gerakan people power selalu terjadi pada rezim otoriter dengan kapasitas rendah.

People power mempunyai siklus tersendiri dalam merontokkan rezim predator. Di Filipina people power pernah menggulingkan Joseph Estrada, di Thailand Thaksin Sinawatra pernah merasakannya, Indonesia Soeharto adalah contoh konkritnya. Jangan sampai Jokowi menjadi yang berikutnya.

Rio Darmanto Anugerah, Pegiat Kebebasan Sipil

sigabah.com | politiktoday.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}