Saat “Islam Nusantara” sedang menjadi topik tren di kalangan intelektual, birokrat Kementerian Agama, politisi, dan sebagian organisasi Islam, muncul fatwa MUI soal BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sebagai primadona baru yang menarik perhatian banyak orang. Kabar BPJS haram yang difatwakan Dewan Syari’ah Nasional (DSN) MUI itu baru ramai diberitakan media belakangan ini, padahal sejatinya fatwa ini sudah agak lama sebelum shaum Ramadhan, sebagai rekomendasi Ijtima Ulama Komisi Fatwa yang dihasilkan dari pertemuan para ulama se-Indonesia, Juni lalu di Cikura, Tegal, Jawa Tengah. Apalagi jika merujuk kepada keputusan Dewan Hisbah, lembaga fatwa di organisasi Persatuan Islam (Persis)—meski luput dari perhatian media—yang lebih dulu memfatwakan BPJS haram.
Putusan fatwa MUI, sebagaimana dinyatakan Ketua Bidang Fatwa MUI, KH. Ma’ruf Amin, didasarkan pada dua alasan, yaitu prosedural dan substansial. Aspek prosedural, BPJS Kesehatan harus dibuat didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Di BPJS Kesehatan ini tidak ada landasan itu, prosedur tidak sesuai. Dari segi substansial, berkaitan dengan akad yang diterapkan oleh manjemen BPJS Kesehatan. MUI meminta pemerintah buat BPJS Kesehatan Syariah. Namun, sepanjang itu belum muncul, BPJS Kesehatan yang sekarang itu boleh digunakan dengan catatan karena kondisi darurat.
Tampaknya fatwa soal BPJS menjadi isu hot dan potensial untuk terus “digoreng” dalam pemberitaan media cetak dan online hingga terasa renyah. Belakangan ini isu itu pun agak bergeser pada soal tingkat akurasi hukumnya, antara diktum: “BPJS Haram” dan “BPJS tidak sesuai Syariat”. Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris pun berkilah, “Tidak ada fatwa haram dari MUI. Informasi yang beredar saat ini adalah Ijtima Ulama Komisi Fatwa yang dihasilkan dari pertemuan para ulama se-Indonesia, Juni lalu di Tegal yang bersifat rekomendasi.”
Tuisan ini tidak akan memperbicangkan alasan fatwa Dewan Hisbah PP Persis dan juga dua alasan fatwa MUI, namun lebih menyoroti “catatan kondisi darurat” yang dikehendaki.
Pengertian Darurat
Kata darurat secara bahasa berarti: suatu kebutuhan yang amat mendesak (syiddatul luzum), sesuatu yang tak dapat dihindari (lâa ghinaâ ‘anhu), atau sesuatu yang memaksa (alja’ahu). “Darurat” dalam Al-Qur’an disebut dengan istilah idhthirâr, antara lain:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنْ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah (yang mengalir), daging babi, dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 173)
Sedangkan dalam hadis Nabi saw. disebut dengan istilah dharar, antara lain
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Dari Ibnu Abas, ia berkata, “Rasulullah saw. Bersabda, “Tidak madharat dan memadharatkan.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:313, No. hadis 2867, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:784, No. hadis 2341
Ibnu Rajab al-Hanbali menjelaskan maksud hadis di atas sebagai berikut:
أَنَّ الضَّرَرَ أَنْ يُدْخِلَ الشَّخْصُ عَلَى غَيْرِهِ ضَرَراً بِمَا يَنْتَفِعُ هُوَ بِهِ وَالضِّرَارَ أَنْ يُدْخِلَ الشَّخْصُ عَلَى غَيْرِهِ ضَرَراً بِلاَ مَنْفَعَةَ لَهُ مِنْ ذلِكَ الضَّرَرِ
“Bahwa dharar ialah seseorang menimbulkan bahaya atau kerugian kepada orang lain dengan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Sementara Dhirar ialah seseorang menimbulkan bahaya atau kerugian kepada orang lain tanpa mengambil manfaat dari kerugian itu.” (Lihat, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hlm. 287)
Dengan perkataan lain, dharar ialah mengambil keuntungan dari dari sesuatu yang merugikan orang lain atau mengambil manfaat dari sesuatu yang membahayakan orang lain. Sementara dhirar tidak mengambil manfaat dari kerugian itu.
Dari ayat dan hadis tersebut para ahli fikih menetapkan kaidah umum:
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Bahaya itu harus dihilangkan” (Lihat, Al-Asybah wa an-Nazha’ir ‘Ala Madzhab Abi Hanifah, hlm. 85)
Dari kaidah ini kemudian lahir berbagai kaidah hukum “turunan” yang cukup popular:
Pertama:
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Keadaan darurat membolehkan yang dilarang.” (Lihat, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, hlm. 85)
Kedua:
مَا أُبِيحَ لِلضَّرُورَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا
“Sesuatu yang dibolehkan karena darurat, ukurannya ditentukan dengan kadar kedaruratannya.” (Lihat, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, hlm. 86)
Ketiga:
الضَرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَرَرِ
“Kemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan lainnya.” (Lihat, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, hlm. 87)
Kaidah Turunan:
يُتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُّ لِأَجْلِ دَفْعِ ضَرَرِ الْعَامِّ
“Kemadharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemadharatan yang bersifat umum.” (Lihat, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, hlm. 87)
الضَرَرُ الأَشَدُّ يُزَالُ بِالأَخَفِّ
“Kemadharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih ringan.” (Lihat, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, hlm. 88)
الضَرَرُ يُدْفَعُ قَدَرَ الإِمْكَانِ
“Kemadharatan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan.” (Lihat, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, karya As-Suyuthi, hlm. 84)
Keempat:
إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila terjadi kontradiksi dua kemafsadatan, maka yang dipertimbangkan adalah yang paling besar madaratnya dengan melakukan/mengambil yang lebih ringan madaratnya.” (Lihat, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, hlm. 89)
Kelima:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak berbagai kerusakan itu lebih utama daripada mengambil berbagai kemaslahatan” (Lihat, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, hlm. 90)
Keenam:
الحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَرُورَةِ عَامَةً كَانَتْ أَوْ خَاصَةً
“Kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus.” (Lihat, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, hlm. 91)
Kata Syekh Musthafa az-Zarqa:
وَالْمُرَادُ بِكَوْنِ الْحَاجَةِ عَامَّةً: أَنْ تَكُوْنَ شَامِلَةَ جَمِيْعِ الأُمَّةِ وَالْمُرَادُ بِكَوْنِهِ خَاصَّةً أَنْ تَكُوْنَ الإِحْتِيَاجُ لِطَائِفَةٍ مُتَخَصَّصِةٍ مِنَ الأُمَّةِ كَأَهْلِ بَلَدٍ أَوْ حِرْفَةٍ لاَ أَنْ تَكُوْنَ فَرْدِيَّةً
“Dan yang dimaksud dengan hajat (kebutuhan) umum ialah hajat itu meliputi seluruh umat. Sedangkan yang dimaksud dengan hajat khusus ialah hajat untuk kelompok tertentu, seperti penduduk suatu negeri atau profesi tertentu, bukan hajat individu.” (Lihat, Al-Madkhal al-Fiqhiy: 603)
Ruang Lingkup Darurat
Untuk memahami konsep darurat di dalam ajaran Islam, kita dapat menggunakan dua pendekatan. Pertama, pendekatan kaidah fiqih, atau yang kami sebut dengan kaidah hukum mikro, yaitu kaidah yang dirumuskan dari petunjuk Alquran dan sunah terkait dengan kasus perkasus. Kedua, pendekatan kaidah ushul fiqih, atau yang kami sebut dengan kaidah hukum makro, yaitu kaidah yang dirumuskan dari petunjuk Alquran dan sunah yang tidak terkait dengan kasus perkasus (maqasid as-syariah)
Untuk lebih memahami konsep darurat dalam pendekatan kaidah fiqih, kita analisa beberapa contoh sebagai berikut:
Contoh (1): bangkai, darah, dan daging babi diharamkan oleh syariat Islam, namun bagi seseorang yang tidak mendapatkan makanan lain selain yang diharamkan itu, dibolehkan untuk memakannya, tetapi tingkat kebolehannya sekadar untuk mempertahankan hidupnya dan “menyelamatkannya” dari kematian. Melebihi dari itu, hukumnya tetap haram.
Contoh (2): demi menjaga jiwa dan kehidupannya yang tengah terancam, seseorang boleh mencuri makanan orang lain untuk dimakan sebatas menghilangkan kelaparan yang menghinggapinya, tetapi hal itu dibolehkan bila tidak ada cara lain yang halal.
Contoh (3): demi menjaga jiwa dan kehidupan pasen wanita yang tengah terancam, seorang dokter boleh melihat aurat wanita itu sebatas menyelamatkannya dari kematian, tetapi hal itu dibolehkan bila tidak ada cara lain yang memungkinkan.
Ketiga contoh Ini menunjukkan bahwa darurat dalam kaidah fikih merupakan limit akhir keterpaksaan yang jika tidak melakukan sesuatu meski dilarang bisa mengancam jiwa. Dari contoh kasus tersebut, dan beberapa contoh kasus lain yang disepakati oleh para ulama, tampak jelas bahwa kebolehan untuk melakukan sesuatu yang diharamkan itu, dalam kaidah fikih, semata-mata demi untuk menghilangkan dharar (bahaya) dan menjaga jiwa pelakunya dari kematian. Berarti, dalam kaidah fiqih, yang menjadi ukuran darurat adalah hifz an-nafs (keselamatan jiwa). Nafs yang dimaksud di sini hanya “nyawa” semata.
Merujuk kepada kaidah fiqih di atas, serta menimbang fatwa Dewan Hisbah dan fatwa MUI, dapat dicermati bahwa program BPJS merupakan kebutuhan khusus (haajah khashah). Kebutuhan akan program ini dapat merubah status menjadi darurat apabila program itu dapat “menjaga jiwa para peserta BPJS dari kematian.” Konsekuensi pendekatan kaidah fiqih ini, bahwa kebutuhan akan program BPJS untuk mengobati berbagai penyakit yang belum dipastikan mengancam jiwa dari kematian tidak dapat dikategorikan darurat.
Berbeda dengan kaidah fiqih, dalam kaidah ushul fiqih, ternyata ukuran darurat bukan hanya urusan nyawa semata, melainkan jiwa-raga. Selain itu, pada dasarnya meliputi lima komponen kehidupan yang disebut dengan daruriyat khams: yaitu hifzh al-dîin (memelihara keselamatan agama), hifzh an-nafs (memelihara keselamatan jiwa-raga), hifzh al-‘aql (memelihara keselamatan akal), hifzh al-mâal (memelihara keselamatan harta) dan hifzh an-nasl (memelihara keselamatan keturunan). Lima komponen ini merupakan kemaslahatan primer dalam kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat, yang jika tidak terwujud maka rusaklah kehidupan dunia, dan kehidupan umat manusia akan terancam. Mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat adalah tujuan syari’at (maqâshid as-syarî’ah) yang sangat prinsipil.
Sebagai contoh: membunuh seseorang itu diharamkan oleh syariat Islam, namun demi menjaga agama ketika agama Islam dirusak oleh seseorang, dan tidak ada cara lain untuk mencegahnya, maka dibolehkan untuk membunuhnyanya, tetapi tingkat kebolehannya sekadar untuk mempertahankan agama dari kehancuran, dan ini termasuk hifzud din (memelihara agama). Jadi dasarnya bukan nafsu atau dendam.
Contoh lain: Melukai orang lain itu diharamkan, namun demi menjaga harta benda yang hendak dicuri/dirampok, seseorang boleh melukai puncuri itu sebatas mempertahankan harta bendanya dari kepunahan, tetapi hal itu dibolehkan bila tidak ada cara lain yang memungkinkan, dan ini termasuk hifzhul mal (memelihara harta benda).
Dengan demikian, keadaan darurat dalam ushul fiqh dirumuskan sebagai suatu keadaan yang kalau tidak dilakukan, salah satu di antara komponen kehidupan yang lima itu akan terancam. Jadi, keberlakuan darurat menurut qaidah ushul fiqih lebih luas ketimbang darurat menurut kaidah fikih. Dengan perkataan lain, keselamatan nyawa bukan satu-satunya yang dijadikan ukuran. Karena itu, limit waktunya bisa jadi tidak singkat, bahkan permanen, yakni selama tidak adanya jaminan kelestarian salah satu di antara lima kompenan hidup tersebut.
Merujuk kepada kaidah ushul fiqih di atas, serta menimbang fatwa Dewan Hisbah dan fatwa MUI, dapat dicermati bahwa program BPJS merupakan kebutuhan khusus (haajah khashah). Kebutuhan akan program ini dapat merubah status menjadi darurat apabila program itu dapat “menjaga jiwa-raga para peserta BPJS dari bahaya (dharar).” Konsekuensi pendekatan kaidah ushul fiqih ini, bahwa kebutuhan akan program BPJS untuk mengobati berbagai penyakit, baik mengancam jiwa dari kematian maupun sekedar mengobati luka dapat dikategorikan darurat.
Tulisan ini hendak menekankan bahwa, meskipun berbeda dalam aksentuasinya (penekanan), namun kedua sudut pandang tersebut (kaidah fiqih dan ushul fiqih di atas) pada hakikatnya sama-sama menunjukkan bahwa:
- Tidak mudah membolehkan sesuatu yang dilarang, demikian pula melarang sesuatu yang jelas diperbolehkan.
- Menentukan suatu keadaan disebut darurat atau tidak juga bukan pekerjaan gampang. Keadaan darurat dalam pemahaman ajaran Islam senantiasa merujuk pada kondisi kehidupan manusia.
Dengan demikian, selama pihak MUI tidak membuat standar dan petunjuk pelaksanan (Juklak) kedaruratan BPJS yang dimaksud maka ukuran daruratnya dikembalikan kepada masing-masing rakyat Indonesia yang lebih mengetahui akan kebutuhan terhadap program jaminan kesehatan diri dan keluarganya.
Sehubungan dengan itu kita berharap mudah-mudahan kita mampu istiqamah dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi kehidupan ini, sehingga apapun yang terjadi pada diri kita tidak akan mendorong kita untuk mendaruratkan suatu keadaan, yang bisa jadi sebenarnya, tidak darurat.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta