Kritikan Umum atas Tijani dan Konsepnya (3)
Keempat, Kontradiksi perkataannya
Tijani seringkali kontradiktif dalam perkataan dan hukum-hukumnya yang ia tetapkan, bahkan hampir dalam setiap permasalahan yang ia tetapkan, ia menyelisihinya di tempat yang lain, sehingga masalah ini merupakan ciri yang sangat nampak dalam semua buku-bukunya. Dan tentu hal ini bukanlah merupakan suatu hal yang asing bagi setiap pengikut hawa nafsu dan bid’ah, karena perkataan dan hukum-hukum mereka dibangun atas dasar pendapat orang dan emosional mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Kalau sekiranya bukan dari sisi Allah, niscaya mereka peroleh di dalamnya perselisihan yang banyak.”[1]
Di antara pertentangan perkataannya yang terjadi, antara lain:
- Perkataannya di dalam kitabnya Asy-Syi’ah Hum Ahlus Sunnah: “Kita mencukupkan dengan satu dalil yang memberikan hujah yang tegas, dan sebagaimana kami sampaikan bahwa Ahlus Sunnah Wal jama’ah mereka tidak dikenal kecuali pada abad kedua hijriyyah sebagai bentuk feed back atas munculnya Syi’ah yang memberikan perwalian dan loyalitasnya kepada Ahlul Bait, maka kami tidak mendapatkan sesuatu dalam fiqih dan ibadat mereka, dan semua keyakinan mereka kembali kepada hadis-hadis Nabawi yang diriwayatkan oleh Ahlul Bait.”[2]
Perkataan ini bertentangan dengan perkataannya sendiri di dalam buku yang sama: “Dan apabila ingin memperluas pembahasan sungguh akan kami katakan: bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mereka yang memerangi Ahlul Bait An-Nabawi, di bawah kepemimpinan Bani Umayyah dan Abbasiyyah, oleh sebab itu jikalau anda teliti dalam aqidah mereka dan buku-buku hadis mereka, maka anda tidak akan mendapatkan sedikitpun dari fiqih Ahlul Bait yang mereka sebutkan, dan sungguh akan anda dapatkan semuanya dinisbatkan kepada musuh-musuh Ahlul Bait.”[3]
Dalam teks yang pertama ia menyebutkan bahwa setiap aqidah dan fiqih Ahlus Sunnah semuanya kembali kepada Ahlul Bait, sementara dalam teks yang kedua bertentangan total, dan ia mengira bahwa Ahlus Sunnah telah mengambil setiap keyakinan dan fiqih mereka dari musuh-musuh Ahlul Bait dan tidak ada satu fiqih Ahlul Baitpun yang mereka sebutkan.
- Perkataannya: “Adapun para sahabat selain dari kalangan Syi’ah, para Khulafa’ dan Raja, serta Umara’, yang telah memerintah kaum muslimin pada masa Abu Bakar dan sampai kepada Pemerintahan Muhammad bin Ar-Rasyid Al-Mu’tashim Al-Abbasi, mereka tidak pernah mengakui kekhilafahan Ali bin Abi Thalib, bahkan sebagian mereka ada yang melaknatnya dan tidak menganggapnya sebagai orang muslim.”[4]
Dan perkataannya: “Dan ini semua kami katakan bahwa Ahlus Sunnah Wal jama’ah, mereka tidak menerima kekhilafahan Ali kecuali jauh setelah masa Ahmad bin Hanbal.”[5]
Dan teks-teks lain yang sangat banyak senada dengan makna ini.
Ini semua bertentangan dengan perkataannya: “Adapun kekhilafahan Ali, ini berlangsung setelah pembai’atannya oleh kaum Muhajirin dan Anshar, tanpa adanya ancaman dan paksaan dan pembai’atannyapun ditulis dan terima oleh seluruh kaum muslimin, kecuali oleh Muawiyyah dari penduduk Syam.”[6]
Demikian pula dengan perkataannya: “Apakah ada seseorang yang bertanya kepada Ibnu Umar dan kepada orang yang sejalan dengannya dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Kapankah terjadinya ijma’ (kesepakatan) dalam penentuan khalifah dalam sejarah seperti terjadi pada kekhilafahan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.”[7]
Demikian pula dengan perkataannya yang berkenaan dengan Ibnu Umar radhiyallaahu anhuma: “Kami lihat ia enggan untuk membai’at Ali yang telah disepakati oleh kaum muslimin.”[8]
Dengan demikian kami tidak mengetahui, perkataan mana yang jujur: apakah perkataan bahwa Ahlus Sunnah tidak mengakui kekhilafahan Ali hingga masa Ahmad bin Hanbal?! Atau perkataannya: bahwa mereka telah bersepakat dalam kekhilafahannya lalu mereka membai’atnya sejak awal tanpa adanya ancaman dan paksaan ?
- Perkataannya: “Dalam hal ini sejarah telah mencatat kepada kita bahwa Imam Ali adalah sahabat yang paling alim tanpa sedikitpun bantahan. Dahulunya para sahabat merujuk kepada Ali dan perkara-perkara yang pokok yang tidak dapat mereka selesaikan. Dan kita tidak pernah menemukan Ali pernah merujuk kepada mereka walau satu kali sekalipun. Dengarlah apa yang dikatakan Abu Bakar: “Semoga Allah tidak menetapkanku di suatu tempat yang ada masalah kalau Abu Hasan (Ali) tidak hadir di sana.” Umar berkata: “Kalau Ali tiada celakalah Umar.”[9]
Ini sangat bertentangan dengan pernyataannya: “Sesungguhnya mereka telah menjauhkan Ali bin Abi Thalib, mengasingkannya dan membiarkannya terasing di rumahnya, mereka tidak mengikutsertakannya dalam sesuatu apapun dari perkara mereka selama seperempat abad agar mereka dapat menghinakan dan merendahkan serta mengasingkannya jauh dari manusia…dan keadaan itupun terus berlangsung pada Ali salamullaahi ‘alaihi selama pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Usman dalam keadaan terasing di rumah, semua sahabat berusaha untuk menghinakannya, memadamkan cahayanya, dan menyembunyikan keutamaan serta manaqibnya.”[10]
- Perkataannya: “Ini semua tidak memuaskan bangsa Quraisy, maka terjadilah kerusuhan setelah wafat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Mereka berusaha untuk menghabisi seluruh keluarganya, kemudian mereka mengepung rumah Fatimah dengan kayu bakar, jikalau bukan karena penyerahan Ali dan pengorbanannya dengan hak khilafahnya, kemudian ia menyerahkannya kepada mereka, sungguh akan tamatlah riwayatnya, dan berakhirlah perkara Islam sampai hari itu.”[11]
Seluruh perkataan ini bertentangan dan hancur dari asasnya dalam jawabannya untuk sebuah pertanyaan yang dihadapkan kepadanya, sebagaimana ia dakwakan: “Apakah Imam Ali rela dengan keadaan seperti itu, dan ia membai’at jama’ah? Maka ia jawab: “Tidak, Imam Ali tidak rela dengan keadaan itu, ia tidak tinggal diam, akan tetapi ia terus berhujah kepada mereka dengan segala upaya, ia tidak rela membai’at mereka sekalipun berbagai ancaman dan gertakan … maka Ali tidak tinggal diam, sepanjang hidupnya ia terus berjuang, setiap kali ia mendapatkan kesempatan ia berusaha untuk memperjuangkan haknya yang terdzalimi, dan iapun berusaha untuk mengambil haknya yang telah terampas, dan cukuplah bukti itu semua apa yang beliau katakan di dalam khutbahnya yang terkenal dengan Asy-Syaqsyaqiyyah.”[12]
- Perkataannya: “Kaum Muslimin telah bersepakat tanpa berselisih bahwa Kecintaan kepada Ahlul Bait ‘alaihimus salam merupakan kewajiban, dan mereka berselisih dalam memberikan kecintaan kepada selain mereka”.[13]
Pernyataannya ini bertentangan dengan perkataannya tentang Ahlul Bait: “Oleh sebab itu anda tidak akan mendapatkan eksistensi mereka (Ahlul Bait) di sisi Ahlu Sunnah, dan tidak akan anda dapatkan pula dalam daftar imam-imam dan para khalifah mereka yang dijadikan sebagai suri tauladan walau seorang pun juga dari para Imam Ahlul Bait ‘alaihimus salam.”[14]
- Perkataannya: “Dan perlu saya tambahkan bahwa ketika Imam Ali menjabat Khilafah, beliau dengan bersegera mengembalikan manusia kepada Sunnah Nabawiyyah, dan yang pertama kali dilakukan adalah membagikan Baitul Maal…”[15]
Dan perkataannya: “Dan cukuplah bagi Ali bin Abi Thalib mengembalikan manusia kepada Sunnah Nabawiyyah, sehingga hal itu membuat gelisah para sahabat yang telah mengagumi kebid’ahan Umar.”[16]
Dan perkataannya: “Sesungguhnya Amirul Mukminin tidak memaksa manusia agar membai’atnya seperti para Khulafa’ sebelumnya, akan tetapi beliau ‘alaihis salam terikat dengan hukum-hukum Al-Qur’an dan Sunnah, dan ia tidak merubah atau menggantinya.”[17]
Ini semua bertentangan dengan perkataan-perkataannya yang lain, seperti: “Apabila Ali bin Abi Thalib satu-satunya penentang, yang terus berusaha di masa kekhilafahannya untuk mengembalikan manusia kepada Sunnah Nabawiyyah dengan perkataan, perbuatan dan keputusan-keputusannya, akan tetapi tak berarti apa-apa, karena mereka menyibukkannya dengan berbagai pertempuran yang berkecamuk…”[18]
Dan perkataannya: “Dan ini buku-buku dan kitab-kitab Shahih mereka, semuanya mendukung pendapat kami, bahwasannya beliau ‘alaihis salam telah berupaya seoptimal mungkin untuk menghidupkan Sunnah Nabawiyyah, dan mengembalikan manusia ke dalam pangkuannya, akan tetapi dia tidak melihat adanya orang yang mentaatinya, sebagaimana beliau sebutkan sendiri.”[19]
Dan perkataannya juga: “Ia telah menghabiskan masa Khilafahnya dengan peperangan berdarah, beliau menerima tekanan dari para penyeleweng, penyimpang dan orang yang keluar dari Islam, dan ia tidak keluar darinya kecuali dengan kesyahidannya ‘alaihis salam, sedangkan beliau dalam keadaan menyesalkan atas Umat Muhammad.”[20]
Maka inilah beberapa contoh kontradiktif Tijani yang disebutkan di dalam buku-bukunya, dan jikalau saya teruskan pembahasan ini sungguh akan panjang lebar, karena semua buku-bukunya dipenuhi oleh perkara seperti itu. Demi mempersingkat pembahasan dan tercapainya tujuan, kami cukupkan pembahasan tersebut di atas, sehingga kita dapat mengetahui sejauhmana bentuk kontradiktif yang sering ia lakukan, keraguan dan kelalaiannya dalam keyakinannya.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
Sumber:
Kasyf al-Jaani Muhammad at-Tijani fii Kutubih al-Arba’ah, karya Syekh Usman al-Khamis.
Buku Catatan Hitam Dr. Muhammad al-Tijani, penerjemah Ustadz Zezen Zainal Mursalin, Lc.
Lampiran Teks Asli Syekh Usman al-Khamis
[1] QS. An-Nisa’ 82.
[2] Lihat, Asy-Syi’ah Hum Ahlus Sunnah, hlm. 300.
[3] Ibid, Hlm. 295.
[4] Ibid, hlm. 45.
[5] Ibid, hlm. 48.
[6] Lihat, Asy-Syi’ah Hum ahlus Sunnah, hlm. 232.
[7] Lihat, Asy-Syi’ah Hum ahlus Sunnah, hlm. 24, 49, 152, 229, dan 230.
[8] Ibid, 232.
[9] Lihat, Akhirnya Kutemukan Kebenaran, hlm. 200.
[10] Lihat, Fas’aluu Ahladz Dzikr, hlm. 252.
[11] Lihat, Asy-Syi’ah hum Ahlus Sunnah, Hlm. 110-111.
[12] Lihat, Fas’aluu Ahladz Dzikr, hlm. 250-251.
[13] Ibid, hlm. 164.
[14] Lihat, Asy-Syi’ah Hum Ahlus Sunnah, hlm. 238.
[15] Ibid, hlm. 189.
[16] Ibid, hlm. 190.
[17] Ibid, hlm. 198.
[18] Ibid, hlm. 260.
[19] Ibid, hlm. 81.
[20] Lihat, Laa Akuunanna Ma’ash Shaadiqiin, hlm. 81.