Sebagaimana telah kita maklumi bahwa pada bulan Muharram kaum muslimin disyariatkan melaksanakan shaum pada tanggal 9-10 yang dikenal dengan sebutan saum Tasu’a-‘Asyura. Meski begitu, proses penetapan keduanya tidaklah bersamaan, karena semula hanya satu hari tanggal 10 Muharram yang disebut ‘Asyura. Namun pada masa akhir kenabian, untuk membedai kebiasaan Jahiliyah, Yahudi atau Nasrani, Rasulullah saw. memerintahkan agar umat Islam melakukan shaum sehari sebelumnya, 9 Muharam yang disebut Tasu’a. Proses penetapan demikian itu hanya sekadar fakta syar’I, bukan dalil syar’I, sehingga yang menjadi acuan bagi umat Islam bukan terletak pada proses penetapannya melainkan pada ketetapan akhir dari Nabi sebagai dalil syar’i. Nabi saw. bersabda:
فَإِذَا كَانَ عَامُ الْمُقْبِلِ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا اليَوْمَ التَّاسِعَ
“Nanti tahun depan (12 H) insya Allah kita akan melaksanakan shaum tanggal sembilannya.” HR. Muslim dan Abu Dawud. [1]
Di dalam riwayat lain, dengan redaksi :
لَئِنْ بَقَيْتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ يَعْنِي يَوْمَ عَاشُورَاءَ
”Jika aku masih hidup sampai tahun depan (12 H), niscaya aku akan shaum tanggal sembilannya, yaitu hari Asyura.” HR. Ahmad dan Muslim. [2]
Rasululah saw. sendiri tidak berkesempatan melaksanakan shaum tanggal sembilan Muharam di tahun 12 H. itu, karena beliau wafat bulan Rabi’ul Awwal tahun 11 H. Namun, rencana beliau untuk melaksanakannya membuktikan bahwa shaum di tanggal 9 Muharram itu telah disyariatkan.
Shaum ini, selain memiliki keutamaan, juga “berkhasiat” dapat menghapus dosa-dosa kecil satu tahun yang telah berlalu, sebagaimana dinyatakan Nabi saw.:
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبِلَةً ، وَصَوْمُ عَاشُوراَءَ يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً
“Shaum hari Arafah itu akan mengkifarati (menghapus dosa) dua tahun, yaitu setahun yang telah lalu dan setahun kemudian. Sedangkan shaum Asyura akan mengkifarati setahun yang lalu.” HR.Al-Jama’ah kecuali al-Bukhari dan at-Tirmidzi.[3]
Walaupun keterangan di atas begitu terang benderang menunjukkan syariat shaum Muharram 2 hari (9-10), namun dalam praktinya terdapat sebagian di antara saudara kita yang masih ragu akan “jumlah shaum” di bulan Muharram ini, sehubungan dengan banyaknya informasi fatwa dan tulisan, yang bertebaran di MedSos, bahwa shaum Muharram itu bukan hanya 2 hari, bahkan bisa saja dilakukan sejak 1 Muharram.
Setelah meluncur ke “TKP Dumay (Dunia Maya)”, dapat saya informasikan kembali bahwa fatwa dan tulisan tentang itu secara umum mengacu kepada dua sumber: Pertama, dalil juz’i (parsial) yang menunjuk secara langsung hari dan tanggal lain, di luar 9-10 Muharram. Kedua, dalil juz’i yang menjelaskan keutamaan shaum bulan Muharram tanpa menunjuk secara langsung hari dan tanggalnya.
Dalil Juz’I: Shaum 1 Muharram
Ditemukan hadis yang menunjukkan bahwa shaum di bulan Muharaam disyariatkan pula pada 1 Muharram, namun hadis itu dhaif bahkan palsu, dengan penjelasan sebagai berikut:
مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَأَوَّلَ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ بِصَوْمٍ وَافْتَتَحَ السَّنَةَ الْمُسْتَقْبِلَةَ بِصَوْمٍ فَقَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَّارَةَ خَمْسِينَ سَنَةً.
“Siapa yang shaum pada hari terakhir bulan Dzulhijah dan hari pertama bulan Muharam, maka ia telah menutup tahun lalu dengan shaum dan membuka tahun yang datang dengan shaum. Sungguh Allah telah menjadikan kifarat dosa selama lima puluh tahun baginya.” [4]
Imam asy-Syaukani mengutip pula riwayat itu dengan sedikit perbedaan redaksi pada akhir hadis, sebagai berikut:
فَقَدْ جَعَلَهُ اللهُ كَفَّارَةَ خَمْسِينَ سَنَةً
“Sungguh Allah telah menjadikannya kifarat dosa selama 50 tahun.” [5]
Menurut para pengutip hadis di atas, hadis ini dinilai daif, bahkan palsu (maudhu’). Sumber kepalsuannya berporos pada dua rawi pendusta, yaitu Ahmad bin Abdullah al-Harawi dan Wahb bin Wahb. Kata Imam as-Suyuthi, “keduanya pendusta.” [6] Kata Imam Ibn al-Jauzi, “Keduanya pendusta dan pemalsu hadis.” [7]
Kesimpulannya, hadis yang menjelaskan shaum akhir Dzulhijjah (akhir tahun) dan 1 Muharram (awal tahun) merupakan hadis palsu, sehingga tidak dapat dijadikan dalil pengamalan shaum di luar 9-10 Muharram.
Dalil Juz’I: Shaum 9-11 Muharram (3 hari) atau 10-11 (2 hari)
Ditemukan hadis yang menunjukkan bahwa shaum di bulan Muharaam disyariatkan pula pada 11 Muharram sehingga berjumlah 3 hari. Hadis yang dimaksud sebagai berikut:
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً
“Shaumlah pada hari ‘Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi pada hari itu, shaumlah sehari sebelumnya (9 Muharram) atau sehari sesudahnya (11 Muharram).” HR. Ahmad, Al-Baihaqi, dan Ibnu Khuzaimah. [8]
Imam Al-Baihaqi meriwayatkan pula redaksi:
صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا وَبَعْدَهُ يَوْمًا
“Shaumlah sehari sebelumnya (9 Muharram) dan sehari sesudahnya (11 Muharram).”[9]
Meski diriwayatkan oleh tiga pencatat hadis (mukharrij), namun secara kuantitaif semua jalurnya melalui para periwayat yang sama: Ibnu Abi Laila, dari Dawud bin Ali, dari Ali, dari Ibnu Abbas. Dengan demikian hadis ini bersanad tunggal (Gharib Muthlaq). Sementara secara kualitatif hadis ini lemah (dha’if), karena poros jalur periwayatan itu, yang bernama Ibnu Abu Laila, berkualitas buruk hapalan. Kata Syekh al-Mubarakafuri:
وهو محمد بن عبد الرحمن بن أبي ليلى الأنصاري الكوفي القاضي أبو عبد الرحمن صدوق سئ الحفظ جدا قاله الحافظ في التقريب
“Dia Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Laila al-Anshari al-Kufi al-Qadhi, Abu Abdurrahman, jujur (shaduq) namun sangat buruk hapalan (Sayyi al-hifzh jiddan) sebagaimana dinyatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Taqrib at-Tahdzib.” [10]
Sehubungan dengan itu, Syekh Abdurrauf al-Munawi berkata:
رمز المصنف لصحته وهو غفول عن قول الحافظ الهيثمي وغيره : فيه محمد بن أبي ليلى وفيه كلام كثير اه وفيه أيضا داود بن علي الهاشمي قال في الميزان : ليس بحجة
“Penyusun kitab (as-Suyuthi) telah memberi kode untuk menunjuk kesahihan hadis itu, dan beliau lupa akan penjelasan al-Haitsami dan lainnya bahwa pada hadis itu terdapat rawi Muhammad bin Abu Laila, dia telah banyak diperbincangkan, begitu pula terdapat rawi Dawud bin Ali al-Hasyimi, dia (adz-Dzahabi) berkata dalam kitab Mizan al-I’tidal: ‘Dia tidak dapat digunakan sebagai hujjah’.”[11]
Oleh karena itu, Syekh al-Albani menyatakan hadis ini lemah (dha’if). [12] Begitu pula sikap Syekh Abdullah bin Shalih al-Fauzan, ia berkata:
وقد صح عن ابن عباس موقوفاً: (صوموا التاسع والعاشر خالفوا اليهود) وهذا هو المحفوظ عن ابن عباس، أما ما ورد عنه مرفوعاً بلفظ: (صوموا قبله يوماً أو بعده يوماً) فهذا حديث ضعيف وكذا ما جاء بلفظ: (صوموا قبله يوماً وبعده يوماً)
“Sungguh telah shahih perkataan Ibnu Abas (hadis mauquf: ‘Shaumlah kalian pada hari kesembilan dan kesepuluh dan berbedalah kalian dengan orang-orang Yahudi.’ Redaksi inilah yang terpelihara dari Ibnu Abbas. Adapun sabda Nabi (hadis marfi’) yang bersumber dari Ibnu Abbas dengan redaksi: ‘shaumlah sehari sebelumnya (9 Muharram) atau sehari sesudahnya (11 Muharram),’ maka ini hadis dha’if begitu pula yang diriwayatkan dengan redaksi: ‘Shaumlah sehari sebelumnya (9 Muharram) dan sehari sesudahnya (11 Muharram)’.”[13]
Kesimpulannya, hadis yang menjelaskan shaum 3 hari (9-11 Muharram) atau 2 hari (10-11 Muharram) merupakan hadis dhaif, sehingga tidak dapat dijadikan dalil pengamalan shaum di luar 9-10 Muharram.
Dalil Juz’I: keutamaan shaum bulan Muharram
Selain merujuk kepada dua dalil juz’i (parsial) yang menunjuk secara langsung hari dan tanggal lain, di luar 9-10 Muharram, sebagaimana tersebut di atas, sebagian orang berdalil dengan dalil juz’i yang menjelaskan keutamaan shaum bulan Muharram tanpa menunjuk secara langsung hari dan tanggalnya. Adapun hadis yang dimaksud sebagai berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ : أَفْضَلُ الصِّياَمُ بَعْدَ رَمَضَانِ شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., beliau bersabda, “Shaum yang paling utama setelah (shaum) Ramadhan adalah bulan Allah Muharam.” HR. Muslim, Ahmad, Abd bin Humaid. [14]
Menurut sementara pihak, hadis di atas menunjukkan disunnahkannya shaum selama sebulan penuh di bulan Muharram atau sebagian besar bulan Muharram.
Hemat kami, penggunaan hadis di atas sebagai dalil shaum Muharram secara bebas pada tanggal berapapun atau selama sebulan penuh, diniali kurang tepat dengan pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, hadis itu sedang membicarakan keutamaan shaum bulan Muharram dengan bulan-bulan hijriah lainnya, bukan membicarakan jumlah hari bershaum (miqdar syar’i). Menisbatkan bulan Muharam kepada Allah tiada lain sebagai bentuk pengagungan bulan tersebut. Sebab pada hakikatnya, semua bulan-bulan dan hari-hari itu seluruhnya milik Allah Swt. [15]
Kedua, jumlah hari bershaum (miqdar syar’i) selain telah disabdakan oleh Nabi (bayaan bil qawl), juga telah beliau amalkan (bayaan bil fi’li), yaitu 9-10 Muharram.
Sabda dan pengamalan Nabi inilah yang selayaknya dijadikan petunjuk pelaksanaan (juklak) shaum di bulan Muharram.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
[1] Lihat, HR. Muslim, Shahih Muslim, II:797, No. 1134; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:327, No. 2445.
[2] Lihat, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:224, No. 344; Muslim, Shahih Muslim, II:798, No. 1135.
[3] Lihat, Fath al-Ghaffar al-Jami’ li Ahkam Sunnati Nabiyyinaa al-Mukhtar, IX:43
[4] Lihat, al-La’aali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, karya As-Suyuthi, II:92; al-Maudhu’at, karya Ibnul Jauzi, II:199; Tadzkirrah al-Maudhu’at, karya Abu al-Fadhl al-Maqdisi, hlm. 118; Tanzih as-Syari’ah, karya Al-Kinani, II:176
[5] Lihat, al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, hal. 96, No. 31
[6] Lihat, al-La’aali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, karya As-Suyuthi, II:92.
[7] Lihat, al-Maudhu’at, II:199.
[8] Lihat, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:241, No. hadis 2154, Fadha’il ash-Shahabah, II:986, No. 1951, Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:287, No. 8189, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:290, No. 2095.
[9] Lihat, as-Sunan al-Kubra, IV:287, No. 8189.
[10] Lihat, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi, II:65.
[11] Lihat, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ ash-Shagir, IV:215.
[12] Lihat, Dha’if al-Jaami’ ash-Shagir, hlm. 286, No. 3506.
[13] Lihat, Minhah al-‘Allam Syarh Bulugh al-Maram, I:62
[14] Lihat, HR. Muslim, Shahih Muslim, II:821, No. 1163, Ahmad, Musnad Ahmad, II:344, No. 8515, Abd bin Humaid, al-Musnad, I:416, No. 1423.
[15] Lihat, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi, III:368