Pengkhianatan Syiah Terhadap Muslim bin ‘Aqil, Utusan Husen Ra.
Hasyim Ma’ruf al-Hasani, ulama syiah kontemporer, menerangkan: “Gubernur baru berkuasa untuk membuat rekayasa guna menangkap Hani bin Urwah pemilik rumah di mana utusan Husen Ra. berada, dan yang telah menjamunya dengan sangat baik, bekerja sama di dalam pemikiran-pemikiran dan strategi. Lalu Gubernur itu pun menangkapnya dan membunuhnya setelah melalui perdebatan panjang di antara mereka berdua. Dan ia pun melemparkan bangkainya dari atas istana ke bahwa ke arah masyarakat yang berkerumun di sekitar istana. Lalu timbullah ketakutan dan kecemasan di kalangan masyarakat. Masing-masing orang pulang kerumahnya sendiri-sendiri. Seolah-olah tidak lagi perduli dengan situasi.” [1]
Pemuka ulama Syi’ah, Muhammad Kazhim al-Qazwini menerangkan: “Lalu Ibnu Ziyad masuk Kufah. Ia mengirim utusan kepada para pemuka setempat dan pimpinan-pimpinan kabilah, mengancam mereka dengan datangnya pasukan dari Syam, dan memikat mereka, sehingga mereka pun membubarkan diri sedikit demi sedikit meninggalkan Muslim sehingga tingggal Muslim seorang diri.” [2]
Abdul Husein Nuruddin al-‘Amili mengatakan: “Kemudian masyarakat pun bercerai-berai. Ketika itu para wanita menjumpai putranya dan saudaranya, lalu berkata, ‘Pulanglah, orang lain sudah cukup bagimu!’ Sementara kaum lelaki datang menjumpai putra dan saudaranya, lalu berkata, ‘Besok akan datang orang-orang Syam, apa yang akan engkau perbuat terhadap peperangan dan musibah? Pulanglah!’ Kemudian ia pun membawanya pergi. Dan secara terus menerus mereka bercerai berai, sehingga ketika tiba sore harinya dan hendak melakukan salat Maghrib, sudah tidak lebih orang-orang yang tinggal bersamanya kecuali tiga puluh orang di dalam masjid. Tatkala ia melihat sudah tiba sore hari sedang ia hanya berada bersama mereka ini. Lalu ia pun keluar dari masjid dan pergi menuju gerbang-gerbang kabilah Kindah, tetapi belum lagi sampai ke gerbang-gerbang tersebut, kini orang-orang yang bersamanya sudah tinggal sepuluh orang. Dan ketika keluar dari gerbang tersebut, ia sudah tidak bersama seorang pun.” [3]
Inilah situasi yang terjadi pada diri Muslim bin ‘Aqil ketika ia meminta kepada Husen Ra. agar memaafkan dirinya karena situasi ini. Sebab sekarang ia telah menyadari pengkhianatan Syi’ah terhadap pamannya Ali, juga terhadap putra pamannya Hasan Ra. Kini kian nyata bukti peristiwa itu, dan Muslim pun dibunuh di hadapan dan di depan mata dan telinga orang-orang yang telah mengundangnya untuk dibaiat atas nama Husein.
Seorang pemuka Syi’ah, Abdul Husein Syarafuddin al-Musawi, dalam menyinggung pengkhianatan para pendahulunya (orang-orang Syi’ah) terhadap Muslim bin Aqil, ia mengatakan: “Tetapi justru sesudah itu mereka mengingkarinya, sesudah berbaiat kepadanya, menguburkan beban tanggung jawabnya, tidak teguh memegang janji, pun tidak kokoh memegang ikrar. Sungguh itu merupakan peristiwa paling tragis, merobek-robek hak-hak, kehinaan paling rendah, peristiwa yang paling layak untuk dikenang. Tetapi berkaitan dengan sikapnya ketika diterima oleh para sahabatnya dan situasi kian menekan antara dirinya dengan musuh-musuhnya, terbukti ia bersikap mulia, dan berpendirian teguh. Pada saat datang musuh-musuh dari atas, dari bawah, dan mengepungnya dari berbagai penjuru, sedang dia hanyalah seorang diri, tanpa penolong tak ada pembela…, sehingga terjatulah ia ke tangan mereka selaku tawanan perang.” [4]
Husein Ra. Menuju Ke Kufah
Para Sahabat, seperti Ibnu Abbâs Ra., kerap kali menasehati Husen Ra. agar tidak memenuhi keinginan mereka, karena ayah Husen Ra, Ali bin Abi Thalib Ra, dibunuh di Kufah dan Ibnu Abbas Ra. khawatir mereka membunuh Husen Ra. juga di sana. Sebagian riwayat menyatakan bahwa beliau mengambil keputusan ini karena belum mendengar kabar tentang sepupunya Muslim bin ‘Aqil yang telah dibunuh di sana.
Nasehat yang sama disampaikan pula oleh Muhammad bin Ali bin Abu Thalib atau yang populer dengan gelar Ibnu al-Hanif. Ia berkata, “Wahai saudaraku, penduduk Kufah sudah Anda ketahui betapa pengkhianatan mereka terhadap bapakmu (Ali Ra.) dan saudaramu (Hasan Ra.). Saya khawatir nanti keadaanmu akan sama seperti keadaan mereka sebelumnya!” [5] Menyikapi nasehat-nasehat itu, Husen Ra. mengatakan, “Saya sudah melakukan istikharah dan akan berangkat kesana.” Akhirnya, berangkatlah Husen Ra. bersama keluarga menuju Kufah.
Dikutip oleh seorang pakar hadis Syi’ah, Abbas al-Qumi, dan juga oleh seorang tokoh penulis Syi’ah Abdul Hadi ash-Shalih, bahwa al-Husein ketika hendak berangkat dari Mekah, beliau melalukan thawaf dan sa’i, memotong rambut beliau dan bertahalul dari ihram beliau. Sebab, beliau tidak tenang untuk menyelesaikan hajinya karena takut akan ditangkap atau dibunuh di Mekah. Lalu beliau mengumpulkan sahabat-sahabat beliau pada malam delapan Dzulhijjah dan berpidato kepada mereka seraya berkata: “Segala puji bagi Allah. Segala sesuatu adalah atas kehendak Allah. Tiada kekuatan melainkan dari Allah. Semoga shalawat terlimpah kepada Rasul-Nya. Dia telah menetapkan kematian atas anak Adam, dan telah pula menetapkan kepemimpinan kepada sebaik-baik pemuda. Alasan yang mendorongku untuk mengenang orang-orang sebelumku adalah sebagaimana kerinduan Ya’qub kepada Yusuf. Dan sebaik-baik tempat kematianku adalah yang akan kudapati. Seolah-olah dengan kedatanganku terhalang oleh lebah-lebah padang belantara di antara an-Nawawis dan Karbala’. Lalu merenggut dariku sepenuh perutnya dengan sangat rakus. Tiada jalan keluar dari hari-hari yang telah tertulis oleh ‘Pena’ (takdir). Kerelaan Allah adalah kerelaan kami para Ahlul Bayt. Kami akan bersabar terhadap ujian-Nya, dan semoga kami dikaruniai pahala orang-orang yang bersabar…”[6]
Dr. Ahmad Rasim an-Nafis mengatakan: “Bahkan Farazdaq si penyair telah berjumpa dengan kafilah Husein. Ia mengucapkan salam kepada beliau, dan berkata kepada beliau, ‘Demi bapak dan ibuku, wahai putra Rasulullah, dorongan apa yang membuat tuan menyegerakan ibadah haji?’ Beliau menjawab, ‘Sekiranya saya tidak terburu-buru, niscaya saya akan ditangkap..,’ Lalu Abu Abdillah (Husein) bertanya tentang keadaan masyarakat. Farazdaq menjawab, ‘Hati mereka ada pada tuan, tetapi pedang mereka pun akan menyerang tuan.’ Beliau menjawab, ‘Maha Benar Allah di dalam mengatur dan setiap hari Dia dengan urusan-Nya. Sekiranya terjadi ketentuan sesuai yang kami sukai dan kami rela, maka kami pun akan memuji karunia-Nya. Sedang Dia-lah tempat kita memanjatkan syukur. Tetapi jika yang terjadi di luar harapan, maka tidak akan tersia-sia orang yang baik niatnya dan takwa batinnya’.” [7]
Perhatikanlah dua versi ucapan beliau. Satu versi menyatakan: “Sekiranya terjadi ketentuan sesuai yang kami sukai…” Pernyataan ini berlawanan dengan pernyataan beliau yang dikutip oleh Abbas al-Qumi: “Seolah-olah dengan kedatanganku terhalang oleh lebah-lebah padang belantara di antara an-Nawawis dan Karbala.”
Pemuka Syi’ah, Ali bin Musa bin Ja’far bin Thawus al-Huseini mengatakan: “Si perawi menerangkan: ‘Husen As. berangkat sehingga tinggal berjarak dua hari perjalanan dari Kufah. Tiba-tiba beliau berjumpa dengan al-Hurr bin Yazid bersama seribu orang penunggang kuda. Husen Ra. pun bertanya kepadanya, ‘Adakah Anda berpihak kepada kami ataukah memusuhi kami?’ Ia menjawab, ‘Kami akan memusuhi Anda wahai Abu Abdillah.’ Beliau berkata, ‘Tiada daya maupun kekuatan melainkan dari Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung.’ Selanjutnya terjadilah dialog di antara mereka berdua, sehingga Husen Ra. berkata kepadanya, ‘Jika kalian pada posisi yang berbeda dari surat-surat kalian yang datang kepadaku, dan juga utusan-utusan yang Anda utus kepadaku. Maka saya akan kembali ke tempat saya pergi.’ Al-Hurr melarang beliau bersama para sahabat beliau untuk melakukan itu. Dan ia pun berkata, ‘Wahai putra Rasulullah, ambillah jalan yang kiranya tidak memasukkan Anda ke Kufah, dan tidak pula mengantar Anda ke Madinah, agar saya dapat beralasan kepada Ibnu az-Ziyad, seolah-olah Anda telah berlawanan jalan denganku di perjalanan.’ Kemudian Husen Ra. berbelok ke kiri, sehingga beliau sampai di ‘Udzaib al-Hajanat.” [8]
Ilustrasi Peta Perjalanan Husen Ra. Menuju Karbala
Ayatullah Muhammad Taqiy Bahr al-Ulum menerangkan: “Husein keluar seraya mengenakan kain, selendang, sepasang sendal, dan bersandar pada penghulu pedang beliau. Lalu beliau menghadapi kelompok tersebut, memuji dan menyanjung Allah, lalu berkata, ‘Dengan merendahkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan juga kepada kalian. Sebenarnya saya tidak datang kepada kalian sehingga datang kepada saya surat-surat kalian. Dan dinyatakan oleh utusan-utusan kalian, ‘Datanglah kepada kami karena kami tidak memiliki imam. Semoga Allah berkenan mempersatukan kita di atas petunjuk. Jika kalian memang bersikap seperti itu, maka sekarang kami datang kepada kalian, maka penuhilah janji dan ikrar kalian dengan sikap yang baik. Tetapi sekiranya kalian tidak menyukai kehadiranku, maka saya pun akan meninggalkan kalian kembali ke tempat di mana saya berangkat.’ Mereka pun terdiam semuanya. Lalu al-Hajjaj bin Masruq al-Ju’fi menyerukan shalat zhuhur. Kemudian Husen berkata kepada al-Hurr, ‘Apakah Anda hendak bertindak sebagai imam salat sahabat-sahabat Anda?’ Ia menjawab, ‘Tidak, namun kami semuanya akan bermakmum kepada Anda.’ Kemudian Husein pun bertindak sebagai imam shalat mereka. Seusai shalat, beliau menghadap mereka, memuji dan menyanjung Allah, dan bershalawat kepada Nabi Muhammad, beliau berkata, ‘Wahai hadirin, sekiranya kalian bertakwa kepada Allah dan memahami hak-hak ahli-Nya, niscaya itu lebih diridhai Allah. Kami adalah Ahlul Bayt Muhammad saw., lebih layak untuk menduduki jabatan ini dibanding mereka yang merasa memiliki apa-apa yang tiada pada mereka. Dan mereka orang-orang yang suka melakukan kejahatan dan permusuhan. Tetapi sekiranya kalian merasa enggan dan tidak menyukai kami, tidak memahami hak-hak kami, dan sekarang kalian berpendapat (dengan pendapat baru) yang berbeda dengan pernyataan-pernyataan surat-surat kalian. Kami akan pergi meninggalkan kalian’. Al-Hurr berkata, ‘Saya tidak mengerti tentang surat-surat yang Anda sebutkan itu?’ Lalu Husein memerintahkan kepada Uqbah bin Sam’an (agar mengeluarkan surat-surat tersebut). Ia pun mengeluarkan dua kantung penuh dengan surat-surat. Al-Hurr berkata, ‘Saya bukan dari golongan mereka. Bahkan saya diperintah untuk tidak berpisah dari Anda apabila bisa menjumpai Anda sampai saya membawa Anda ke Kufah menjumpai Ibnu Ziyad.’ Husein menjawab, “Maut lebih dekat pada diri Anda daripada melaksanakan hal itu.’ Lalu beliau memerintahkan sahabat-sahabat beliau agar menunggangi kendaraan, para wanita pun sudah menunggangi kendaraan. Tetapi tiba-tiba al-Hurr melarang mereka pergi menuju ke Madinah.’ Husen berkata kepada al-Hurr, “Celakalah ibumu, apakah yang kalian harap dari kami?’ Al-Hurr berkata, ‘Sekiranya yang mengucapkan kata-kata itu orang Arab lain selain Anda, dan ia dalam posisi seperti Anda sekarang, niscaya tidak akan kubiarkan ia menyebut celaka terhadap ibunya, betapa pun alasannya. Demi Allah, saya tidak memiliki kemampuan untuk menyebut ibu Anda, kecuali dengan ucapan yang baik dan kami hormati. Tetapi sekarang silahkan ambil jalan tengah yang mana tidak memasukkan Anda ke Kufah dan bukan ke arah Madinah, sehingga saya dapat menulis surat kepada Ibnu Ziyad. Semoga Allah berkenan mengaruniakan kesejahteraan kepada kita, dan saya pun tidak mendapat musibah karena persoalan Anda ini’.” [9]
Peristiwa yang berkaitan dengan upaya Husen Ra. hendak pulang kembali ke tempat semula, dan betapa beliau dihinakan dan dikhianati oleh orang-orang Syi’ah Kufah, pada dasarnya telah dikutip oleh beberapa pakar sejarah Syi’ah, bahkan diterangkan juga oleh para tokoh Syi’ah seperti Abbas al-Qumi (dalam Muntahaa al-Aamaal, I:464), Abdur Razaq al-Musawi al-Muqarram (dalam Maqtal al-Husen, hlm. 183), Baqir Syarif al-Qurasyi (dalam Fii Hayaah al-Imaam al-Husen, hlm. 102), Dr. Ahmad Rasim an-Nafis (dalam ‘Alaa Khutha al-Husen, hlm. 102), Fadhil Abbas al-Hayawi (dalam Maqtal al-Husen, hlm. 11), Syarif al-Jawahiri (dalam Mutsiiru al-Ahzaan, hlm. 43), Asad Haidar (dalam Ma’a al-Husen fii Nahdhatih, hlm. 165), Arwa Qushair Qalith (dalam Khuthbu al-Masiirah al-Karbala’iyyah, hlm. 49), Muhsin al-Huseini (Al-Imaam al-Husen Bashiirah wan Hadhaarah), juga oleh pemikir Syi’i Abdul Hadi ash-Shalih, sebagaimana diterangkan Abdul Husein Syarafuddin al-Musawi (dalam al-Majaalis al-Faakhirah, hlm. 87). Juga dinyatakan oleh Ridha al-Qazwini (dalam Tadhallum az-Zahraa’, hlm. 174 dan halaman berikutnya).
Abbas al-Qumi juga mengutip riwayat, bahwa Husen Ra. melakukan perjalanan sehingga sampai di Qashr Bani Muqatil. Ternyata di sana sudah tersedia tenda-tenda terbentang, anak-anak panah yang disiagakan, kuda-kuda yang dipersiapkan. Lalu Husen Ra. Bertanya, “Bagi siapakah tenda-tenda ini?’ Mereka menjawab, ‘Bagi Ubaidullah bin al-Hurr al-Ju’fi.’ Kemudian Husen Ra. mengutus salah seorang sa-habat beliau bernama al-Hajjaj bin Masruq al-Ju’fi untuk menghadap kepadanya. Ia pun menghadap dan mengucapkan salam kepadanya. Ubaidullah menjawab salamnya, kemudian berkata, “Siapakah di belakang Anda?’ Ia menjawab, ‘Di belakang saya wahai Ibnu al-Hurr, kiranya Allah akan mengaruniakan kehormatan kepada tuan sekiranya tuan bersedia menerima beliau.’ Ibnu al-Hurr bertanya, ‘Apakah karunia kehormatan itu?’ Ia menjawab, ‘Beliau adalah Husen bin Ali, beliau mengundang Anda agar bersedia membelanya. Sekiranya Anda berperang di hadapan beliau, niscaya Anda akan dikaruniai pahala, dan jika Anda terbunuh di hadapannya, niscaya Anda akan mati syahid.’ Ubaidullah bin al-Hurr menjawab, ‘Demi Allah, hai Hajjaj, saya tidak berangkat dari Kufah melainkan karena khawatir, bahwa Husen Ra. akan masuk ke sana, sedang saya berada di sana dan tidak dapat membelanya. Sebab di Kufah tidak ada orang-orang Syi’ah maupun penolong-penolong melainkan para materialistis, kecuali (beberapa orang) yang diselamatkan Allah dari kalangan mereka. Sekarang kembalilah kepada beliau dan beritahukan hal itu kepada beliau’.”
Kemudian Husen bangkit memakai sendal dan pergi menjumpainya bersama sejumlah sahabat dari kalangan saudara-saudara dan Ahlul Bayt beliau. Tatkala masuk dan mengucapkan salam, melonjaklah Ubaidillah bin al-Hurr dari posisi duduknya, mencium kedua tangan dan kaki beliau. Kemudian Husen duduk seraya memuji dan menyanjung Allah, lalu berkata, ‘Hai Ibnu al-Hurr, sebenarnya penduduk kota Anda telah menulis surat kepada saya dan menjelaskan kepada saya bahwa mereka telah berkumpul hendak membelaku, dan mereka pun memohon kepadaku untuk datang kepada mereka. Saya pun datang, dan persoalannya bukan seperti anggapan mereka. Sekarang saya mengajak Anda untuk membela kami para Ahlul Bayt. Sekiranya hak-hak kami diberikan, niscaya kami akan memuji Allah dan menerimanya. Tetapi sekiranya hak-hak kami ditolak dan dianggap kami melakukan kezaliman, maka sebenarnya tujuan saya adalah menuntut kebenaran.’
Ubaidillah menjawab, ‘Wahai putra Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam wa aalih, sekiranya di Kufah terdapat Syi’ah (sejati) dan para pembela yang akan berperang bersama Anda, niscaya saya orang yang paling mengetahuinya. Tetapi saya mengetahui bahwa Syi’ah Anda di Kufah itu telah meninggalkan rumah-rumah mereka masing-masing karena takut kepada pedang-pedang Bani Umayah.’ Husein tidak menjawab ucapan itu, dan beliau berlalu…”[10]
Kabar Buruk Tentang Pengkhianatan Syi’ah
Abbas al-Qumi menerangkan: “Lebih lanjut perhatikanlah (maksudnya Husein), sehingga ketika tiba waktu sahur, beliau berkata kepada bujang-bujang dan pelayan-pelayan beliau, ‘Perbanyaklah air, sehingga kalian memiliki persediaan minum. Dan perbanyak lagi, kemudian berangkatlah.’ Lalu beliau melakukan perjalanan. Sehingga ketika beliau sampai di tempat sampah, datang kepada beliau berita tentang Abdullah bin Yaqthar. Kemudian beliau mengumpulkan para sahabat beliau. Mengeluarkan sepucuk surat di hadapan hadirin, dan beliau membacakannya di hadapan mereka. Ternyata tertulis di dalamnya sebagai berikut: ‘Bismillahirrahmanirrahim. Lebih lanjut, telah datang berita buruk kepada kami, Muslim bin Aqil dibunuh, Hani bin Urwah, dan juga Abdullah bin Yaqthar. Kita telah dihinakan oleh Syi’ah kita sendiri. Barangsiapa di antara kalian hendak pulang, silahkan pulang tanpa dipersalahkan dan tanpa dibebani sangsi.’ Kemudian para hadirin pun bercerai-berai meninggalkan beliau, yaitu dari kalangan orang-orang yang mengikuti beliau demi memperoleh harta rampasan dan kehormatan. Sehingga beliau hanya tinggal bersama Ahlul Bayt beliau dan para sahabat-sahabat beliau yang tetap memilih tinggal dan patuh bersama beliau atas dasar yakin dan iman.” [11]
Jika demikian sikap Syiah terhadap utusan Husen Ra., lantas bagaimana dengan sikap mereka terhadap cucu kesayangan Nabi itu? Ikuti kisah selanjutnya hanya di sigabah.com/beta.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
[1] Lihat, Siirah al-Aimmah al-Itsna ‘Asyar, II:61.
[2] Lihat, Faaji’ah ath-Thaff, hlm. 4. Keterangan serupa dapat dibaca pula dalam kitab Tazhallum az-Zahraa’, karya Syahid Mawla Radhi bin Nabiy al-Qazwini, hlm. 168-169.
[3] Lihat, Ma’saah Ihda wa Sittiin, hlm. 27.
[4] Lihat, al-Majaalis al-Faakhirah fii Ma’aatim al-‘Itrah ath-Thaahirah, hlm. 62.
[5] Lihat, Maqtal al-Husen al-musamma bi al-Luhuuf fii Qatlaa ath-Thufuf, karya Ibnu Thawus, hlm. 39; ‘Aasyuura’, karya al-Ihsa’I, hlm. 115; Al-Majaalis al-Faakhirah, hlm. 75; Muntahaa al-Aamaal, I:454; ‘Alaa Khuthaa al-Husain, hlm. 96.
[6] Lihat, Muntahaa al-Aamaal, I:453; Khair al-Ashhaab, hlm. 33.
[7] Lihat, ‘Alla Khutha al-Husen, hlm. 99-100; asy-Syii’ah wa Asyuura’, hlm. 178.
[8] Lihat, al-Luhuuf, hlm. 47; al-Majaalis al-Faakhirah, hlm. 87.
[9] Lihat, Maqtal al-Husen aw Waaqi’ah ath-Thaff, hlm. 191-192.
[10] Lihat, Peristiwa tersebut diterangkan oleh Abbas al-Qumi di dalam Muntahaa al-Aamaal, I:466. Juga di catatan pinggir (haamisy), kitab an-Nafs al-Mahmuum fii Mushibah Sayyidinaa al-Husen al-Mazhluum, hlm. 177.
[11] Lihat, Muntahaa al-Aamaal, I:462. Kisah ini diterangkan pula oleh al-Majlisi di dalam kitab Bihaar al-Anwaar, 44:374; Muhsin al-Amin dalam Lawaa’ij al-Asyjan, hlm. 67; Abdul Husein al-Musawi dalam al-Majaalis al-Faakhirah, hlm. 85; Abdul Hadi ash-Shalih di dalam Khair Ashhaab, hlm. 37 dan 107.