Analisa Hukum Lukisan dan Ukiran
Pandangan Islam terhadap gambar yang bertubuh, yang sekarang dikenal dengan patung atau monumen, telah dibahas pada edisi sebelumnya. Tetapi bagaimanakah hukumnya gambar-gambar dan lukisan-lukisan seni yang dilukis di lembaran-lembaran, seperti kertas, pakaian, dinding, lantai, uang dan sebagainya? Bagaimana pula hukum fotografi?
Jawabnya, kita harus melihat gambar itu sendiri untuk tujuan apa? Di mana dia itu diletakkan? Bagaimana diperbuatnya? Dan apa tujuan pelukisnya itu?
Kalau lukisan seni itu berbentuk sesuatu yang disembah selain Allah, seperti gambar al-Masih bagi orang-orang Kristen atau sapi bagi orang-orang Hindu dan sebagainya, maka bagi si pelukisnya untuk tujuan-tujuan di atas, tidak lain dia adalah menyiarkan kekufuran dan kesesatan. Dalam hal ini berlakulah baginya ancaman Nabi yang begitu keras:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ.
“Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya nanti di hari kiamat ialah orang-orang yang menggambar.” H.r. Muslim
Imam at-Thabari berkata, “Yang dimaksud dalam hadis ini, yaitu orang-orang yang menggambar sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia mengetahui dan sengaja. Orang yang berbuat demikian adalah kufur. Tetapi kalau tidak ada maksud seperti di atas, maka dia tergolong orang yang berdosa sebab menggambar saja.”
Yang seperti ini ialah orang yang menggantungkan gambar-gambar tersebut untuk dikuduskan. Perbuatan seperti ini tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim.
Dan yang lebih mendekati persoalan ini ialah orang yang melukis sesuatu yang tidak biasa disembah, tetapi dengan maksud untuk menandingi ciptaan Allah. Yakni dia beranggapan, bahwa dia dapat membuat dan menciptakan jenis terbaru seperti ciptaan Allah. Orang yang melukis dengan tujuan seperti itu jelas telah keluar dari agama Tauhid. Terhadap orang ini berlakulah hadis Nabi yang mengatakan:
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ.
“Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya ialah orang-orang yang menandingi ciptaan Allah.” H.r. Muslim
Persoalan ini tergantung pada niat si pelukisnya itu sendiri. Hadis ini dapat diperkuat dengan hadis Qudsi (firman Allah) yang mengatakan:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا حَبَّةً وَلْيَخْلُقُوا ذَرَّةً
“Siapakah orang yang lebih berbuat zalim selain orang yang bekerja membuat seperti pembuatanku? Oleh karena itu cobalah mereka membuat biji atau zarrah.” H.r. Al-Bukhari dan Muslim
Allah mengungkapkan firman-Nya di sini dengan kalimat “dzahaba yakhluqu kakhalqi” (dia bekerja untuk membuat seperti pembuatan-Ku). Hal itu menunjukkan adanya suatu kesengajaan untuk menandingi dan menentang kekhususan Allah dalam ciptaan-Nya dan keindahan-Nya. Oleh karena itu, Allah menantang mereka supaya membuat sebutir zarrah. Ia memberikan isyarat, bahwa mereka itu benar-benar bersengaja untuk maksud tersebut. Justru itu Allah akan membalas mereka itu nanti dan mengatakan kepada mereka, “Hidupkan apa yang kamu cipta itu!” Mereka dipaksa untuk meniupkan roh ke dalam lukisannya itu, padahal dia tidak akan mampu.
Termasuk gambar/lukisan yang diharamkan, yaitu gambar/lukisan yang dikuduskan (disucikan) oleh pemiliknya secara keagamaan atau diagung-agungkan secara keduniaan.
Untuk kategori pertama, seperti gambar-gambar Malaikat dan para Nabi, misalnya Nabi Ibrahim, Ishak, Musa dan sebagainya. Gambar-gambar ini biasa dikuduskan oleh orang-orang Nasrani, dan kemudian sementara orang-orang Islam ada yang menirunya, yaitu dengan melukiskan Ali, Fatimah dan lain-lain.
Sedang untuk kategori kedua, seperti gambar raja-raja, pemimpin-pemimpin dan seniman-seniman. Ini dosanya tidak seberapa kalau dibandingkan dengan yang pertama tadi. Tetapi akan meningkat dosanya, apabila yang dilukis itu orang-orang kafir, orang-orang yang zalim atau orang-orang yang fasik. Misalnya para hakim yang menghukum dengan selain hukum Allah, para pemimpin yang mengajak umat untuk berpegang kepada selain agama Allah atau seniman-seniman yang mengagung-agungkan kebatilan dan menyiarnyiarkan kecabulan di kalangan umat.
Kebanyakan gambar-gambar/lukisan-lukisan di zaman Nabi dan sesudahnya, adalah lukisan-lukisan yang disucikan dan diagung-agungkan. Sebab pada umumnya lukisan-lukisan itu adalah buatan Rum dan Parsi (Nasrani dan Majusi). Oleh karena itu tidak dapat melepaskan pengaruhnya terhadap pengkultusan kepada pemimpin-pemimpin agama dan negara. Sehubungan dengan itu, Imam Muslim meriwayatkan, bahwa Abu Dhuha pernah berkata sebagai berikut:
قَالَ كُنْتُ مَعَ مَسْرُوقٍ فِي بَيْتٍ فِيهِ تَمَاثِيلُ مَرْيَمَ فَقَالَ مَسْرُوقٌ هَذَا تَمَاثِيلُ كِسْرَى فَقُلْتُ لَا هَذَا تَمَاثِيلُ مَرْيَمَ فَقَالَ مَسْرُوقٌ أَمَا إِنِّي سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Saya dan Masruq berada di sebuah rumah yang di situ ada beberapa patung. Kemudian Masruq berkata kepadaku, ‘Apakah ini patung Kaisar?’ Saya jawab, ‘Tidak! Ini adalah patung Maryam’. Masruq bertanya demikian, karena menurut anggapannya, bahwa lukisan itu buatan Majusi dimana mereka biasa melukis raja-raja mereka di bejana-bejana. Tetapi akhirnya ketahuan, bahwa patung tersebut adalah buatan orang Nasrani. Dalam kisah ini Masruq kemudian berkata, ‘Saya pernah mendengar Ibnu Mas’ud menceriterakan apa yang ia dengar dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda, ‘Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya di sisi Allah, ialah para pelukis’.”
Selain gambar-gambar di atas, misalnya dia menggambar/melukis makhluk-makhluk yang tidak bernyawa seperti tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan, laut, gunung, matahari, bulan, bintang dan sebagainya. Maka hal ini sedikitpun tidak berdosa dan tidak ada pertentangan samasekali di kalangan para ulama.
Tetapi gambar-gambar yang bernyawa kalau tidak ada unsur-unsur larangan seperti tersebut di atas, yaitu bukan untuk disucikan dan diagung-agungkan dan bukan pula untuk maksud menyaingi ciptaan Allah, maka menurut hemat kami tidak haram. Dasar dari pendapat ini adalah hadis sahih, antara lain:
عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ أَبِي طَلْحَةَ صَاحِبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ قَالَ بُسْرٌ ثُمَّ اشْتَكَى زَيْدٌ بَعْدُ فَعُدْنَاهُ فَإِذَا عَلَى بَابِهِ سِتْرٌ فِيهِ صُورَةٌ قَالَ فَقُلْتُ لِعُبَيْدِ اللَّهِ الْخَوْلَانِيِّ رَبِيبِ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَمْ يُخْبِرْنَا زَيْدٌ عَنْ الصُّوَرِ يَوْمَ الْأَوَّلِ فَقَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ أَلَمْ تَسْمَعْهُ حِينَ قَالَ إِلَّا رَقْمًا فِي ثَوْبٍ
Dari Busr bin Said dari Zaid bin Khalid dari Abu Talhah sahabat Nabi, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada gambar.” Bisir berkata, “Sesudah itu Zaid mengadukan. Kemudian kami jenguk dia, tiba-tiba di pintu rumah Zaid ada gambarnya.” Lantas aku bertanya kepada Ubaidillah al-Khaulani anak tiri Maimunah isteri Nabi, “Apakah Zaid belum pernah memberitahumu tentang gambar pada hari pertama?” Kemudian Ubaidillah berkata, “Apakah kamu tidak pernah mendengar dia ketika ia berkata, ‘Kecuali gambar di pakaian’.” H.r. Muslim
At-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Utbah, bahwa dia pernah masuk di rumah Abu Thalhah al-Anshari untuk menjenguknya, tiba-tiba di situ ada Sahl bin Hanif. Kemudian Abu Thalhah menyuruh orang supaya mencabut seprei yang di bawahnya (karena ada gambarnya). Sahl lantas bertanya kepada Abu Thalhah, “Mengapa kau cabut dia?” Abu Thalhah menjawab, “Karena ada gambarnya, dimana hal tersebut telah dikatakan oleh Nabi yang barangkali engkau telah mengetahuinya. Sahl kemudian bertanya lagi: Apakah beliau (Nabi) tidak pernah berkata: “Kecuali gambar yang ada di pakaian?” Abu Thalhah kemudian menjawab: Betul! Tetapi itu lebih menyenangkan hatiku.” Kata At-Tirmidzi, “Hadis ini hasan sahih.”
Tidakkah dua hadis di atas sudah cukup untuk menunjukkan, bahwa gambar yang dilarang itu ialah yang berjasad atau yang biasa kita istilahkan dengan patung? Adapun gambar-gambar ataupun lukisan-lukisan di papan, pakaian, lantai, tembok dan sebagainya tidak ada satupun nas sahih yang melarangnya.
Betul di situ ada beberapa hadis sahih yang menerangkan bahwa Nabi menampakkan ketidak-sukaannya, tetapi itu sekedar makruh saja. Karena di situ ada unsur-unsur menyerupai orang-orang yang bermewah-mewah dan penggemar barang-barang rendahan.
Imam Muslim meriwayatkan dari jalan Zaid bin Khalid al-Juhani dari Abu Thalhah al-Anshari, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا تَمَاثِيلُ قَالَ فَأَتَيْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ إِنَّ هَذَا يُخْبِرُنِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا تَمَاثِيلُ فَهَلْ سَمِعْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ ذَلِكَ فَقَالَتْ لَا وَلَكِنْ سَأُحَدِّثُكُمْ مَا رَأَيْتُهُ فَعَلَ رَأَيْتُهُ خَرَجَ فِي غَزَاتِهِ فَأَخَذْتُ نَمَطًا فَسَتَرْتُهُ عَلَى الْبَابِ فَلَمَّا قَدِمَ فَرَأَى النَّمَطَ عَرَفْتُ الْكَرَاهِيَةَ فِي وَجْهِهِ فَجَذَبَهُ حَتَّى هَتَكَهُ أَوْ قَطَعَهُ وَقَالَ إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَأْمُرْنَا أَنْ نَكْسُوَ الْحِجَارَةَ وَالطِّينَ قَالَتْ فَقَطَعْنَا مِنْهُ وِسَادَتَيْنِ وَحَشَوْتُهُمَا لِيفًا فَلَمْ يَعِبْ ذَلِكَ عَلَيَّ
“Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung. Saya (Zaid) kemudian bertanya kepada Aisyah, ‘Sesungguhnya ini (Abu Thalhah) memberitahuku, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, ‘Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung.’ Apakah engkau juga demikian? Maka kata Aisyah, ‘Tidak! Tetapi saya akan menceriterakan kepadamu apa yang pernah saya lihat Nabi kerjakan, yaitu saya lihat Nabi keluar dalam salah satu peperangan, kemudian saya membuat seprei gorden (yang ada gambarnya) untuk saya pakai menutup pintu. Setelah Nabi datang, ia melihat gorden tersebut. Saya lihat tanda marah pada wajahnya, lantas dicabutnya gorden tersebut sehingga disobek atau dipotong, sambil bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita untuk memberi pakaian kepada batu dan tanah.’ Kata Aisyah selanjutnya, ‘Kemudian kain itu saya potong darinya untuk dua bantal dan saya penuhi dengan kulit buah-buahan, tetapi Rasulullah sama sekali tidak mencela saya terhadap yang demikian itu’.” H.r. Muslim
Hadis tersebut tidak lebih hanya menunjukkan makruh tanzih karena memberikan pakaian kepada dinding dengan gorden yang bergambar.
Imam Nawawi berkata, “Hadis tersebut tidak menunjukkan haram, karena hakikat perkataan sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita itu tidak dapat dipakai untuk menunjukkan wajib, sunnat atau haram.”
Yang semakna dengan ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dari jalur Aisyah pula, ia berkata, “Saya mempunyai tabir padanya ada gambar burung, sedang setiap orang yang masuk akan menghadapnya (akan melihatnya), kemudian Nabi berkata kepadaku: Pindahkanlah ini, karena setiap saya masuk dan melihatnya maka saya ingat dunia.” H.r. Muslim
Dalam hadis ini Rasulullah saw. tidak menyuruh Aisyah supaya memotongnya, tetapi beliau hanya menyuruh memindahkan ke tempat lain. Ini menunjukkan ketidaksukaan Nabi melihat di hadapannya ada gambar tersebut yang dapat mengingatkan kebiasaan dunia dengan seluruh aneka keindahannya itu. Lebih-lebih beliau selalu shalat sunnat di rumah. Sebab seprai dan gorden yang bergambar sering memalingkan hati dari kekhusyuan dan fokus dalam bermunajat kepada Allah. Ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari jalur Anas, ia mengatakan, “Bahwa gorden Aisyah dipakai untuk menutupi samping rumahnya, kemudian Nabi menyuruh dia dengan sabdanya:
أَمِيطِي عَنَّا قِرَامَكِ هَذَا فَإِنَّهُ لَا تَزَالُ تَصَاوِيرُهُ تَعْرِضُ فِي صَلَاتِي
“Singkirkanlah gorden itu dariku, karena gambar-gambarnya selalu tampak dalam sembahyangku.” H.r al-Bukhari
Dengan demikian jelas bahwa Nabi sendiri membenarkan di rumahnya ada tabir/gorden yang bergambar burung dan sebagainya.
Dari hadis-hadis itu pula, sebagian ulama salaf berpendapat, “Bahwa gambar yang dilarang itu hanyalah yang ada bayangannya, adapun yang tidak ada bayangannya tidak mengapa.”
Pendapat ini diperkuat oleh hadis Qudsi:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا حَبَّةً وَلْيَخْلُقُوا ذَرَّةً
“Siapakah yang terlebih menganiaya selain orang yang bekerja untuk membuat seperti ciptaanKu? Oleh karena itu cobalah mereka membuat zarrah, cobalah mereka membuat beras!” H.r. al-Bukhari
Ciptaan Allah sebagaimana kita lihat, bukan terlukis di atas dataran tetapi berbentuk dan berjisim, sebagaimana Dia katakan:
هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الْأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ. آل عمران : 6.
“Dialah Zat yang membentuk kamu di dalam rahim bagaimanapun Ia suka.” (Q.s. Ali-Imran: 6)
Tidak ada yang menentang pendapat ini selain hadis yang diriwayatkan Aisyah, dalam salah satu riwayat al-Bukhari dan Muslim, yang berbunyi sebagai berikut:
أَنَّهَا اشْتَرَتْ نُمْرُقَةً فِيهَا تَصَاوِيرُ فَلَمَّا رَآهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ عَلَى الْبَابِ فَلَمْ يَدْخُلْ فَعَرَفْتُ أَوْ فَعُرِفَتْ فِي وَجْهِهِ الْكَرَاهِيَةُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتُوبُ إِلَى اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ فَمَاذَا أَذْنَبْتُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَالُ هَذِهِ النُّمْرُقَةِ فَقَالَتْ اشْتَرَيْتُهَا لَكَ تَقْعُدُ عَلَيْهَا وَتَوَسَّدُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُونَ وَيُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الْبَيْتَ الَّذِي فِيهِ الصُّوَرُ لَا تَدْخُلُهُ الْمَلَائِكَةُ. فَأَخَذْتُهُ فَجَعَلْتُهُ مِرْفَقَتَيْنِ فَكَانَ يَرْتَفِقُ بِهِمَا فِي الْبَيْتِ.
“Sesungguhnya Aisyah membeli bantal yang ada gambar-gambarnya, maka setelah Nabi melihatnya ia berdiri di depan pintu, tidak mau masuk. Setelah Aisyah melihat ada tanda kemarahan di wajah Nabi, maka Aisyah bertanya: Apakah saya harus bertobat kepada Allah dan Rasul-Nya, apa salah saya? Jawab Nabi: Mengapa bantal itu begitu macam? Jawab Aisyah: Saya beli bantal ini untuk engkau pakai duduk dan dipakai bantal. Maka jawab Rasulullah pula: Yang membuat gambar-gambar ini nanti akan disiksa, dan akan dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah apa yang kamu buat itu. Lantas Nabi melanjutkan pembicaraannya: Sesungguhnya rumah yang ada gambarnya tidak akan dimasuki Malaikat. Dan Imam Muslim menambah dalam salah satu riwayat Aisyah, ia (Aisyah) mengatakan: Kemudian bantal itu saya jadikan dua buah untuk bersandar, dimana Nabi biasa bersandar dengan dua sandaran tersebut di rumah. Yakni Aisyah membelah bantal tersebut digunakan untuk dua sandaran.” H.r. Muslim
Akan tetapi hadis ini, nampaknya, bertentangan dengan sejumlah perkara sebagai berikut:
- Dalam riwayat yang berbeda-beda nampak bertentangan. Sebagian menunjukkan bahwa Nabi saw. menggunakan tabir/gorden yang bergambar yang kemudian dipotong-potong dan dipakai bantal. Sedang sebagian lagi menunjukkan bahwa beliau samasekali tidak menggunakannya.
- Sebagian riwayat-riwayat itu hanya sekedar menunjukkan makruh. Sedang kemakruhannya itu karena gorden tembok itu bergambar yang dapat menggambarkan semacam berlebih-lebihan yang tidak disenangi Rasulullah. Oleh karena itu dalam riwayat Muslim, beliau bersabda: ”Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita supaya memberi pakaian pada batu dan tanah.”
- Hadis Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah itu sendiri menggambarkan di rumahnya ada tabir/gorden yang bergambar burung. Kemudian Nabi menyuruh dipindahkan, dengan kata-katanya: “Pindahkanlah, karena saya kalau melihatnya selalu ingat dunia!” Ini tidak menunjukkan kepada haram secara mutlak.
- Bertentangan dengan hadis qiram (tabir) yang ada di rumah Aisyah, kemudian oleh Nabi disuruhnya menyingkirkan, sebab gambar-gambarnya itu selalu tampak dalam shalat. Sehingga kata al-Hafizh Ibnu Hajar, “Hadis ini dengan hadis di atas sukar sekali dikompromikan (jama’), sebab hadis ini menunjukkan Nabi membenarkannya, dan beliau shalat sedang tabir tersebut tetap terpampang, sehingga beliau perintahkan Aisyah untuk menyingkirkannya, karena melihat gambar-gambar tersebut dalam shalat dan dapat mengingatkan yang bukan-bukan, bukan semata-mata karena gambarnya itu semata.”
Akhirnya al-Hafizh Ibnu Hajar berusaha untuk menjama’ hadis-hadis itu dengan hasil sebagai berikut: hadis pertama, karena terdapat gambar binatang bernyawa, sedang hadis kedua gambar selain binatang … Akan tetapi inipun bertentangan pula dengan hadis qiram yang jelas di situ bergambar burung.
- Bertentangan dengan hadis Abu Thalhah al-Anshari yang mengecualikan gambar dalam pakaian. Karena itu Imam Qurthubi berpendapat, “Dua hadis itu dapat dijama’ sebagai berikut: hadis Aisyah dapat diartikan makruh, sedang hadis Abu Talhah menunjukkan mubah secara mutlak yang sama sekali tidak menafikan makruh di atas.” Pendapat ini dibenarkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar.
- Pada hadis namruqah (bantal) ada seorang rawi bernama al-Qasim bin Muhammad bin Abubakar, keponakan Aisyah sendiri, ia membolehkan gambar yang tidak ada bayangannya, yaitu seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Aun, ia berkata: “Saya masuk di rumah al-Qasim di Makkah sebelah atas, saya lihat di rumahnya itu ada gorden yang ada gambar trenggiling dan burung garuda.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata; “Barangkali al-Qasim berpegang pada keumuman hadis Nabi yang mengatakan kecuali gambar dalam pakaian dan seolah-olah dia memahami keingkaran Nabi terhadap Aisyah yang menggantungkan gorden yang bergambar dan menutupi dinding. Faham ini diperkuat dengan hadisnya yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita supaya memberi pakaian batu dan tanah.” Sedang al-Qasim adalah salah seorang ahli fiqih Madinah yang tujuh, dia juga termasuk orang pilihan pada zaman itu, dia pula rawi hadis namruqah itu. Maka jika dia tidak memaham rukhsakh terhadap korden yang dia pasang itu, niscaya dia tidak akan menggunakannya”
Tetapi di samping itu tampaknya ada kemungkinan yang tampak pada hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah gambar dan pelukisnya, yaitu bahwa Rasulullah saw. memperkeras persoalan ini pada periode pertama dari kerasulannya, dimana waktu itu kaum muslimin baru saja meninggalkan syirik dan menyembah berhala serta mengagung-agungkan patung. Tetapi setelah aqidah tauhid itu mendalam kedalam jiwa dan akar-akarnya telah menghunjam kedalam hati dan pikiran, maka beliau memberi perkenan (rukhshah) dalam hal gambar yang tidak berjasad, yang hanya sekedar ukiran dan lukisan. Kalau tidak begitu, niscaya beliau tidak suka adanya tabir/gorden yang bergambar di dalam rumahnya; dan ia pun tidak akan memberikan perkecualian tentang lukisan dalam pakaian, termasuk juga dalam kertas dan dinding.
Ath-Thahawi, salah seorang dari ulama madzhab Hanafi berpendapat: Syara’ melarang semua gambar pada permulaan waktu, termasuk lukisan pada pakaian, karena mereka baru saja meninggalkan menyembah patung. Oleh karena itu secara keseluruhan gambar dilarang. Tetapi setelah larangan itu berlangsung lama, kemudian dibolehkan gambar yang ada pada pakaian karena suatu darurat. Syara’ pun kemudian membolehkan gambar yang tidak berjasad karena sudah dianggap orang-orang bodoh tidak lagi mengagungkannya, sedang yang berjasad tetap dilarang.
Gambar yang Terhina adalah Halal
Setiap perubahan dalam masalah gambar yang tidak mungkin diagung-agungkan sampai kepada yang paling hina, dapat pindah dari lingkungan makruh kepada lingkungan halal. Hal ini berdasarkan hadis tentang Jibril a.s. pernah minta izin kepada Nabi untuk masuk rumahnya, kemudian kata Nabi kepada Jibril: “Masuklah! Tetapi Jibril menjawab: Bagaimana saya masuk, sedang di dalam rumahmu itu ada gorden yang penuh gambar! Tetapi kalau kamu tetap akan memakainya, maka putuskanlah kepalanya atau potonglah untuk dibuat bantal atau buatlah tikar.” H.r. An-Nasa’i dan Ibnu Hibban
Oleh karena itulah ketika Aisyah melihat ada tanda kemarahan dalam wajah Nabi karena ada gorden yang banyak gambarnya itu, maka gorden tersebut dipotong dan dipakai dua sandaran, karena gambar tersebut sudah terhina dan jauh daripada menyamai gambar-gambar yang diagung-agungkan.
Beberapa ulama salaf pun ada yang memakai gambar yang terhina itu, dan mereka menganggap bukan suatu dosa. Misalnya Urwah, dia bersandar pada sandaran yang ada gambarnya, di antaranya gambar burung dan orang laki-laki. Kemudian Ikrimah berkata: Mereka itu memakruhkan gambar yang didirikan (patung), sedang yang diinjak kaki, misalnya di lantai, bantal dan sebagainya, mereka menganggap tidak apa-apa.
Photografi
Satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa semua persoalan gambar dan menggambar, yang dimaksud ialah gambar-gambar yang dipahat atau dilukis, seperti yang telah kami sebutkan di atas.
Adapun masalah gambar yang diambil dengan menggunakan sinar matahari atau yang kini dikenal dengan nama fotografi, maka ini adalah masalah baru yang belum pernah terjadi di zaman Rasulullah saw. dan ulama-ulama salaf. Oleh karena itu apakah hal ini dapat dipersamakan dangan hadis-hadis yang membicarakan masalah melukis dan pelukisnya seperti tersebut di atas?
Orang-orang yang berpendirian, bahwa haramnya gambar itu terbatas pada yang berjasad (patung), maka foto bagi mereka bukan apa-apa, lebih-lebih kalau tidak sebadan penuh. Tetapi bagi orang yang berpendapat lain, apakah foto semacam ini dapat dikiaskan dengan gambar yang dilukis dengan menggunakan kuas? Atau apakah barangkali ‘illat (alasan, motif hukum) yang telah ditegaskan dalam hadis masalah pelukis, yaitu diharamkannya melukis lantaran menandingi ciptaan Allah tidak dapat diterapkan pada fotografi ini? Sedang menurut para ahli usul-fiqih kalau ‘illatnya itu tidak ada, yang dihukum pun (ma’lulnya) tidak ada.
Jelasnya persoalan ini adalah seperti apa yang pernah difatwakan oleh Syekh Muhammad Bakhit, Mufti Mesir, “Bahwa fotografi itu adalah merupakan penahanan bayangan dengan suatu alat yang telah dikenal oleh ahli-ahli teknik (tustel). Cara semacam ini sedikitpun tidak ada larangannya. Karena larangan menggambar, yaitu mengadakan gambar yang semula tidak ada dan belum dibuat sebelumnya yang bisa menandingi (makhluk) ciptaan Allah. Sedang pengertian semacam ini tidak terdapat pada gambar yang diambil dengan alat (tustel).”
Sekalipun ada sementara orang yang ketat sekali dalam persoalan gambar dengan segala macam bentuknya, dan menganggap makruh sampai pun terhadap fotografi, tetapi satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa mereka pun akan memberikan rukhshah terhadap hal-hal yang bersifat darurat karena sangat dibutuhkannya, atau karena suatu maslahat yang mengharuskan, misalnya kartu pendliduk, paspor, foto-foto yang dipakai alat penerangan yang di situ sedikitpun tidak ada tanda-tanda pengagungan. atau hal yang bersifat merusak aqidah. Foto dalam persoalan ini lebih dibutuhkan daripada melukis dalam pakaian-pakaian yang oleh Rasulullah sendiri sudah dikecualikannya.
Subjek Gambar
Yang sudah pasti bahwa subjek gambar mempunyai pengaruh soal haram dan halalnya. Misalnya gambar yang subjeknya itu menyalahi aqidah dan syariat serta tata kesopanan agama, maka Islam mengharamkannya.
Oleh karena itu gambar-gambar perempuan telanjang, setengah telanjang, ditampakkannya bagian-bagian anggota khas wanita dan tempat-tempat yang membawa fitnah, dan digambar dalam tempat-tempat yang cukup membangkitkan syahwat dan menggairahkan kehidupan duniawi sebagaimana yang kita lihat di majalah-majalah, surat-surat khabar dan bioskop, semuanya itu tidak diragukan lagi tentang haramnya baik yang menggambar, yang menyiarkan ataupun yang memasangnya di rumah-rumah, kantor-kantor, toko-toko dan digantung di dinding-dinding. Termasuk juga haramnya kesengajaan untuk memperhatikan gambar-gambar tersebut.
Termasuk yang sama dengan ini ialah gambar-gambar orang kafir, orang zalim dan orang-orang fasik yang oleh orang Islam harus diberantas dan dibenci dengan semata-mata mencari keridhaan Allah. Setiap muslim tidak halal melukis atau menggambar pemimpin-pemimpin yang anti Tuhan, atau pemimpin yang menyekutukan Allah dengan sapi, api atau lainnya, misalnya orang-orang Yahudi, Nasrani yang ingkar akan kenabian Muhammad, atau pemimpin yang beragama Islam tetapi tidak mau berhukum dengan hukum Allah; atau orang-orang yang gemar menyiarkan kecabulan dan kerusakan dalam masyarakat seperti bintang-bintang film dan biduan-biduan.
Termasuk haram juga ialah gambar-gambar yang dapat dinilai sebagai menyekutukan Allah atau lambang-lambang sementara agama yang samasekali tidak diterima oleh Islam, gambar berhala, salib dan sebagainya.
Barangkali seperai dan bantal-bantal di zaman Nabi banyak yang memuat gambar-gambar semacam ini. Oleh karena itu dalam riwayat Al-Bukhari diterangkan bahwa Nabi tidak membiarkan salib di rumahnya kecuali dipatahkan.
Ibnu Abbas meriwayatkan, “Sesungguhnya Rasulullah saw. pada waktu tahun penaklukan Makkah melihat patung-patung di dalam Baitullah, maka ia tidak mau masuk sehingga ia menyuruh dihancurkan, kemudian dihancurkan.” H.r. al-Bukhari
Tidak diragukan lagi, bahwa patung-patung yang dimaksud adalah patung yang dapat dinilai sebagai berhala orang-orang musyrik Makkah dan lambang kesesatan mereka di zaman-zaman dahulu.
Ali bin Abu Talib juga berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَقَالَ أَيُّكُمْ يَنْطَلِقُ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلَا يَدَعُ بِهَا وَثَنًا إِلَّا كَسَرَهُ وَلَا قَبْرًا إِلَّا سَوَّاهُ وَلَا صُورَةً إِلَّا لَطَّخَهَا فَقَالَ رَجُلٌ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَانْطَلَقَ فَهَابَ أَهْلَ الْمَدِينَةِ فَرَجَعَ فَقَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَا أَنْطَلِقُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَانْطَلِقْ فَانْطَلَقَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَدَعْ بِهَا وَثَنًا إِلَّا كَسَرْتُهُ وَلَا قَبْرًا إِلَّا سَوَّيْتُهُ وَلَا صُورَةً إِلَّا لَطَّخْتُهَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَادَ لِصَنْعَةِ شَيْءٍ مِنْ هَذَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Rasulullah saw. dalam (melawat) suatu jenazah ia bersabda, ‘Siapakah di kalangan kamu yang akan pergi ke Madinah, maka jangan biarkan di sana satupun berhala kecuali harus kamu hancurkan, dan jangan ada satupun kubur (yang bercungkup) melainkan harus kamu ratakan dia, dan jangan ada satupun gambar kecuali harus kamu hapus dia’ Kemudian ada seorang laki-laki berkata, ‘Saya wahai Rasulullah.’ Lantas ia memanggil penduduk Madinah, dan pergilah si laki-laki tersebut. Kemudian ia kembali dan berkata, ‘Saya tidak akan membiarkan satupun berhala kecuali saya hancurkan dia, dan tidak akan ada satupun kuburan (yang bercungkup) kecuali saya ratakan dia dan tidak ada satupun gambar kecuali saya hapus dia.’ Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa kembali kepada salah satu dari yang tersebut maka sungguh ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad saw.’.” H.r. Ahmad
Dengan demikian dapat difahami bahwa gambar-gambar/patung-patung yang diperintahkan Rasulullah saw. untuk dihancurkan itu, melainkan karena patung-patung tersebut adalah lambang kemusyrikan jahiliah yang oleh Rasulullah sangat dihajatkan kota Madinah supaya bersih dari pengaruh-pengaruhnya. Justru itulah, kembali kepada hal-hal di atas berarti dinyatakan kufur terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Kesimpulan Hukum Gambar dan Yang Menggambar
Dari berbagai penjelasan di atas dapat kami simpulkan hukum masalah gambar dan yang menggambar sebagai berikut:
Berbagai macam gambar yang sangat diharamkan ialah gambar-gambar yang disembah selain Allah, seperti Isa al-Masih dalam agama Kristen. Gambar seperti ini dapat membawa pelukisnya menjadi kufur, kalau dia lakukan hal itu dengan pengetahuan dan kesengajaan.
Begitu juga pemahat-pemahat patung, dosanya akan sangat besar apabila dimaksudkan untuk diagung-agungkan dengan cara apapun. Termasuk juga terlibat dalam dosa, orang-orang yang bersekutu atau turut serta dalam hal tersebut.
Termasuk dosa juga, orang-orang yang melukis sesuatu yang tidak disembah, tetapi bertujuan untuk menandingi ciptaan Allah. Yakni dia beranggapan, bahwa dia dapat menciptakan jenis baru dan membuat seperti pembuatan Allah. Kalau begitu keadaannya dia bisa menjadi kufur. Dan ini tergantung kepada niat si pelukisnya itu sendiri.
Selanjutnya patung-patung yang tidak disembah, tetapi termasuk yang diagung-agungkan, seperti patung raja-raja, kepala negara, para pemimpin dan sebagainya yang dianggap keabadian mereka itu dengan didirikan monumen-monumen yang dibangun di lapangan-lapangan dan sebagainya. Dosanya sama saja, baik patung itu satu badan penuh atau setengah badan.
Selanjutnya patung-patung binatang dengan tidak ada maksud untuk disucikan atau diagung-agungkan, dikecualikan patung mainan anak-anak dan yang tersebut dari bahan makanan seperti manisan dan sebagainya.
Selanjutnya gambar-gambar yang oleh pelukisnya atau pemiliknya sengaja diagung-agungkan seperti gambar para penguasa dan pemimpin, lebih-lebih kalau gambar-gambar itu dipancangkan dan digantung. Lebih kuat lagi haramnya apabila yang digambar itu orang-orang zalim, ahli-ahli fasik dan golongan anti Tuhan. Mengagungkan mereka ini berarti telah meruntuhkan Islam.
Selanjutnya gambar binatang-binatang dengan tidak ada maksud diagung-agungkan, tetapi dianggap suatu manifestasi pemborosan. Misalnya gambar-gambar di dinding dan sebagainya. Ini hanya masuk yang dimakruhkan.
Adapun gambar-gambar pemandangan, misalnya pohon-pohonan, korma, lautan, perahu, gunung dan sebagainya, maka ini tidak dosa sama sekali baik si pelukisnya ataupun yang menyimpannya, selama gambar-gambar tersebut tidak melupakan ibadah dan tidak sampai kepada pemborosan. Kalau sampai demikian, hukumnya makruh.
Adapun fotografi, pada prinsipnya mubah, selama tidak mengandung objek yang diharamkan, seperti disucikan oleh pemiliknya secara keagamaan atau disanjung-sanjung secara keduniaan. Lebih-lebih kalau yang disanjung-sanjung itu justru orang-orang kafir dan ahli-ahli fasik, misalnya golongan penyembah berhala, komunis dan seniman-seniman yang telah menyimpang.
By Amin Muchtar, sigabah.com