Pangalengan, kembali menjadi perhatian publik. Bencana longsor pada Selasa, 5 Mei 2015, sekira pukul 14.30 WIB, yang menerjang Kampung Cibitung, RW 15, Desa Margamukti, menjadi “biangnya”. Material longsor meluncur menghantam pipa panas bumi Star Energy Geothermal dan menimbulkan ledakan, kemudian material longsor menimbun rumah penduduk dan perkebunan.
Saat tulisan ini ditayangkan, tim lapangan kami melaporkan, jumlah korban tewas akibat bencana longsor seluas 13 hektar itu mencapai 5 orang dan 157 warga masih mengungsi di balai desa Margamukti.
“Misteri” Indahnya Pangalengan
”Pangalengan, tiris euy!” Begitulah lontaran kata dari mulut seseorang yang baru pertama kali berkunjung ke Pangalengan.
Pangalengan merupakan sebuah kota kecil di sudut selatan Bandung. Daerah itu dikelilingi pegunungan dengan ketinggian di atas permukaan laut antara 1.000-1.420 meter. Suhu udara antara 12-28 derajat celcius, basah udara antara 60-70 %. Dengan dukungan kondisi alam tersebut tak heran jika hawanya pun nan sejuk terasa. Lukisan alam pun membentang indah seolah membentengi Pangalengan.
Pemandangan indah selama dalam perjalanan menuju Pangalengan
Kota kecil nan dinamis ini kerap menjadi tujuan wisata. Selain keindahan alamnya, Pangalengan juga terkenal sebagai penghasil sayuran hijau dan dikirimkan ke berbagai daerah di seluruh Indonesia. Pangalengan juga terkenal sebagai daerah pertanian, perkebunan, dan peternakan serta daerah penghasil susu murni.
Bagi kami mujahid lapangan, Pangalengan, bak “tempat pangbalikkan” (tempat pulang kampung), kawas jalan ka cai—meski jarak dari kota Bandung sekira 45 KM—karena begitu seringnya Pangalengan kami kunjungi dalam rangka mengemban tugas dakwah jam’iyyah dan amanat pini sepuh Persis, hingga tak terasa waktu berlalu memasuki masa pembinaan 7 tahun.
Sebuah Sungai yang terdapat di bawah Jalan Raya Pangalengan
Bagi kami, daya tarik Pangalengan bukan semata karena pesona alamnya yang demikian indah—meski sudah mulai rusak—namun justru “misteri” di balik pesona keindahannya yang seakan-akan memendam “bom waktu” atau seolah-olah memendam “percikan” bom Atom Hiroshima dan Nagasaki yang masih aktif di lapisan dasar bumi Pangalengan. Pasalnya, kecamatan Pangalengan, merupakan salah satu daerah langganan gempa bumi dan juga rawan bencana longsor. Mengingat daerahnya berada di kawasan pegunungan Bandung selatan, seperti halnya Ciwidey, Pasirjambu, dan Rancabali. Jadi, pesona alam dan rawan bencana Pangalengan bak dua sisi dari mata uang yang sama.
Gunung Wayang dilihat dari Sudut Kebun Teh Malabar
Jika orang tidak mengenal Pangalengan, lalu berkunjung ke sana, niscaya dia tak akan percaya daerah seindah itu langganan gempa dan rawan bencana. Tapi bagi orang luar yang rutin berkunjung ke sana, longsoran demi longsoran itu menjadi pemandangan biasa, hingga laju kendaraan mesti ekstra hati-hati saat longsoran menelan setengah badan jalan, apalagi disertai hujan lebat “komplit dengan paket” kilat nan menggelegar.
Perkebunan Teh Malabar
Sehubungan dengan itu, setiap kali terjadi musibah bencana alam di Pangalengan, selain bermunajat kepada Allah agar memberi kekuatan kepada para korban dan berusaha membantu mereka menurut kadar kemampuan, saya selalu buka Qur’an dan tak lupa “melacak” kembali “Bank Data Bencana” Pangalengan yang selalu saya catat dalam Paririmbon harian saya.
Situ Cileunca
Untuk memahami “Kemauan Tuhan” atas Pangalengan, saya buka kembali catatan fakta kauni Pangalengan: Berdasarkan Peta Geologi Lembar Pameungeuk, Allah berkehendak “membangun” Pangalengan dengan batuan yang berasal dari hasil erupsi/endapan piroklastik (yang terbentuk dari material vulkanik) Gunung Pangalengan purba yang meletus besar (katalismik) menghasilkan suatu dataran Pangalengan dengan Situ Cileunca sebagai bekas Kaldera (kawah gunung berapi)nya, kemudian ditutupi oleh produk gunung berapi/endapan piroklastik yang berasal dari gunung berapi parasiter yang muncul di sekelilingnya yaitu Gunung Windu, Gunung Wayang dan Gunung Malabar yang berumur lebih muda kuarter atas dengan sifat fisik batuan umumnya masih lepas-lepas. Struktur geologi yang berkembang di wilayah Kecamatan Pangalengan berdasarkan analisis Peta Geologi terlihat sebagai kelurusan-kelurusan sesar yang berarah tenggara-barat laut.
Dengan adikarya sedemikian itu, Pangalengan memang diciptakan dengan potensi bencana geologi amat besar, baik gempa bumi tektonik maupun tanah longsor.
Kita masih ingat gempa bumi dengan berkekuatan 7,3 Skala Richter, 2 September 2009 silam. Pusat gempa berada di Samudera Indonesia sebelah selatan Tasikmalaya, namun kawasan yang terkena dampak paling parah akibat gelombang gempa ini adalah Kecamatan Pangalengan. Dari 13 desa yang ada di kecamatan itu, hampir semua bangunan di desa-desa tersebut mengalami kerusakan akibat gempa termasuk sarana infrastruktur penting seperti masjid, puskesmas dan sekolah.
Menyusul, gempa berkekuatan 4,5 skala richter (SR) pada Senin 5 September 2011, pukul 09.01.35 WIB. Gempa terjadi di 136 km barat daya Tasikmalaya dengan kedalaman 10 km. Gempa itu dirasakan pula oleh Pangalengan.
Selanjutnya, Gempa pada Ahad, 6 Juli 2014, pukul 20:20 berkekuatan 2,1 skala richter (SR) di kedalaman 10 Km dengan lokasi 5 Km Tenggara Pangalengan. Beberapa menit kemudian terjadi gempa susulan pukul 20:27 dengan kekuatan yang sama terjadi di kedalaman 16 KM berlokasi di 4 Km Tenggara Pangalengan.
Gempa ini terasa kuat di wilayah Pangalengan terutama di Desa Margamulya, karena pada daerah ini dekat dengan sesar aktif dan tersusun oleh batuan berumur muda dengan sifat fisik batuan umumnya masih lepas-lepas. Belum lagi berbagai peristiwa tanah longsor yang terlalu sering terjadi hingga tak terhitung lagi.
Penampakan Morfologi yang mengindikasikan adanya Sesar Aktif di Pangalengan
Dengan anomali atau “ketidaknormalan” Pangalengan demikian itu, seolah-olah Allah sengaja membiarkan Pangalengan sebagai “Lukisan Kauni” adikarya Sang Rabbul ‘Alamiin, yang tak pernah “selesai” ujung pangkalnya. Seakan-akan, setelah sempurna, “lukisan” itu diperbaharui kembali dengan gempa atau bencana longsor, dan begitu seterusnya. Tampaknya, Allah hendak menjadikan Pangalengan sebagai salah satu Aayatullaah fil kaun (tanda kekuasaan Allah di alam semesta). Dengan begitu, masyarakat Jawa Barat, Pangalengan khususnya, diharapkan taat dalam beribadah hanya kepada Allah karena terdapat “CCTV” raksasa yang setiap waktu memantau segala ucap dan lakunya.
Jalan menuju Kolam Renang Air Panas Cibolang
Menghayati Tafsir Alam Semesta
Islam memandang alam dengan sangat serius. Sebagian besar Al-Quran membahas alam, baik langung maupun tak langsung. Hakikat alam ditentukan oleh 5 prinsip:
Pertama, profanitas
Bagi Islam alam adalah fana. Dalam dirinya alam itu baik, namun dengan rujukan pada apa yang dapat dilakukan manusia terhadap alam, atau bagaimana manusia bersikap alam, maka alam dapat bersikap “baik dan jahat”.
Pemandangan Indah Kaki Gunung Wayang
Kedua, keterciptaan
Alam dalam Islam adalah makhluk Allah, yang diciptakan dari ketiadaan dengan perintah Allah semata. Langit, bumi, serta semua yang ada didalamya akan mengalami kemusnahan di bawah semua relativitas ruang dan waktu (QS. Hud: 7)
Matahari terbit dari Timur, yang terhalangi oleh Uap Air dari Sumur Pengeboran Geothermal Wayang Windu Ltd.
Ketiga, keteraturan
Islam memandang alam sebagai bidang yang teratur. Peristiwa yang terjadi sebagai hasil dari sebabnya. Pada gilirannya, kejadiannya merupakan sebab dari peristiwa lain. Peristiwa serupa menunjuk pada sebab yang sama, dan sebab yang sama menunjuk pada konsekuensi yang sama (QS. Ath Thalaaq: 3; Yaasin:12)
Alam merupakan suatu sistem sebab dan akibat yang lengkap dan integral yang tidak bercacat, tak berjurang, yang dibentuk dengan sempurna oleh penciptanya. (QS. Al-Mulk:3-4)
Kesempurnaan ini akan menyifati alam selama alam ini ada; karena ciptaan Allah akan selalu sama. Alasannya adalah bahwa pola-pola Allah itu bersifat abadi (Q.s. Al-Fath:23). Allah tak mengubah cara-Nya karena Dia tidak berubah.
Jalan menuju ke depan pintu gerbang Helypad atau Sumur Pengeboran sumber Panas Bumi.
Keempat, bertujuan
Tiap objek yang membentuk alam ada tujuan yang harus dan akan dipenuhi. Allah menciptakan segala sesuatu dan memberinya kadar, ukuran, takdir, dan peran (QS. Al-Furqan: 2; Al-A’la:3)
Islam menyatakan manusia sebagai tujuan dari semua rantai finalistik alam. Ini membentuk antar ketergantungan ekologis manusia dengan semua yang ada di alam.
Kelima, ketundukan
Allam ditundukan Allah terhadap manusia karena ada tujuan yang dilekatkan oleh Allah pada tiap objek akhirnya membawa pada kebaikan bagi manusia, yakni manusia dapat memanfaatkannya untuk mendapatkan kebahagiaan. Ini juga berarti bahwa Allah menjadikan alam dapat dibentuk, dapat menerima kemampuan kausal manusia. Allah menjadikan Alam dapat menjaga benang-benang kausalnya terbuka untuk penentuan lebih lanjut oleh manusia, sehingga berhasil atau tidak berhasil dalam mewujudkan tujuan yang diinginkan dari suatu tindakan manusia. Inilah yang diungkap oleh Alquran melalui gagasan taskhiir.
Sumur Pengeboran Geothermal (Sumber Panas Bumi)
Selami Fiqih Bencana
Betapa banyak kejadian dan musibah yang kita alami dalam kehidupan di dunia ini. Sayangnya, sangat sedikit di antara kita yang mau mengambil i’tibar (pelajaran). Terkadang kejadian dan musibah itu tiba-tiba datangnya, tanpa diduga. Sehingga hal ini sering kali membuat manusia bertekuk lutut dan tidak berdaya. Bahkan, sebagian manusia berani melakukan hal-hal yang menyimpang jauh dari kebenaran dalam menghadapinya.
Retakan tanah dekat wilayah kerja Star Energy
Hanya orang-orang mukmin yang ternyata tetap bersabar dalam menghadapi musibah, ujian, dan cobaan, karena mereka selalu melekatkan kehidupannya dengan iman, dan berpegang teguh pada salah satu rukunnya: iman kepada qadha dan qadar-Nya. Semua yang menimpa mereka terasa sebagai sesuatu yang ringan, sementara lisan mereka—jika menghadapi musibah—senantiasa mengucapkan: “sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepada-Nyalah kita kembali.”
Lokasi longsor Pengalengan
Begitulah kehidupan dunia yang selalu silih berganti. Kadang-kadang manusia tertawa dan merasa lapang dada, tetapi dalam sekejap keadaan dapat berubah sebaliknya. Oleh karena itu, tidak ada sikap yang lebih baik kecuali berlaku sabar dan berserah diri kepada-Nya, sebagaimana firman Allah SWT berikut:
وَبَشِّرْ الصَّابِرِينَ # الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“… Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un’.” (al-Baqarah: 155-156)
Kampung Cibitung RW. 15 pasca bencana longsor
Semoga para korban meninggal dunia mendapat tempat yang layak di sisi Allah. Bagi masyarakat yang selamat dan juga kita semua, semoga bencana itu semakin mendekatkan diri kita kepada Sang Khaliq. Karena bencana demi bencana yang terjadi di Pangalengan, selain ada saham ulah manusia di situ, terdapat skenario cara Sang Rabbul ‘Alamiin dalam menjaga keseimbangan adikarya-Nya, yang tak pernah “selesai” ujung pangkalnya.
By Amin Muchtar, Sigabah.com