Ketentuan Zakat Fitrah
Kedua, ukuran wajib zakat fitrah
Esensi kewajiban zakat fitrah terletak pada nilai atau ukuran (miqdaar) yang mesti dikeluarkan, bukan pada jenis materinya. Penetapan nilai atau ukuran (miqdaar) wajib zakat fitrah menggunakan dua bentuk bayaan (keterangan): bil qawl (sabda) dan bil fi’l (perbuatan).
Penggunaan Bayaan bil qawl
Dalam menetapkan nilai atau ukuran zakat fitrah diperoleh sabda Nabi saw. dalam beragam redaksi:
Pertama, menggunakan bentuk kata perintah (shigah ‘Amr) adduu (tunaikan) dan akhrijuu (keluarkanlah). Kata adduu (tunaikan) diterangkan oleh Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air al-‘Udzriy berikut ini:
خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّاسَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ فَقَالَ أَدُّوا صَاعًا مِنْ بُرٍّ أَوْ قَمْحٍ بَيْنَ اثْنَيْنِ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ وَصَغِيرٍ وَكَبِيرٍ
“Rasulullah saw. berkhutbah kepada orang-orang dua hari sebelum Idul Fitri. Maka beliau bersabda, ‘Tunaikan satu shaa’ burr (gandum) atau qamh (gandum) di antara dua perkara atau satu shaa’ kurma atau satu shaa’ dari syair (gandum) atas orang yang merdeka, hamba sahaya, anak kecil, dan orang dewasa’.” HR. Ahmad, Ath-Thahawi, Abdurrazaq, dan ad-Daraquthni dengan sedikit perbedaan redaksi. [1]
Dalam jalur periwayatan lainnya terdapat tambahan redaksi:
غَنِيٍّ أَوْ فَقِيْرٍ أَمَّا غَنِيُّكُمْ فَيُزَكِّيْهِ اللَّهُ وَأَمَّا فَقِيْرُكُمْ فَيُرَدُّ عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِمَّا يُعْطِيْ
“Kaya ataupun miskin. Adapun orang kaya di antara kalian, maka Allah akan mensucikannya. Adapun orang miskin di antara kalian, maka akan dikembalikan kepadanya dengan jumlah yang lebih banyak daripada yang ia berikan.” HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Baihaqi, Ad-Daraquthni, Ath-Thahawi, dan Ibnu Amr asy-Syaibani. Redaksi di atas versi Ahmad. [2]
Sementara dengan kata akhrijuu (keluarkanlah) diterangkan oleh Aws bin al-Hadatsan berikut ini:
أَخْرِجُوا صَدَقَةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الْبُرَّ وَالتَّمْرَ وَالزَّبِيبَ
“Keluarkanlah zakat fitrah 1 shaa’ makanan.” (Aws berkata), ‘Makanan kami ketika itu burr (gandum), tamr (kurma), dan Zabiib (kismis/anggur kering)’.” HR. Ath-Thabrani dan Ibnu Amr asy-Syaibani. [3] Kata Ath-Thabrani, “Redaksi di atas versi rawi Zaid bin Akhzam. Sedangkan versi rawi Sya’tsam: “Makanan kami ketika itu tamr (kurma), Zabiib (kismis/anggur kering), dan aqith (susu kering/keju).” [4]
Kedua, menggunakan bentuk kata wajib atau wajibah, sebagaimana diterangkan kakeknya ‘Amr bin Syu’aib berikut ini:
أَلاَ إِنَّ صَدَقَةَ الفِطْرِ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى ، حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ، صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ ، مُدَّانِ مِنْ قَمْحٍ ، أَوْ سِوَاهُ صَاعٌ مِنْ طَعَامٍ
“Ketahuilah bahwa zakat fitri itu kewajiban setiap muslim, laki-laki atau perempuan, orang yang merdeka atau hamba sahaya, anak kecil atau orang dewasa, sebanyak dua mud qamh (gandum) atau satu shaa’ makanan selain qamh.” HR. At-Tirmidzi, Al-Baihaqi, ad-Daraquthni, dan al-Hakim, dengan sedikit perbedaan redaksi. [5]
Dari penggunaaan bentuk kata perintah (shigah ‘Amr) adduu (tunaikan) dan akhrijuu (keluarkanlah) serta kata wajib atau wajibah di atas, Ibnu Umar, Abu Sa’id, dan Ibnu Abas meriwayatkannya secara hikayat sabda Nabi saw. (hikaayah al-Qawl) dengan kata faradha (memfardukan) dan amara (memerintah).
Hikayat sabda Nabi: faradha, disampaikan Ibnu Umar sebagai berikut:
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَىْ وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa’ kurma, atau satu shaa’ sya’iir (gandum) atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin.” HR. Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dengan sedikit perbedaan redaksi. [6]
Sedangkan keterangan Abu Sa’id al-Khudriyyi diriwayatkan oleh An-Nasai. [7]
Adapun hikayat sabda Nabi: Amara, disampaikan Ibnu Umar sebagai berikut:
أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
“Nabi saw. memerintah zakat fitrah satu shaa’ kurma atau satu shaa’ sya’iir (gandum)” HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah. [8]
Sedangkan keterangan Ibnu Abas dengan redaksi:
أُمِرْنَا أَنْ نُعْطِىَ صَدَقَةَ رَمَضَانَ عَنِ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
“Kami diperintah untuk memberikan zakat Ramadhan atas anak kecil dan orang dewasa, orang yang merdeka dan hamba sahaya, sebesar satu shaa’ makanan.” HR. Al-Baihaqi. [9]
Penggunaan Bayaan bil Fi’li
Selain dengan keterangan berupa sabda Nabi saw. penetapan nilai atau ukuran zakat fitrah diperoleh pula dari amal Nabi saw. sebagai berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
“Rasulullah saw. mengeluarkan zakat fitrah satu shaa’ kurma atau satu shaa’ syair (gandum)” HR. Abu Ya’la dan Ibnu Khuzaimah. [10]
Sahkan Zakat Fitrah dengan Konversi Kg dan Uang?
Dalam menetapkan kewajiban zakat fitrah, Nabi saw. menggunakan istilah shaa’. Shaa’ merupakan istilah yang sering digunakan untuk menentukan ukuran isi atau volume, seperti liter, bukan satuan ukuran berat/massa seperti kilogram (Kg). Ukuran isi tidak mengalami perubahan walaupun benda yang ditakarnya berbeda jenis. Misalnya, 1 liter beras Karawang sama isinya dengan 1 liter beras Cianjur, meskipun berbeda berat jenisnya.
Adapun shaa’ yang dimaksud pada hadis di atas ialah shaa’ nabawi, yaitu shaa’ yang berlaku di zaman Nabi saw. Bila objek kewajiban zakat fitrah itu berupa beras, lalu diukur berdasarkan liter—yang pernah kami lakukan—dapat diperoleh hasil sebagai berikut: 1 sha = 4 mud = 2770,47 cc = + 3,1 liter. Berdasarkan ukuran satuan isi, maka beras apapun yang dikonsumsi oleh wajib zakat (muzakki) ukuran yang wajib dikeluarkannya akan sama.
Namun jika kewajiban zakat fitrah itu dikonversi dengan satuan ukuran berat seperti kilogram (Kg) maka ukuran zakat fitrah tiap muslim akan berbeda tergantung jenis beras atau makanan pokok yang dikonsumsi. Silahkan dicek perbedaan hasil mengilo 1 liter beras Karawang dan 1 liter beras Cianjur, misalnya. Begitu pula jika dikonversi dengan harga (qiimah).
Dalam konteks inilah kita dapat memahami mengapa para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan konversi ukuran satu shaa’. Adapun perbedaan itu dapat diuraikan sebagai berikut:
Menurut satu pendapat, satu shaa’ nabawi sebanding dengan 480 mitsqaal biji gandum yang bagus. Satu mitsqaal sama dengan 4,25 gram. Sementara 480 mitsqaal sebanding dengan 2040 gram. Berarti satu shaa’ sebanding dengan 2040 gram atau 2,4 Kg. [11]
Sedangkan menurut pendapat Syaikh Abdullah Al-Bassam, satu shaa’ nabawi adalah empat mud. Sementara satu mud setara dengan 625 gram, karena itu satu shaa’ nabawi sama dengan 3000 gram atau 3 Kg. [12] Sementara menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili, 1 mud itu sama dengan 675 gram, berarti 1 sha’ sama dengan 2751 gram atau 2,75 Kg. [13]
Berdasarkan hasil konversi para ulama di atas, kita dapat memperkirakan bahwa satu shaa’ kewajiban zakat fitrah berkisar antara 2040 gram (2,4 Kg) hingga 3000 gram (3 Kg). Meski dapat diketahui nilai konversinya namun hal itu dipandang menjadi masalah, karena Nabi saw. menetapkan ukuran wajib zakat fitrah itu dengan satuan isi (shaa’), bukan satuan berat. Jadi, sahkah membayar zakat fitrah dengan satuan ukuran lain, selain shaa’, seperti berat (Kg)? Bagaimana pula dengan harga (uang)?
Konversi ukuran wajib zakat fitrah dengan satuan ukuran lain, selain shaa’, juga dengan nilai atau harga pernah terjadi pada zaman shahabat. Kata Ibnu Umar
فَجَعَلَ النَّاسُ عِدْلَهُ مُدَيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ
“Maka orang-orang membuat atau menetapkan ukurannya sebanyak dua mud biji gandum.” HR. Al-Bukhari dan Ibnu Majah. [14]
Orang-orang yang dimaksud oleh Ibnu Umar adalah Mu’awiyah dan para shahabat Nabi lainnya yang sependapat dengan beliau. Mu’awiyah dan para shahabat Nabi lainnya beranggapan bahwa satu shaa’ tamr (buah kurma) dan satu shaa’ sya’iir (gandum) senilai dengan dua mud hinthah (biji gandum). [15] Padahal ulama sepakat bahwa konversi dua mud hinthah hanya mencapai nilai ½ shaa’ tamr (buah kurma) atau ½ shaa’ sya’iir (gandum). [16]
Jadi, yang hendak dikonversi oleh Mu’awiyah bukan dari shaa’ kepada muud, karena keduanya sama-sama satuan ukuran isi, melainkan nilai atau harganya. Latar belakang konversi Mu’awiyah dijelaskan dalam beberapa riwayat, antara lain dari Abu Sa’id al-Khudriyyi sebagai berikut:
إنَّمَا كُنَّا نُخْرِجُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَاعَ تَمْرٍ أَوْ صَاعَ شَعِيْرٍ أَوْ صَاعَ أَقِطٍ لاَ نُخْرِجُ غَيْرَهُ فَلَمَّا كَثُرَ الطَّعَامُ فِيْ زَمَنِ مُعَاوِيَةَ جَعَلُوْهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ
“Pada masa Rasulullah saw. kami hanya mengeluarkan (zakat fitrah) 1 shaa’ tamr (buah kurma), atau 1 shaa’ sya’ir (gandum), atau 1 shaa’ aqith (susu kering/keju), kami tidak mengeluarkan selainnya. Maka ketika makanan melimpah pada zaman Mu’awiyah, mereka menetapkan ukurannya sebanyak dua mud biji gandum.” HR. Ath-Thahawi. [17]
Keputusan Mu’awiyyah dan para sahabat lain yang sepakat dengannya, dalam konversi ukuran wajib zakat dengan nilai/harga, ternyata tidak disepakati sebagian shahabat lain, antara lain Abu Sa’id al-Khudriyyi mengatakan:
لاَ أُخْرِجُ إِلاَّ مَا كُنْتُ أُخْرِجُ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ حِنْطَةٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ : أَوْ مُدَّيْنِ مِنْ قَمْحٍ قَالَ : لاَ تِلْكَ قِيمَةُ مُعَاوِيَةَ لاَ أَقْبَلُهَا وَلاَ أَعْمَلُ بِهَا
“Saya tidak akan mengeluarkan (zakat fitrah) kecuali apa yang saya keluarkan pada masa Rasulullah saw. sebanyak 1 shaa’ tamr (buah kurma), atau 1 shaa’ khinthah (biji gandum), atau 1 shaa’ sya’ir (gandum), atau 1 shaa’ aqith (susu kering/keju).” Maka seseorang dari suatu kaum berkata kepadanya, “Atau dua mud qamh (gandum).” Ia (Abu Sa’id) berkata, “Tidak, itu standar nilai (qiimah) Mu’awiyah, saya tidak akan menerimanya dan tidak akan menggunakannya.” HR. Ath-Thahawi, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi, Al-Hakim, Ibnu Hiban, Ibnu Khuzimah. [18]
Sehubungan dengan perbedaan sikap para shahabat tentang konversi nilai atau harga “wajib zakat fitrah” maka Ibnu Hajar berkomentar:
لَكِنَّ حَدِيثَ أَبِي سَعِيدٍ دَالٌّ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يُوَافِقْ عَلَى ذَلِكَ ، وَكَذَلِكَ اِبْنُ عُمَرَ ، فَلَا إِجْمَاعَ فِي الْمَسْأَلَةِ خِلَافًا لِلطَّحَاوِيِّ . وَكَأَنَّ الْأَشْيَاءَ الَّتِي ثَبَتَ ذِكْرُهَا فِي حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ لَمَّا كَانَتْ مُتَسَاوِيَةً فِي مِقْدَارِ مَا يُخْرَجُ مِنْهَا مَعَ مَا يُخَالِفُهَا فِي الْقِيمَةِ دَلَّ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ إِخْرَاجُ هَذَا الْمِقْدَارِ مِنْ أَيِّ جِنْسٍ كَانَ ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْحِنْطَةِ وَغَيْرِهَا . هَذِهِ حُجَّةُ الشَّافِعِيِّ وَمَنْ تَبِعَهُ
“Namun hadis Abu Sa’id menunjukkan bahwa ia tidak sepakat atas hal itu (konversi dengan harga), begitu pula Ibnu Umar. Maka tentang masalah ini tidak tercipta ijma’ sahabat, berbeda dengan pandangan ath-Thahawi. Dan segala sesuatu yang telah pasti disebutkan dalam hadis Abu Sa’id, tatkala sama atau setara ukurannya dengan apa yang dikeluarkan, meski berbeda nilainya, seakan-akan telah menunjukkan bahwa yang dimaksud hadis itu adalah mengeluarkan ukuran wajib ini (1 shaa’) dari jenis makanan apapun, tidak terdapat perbedaan antara hinthah dan lainnya. Ini argumen asy-Syafi’I dan pengikutnya.”
وَأَمَّا مَنْ جَعَلَهُ نِصْفَ صَاعٍ مِنْهَا بَدَلَ صَاعٍ مِنْ شَعِيرٍ فَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ بِالِاجْتِهَادِ بِنَاءً مِنْهُ عَلَى أَنَّ قِيَمَ مَا عَدَا الْحِنْطَةَ مُتَسَاوِيَةٌ ، وَكَانَتْ الْحِنْطَةُ إِذْ ذَاكَ غَالِيَةَ الثَّمَنِ ، لَكِنْ يَلْزَمُ عَلَى قَوْلِهِمْ أَنْ تُعْتَبَرَ الْقِيمَةُ فِي كُلِّ زَمَانٍ فَيَخْتَلِفُ الْحَالُ وَلَا يَنْضَبِطُ ، وَرُبَّمَا لَزِمَ فِي بَعْضِ الْأَحْيَانِ إِخْرَاجُ آصُعٍ مِنْ حِنْطَةٍ ،
“Adapun orang-orang yang menetapkan ukuran ½ shaa’, menggantikan 1 shaa’ sya’iir, sungguh ia berbuat demikian itu berdasarkan ijtihad dengan pertimbangan bahwa makanan selain hinthah bernilai/harga sama, sementara hinthah ketika itu mahal harganya (sehingga dipandang setara dengan 1 shaa’ tamr atau 1 shaa’ sya’iir). Namun mesti ditekankan pada pendapat mereka agar dipertimbangkan perubahan harga pada setiap waktu, maka keadaannya akan berubah dan tidak baku, dan terkadang pada sebagian keadaan mesti mengeluarkan beberapa shaa’ hinthah.”[19]
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa konversi wajib zakat fitrah dengan nilai atau harga memiliki akar pemikiran Islam yang kokoh, paling tidak mengacu kepada sikap Mu’awiyah dan para sahabat Nabi yang sejalan dengannya.
Meski demikian, perlu ditegaskan di sini bahwa pengamalan kewajiban zakat fitrah berdasarkan satuan berat jenis memiliki “resiko hukum” bahwa ukuran zakat yang dikeluarkan oleh wajib zakat (muzakki) pada hakikatnya tidak boleh sama, tergantung jenis beras yang biasa dikonsumsi oleh masing-masing muzakki. Di sinilah terkadang “neraca menjadi miring”, ketika membayar hak orang lain digunakan beras “Raskin” sementara yang dikonsumsi sehari-hari beras “super”, misalnya. Karena itu, penetapan zakat fitrah sebesar 2,5 Kg merujuk kepada ghalib atau kelaziman berat jenis beras yang rata-rata dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat di lingkungan kita.
Demikian pula, apabila dikonversi berdasarkan satuan harga (qiimah) juga memiliki “resiko hukum” bahwa ukuran zakat yang dikeluarkan oleh wajib zakat (muzakki) pada hakikatnya tidak boleh sama, tergantung harga jenis beras yang bersangkutan. Karena itu, berdasarkan konversi qiimah, besaran zakat fitrah setiap tahun bisa jadi berubah sesuai dengan perubahan harga yang berlaku saat itu.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
[1]Lihat, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, V: 432, No, Hadis 23.713, Ath-Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, II:45, Abdurrazaq, Al-Mushannaf, III:318, No. Hadis 5785, ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni, II:150, No. Hadis 52.
[2]Lihat, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, V: 432, No, Hadis 23.714, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II: 114, No. Hadis, 1619, Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV: 167, No. Hadis 7498, Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II: 148, No. Hadis 39 dan 41, Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, II:45, Ibnu Amr asy-Syaibani, Al-Ahad wa al-Matsani, I: 452, No. Hadis 628.
[3]Lihat, HR. Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, I: 224, No. hadis 613, Ibnu Amr asy-Syaibani, Al-Ahad wa al-Matsani, III: 115, No. Hadis 1437.
[4]Lihat, al-Mu’jam al-Kabir, I: 224.
[5]Lihat, Sunan at-Tirmidzi, III: 61, No. Hadis 674, Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV: 172, No. Hadis 7515, ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni, II: 141, No. Hadis 17, dan al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:569, No. Hadis 1492.
[6]Lihat, HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:547, No. hadis 1432; II:549, No. hadis 1440, Muslim, Shahih Muslim, II:677, No. hadis 984, II:678, No. hadis 984, At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:62, No. Hadis 676, An-Nasai, As-Sunan al-Kubra, II: 26, No. Hadis 2284, Sunan An-Nasai, V:47, No. Hadis 2500, V:48, No. Hadis 2503, V:49, No. Hadis 2505, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:112, No. Hadis 1611, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadis 1826, Ahmad, Musnad Ahmad, II:63, No. Hadis 5303.
[7]Lihat, As-Sunan al-Kubra, II: 27, No. Hadis 2290, Sunan An-Nasai, V:51, No. Hadis 2511
[8]Lihat, HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1436; Muslim, Shahih Muslim, II:678, No. hadis 984, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:584, No. Hadis 1825.
[9]Lihat, As-Sunan al-Kubra, IV: 169, No. Hadis 7503
[10]Lihat, Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, X:203, No. Hadis 5834, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 85, No. Hadis 2404.
[11]Lihat, Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’, karya Syekh Shalih al-Utsaimin, VI:176
[12]Lihat, Tawdhih Al-Ahkam Syarah Bulughul Maram, III:178.
[13]Lihat, At-Tafsir al-Muniir, juz 2, hlm. 141.
[14]Lihat, HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1436; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I: 584, No. Hadis 1825.
[15]Lihat, As-Sunan al-Kubra al-Baihaqi, IV:168; Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 85
[16]Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, V:142; Irsyad as-Sari Syarh Shahih al-Bukhari, III:87-88.
[17]Lihat, Syarh Ma’ani al-Atsar, II: 42; Syarh Musykil al-Atsar, IX: 24.
[18]Lihat, Syarh Ma’ani al-Atsar, II: 42, Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II: 145, No. Hadis 30; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV: 165, No. hadis 7491, Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I: 570, No. hadis 1495, Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VIII:98, No. Hadis 3306, Ibnu Khuzimah, Shahih Ibnu Khuzimah, IV:89, No. hadis 2419
[19]Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, V:144.
bismillah. ustadz, mau bertanya, bagaimana dengan seorang anak perempuan meskipun ia telah dewasa, apakah kewajiban zakatnya selama dia belum menikah masih menjadi tanggungan ayahnya, ataukah sudah mukallaf terkhusus baginya? karena ada di sekitar saya yang sebagai seorang ayah masih merasa itu tanggungjawabnya. jazakumullah khair ustadz.
Seseorang dianggap sebagai mukallaf jika dia memenuhi syarat di antaranya adalah sudah ‘aqil-baligh. Adapun seorang anak baligh walaupun belum menikah dan masih tinggal bersama orang tua, tetaplah seorang mukallaf. Dia dikenai hukum shalat, zakat, dsb. Karena ukurannya bukan sudah menikah atau tidak, tapi sudah baligh atau tidak. Adapun jika ayahnya yang membayar zakat itu tentu tidaklah sah, karena anaknya lah yang mesti membayar zakatnya. Kecuali kalau misalkan “uang untuk zakat” itu diberi oleh ayah, bukan bermaksud mengambil tanggungjawab tapi untuk “membayarkan” zakat anaknya, maka hal itu tidaklah mengapa. Karena teknis pembayaran dan sumber uangnya tidak mesti harus dari si anak saja. Terima kasih atas komentarnya.