Landasan Raj’ah
Dalam menetapkan raj’ah (inkarnasi) sebagai salah satu akidah inti, ulama-ulama Syiah telah mempersiapkan landasan-landasannya yang mereka adopsi dari al-Qur’an al-Karim. Namun, tidak berbeda dengan nash-nash al-Qur’an yang mereka jadikan landasan untuk kategori akidah-akidah yang lain, tampaknya dalam konteks ini mereka juga tidak mendapatkan nash sharih (teks definitif) untuk menopang akidah raj’ah sebagaimana yang mereka inginkan. Seperti biasa, ketika mereka sudah tidak mendapatkan apa yang mereka dari al-Qura’an, maka cara satu-satunya adalah dengan mentakwil dengan takwilan yang jauh. Mereka memelintir beberapa ayat suci yang sebenarnya sudah jelas maksud dari artinya. Dalam presfektif Siah, dalil raj’ah yang paling kuat adalah sebagai berikut:
وَحَرَامٌ عَلَى قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا أَنَّهُمْ لَا يَرْجِعُونَ
Sungguh tidak mungkin atas (penduduk) suatu negeri yang telah Kami binasakan, untuk kembali (ke dunia). (QS. Al-anbiya’ [21]: 95)
Ketika menafsiri ayat ini, al-Qummi dalam tafsir-nya menyatakan demikian:
هَذِهِ الْآَيةُ مِنْ أَعْظَمِ الْأَدِلَّةِ عَلَى الرَّجْعَةِ؛ لِأَنَّ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْإِسْلَام ِلَا يُنْكِرُ أَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ هَلَكَ وَمَنْ لَمْ يُهْلِكْ.
Ayat ini merupakan dalil paling kokoh akan adanya raj’ah, karena sesungguhya tidak seorang pun dari orang Islam yang mengingkari bahwa semua manusia akan dibangkitkan kembali di hari kiamat, baik yang dihancurkan maupun yang tidak.[1]
Dilihat dari pernyataan al-Qummi ini, tampaknya dia mengartikan raj’ah dengan “kehidupan pada hari kiamat (setelah kematian)”, bukan kehidupan di dunia. Padahal penafsiran al-Qummi ini tertera di bawah judul “A’zhamu Ayatin Dallatin ‘ala ar-raj’ah” (Dalil paling kuat akan adanya raj’ah).
Dalam penafsiran kali ini, rupanya al-Qummi terperosok pada tafsir yang sejatinya tidak ia kehendaki, sebab apa yang dia paparkan dari ayat ke-95 surat al-Anbiya’ itu telah menyimpang dari arti raj’ah yang diyakini oleh sekte Syiah. Sepertinya, upaya menyelinap masuk pada dalil-dalil umat Islam untuk melegitimasi doktrin-doktrin Syiah, tidak selalu bisa dijalankan secara mulus oleh ulama-ulama Syiah. Karena diakui atau tidak, dalam konteks ini, ayat-ayat ke-95 surat al-Anbiya’ di atas memang tidak mengarah kepada raj’ah sama sekali, malah secara teks, ayat tersebut jelas menginformasikan kepada kita bahwa tidak akan ada yang dapat kembali ke dunia setelah kematian, sebab arti dari ayat ini, menurut Ibnu Abbas, Abu Ja’far al-Baqir, Imam Qatadah dan yang lain, adalah:
حَرَامٌ عَلَى أَهْلِ كُلِّ قَرْيَةٍ أُهْلِكُوْا بِذُنُوْبِهِمْ أَنَّهُمْ يُرْجَعُوْنَ إِلَى الدُّنْيَا قَبْلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
Haram atas semua pendudk desa yang telah dihancurkan disebabkan dosa-dosa mereka kembali ke dunia sebelum hari kiamat.[2]
Sebagaimana dijelaskan dalam ilmu Gramatika Arab, kalimat “La” (la yarji’un) dalam ayat tersebut (QS. Al-Anbiya’ [21]: 95) berfungsi sebagai shilah (penyambung). Maka, “La” dalam ayat itu dibebaskan dari makna. Ia berfungsi sebagai tambahan yang bertujuan untuk memperkuat kata Haramun yang disebut di awal ayat. Uslub (pola susunan kata) semacam ini adalah salah satu dari sekian uslub yang digunakan al-Qur’an dan telah digunakan oleh para penyair Arab kenamaan, karena memang memiliki nilai keindahan tersendiri bagi mereka yang memiliki cita rasa bahasa yang tinggi. Ayat lain yang menggunakan “La” sebagai shilah (tambahan, dibebaskan dari makna) adalah ayat 12 surat al-A’raf berikut:
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ
Allah berfirman: Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu. (QS. Al-A’raf [7]: 12)[3]
Tentang kedudukan “La” dan maknanya dalam surat al-Anbiya’ ayat 95 tersebut masih diperselisihkan oleh para pakar tafsir, hanya saja mereka sepakat bahwa maksud ayat tersebut adalah: Haram (tidak mungkin) bagi penduduk desa yang telah dihancurkan oleh Allah untuk kembali ke dunia.[4]
Jika kita amati lebih lanjut, sebenarnya kandungan makna dari ayat 95 surat al-Anbiya’ itu sama dengan maksud surat Yasin ayat 31 dan 50 berikut:
أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنَ الْقُرُونِ أَنَّهُمْ إِلَيْهِمْ لَا يَرْجِعُونَ
Tidakkah mereka mengetahui berapa banyaknya umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, bahwa orang-orang (yang telah kami binasakan) itu tiada kembali kepada mereka. (QS. Yaasin [36]: 31)
فَلَا يَسْتَطِيعُونَ تَوْصِيَةً وَلَا إِلَى أَهْلِهِمْ يَرْجِعُونَ
Lalu mereka tidak kuasa membuat suatu wasiat-pun dan tidak (pula) dapat kembali kepada keluarganya. (QS. Yasin [36]: 50)
Selain ayat 95 surat al-Anbiya’, ayat lain yang sering dimanfaatkan Syiah dan ditunjuk sebagai dalil raj’ah, sebagaimana yang disampaikan al-Alusi, adalah ayat 83 surat an-Naml:
وَيَوْمَ نَحْشُرُ مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ فَوْجًا مِمَّنْ يُكَذِّبُ بِآيَاتِنَا فَهُمْ يُوزَعُونَ
Dan (Ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dari tiap-tiap umat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalm kelompok-kelompok). (QS. An-Naml [27]: 83)
Dalam menafsiri ayat ini, salah satu tokoh tafsir Syiah terkemuka, Abdullah Syibr, menulis sebuah riwayat yang diafiliasikan kepada Imam Ja’far ash-Shadiq AS. Menurut riwaya itu, ayat ini turun berkenaan dengan raj’ah.[5] Ath-Thabrisi, penafsir kenamaan Syiah yang lain, juga menegaskan dalam kitab tafsirnya, bahwa Syiah Imamiyah menggunakan ayat ini sebagai dalil atas keabsahan akidah raj’ah. Lebih lanjut, dia mengutip alsan ulama Syiah yang menjadikan ayat 83 dari surat an-Naml ini sebagai dalil sharih atas akidah raj’ah:
إِنَّ دُخُوْلَ “مِنْ” فِي الْكَلَامِ يُوْجِبُ التَّبْعِيْضَ فَدَلَّ بِذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ يُحْشَرُ قَوْمٌ دُوْنَ قَوْمٍ وَلَيْسَ ذَلِكَ صِفَةَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ الَّذِيْ يَقُوْلُ فِيْهِ سُبْحَانَهُ: {وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا}
Sesungguhnya masuknya “min” dalam kalam itu mewajibkan adanya tab’idh (pembagian). Dengan begitu, ayat tersebut menunjukan bahwa akan dikumpulkan sebagian kaum, sementara kaum yang lain tidak akan dikumpulkan. Ini bukanlah ciri-ciri hari kiamat yang dijelaskan oleh Allah dengan “Dan Kami kumpulkan mereka semua, maka kami tidak membiarkan satu orang-pun dari mereka.”[6]
Jika kedua huruf “min” dalam ayat ini diartikan sebagai “at-Tab’idh” (min yang bermakna sebagian) semua, maka sudah barang tentu akan merusak kandungan arti serta maksud yang hendak disampaikannya. Namun jika yang dimaksud ath-Thabrisi adalah “min” yang pertama, maka pendapatnya sama dengan pendapat ulama Ahlusunnah. Jadi maksud ayat itu adalah Allah SWT akan mengumpulkan sebagian umat, tidak kesemuanya.
Selanjutnya, di sini juga penting untuk menjelaskan makna min yang kedua agar pengertian isi ayat 83 surat an-Naml ini menjadi jelas dan mendapatkan pemahaman yang komprehensif. Huruf jar min yang kedua dari ayat di atas bermakna bayan (menjelaskan maksud kalimat sebelumnya). Bayan di sini berfungsi untuk memperjelas maksud kalimat fauja. Dengan demikian, maka arti keseluruhan ayat ini adalah Allah akan mengumpulkan umat-umat yang telah mendustakan ayat-ayat-Nya.
Sejauh pemaparan ini, kita bertanya, kalimat manakah yang menunjuk terhadap arti ”raj’ah” secara khusus, sebagaimana yang dikemukakan ath-Thabrisi dan ulama-ulama Syiah yang lain?[7] Jadi di sini tak ada kesimpulan yang dapat kita ambil dari ayat ini, selain penegasan bahwa raj’ah ternyata tidak memiliki landasan-landasan teoritis, baik dari nash al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW.. Hal ini menunjukan bahwa akidah ini memang sengaja dibuat-buat, tak ubahnya akidah-akidah Syiah yabg lain.
Selain dapat dilakukan dengan menguraikan arti ayat di atas, kepalsuan akidah raj’ah juga dapat dibuktikan dengan melakukan pembacaan dengan mengikut-sertakan ayat selanjutnya. Dari sini akan tampak lebih jelas, bahwa yang dimaksud mengumpulkan umat dalam konteks ayat ini bukanlah mengumpulkan mereka di alam dunia, sebab ayat setelahnya merekam firman Allah SWT. yang diucapkan dihadapan mereka:
وَيَوْمَ نَحْشُرُ مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ فَوْجًا مِمَّنْ يُكَذِّبُ بِآيَاتِنَا فَهُمْ يُوزَعُونَ (83) حَتَّى إِذَا جَاءُوا قَالَ أَكَذَّبْتُمْ بِآيَاتِي وَلَمْ تُحِيطُوا بِهَا عِلْمًا أَمَّاذَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (84) وَوَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِمْ بِمَا ظَلَمُوا فَهُمْ لَا يَنْطِقُونَ (85)
Dan (ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dari tiap-tiap umat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalam kelompok). Hingga apabila mereka datang, Allah berfirman: “Apakah kamu telah mendustakan ayat-ayat-Ku, padahal ilmu kamu tidak meliputinya, atau apakah yang telah kamu kerjakan?” Dan jatuhlah perkataan (azab) atas mereka disebabkan kezaliman mereka. Maka mereka tidak dapat berkata (apa-apa). (QS. An-Naml [27]: 83-85)
Ayat 83-85 dari surat an-Naml tersebut memberikan pemaparan yang demikian lugas, bahwa orang-orang yang berdosadikumpulkan secara khusus, lalu Allah SWT. berfirman sebagaimana termaktub dalam ayat tersebut, agar mereka merasa bahwa diri mereka salah, dan agar mereka merasa hina-dina di hadapan kebesaran-Nya.[8] Jadi, ayat-ayat tersebut sama sekali tidak connected dengan akidah raj’ah yang dikehendaki Syiah.
Di samping itu, tafsir yang diajukan ath-Thabrisi di atas rupanya bukan merupakan suara bulat dari kalangan Syiah. Terbukti bahwa ternyata ulama Syiah yang lain mengajukan penafsiran yang bertolak-belakang dengan rumusan ath-Thabrisi. Muhammad Jawwad Mughniyah, seorang tokoh Syiah kontemporer, adalah salah satu di antara ulama Syiah yang membentangkan rumusan tafsir yang dapat mementahkan kesimpulan ath-Thabrisi. Dalam hal ini, Muhammad Jawwad Mughniyah memunculkan pemahaman yang berbeda dengan ath-Thabrisi, terkait dengan makna huruf min yang terdapat dalam ayat tersebut. Dia mengatakan:
«مِنْ» هُنَا بَيَانِيَةٌ وَلَيْسَتْ لِلتَّبْعِيْضِ تَمَامًا كَخَاتَمٍ مِنْ حَدِيْدٍ، وَالْمَعْنَى: أَنَّ فِي الْأُمَمِ مُصَدِّقِيْنَ وَمُكَذِّبِيْنَ بِآيَاتِ اللهِ وَبَيِّنَاتِهِ، وَهُوَ يَحْشُرُ لِلْحِسَابِ وَالْجَزَاءُ جَمِيْعَ الْمُكَذِّبِيْنَ بِلَا اِسْتِثْنَاءٍ، وَخَصَّهُمْ بِالْحَشْرِ مَعَ أَنَّهُ يَعُمُّ الْجَمِيْعَ؛ لِأَنَّهُ تَعَالَى قَصَدَ التَّهْدِيْدَ وَالْوَعِيْدَ.
Hurufjar min di sini bermakna bayan, bukan tab’idh, seperti kata-kata “cincin terbuat dari besi.” Arti ayat itu adalah: “Di antara umat-umat ini ada yang membenarkan ada pula yang mendustakan ayat-ayat Allah dan bukti (kekuasaan)Nya. Dia akan mengumpulkan semua pendusta tanpa terkecuali untuk dihisab dan diberi pembalasan. Allah mengumpulkan mereka secara khusus untuk menggertak dan mengancam mereka, padahal perkumpulan itu meliputi semua manusia.[9]
Secara tersurat, penafsiran gramatikal dari Muhammad Jawwad Mughniyah ini dengan sendirinya telah menggerogoti konsep raj’ah, atau paling tidak mengilustrasikan betapa ulama Syiah tidak memiliki komitmen yang mapan terhadap akidah yang mereka yakini. Yang jelas, di sini Muhammad Jawwad Mughniyah tampak telah mematikan langkah dan telah menghabisi pendahulunya, yakni ath-Thabris. Tentunya, kita berharap, semoga komitmen Muhammad Jawwad Mughniyah timbul dari kinsyafan batinnya, bukan dari pengaruh doktrin taqiyyah yang selalu digunakan untuk menutup-nutupi jati dirinya.
Dari sekian banyak kelemahan, kontradiksidan kerancuan tafsir, inkonsistensi pendapat serta penyelewengan takwil dalam rangka mengukuhkan akidah raj’ah dengan nash al-Qur’an, agaknya Syiah semakin terjebak dalam lingkaran kebingungan yang tak berkesudahan. Sepertinya, kondisi inilah yang menggiring mereka untuk juga menarik ayat 17, 21, 22, dan 23 dari surat ‘Abasa sebagai salah satu dalil raj’ah; suatu pilihan yang diputuskan tanpa pertimbangan nalar yang sehat Dalam tafsir-Nya, al-Qummi mengomentari ayat-ayat itu sebagai berikut:
قُتِلَ الإِنسَانُ مَا أَكْفَرَهُ قَالَ: هُوَ أَمِيْرُ المُؤْمِنِيْنَ، قَالَ: مَا أَكْفَرَهُ أَيْ مَاذَا فَعَلَ وَأَذْنَبَ حَتَّى قَتَلُوْهُ..”ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ، ثُمَّ إِذَا شَاء أَنشَرَهُ” (عبس ]80[: 21-22). قَالَ: فِي الرَّجْعَةِ “كَلَا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ” (عبس ]80[: 23) أَيْ لَمْ يَقْضِ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ مَا قَدْ أَمَرَهُ، وَسَيَرْجِعُ حَتَّى يَقْضِيْ مَا أَمَرَهُ.
(Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya) Al-Qummi berkata: Dia adalah Amir al-Mukminun. Ma akhfarahu artinya adalah: Dosa apa yang telah diperbuatnya, hingga mereka membunuhnya?. (Kemudian Dia mematikannya dan memasukannya ke dalam kubur, kemudian bila Dia menghendaki, Dia mengbangkitkannya kembali). (QS.’Abasa [80]: 21-22). (Sekali-kali jangan; menusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya) (QS. ‘Abasa [80]: 23). Maksudnya, Amirul Mukminin belum melaksanakan perintah Allah, dan akan kembali untuk melaksanaka perintah-Nya..[10]
Sungguh, kita tak habis pikir, kenapa pilihan ulama Syiahuntuk mengukuhkan raj’ah juga jatuh pada ayat itu, padahal yang dimaksud dengan kata insan dalam ayat ke 17 tersebut adalah orang kafir. Agaknya, kekuatan nafsu Syiah untuk mengesankan agar raj’ah memiliki landasan yang absah dari al-Qur’an, membuat mereka meninggalkan nalar yang jernih dan tidak bisa berpikir logis. Di sini, jika al-Qummi menafsiri kata insan tersebut dengan Imam Ali bin Abi Thalib RA., maka dia telah menghina Imamnya sendiri, yang dia anggap suci.
Lalu bagaimana arti yang sesungguhnya dari ayat tersebut? Mengenai hal ini, ulama Islam melakukan penafsiran dengan teliti dan cermat, dengan memperhatikan inidikasi-indikasi dan dalil-dalil yang ada; memadukan teks dan konteks secara sempurna, sehingga memunculkan pemahaman yang komprehensif, benar dan terarah. Di sini, Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari mengartikulasikan kata ma akfarahu pada dua makna, sebagaimana dipaparkan dalam tafsirnya, sebagai berikut:
وَفِيْ قَوْلِهِ: (أَكْفَرَهُ) وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: التَّعَجُّبُ مِنْ كُفْرِهِ مَعَ إِحْسَانِ اللهِ إِلَيْهِ، وَأَيَادِيْهِ عِنْدَهُ. وَالْآخَرُ: مَا الَّذِيْ أَكْفَرَهُ، أَيْ: أَيُّ شَيْئٍ أَكْفَرَهُ.
Firman Allah “akhfarahu” mempunyai dua arti: Pertama bermkana “Heran atas kekufuran merka, padahal Allah telah berbuat baik dan menganugerahkan pemberian yang banyak pada mereka.” Kedua bermkasud “Apakah yang membuat mereka kufur?”[11]
Jadi, dari segi pemaknaan literal ayat, Syiah telah menghadirkan makna yang sama sekali tidak sikron dengan ayat yang diartikannya, baik secara teks maupun konteks. Karenanya, dalam pembahasan ini, mengatakan bahwa ulama-ulama Syiah telah terjebak dalam kekacauan pemikiran dan kebingungan cukup logis. Akan tetapi di samping itu ada alasan lain yang agaknya lebih abash untuk mendeteksi akar dari kekacauan ini. Bahwa rupanya, ulama-ulama Syiah yang menafsiri ayat di atas dengan Sayyidina Ali RA., sangat dimungkinkan terpengaruh oleh logika sekte Syiah Kamiliyah, yaitu kelompok Syiah yang mengkafirkan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA. sebab beliau tidak mau berjuang untuk mengambil kekhalifahan yang telah dirampas oleh khalifah-khalifah sebelum beliau. Kelompok Syiah ini juga mengkafirkan sahabat-sahabat Nabi yang lain, dikarenakan mereka tidak menyerahkan khilafah kepada Imam Ali RA..
Sampai di sini, agaknya dimaklumi, bahwa Syiah memang tidak mampu menghadirkan hujjah yang berakar untuk akidah-akidah yang diyakininya, sehingga kadang nalar mereka jauh dari jangkauan logika yang sehat. Bahkan, akibat heran dengan penafsiran-penafsiran bebas ala Syiah ini, Dr. Nashir bin Abdillah al-Qifari mengatakan: “Barangkali orang pertama yang menggunakan ayat ini (ayat dalam surat ‘Abasa) sebagai dalil raj’ah adalah orang ‘Ajam (non-Arab) yang tidak mengerti bahasa al-Qur’an, karena terdorong oleh rasa fanatik dan kepentingan pribadi belaka.”[12]
Setelah penafsiran-penafsiran telah terbantahkan tadi, ayat 21-22 surat ‘Abasa yang juga dijadikan penguat bagi akidah raj’ah juga tidak bertaring. Ayat tersebut jelas tidak menunjukan arti raj’ah versi Syiah, karena memang tidak ada kalimat tegas (sharih) yang mengindikasikan arti itu. Yang tepat adalah, bahwa arti kalimat ansyarahu pada ayat tersebut di arahkan pada kehidupan di hari kiamat, sebab hanya itu yang paling mendekati pada arti yang sesungguhnya, baik ditinjau dari zhahir-nya teks ayat maupun konteksnya.
Selanjutnya, ulama Syiah mulai melangkah pada titik puncak dari pemeliharaan ayat di atas, yaitu ayat ke 23 dari surat ‘Abasa, dan inilah rupanya alasan ‘terkuat’, kenapa mereka menggunakan ayat-ayat dari surat ini sebagai dalil raj’ah. Yakni karena Imam Ali AS. belum pernah melaksanakan perintah Allah SWT. dengan sempurna, jadi beliiau perlu dibangkitkan kembali untuk menyempurnakan perintah pada masa raj’ah (inkarnasi).
Jika diamati lebih cermat, sebetulnya pernyataan sedemikian merupakan bentuk penghinaan lain terhadap Sayyidina Ali RA.. Bagaimana mungkin mereka mangaku mencintai Ahlul Bait, jika mereka malah mencela Imam Ali RA. dengan menyebutnya sebagai orang yang tidak becus melaksanakan perintah Allah SWT., sehingga harus dihidupkan kembali kelak menjelang hari akhir?[13] Bukankah—dalam pandangan Syiah—para Imam adalah orang yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan, terjauhkan dari kekeliuran, salah dan lupa? Mungkinkah orang yang memiliki sifat sedemikian rupa, akan lalai dalam melaksanakan tugasnya? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Dan jika itu memang ‘harus terjadi’ (sekali lagi, dalam presfektif Syiah). Maka runtuhlah doktrin kemaksuman imam dalam Syiah.
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] Tafsir al-Qummi, juz 2 hlm. 76 dan Ushul Madzhab as-Syi’ah, juz 2 hlm. 1111.
[2] Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3 hlm. 205.
[3] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz 12 hlm. 41 dan Ushul Madzhab as-Syi’ah, juz 2 hlm. 1111.
[4] Ibid, juz 18 hlm. 524.
[5] Tafsir Abdullah Syibr, hlm. 369.
[6] Tafsir ath-Thabrisi, juz 5 hlm. 251-252.
[7] Ushul Madhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 1113-1114.
[8] Ibnu Katsir,Tafsir al-Qur’an al-Azhim, juz 6 hlm. 215.
[9] Muhammad Jawwad al-Mughniyah, At-Tafsir al-Mubin, hlm. 441.
[10] Lihat, Tafsir al-Qummi, juz 2 hlm. 405.
[11] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, Juz 24, hlm. 222.
[12] Ushul Madzhab asy-Syi’ah, Juz 2, hlm. 1115.
[13] Ibid, juz 2 hlm. 1116.