Keyakinan Syiah Tentang ‘Ismah Imamah (2-Tamat)
Penafsiran Syiah terhadap ayat 33 surat al-Ahzab sangat dipengaruhi ideologi dan kepentingan mereka. Karena itu, tidaklah mengherankan jika maksud dari ayat tersebut bukan saja tidak sejalan, bahkan bertolak-belakang dengan maksud mereka. Dengan begitu, kerapuhan istidlal (pengambilan dalil) mereka dari ayat itu terlalu kentara. Beberapa point dapat kita ajukan sebagai tolok ukur rapuhnya istidlal mereka.
Pertama, kata “yuriidu (menghendaki)” dalam ayat “Innamaa yuriidu Allahu…” bukan merupakan kehendak takwiniyah (kehendak yang langsung diciptakan oleh Allah SWT.), akan tetapi merupakan kehendak tasyri’iyah (kehendak mensyari’atkan). Dengan perkataan lain, Allah SWT. berkehendak membersihkan mereka jika mereka berusaha dan berkehendak untuk membersihkan diri mereka, dengan melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Pola seperti ini juga dapat kita jumpai dalam beberapa ayat yang lain dalam al-Qur’an, seperti:
وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ (النساء ]4[: 27).
Dan Allah kehendak menerima taubatmu (QS. An-Nisa’ [4]: 27)
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ (النساء ]4[: 28).
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu (QS. An-Nisa [4]: 28)
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ (البقرة ]2[: 185).
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Memperhatikan ayat-ayat di atas, tentu saja tidak ada seorang pun yang berpikir (menafsiri) bahwa Allah SWT. menerima taubat yang tidak kita lakukan, demikian seterusnya. Jadi, Allah SWT. berkehendak menerima taubat dari para hamba-Nya jika mereka mau bertaubat, begitu juga dengan ayat yang kedua dan ketiga.
Kedua, penunjukkan Syiah terhadap surat al-Ahzab ayat 33 sebagai ayat at-Tathhir, ditinjau dari arti “tathhir” itu sendiri, juga tidak tepat. Agaknya, di sini Syiah salah sasaran. Hal ini dapat kita bandingkan dengan ayat al-Qur’an yang lain yang senada dengan “ayat at-Tathhir”, namun tidak menujukkan atas kemaksuman seseorang, seperti:
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (المائدة ]5[: 6)
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Maidah [5]: 6)
وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ. خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (التوبة ]9[: 102-103)
Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah [9]: 102-103)
Memperhatikan kedua contoh ayat di atas, doktrin Syiah semakin tidak logis dan tampak sangat kontras dengan al-Qur’an. Jika memang arti tathhir pada ayat 33 surat al-Ahzab itu adalah ‘ishmah (kemaksuman Ahlul Bait versi Syiah), maka sebetulnya bukan hanya Ahlul Bait saja yang maksum, para pendosa yang telah mengakui dan insyaf akan dosa-dosanya, juga dapat dikategorikan maksum, sesuai dengan arti tathhir pada dua ayat di atas. Malah lebih dari itu, al-Qur’an juga menyandarkan kata tuzakkiihim di samping kata tuthahhiruhum, yang apabila kita menggunakan arti ‘ishmah untuk kata tathhir, maka berarti: para pendosa yang sudah insyaf tersebut bukan hanya berstatus maksum, tapi sudah melampaui sifat kemaksuman. Sebab arti kesucian yang terdapat pada kata tazkiyah lebih tinggi daripada yang terkandung dalam kata tathhir.
Jadi dalam al-Qur’an kata yang terbentuk dari akar kata tathhir amat banyak, dan tidak ada satupun yang menunjuk pada arti ‘ishmah, seperti yang dikehendaki Syiah. Perhatikan contoh-contoh berikut:
فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (التوبة ]9[: 108).
Didalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri, dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At-Taubah [9]: 108)
“Orang-orang” yang ditunjuk oleh ayat tersebut sudah jelas bukan termasuk orang-orang yang maksum, juga bukan termasuk Ahlul Bait. Semua ulama bersepakat mengenai hal ini. Namun meski demikian, al-Qur’an juga memakai kata yatathahharu.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (البقرة ]2[: 222).
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan oleh Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah [2]: 222)
Dalam ayat ini, tidak mungkin seorang yang telah bersuci dari haidh dikatakan orang yang maksum, kendati pada ayat di atas menggunakan kata muthahhirin.
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (المائدة ]5[: 41).
Artinya: Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat, mereka beroleh siksaan yang besar. (QS. Al-Maidah [5]: 41)
Ayat ini, kendati menggunakan kata yuthahhiru (mensucikan), akan tetapi artinya tidak seperti ini: mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menjaga mereka dari segala lupa, salah dan dosa (maksum).
Mengenai ayat-ayat yang menggunakan kata yang diderivasi dari kata dasar tathhir, juga dapat kita jumpai dalam al-Qur’an surat an-Naml ayat 56 dan al-Anfal ayat 11, yang kesemuanya, apabila diartikan keterjagaan diri dari sifat lupa, salah dan dosa (maksum), akan sangat jauh dari kebenaran.
Ketiga, masih seputar kritik linguistik dan arti kebahasaan sebagaimana dua poin sebelumnya, nash (keterangan) dari ‘ayat at-Tathhir’ juga tidak tepat sasaran untuk digiring pada arti ‘ishmah dengan pertimbangan bahwa, pemaknaan terhadap suatu teks selalu membutuhkan sandaran kebahasaan, guna memberikan visi kekuatan dan pengukuhan, bahwa arti yang diletakkan untuk teks tersebut memang benar-benar bersesuaian.
Nah, dalam konteks pemaknaan ayat 33 dari surat al-Ahzab, apa yang dilakukan oleh Syiah tidak memakai sandaran kebahasaan ini. Pemahaman Syiah bahwa yang dimaksud “menghilangkan ar-rijs dari Ahlul Bait” berarti menjadikan Ahlul Bait terbebas dari segala kesalahan (termasuk salah dalam ber-ijtihad), lupa dan dosa (‘Ishmah) tentu tidak sesuai. Sebab dalam bahasa al-Qur’an (bahasa Arab), ar-rijs tidak ada kaitannya dengan al-Khata’ (kekeliruan). Artinya, ungkapan idzhab ar-rijs tidak penah dimaksudkan untuk “menghilangkan kekeliruan dalam ber-ijtihad”, akan tetapi menghilangkan kotoran, bau busuk dan sejenisnya.
Pakar bahasa al-Qur’an, Ar-Raghib al-Ashfahani, dalam masterpiece-nya, Mufradaat Alfaazh al-Qur’aan, menjelaskan, bahwa kata ar-rijs dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang kotor (asy-syai’ al-qadzar). Dalam al-Qur’an dijelaskan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (المائدة ]5[: 90).
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Ma’idah [5]: 90)
Ditinjau dari kacamata Syariat, perbuatan-perbuatan Syetan seperti minum-minuman keras, judi dan menyembah kotoran adalah kotoran (ar-rijs).
Dalam ayat lain disebutkan:
وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ (التوبة ]9[: 125).
Dan adapun orang-orang yang didalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir. (QS. At-Taubah [9]: 125)
Dalam pandangan Islam dan akal, kekafiran adalah puncak dari segala sesuatu yang kotor. Maka, mengistilahkan kafir dengan ar-rijs adalah sangat tepat. Dan berarti, arti kata ar-rijs pada ayat ini juga kekotoran. Arti yang sama juga dapat dijumpai pada kata ar-rijs dalam surat Yunus ayat 100, at-Taubah ayat 28 dan surat al-An’am ayat 145.
Keempat, ‘Ayat at-Tathhir’ tidak pantas jika digunakan sebagai landasan ‘ishmah al-Imam (kemaksuman imam). Hal tersebut karena akidah-akidah pokok dalam agama harus didasari oleh dalil-dalil yang secara jelas menunjukan terhadap madluul (petunjuk yang diperoleh), tanpa butuh pada penafsiran. Maka, tak ada akidah-akidah pokok dalam ajaran agama Islam melainkan telah dikuatkan dengan dalil-dalil yang jelas dan pasti, tanpa butuh pada penafsiran apapun, sebagaimana keesaan Allah SWT. (tauhid) yang ditunjukan oleh dalil dalam al-Qur’an berikut:
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ (البقرة ]2[: 255).
Dalil kerasulan Muhammad SAW. yang ditunjukan oleh dalil al-Qur’an berikut:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ (الفتح ]48[: 29)
Dalil wajibnya shalat ditunjukan oleh dalil al-Qur’an sebagai berikut:
أَقِيمُوا الصَّلَاةَ (الأنعام ]6[: 72).
Jadi, ajaran-ajaran dan akidah-akidah pokok (ushul) dalam Islam tidak boleh diwakili oleh dalil-dalil zhanniyat (sekadar praduga kuat dan tidak menunjukan pada madlul secara tegas dan pasti). Ajaran dan akidah ushul haruslah dikuatkan dengan dalil qath’I, sementara ajaran-ajaran cabang (furu’) tidak demikian, namun ia cukup diwakili (dikuatkan) oleh dalil-dalil zhanni. Mengenai hal ini, al-Qur’an menjelaskan:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ (آل عمران ]3[: 7).
Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat. Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutsyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada keseatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutsyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah.(QS. Ali Imran [3]: 7)
وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا (النجم ]53[: 28).
Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaidah sedikitpun terhadap kebenaran. (QS. An-Najm [53]: 28)
Amat jelas dari petunjuk dua ayat ini, bahwa dalam memantapkan ajaran-ajaran pokok (ushul)nya, Allah SWT. mensyaratkan harus ditopang dengan ayat-ayat muhkamat (yang kokoh) dan jelas sebagai dalilnya, di mana arti yang ditunjukan tidak bisa digiring pada selain makna yang dikandungnya. Dan tidak bisa dipalingkan pada penafsiran lain, sebab dalil-dalil zhanni (dugaan kuat) tidak dapat memberikan landasan yang pasti.
Karena itu, kiranya dari sini sudah dapat disepakati, bahwa pilihan Syiah dalam menjadikan ‘ayat at-tathhir’ sebagai landasan bagi akidah pokok mereka yang berupa ‘ishmah al-imam, adalah meleset, sebab penunjukan ‘ayat at-tathhir’ terhadap ‘ishmah al-imam tidak tegas, remang-remang bahkan semu, dan masih menunjukan penafsiran, pentakwilan sekaligus penalaran panjang yang kesemuanya telah terbantahkan.
Sementara itu, pendapat Syiah bahwa suatu komunitas harus berada di bawah naungan pemimpin yang maksum adalah terlalu dipaksakan. Kenyataan bahwa Rasulullah SAW. merupakan utusan terakhir juga telah menutup kemungkinan ada orang yang maksum sesudah beliau. Namun, kendati demikian, selepas periode nubuwwah, bukan berarti umat Islam akan selalu diselimuti kekacaun. Sebab mereka telah dibekali dengan dua pusaka, yang jika mereka berpegang-teguh pada keduanya, niscaya mereka tidak akan tersesat selamanya. Dalam hal ini, Rasulullah SAW. bersabada:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
Bahwa Rasullah SAW. bersabda: “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, di mana kalian tidak akan tersesat selagi kalian berpegang teguh pada keduanya, yakni Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya.”[1]
Selain dua pedoman yang kokoh itu (al-Qur-an dan Hadits), Rasulullah SAW. juga telah memberikan jaminan, bahwa umat ini tidak mungkin bersepakat terhadap suatu kesesatan. Rasulullah SAW bersabda:
لاَ يَجْمَعُ اللهُ هَذِهِ الأُمَّةَ عَلَى الضَّلَا لَةِ أَبَدًا.
“Allah SWT. tidak akan mengumpulkan umat ini atas kesesatan selamanya.”[2]
Dari dua hadits di atas, tentu dapat dipahami, bahwa umat Muhammad SAW. telah mendapat jaminan dari Allah SWT., sehingga mereka tidak mungkin akan sepakat atas kesesatan dan kekeliuran. Dengan demikian, Ishmah al-Ummah (keterjagaan umat dari perbuatan-perbuatan zalim) tidak harus atas ‘Ishmah perorangan, yakni melalui pengawasan seorang Imam yang maksum. Selain menyalahi terhadap dua hadits di atas, doktrin ‘ishmah al-imam juga kerap menjebak seseorang untuk berpaling dari ajaran al-Qur’an dan hadits, dan lebih memilih untuk mengikuti orang yang dianggap maksum.
Lalu mengapa umat Muhammad SAW. mendapat jaminan dari Allah SWT.? Jawabannya adalah: sebab setelah Nabi Muhammad SAW. tidak ada nabi lagi. Apabila ada seseorang atau kelompok orang yang bermaksud merubah tatanan agama, atau hendak menggiring masyarakat pada jalan kesesatan, maka dapat dipastikan aka ada satu orang atau sekelompok orang dari umat ini yang menjelasakan jalan yang benar. Hal ini telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. dalam sebuah haditsnya:
عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ (رواه البخاري)
Dari Mughirah bin Syu’bah, dari Nabi Muhammad SAW., beliau bersabda: “segolongan dari umatku akan selalu menampakkan (kebenaran) sehingga datang hari kiamat, sedang mereka akan terus Berjaya.”(HR. Al-Bukhari)[3]
Jaminan tersebut merupakan keistimewaan bagi umat Muhammad SAW. ini. Karenanya, jaminan semacam ini tidak ditemukan pada umat-umat terdahulu. Bani Isra’il serempak berbuat kezaliman, dengan mendistorsi kitab-kitab Allah SWT. misalnya, sebagaimana dijelaskan berulang-ulang dalam al-Qur’an pada beberapa ayatnya. Solusinya, ketika umat-umat terdahulu menyimpang dari jalan yang lurus, menjauh dari rel-rel agama, maka Allah SWT. mengutus seorang Nabi di tengah-tengah mereka, untuk merubah kekacauan tersebut.
Selain bertentangan, dengan nash-nash di atas, sebenarnya doktrin ‘ishmah al-imam juga tidak bisa dibuktikan, bahka oleh Syi’ah sendiri. Sebab, setelah periode para Imam telah usai (tahun 256 H), maka siapakah yang bisa mengendalikan umat dari kezaliman dan menunjukan mereka pada jalan kebenaran, sejak tahun 256 H. hingga kini? Bukankah para ‘mujtahid’ (para pengganti posisi Imam) bukan orang yang maksum sebagaimana para Imam? Jika Syiah beranggapan bahwa para ‘mujtahid’ (yang tidak maksum) itu bisa menggantikan Imam untuk sementara waktu, berarti selain ‘mujtahid’ Syiah juga bisa melakukannya, dan dengan demikian, runtuhlah doktrin ‘ishmat al-imam pada sekte Syiah.
Argumen keruntuhan doktrin ‘ishmah al-imam tersebut juga bisa ditemukan dalam kitab hadits induk Syiah, yakni al-Kafi. Dalam kitab tersebut misalnya dijelaskan sebagai berikut:
أنَّ عَلِيًا قَالَ: لَا تَكُفُّوْا عَنْ مَقَالَةٍ بِحَقٍّ أَوْ مُشَوَرَةٍ بِعَدْلٍ, فَإِنِّي لَسْتُ آمِنًا أنْ أخْطِئَ.
Sayyidina Ali As. berkata: “Janganlah kalian mencegah perkataan yang benar atau musyawarah yang sportif, karena aku tidak bisa lepas dari kekeliuran.”[4]
Selain dengan argumen-argumen yang kami kemukakan di atas, keruntuhan doktrin ‘Ishmah al-Imam juga bisa kita temukan dalam berbagai kasus, semisal kasus perbedaan haluan antara Sayyidina Hasan radiyallahu ‘anhu dan Sayyidina Husain radiyallahu ‘anhu. Di mana Sayyidina Hasan dalam perseteruannya dengan Sayyidina Mu’awiyah radiyallahu ‘anhu memilih mundur dan menyerahkan kepemimpinan kepada Sayyidina Mu’awiyah radiyallahu ‘anhu, padahal pengikut beliau sangat banyak dan posisinya waktu itu sangat kuat. Sementara Sayyidina Husain lebih memilih maju dan tetap melawan Yazid bin Mu’awiyah, padahal beliau dalam keadaan lemah disebabkan pengikutnya sedikit, sehingga beliau dan semua pengikutnya gugur. Maka, siapakah yang benar di antara keduanya? Jika dikatakan benar semua, tentu tidak mungkin, sebab dua ijtihad ini sangat bertolak-belakang, dan karena itu salah satunya pasti ada yang keliru, yang menunjukan bahwa perbuatan beliau tidak bisa luput dari kekeliruan, kendati tetap mendapat pahala, sebab keliru dalam ber-ijtihad mendapatkan satu pahala.[5]
Paparan di atas cukup sebagai bukti, bahwa argumentasi tekstual (naqliyah) yang dimunculkan Syiah terkait dengan doktrin imamah dan kemaksuman imam (‘ishmah al-imam), sebagai doktrin mereka yang paling mendasar, sudah jelas kehilangan taringnya.
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] Lihat, al-Muwattha’, hadits No. 1395
[2] Lihat, al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihaini, juz 1 hlm. 378, ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, juz 11 hlm. 78.
[3]Shahih Al-Bukhari, hadits No. 6767, Shahih Muslim, hadits No. 3544
[4]Al-Kafi, juz 1 hlm. 136
[5] Lihat, al-Qummi, al-Maqalat wa al-Firaq hlm. 25, an-Nubakhti, Firaq asy-Syi’ah hlm. 25-26, al-Qifari, Ushul Madhab ar-Rafidhi juz 2 hlm. 967-968