Preloader logo

MEMBANGUN MANUSIA BERADAB

43Kata adab, pertama kali saya dengar waktu belajar di madrasah Persis Maleer V—sekitar 300 meter dari TSM (Trans Studio Mall) milik si Anak Singkong, Chaerul Tanjung—tingkat Diniyyah. Materi pelajaran adab yang masih diingat hingga saat ini, antara lain:

عِلْمِى مَعِى اَيْنَمَا رُحْتُ يَتْبَعُنِى

“Ilmu selalu bersamaku, kemanapun aku pergi dia selalu mengikutiku.”

اِنَّ الفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَا أَنَاذَا

“Sesungguhnya pemuda itu yang berkata: ‘Ini saya’.”

وَلَيْسَ الفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ اَبِى

“Dan bukanlah pemuda yang berkata: ‘Bapak Saya’.”

Adab pada saat itu—dalam keterbatasan daya nalar—dipahami sebagai sinonim akhlak. Namun ternyata pemahaman itu tidaklah salah jika merujuk KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) saat ini, karena dalam KBBI, kata adab digunakan dalam makna “kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; akhlak.”

Meski demikian, jika kita flashback sejenak lewat penelusuran jejak pembentukan kata itu kita dapatkan bahwa semula kata adab bermakna undangan perjamuan. Selanjutnya, kata ini mengalami perkembangan makna bahasa menjadi kesopanan, keramahan, kehalusan budi pekerti, menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan lain-lain.

Atas dasar makna perkembangan ini, para ahli fiqih dan ahli hadis menggunakan kata adab dalam pengertian menggunakan perkataan, perbuatan, dan hal ihwal yang bagus. Ada pula di antara mereka yang mengatakan bahwa adab adalah meninggalkan sesuatu yang membawa ke­jelekan (aib). Di samping itu ada pula yang mengatakan bahwa pengertian adab adalah menghiasi diri dengan hiasan orang-orang yang memiliki keutamaan. Menurut pendapat lain, arti adab adalah tidak bermaksiat kepada Allah dan tidak merusak harga diri. Ada pula yang mengatakan bahwa adab berarti takwa kepada Allah. Dalam pengertian ini, orang yang bertakwa kepada Allah adalah orang yang beradab.

Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu. Al-Attas memberi arti adab dengan mendisiplinkan jiwa dan fikiran. Maka ini merupakan uraian dari kata adab yang bermakna jamuan. Ia menyebut satu hadis, “Sesungguhnya Kitab Suci al-Qur’an ini adalah jamuan (ma’dabah) Allah di bumi, maka lalu belajarlah dengan sepenuhnya dari jamuan-Nya.”

Dalam keterangannya, al-Attas mengatakan bahwa adab itu mulia dan terhormat. Sebagaimana orang menjamu tamu. Berarti tamu itu adalah orang terhormat dan yang menjamu adalah mulia. Maksud dari keterangan itu adalah bahwasannya adab merupakan pelaksanaan perbuatan benar dan tepat, lawan dari perbuatan keliru. Adab menjadi benteng yang melindungi dari keaiban.

Maka orang beradab menurut al-Attas adalah orang yang baik, yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Haq, memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain dalam masyarakat, berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.

Bisa dikatakan bahwa makna beradab secara sederhana adalah, tidak berbuat dzalim. Maksudnya, orang beradab adalah orang yang menggunakan epistemologi ilmu dengan benar, menerapkan keilmuan kepada objeknya secara adil, dan mampu mengidentifikasi dan memilah pengetahuan-pengetahuan (ma’rifah) yang salah. Setelah itu, metode untuk mencapai pengetahuan itu harus juga benar sesuai kaidah Islam. Sehingga, seorang yang beradab (insan adabi) mengerti tanggung jawabnya sebagai jiwa yang pernah mengikat janji dengan Allah Swt sebagai jiwa bertauhid.

Dengan demikian, dalam pendidikan Islam, keimanan harus ditanamkan dengan ilmu; ilmu harus berdimensi iman; dan amal mesti berdasarkan ilmu. Inilah sejatinya konsep integritas pendidikan dalam Islam yang berbasis Ta’dib. Menurut Ustadz Henri Shalahuddin, MA, Ta’dib berarti proses pembentukan adab pada diri peserta didik. Maka dengan konsep pendidikan seperti ini, akan menghasilkan pelajar yang beradab, baik pada dirinya sendiri, lingkungannya, gurunya maupun pada Penciptanya. Sehingga terjadi korelasi antara aktivitas pendidikan, orientasi dan tujuannya.

Lebih lanjut Ustadz Henri menjelaskan, ketika seseorang mempelajari ilmu-ilmu kedokteran, kelautan, tehnik, komputer dan ilmu-ilmu fardhu kifayah lainnya, maka mereka tidak memfokuskan niatnya pada nilai-nilai ekonomi, sosial, budaya, politik, atau tujuan pragmatis sesaat lainnya. Tapi kesemuanya ini dipelajarinya dalam rangka meningkatkan keimanan dan bermuara pada pengabdian pada Sang Pencipta. Disorientasi pendidikan diawali dengan hilangnya integritas nilai-nilai Ta’dib dalam pendidikan (sekularisasi). Sekularisasi dalam dunia pendidikan berjalan dengan dua hal: Pertama, menempatkan ilmu-ilmu fardhu ‘ain (kewajiban individu) yang dianggap tidak menghasilkan nilai ekonomi dalam skala prioritas terakhir, atau dihapus sama sekali. Sehingga mahasiswa kedokteran misalnya, tidak perlu dikenalkan pelajaran-pelajaran agama. Kedua, mengutamakan pencapaian-pencapaian formalitas akademik. Sehingga keberhasilan seorang pelajar hanya ditentukan dari hasil nilai ujian yang menjadi ukuran pencapaian ilmu dan keberhasilan sebuah lembaga pendidikan.

Maraknya aksi corat-coret baju seragam, iring-iringan konvoi dan beragam ekspresi negatif lainnya ketika merayakan kelulusan ujian, menjadi bukti bahwa kualitas pendidikan kita masih difokuskan untuk pemenuhan komuditas perut yang sarat dengan nilai-nilai hedonis. Padahal Ali bin Abi Talib Ra., telah mengingatkan: “Barang siapa yang kecenderungannya hanya pada apa yang masuk kedalam perutnya, maka nilainya tidak lebih baik dari apa yang keluar dari perutnya.”

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

 

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}