Biografi Imam Al-Bukhari
Sumber dari segala sumber hukum yang utama atau yang pokok di dalam agama Islam adalah Alquran dan sunah. Selain sebagai sumber hukum, Alquran dan sunah juga merupakan sumber ilmu pengetahuan yang universal. Isyarat sampai kepada ilmu yang mutakhir telah tercantum di dalamnya.
Begitu penting keberadaan sunah di samping Alquran, maka kemurniannya harus benar-benar terpelihara, agar fungsinya sebagai bayan (penjelas) Alquran dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Untuk itu, Allah swt. telah memilih orang-orang yang siap berikhtiar, mencurahkan segenap kemampuan dengan tanpa mengenal lelah, mengajarkan ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah saw., sehingga dengan washilah (perantaraan) mereka, kaum muslimin dapat merasakan nikmatnya hidup menjadi makmum Rasulullah saw.
Salah seorang yang telah dipilih oleh Allah untuk berkhidmah terhadap sunah adalah seorang keturunan Persia , yang kemudian populer dengan sebutan Imam al-Bukhari.
1. Keturunan dan Kepribadian
Namanya adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari. Bardizbah berasal dari Persia. Ia beragama Majusi (Zoroaster). Kemudian putranya, al-Mughirah datang ke Bukhara dan memeluk Islam di bawah bimbingan al-Yaman al-Ju’fi, Gubernur Bukhara. Karena itulah al-Mughirah dinisbahkan kepada al-Ju’fi. Ibn Hajar al-Asqalani (W. 852 H/1448 M) berkata, “Penisbahan al-Mughirah kepadanya adalah nisbahwala , sebagai pengamalan pendapat yang menyatakan bahwa siapa yang masuk Islam melalui bimbingan seseorang, maka dialah yang menjadi walinya.”
Mengenai kakek al-Bukhari, yakni Ibrahim bin al-Mughirah tidak terdapat data yang menjelaskan. Sedangkan ayahnya, Ismail, seorang ulama besar ahli hadis. Ia belajar hadis dari Hammad bin Zaid dan Imam Malik. Riwayat hidupnya telah dipaparkan oleh Ibn Hibban (W. 354 H/965 M) dalam Kitab al-Tsiqat, begitu juga Imam al-Bukhari membuat biografinya dalam Al-Tarikh al-Kabir.
Ayah al-Bukhari di samping sebagai ahli ilmu, juga sangat wara’ dan takwa. Diceritakan bahwa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: “Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat sedikit pun uang yang haram maupun yang syubhat.”
Dengan demikian, jelaslah bahwa al-Bukhari terlahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara’. Tidak heran jika ia mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu.
Imam al-Bukhari dilahirkan di Bukhara pada 13 Syawal 194 H [19 Juli 810 M], setelah salat Jumat. Tak lama setelah bayi yang baru lahir itu membuka matanya, ia pun kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat bersedih hati. Ibunya yang saleh menangis dan selalu berdoa kepada Allah agar bayinya bisa melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang berkata: “Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia sudah dapat melihat kembali. Semua itu berkat doamu yang tiada henti-hentinya.” Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal.
Tak lama setelah itu, ayahnya meninggal pada waktu dia masih kecil. Dia dirawat dan dididik oleh ibunya dengan tekun dan penuh perhatian.Ayahnya meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup dalam pertumbuhan dan perkembangan yang baik.
Imam al-Bukhari berbadan kurus, berperawakan sedang, tidak terlalu tinggi juga tidak pendek; kulitnya agak kecoklatan dan sedikit sekali makan. Ia sangat pemalu, namun ramah, dermawan, menjauhi kesenangan dunia, dan cinta akhirat. Banyak hartanya yang disedekahkan, baik secara sembunyi maupun terang-terangan, terlebih untuk kepentingan ilmu dan pendidikan. Diceritakan oleh Bakr bin Munir bahwa ia pernah berkata, “Setiap bulan, saya berpenghasilan 500 dirham, semuanya dibelanjakan untuk kepentingan thalab al’ilm. Dan apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Imam al-Bukhari sangat hati-hati dan sopan ketika berbicara dan pada saat mengkritik para perawi. Namun terhadap perawi yang sudah jelas-jelas diketahui kebohongannya, ia bersikap tegas.
Di sela-sela kesibukannya sebagai ahli ilmu, ia juga tidak melupakan kegiatan lain yang dianggap penting untuk menegakkan dien al-Islam. Imam al-Bukhari sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan bahwa sepanjang hidupnya, ia tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Kegiatan ini dilakukan sebagai pengamalan sunah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya, guna memerangi musuh-musuh Islam dan mempertahankannya dari kejahatan mereka
2. Masa Pembelajaran dan Rihlah Ilmiah
Keunggulan dan kejeniusan al-Bukhari sudah tampak semenjak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang lapang, pikiran yang tajam, dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadis. Muhamad bin Abu Hatim berkata, “Saya bertanya kepada al-Bukhari, ‘Bagaimana pertama kali Anda mencari hadis?’ Ia menjawab, ‘Aku mendapat ilham untuk menghafal hadis ketika berada di perpustakaan’. Saya bertanya lagi, ‘Berapa usia Anda waktu itu?’ Ia menjawab, ‘Sepuluh tahun atau kurang, lalu aku keluar dari perpustakaan itu untuk belajar secara rutin kepada Imam al-Dakhili dan lainnya, hingga pada suatu hari ia [al-Dakhili] membacakan hadis kepada orang-orang yang isinya antara lain: ‘Sufyan meriwayatkan dari Abu al-Zubair, dari Ibrahim.’ Ketika itu aku berkata, ‘Wahai Bapak si Polan, sesungguhnya Abu al-Zubair tidak pernah meriwayatkan dari Ibrahim’. Maka ia menghardikku. Aku katakan kepadanya, ‘Coba Anda lihat lagi sumber asli yang Anda miliki’ Lalu ia masuk ke rumahnya dan melihat kembali catatannya, kemudian keluar, dan berkata kepadaku, ‘Bagaimana menurutmu, Nak?’ Aku menjawab, ‘Yang benar adalah al-Zubair bin ‘Adi, dari Ibrahim’ Lalu ia mengambil alat tulis, dan mengoreksi catatannya, lalu ia berkata, ‘Kamu benar!’ Maka sebagian sahabat al-Bukhari bertanya kepadanya, ‘Berapa usia Anda ketika itu?’ Al-Bukhari menjawab, ‘Usiaku 11 tahun’.”
Hasyid bin Ismail menuturkan, pernah al-Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah para ulama Bashrah. Tidak seperti murid lainnya, al-Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu dengan percuma karena tidak mencatat. Al-Bukhari diam tidak menjawab. Pada suatu hari, al-Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua karena al- Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadis secara lengkap dan terinci disertai keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa al-Bukhari belajar hadis untuk pertama kali pada 205 H/821 M, ketika berusia 11 tahun. Pada tahun 210 H/826 M, ketika berusia 16 tahun, ia banyak menemui para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh ilmu dan belajar hadis, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Dalam usia semuda itu, ia sudah hafal kitab-kitab karya Ibn al-Mubarak (W. 181 H/797 M) dan Waki’ (W. 197 H/813 M), juga mengetahui pendapat-pendapat ahl al-ra’y (penganut rasionalisme).
Imam al-Bukhari merasa tidak “puas” hanya dengan menerima hadis dari para ulama di negerinya sendiri. Karena itu, beliau melakukan ekspedisi ke pelbagai negeri untuk mengumpulkan hadis.
Ekspedisi dimulai pada penghujung 210 H/825 M, ketika berusia 16 tahun, yaitu berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, disertai ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini kemudian pulang kembali ke Bukhara, sedang dia sendiri memilih tinggal di Mekah untuk belajar hadis dari para ulama setempat, seperti Abu al-Walid Ahmad bin Muhamad al-Azraqi dan Ismail bin Salim al-Shaigh.
Kemudian berangkat ke Madinah untuk belajar hadis dari ulama setempat. Di sana, ia menulis kitab Qadhaya al-Shahabah wa al-Tabi’in, wa Aqalihim, serta kitab Al-Tarikh al-Kabir di dekat makam Nabi saw. pada malam-malam terang bulan. Ia pernah berkata bahwa sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam kitab Al-Tarikh al-Kabir-nya yang tidak diketahui kisahnya. Penulisan ini dilakukannya pada tahun 212 H/828 M, ketika berusia 18 tahun.
Setelah tinggal selama satu tahun di Madinah, beliau melakukan ekspedisi ke pelbagai kota, bahkan hampir seluruh kota Islam pernah disinggahinya, seperti Syam, Baghdad, Wasith, Bashrah, Kufah, Mesir, Hira, Naisabur, Qaisariyah, Asqalan, Himsh, Khurasan, Rey, Damaskus. Imam al-Bukhari berkata, “Saya tinggal di Bashrah selama lima tahun beserta kitab-kitab yang aku susun, berhaji dan kembali dari Mekah ke Bashrah. Aku berharap mudah-mudahan Allah memberkahi kaum muslimin dengan apa yang pada karya-karya ini”. Dan ia berkata, “Saya pergi ke Syam, Mesir, Jazirah sebanyak dua kali, Bashrah sebanyak empat kali, dan saya bermukim di Hijaz selama enam tahun, dan tidak dapat dihitung lagi berapa kali saya pergi ke Kufah dan Baghdad bersama ulama hadis Khurasan.”
Pada waktu itu, Baghdad adalah ibu kota negara yang merupakan gudang ilmu dan ulama. Di negeri itu, ia sering menemui Imam Ahmad bin Hanbal dan tidak jarang ia mengajak al-Bukhari menetap di negeri itu dan menegurnya karena menetap di negeri Khurasan.
Dalam setiap perjalanannya, Imam al-Bukhari selalu mengumpulkan hadis-hadis dan ilmu serta menuliskannya. Di tengah malam beliau bangun menyalakan lampu dan menulis setiap yang terlintas dalam benaknya, kemudian lampu itu dipadamkan. Hal ini kurang lebih dilakukan dua puluh kali setiap malam. Begitulah aktivitas Imam al-Bukhari, seluruh hidupnya dicurahkan untuk ilmu.
By Amin Muchtar, sigabah.com