Preloader logo

MAHKOTA SUNNAH (01): SHAHIH AL-BUKHARI (Bagian Ke-10)

Pada edisi sebelumnya telah diterangkan kriteria penyeleksian hadis yang dipegang Imam al-Bukhari,  khususnya pada aspek ke-mutasil-an (bersambungnya) sanad (mata rantai periwayatan) dan kualitas rawi, yang kami sebut standar maksimal. Pada edisi itu telah dibahas pula bagaimana metode kritik hadis versi Imam al-Bukhari.

 

Pada edisi ini, pembaca akan diajak untuk menelusuri bagaimana proses dan metode al-Bukhari dalam menyusun kitab Shahih al-Bukhari. Selamat membaca, semoga mahkota Shahih al-Bukhari semakin memikat anda !

 

Prosedur dan Metode Penulisan

 

Kitab-kitab hadis yang telah disusun pada tiap periode terbagi menjadi beberapa subdivisi berdasarkan metode dan sistematika yang diaplikasikan oleh penulisnya, dan hal ini melahirkan corak atau karakteristik kitab yang berbeda.

 

Dilihat dari aspek metode dan sistematika penulisan, kitab-kitab hadis yang disusun pada periode sebelum al-Bukhari telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan, sehingga  melahirkan corak atau karakteristik kitab yang berbeda, yaitu dengan sistem tashnif dan tasnid.

 

A. Tashnif

Yaitu sistem penulisan kitab dengan pola penempatan hadis-hadis yang saling berhubungan di bawah maudhu’ (topik) tertentu seperti kitab ash-shalah. Kemudian  hadis-hadis tersebut dibagi ke dalam beberapa bab yang diberi judul, seperti shalah al-tathawwu’. Judul bab seperti ini oleh para ahli hadis disebut tarjamah. Sistem ini melahirkan dua jenis kitab, yaitu jami’ dan mushannaf, dengan karakteristik sebagai berikut:

(a)    Jami’ berisikan hadis-hadis Rasul semata yang mencakup semua ajaran Islam, yaitu al-aqaid,  al-ahkam, al-sirah,  al-adab, al-tafsir, al-fitan, asyrat al-sa’ah, dan al-manaqib.

(b)    Mushannaf berisikan hadis Rasul, perkataan sahabat, dan fatwa tabi’in, serta tidak mencakup semua ajaran Islam.

Dengan demikian, perbedaan mushannaf dan jami’ bukan terletak pada sistem yang dipergunakan, melainkan dari segi orientasi penulisan, yaitu perhatian dan kecenderungan penulis dalam analisis hadis.

Metode dan sistematika ini merupakan penyempurna sistem tabwib yang dipergunakan pada periode sebelumnya. Kitab hadis periode ini yang populer dengan sistem tashnif antara lain:
(a)  al-Jami’ karya Ma’mar bin Rasyid (w. 154  H/770 M),
(b)  al-Muwatha karya Malik bin Anas  (w. 179 H/795 M),
(c)   al-Mushannaf karya al-Auza’i (w. 157 H/773 M),
(d)  al-Mushannaf karya Abdurrazaq (w.  211 H/826 M), [5] al-Mushannaf karya Ibn Abu Syaibah (w. 235 H/849 M),

B. Tasnid

 

yaitu sistem penulisan kitab dengan pola penempatan hadis-hadis berdasarkan sahabat, baik dilihat dari segi nama, fadhilah (keutamaan), maupun nasab (keturunan). Kitab hadis periode ini yang populer dengan sistem tasnid antara lain:
(a)    al-Musnad karya Abd al-Malik bin Abdurrahman al-Dzimari (w. 200 H/815 M),
(b)    al-Musnad  karya al-Syafi’i (w. 204 H/819 M),
(c)     al-Musnad karya Sulaiman bin Daud (w. 204 H/819 M), atau yang lebih populer disebut Abu Daud al-Thayalisi,
(d)    al-Musnad karya Asad bin Musa al-Amawi (w. 212 H/827 M),
(e)    al-Musnad karya Muhamad bin Yusuf al-Firyabi (w. 212 H/827 M], [6] al-Musnad karya Abdullah bin al-Zuber al-Humaidi (w. 219 H/834 M),
(f)      Al-Musnad karya Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H/w. 852 M)

 

Meskipun demikian dilihat dari aspek materi hadis, secara umum kitab-kitab hadis yang muncul pada periode ini tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya, yaitu hadis-hadis Rasul tersebut masih bercampur dengan perkataan sahabat dan tabiin. Di samping itu belum dipisahkan antara hadis-hadis shahih, hasan, dha’if (lemah), bahkan maudhu’ (palsu).

 

Sementara pada abad ke-3 H, kitab-kitab hadis itu umumnya  sudah dipisahkan antara hadis Rasul dengan perkataan sahabat serta fatwa tabi’in. Selain itu, orientasi penulisan kitab hadis pada masa ini lebih menitikberatkan kepada persoalan mendesak, yakni penyeleksian terhadap hadis-hadis dengan meneliti kualitas sanad (jalur periwayatan) dan matan (kandungan hadis), sehingga pada masa ini hadis-hadis yang terhimpun pada kitab-kitab tersebut sudah dapat dipisahkan antara yang sahih dan daif.

 

Orientasi ini telah menuntut mereka untuk menyusun teori-teori periwayatan hadis dan kaidah-kaidah untuk menetapkan kebenaran suatu riwayat. Rumusan kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi sebuah disiplin ilmu yang dikenal dengan ‘ulum al-hadits.

 

Perkembangan orientasi tersebut merupakan implikasi dari latar belakang pengalaman para penulisnya, baik intelektual maupun kultural.  Karena itu, sistem tashnif, dengan corak al-jami’ dan al-mushannaf, yang dipergunakan pada masa ini mengalami perkembangan apabila dilihat dari dua aspek; Pertama, dari aspek kualitas hadis, sistem ini melahirkan kitab jenis ash-shahih; kedua, dari segi fiqh al-hadits (pemahaman hadis), sistem ini melahirkan kitab jenis as-sunan, yakni kitab yang menghimpun hadis-hadis Rasul yang khusus berkaitan dengan hukum-hukum. As-sunan disusun berdasarkan abwab al-fiqh (bab-bab fikih).

 

Adapun perbedaan antara kitab hadis jenis al-mushannaf dengan as-sunan, yaitu al-mushannaf mencakup hadis-hadis marfu’ (perkataan dan perbuatan Rasul), mauquf (perkataan dan perbuatan sahabat), dan maqthu’ (perkataan tabi’in). Sedangkan as-sunan hanya mencakup hadis-hadis marfu’, karena dalam istilah ahli hadis, hadis mauquf dan maqthu’ tidak dinamakan sunah.

Apakah Imam al-Bukhari juga merujuk metode-metode tersebut atau tidak, atau merujuk secara ketat terhadap salah satu aliran tertentu, atau merujuk secara selektif dan melakukan rekonstruksi baru terhadap berbagai metode penulisan tersebut. Itulah yang akan menjadi fokus bahasan dalam edisi ini.

 

Prosedur penulisan Shahih al-Bukhari

 

Prosedur penulisan Shahih al-Bukhari, dapat dilihat pada keterangan-keterangan sebagai berikut:

Umar bin Muhamad pernah melaporkan:

سَمِعْتُ مُحَمَّدَبْنَ إِسْمَاعِيْلَ الْبُخَارِيَّ يَقُوْلُ صَنَّفْتُ كِتَابِي الْجَامِعَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَا أَدْخَلْتُ فِيْهِ حَدِيْثَا حَتَّى اسْتَخَرْتُ اللهَ تَعَالَى وَصَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ

Aku mendengar Muhamad bin Ismail al-Bukhari berkata, ‘Aku susun kitab al-jami’-ku di Masjidil Haram, dan aku senantiasa hanya memasukkan suatu hadis padanya setelah aku salat istikharah dua rakaat.”[1]

 

Sedangkan Abd al-Qudus bin Hamam menyampaikan laporan sebagai berikut:

سَمِعْتُ عِدَّةً مِنَ الْمَشَايِيْخِ يَقُوْلُوْنَ حَوَّلَ الْبُخَارِيُّ تَرَاجَمَ جَامِعِهِ بَيْنَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنْبَرِهِ وَكَانَ يُصَلِّي لِكُلِّ تَرْجَمَةٍ رَكْعَتَيْنِ

“Aku pernah mendengar beberapa guru mengatakan, ‘Al-Bukhari memindahkan/menetapkan judul-judul bab kitab jami’nya (di satu tempat) antara makam Nabi dan mimbarnya. Dan untuk menempatkan setiap judul, ia salat dua rakaat.” [2]

 

Namun al-Firabri memberikan laporan sebagai berikut:

سَمِعْتُ مُحَمَّدَبْنَ إِسْمَاعِيْلَ الْبُخَارِيَّ يَقُوْلُ: مَاوَضَعْتُ فِي كِتَابِ الصَّحِيْحِ حَدِيْثًا إِلاَّ اغْتَسَلْتُ قَبْلَ ذلِكَ وَصَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ

“Aku mendengar Muhamad bin Ismail al-Bukhari berkata, ‘Aku senantiasa hanya memasukkan suatu hadis pada Kitab al-jami al-Shahih setelah aku mandi dan salat istikharah dua rakaat terlebih dahulu.” [3]

 

Dalam menyikapi berbagai laporan di atas, Imam al-Nawawi berkata, “Yang lain, di antaranya Abu al-Fadhl Muhamad bin Thahir al-Maqdisi berkata, ‘Ia menyusunnya di Bukhara’. Ada yang mengatakan, ‘Di Mekah’. Ada yang mengatakan, ‘Di Bashrah’. Semuanya benar, artinya ia pernah menyusun kitab itu di setiap kota dari negeri-negeri itu, karena penulisannya selama 16 tahun.”[4]

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa awal penulisan Shahih al-Bukhari dilakukan di Masjid al-Haram berupa rancangan atau kerangka dasar dan judul-judul bab. Kemudian kerangka itu disalin di al-Raudhah (tempat antara makam dan  mimbar Nabi saw.). Setiap selesai menyalin bab, ia salat istikharah dua rakat. Setelah itu, beliau mulai mengumpulkan hadis dan menempatkannya pada bab-bab yang sesuai, ketika di kota Bashrah, Mekah, Madinah, dan disempurnakan di Bukhara. Sebelum menempatkan setiap hadis yang diseleksinya, beliau mandi dan salat istikharah dua rakaat.[5]

 

Metode dan Sistematika Penulisan

 

Dilihat dari metode dan sistematika penulisan Shahih al-Bukhari dapat dikategorikan bercorak tashnif jenis al-Jami’. Hanya saja al-Bukhari berhasil melakukan strukturalisasi baru terhadap metode itu. Strukturalisasi dimaksud dapat dilihat dari aspek-aspek berikut ini;

A. Penulisan Kitab

 

Strukturalisasi al-Bukhari dalam penulisan kitab (topik pembahasan) adalah dengan memperluas topik pembahasan  dari abwab al-fiqh (bab-bab fikih) kepada topik yang lebih komprehensif, yaitu mencakup seluruh dimensi ajaran Islam. Secara praktik penulisan itu dilakukan dengan langkah-langkah;

  • membagi pokok bahasan di dalam Shahih-nya kepada beberapa kitab (kumpulan bab)
  • setiap kitab tersebut dibagi lagi menjadi beberapa bab.

 

Adapun sistematika kitab itu sebagai berikut [6]

1) بدء الوحي, 2) الإيمان , 3) العلم, 4) الوضوء, 5) الغسل, 6) الحيض, 7) التيمم,  8) الصلاة, 9) مواقت الصلاة, 10) الأذان, 11) الجمعة, 12) صلاة الخوف, 13) في العدين, 14) الوتر, 15) الإستسقاء, 16) الكشوف, 17) سجود القرآن, 18) تقصير الصلاة, 19) التهجد, 20) الصلاة في مسجد مكة والمدينة, 21) العمل في الصلاة , 22) السهو, 23) الجنائز, 24) الزكاة, 25) الحج, 26) العمرة, 27) المحصر, 28) جزاء الصيد, 29) فضائل المدينة, 30) الصوم, 31) صلاة التراويح,  32) فضل ليلة القدر, 33) الإعتكاف, 34) البيوع, 35) السلم, 36) الشفعة, 37) الإجارة, 38) الحوالات, 39) الكفالة, 40) الوكالة, 41) الحرث والمزارعة,  42) الشرب (المساقاة), 43) الإستقراض وأداء الديون, 44) الخصومات, 45) اللقطة, 46) المظالم والغصب, 47) الشركة, 48) الرهن, 49) العتق, 50) المكاتب , 51) الهيبة, 52) الشهادات, 53) الصلح, 54) الشروط, 55) الوصايا, 56) الجهاد والسير, 57) فرض الخمس, 58) الجزية, 59) بدع الخلق, 60) الأنبياء, 61) المناقب, 62) فضائل أصحاب النبي ص, 63) مناقب الأنصار, 64) المغازي, 65) تفسير القرآن,  66) فضائل القرآن, 67) النكاح, 68) الطلاق, 69) النفقات, 70) الأطعمة, 71) العقيقة, 72) الذبائح والصيد والتسمية على الصيد, 73) الأضاحى, 74) الأشربة, 75) المرضى, 76) الطب, 77) اللباس, 78) الأدب, 79) الإستئذان, 80) الدعوات, 81) الرقاق, 82) القدر, 83) الأيمان والنذور, 84) الكفرات, 85) الفرائض , 86) الحدود, 87) الديات, 88) استتابة المرتدين, 89) الإكراه, 90) الحيل, 91) تعبير الرؤيا, 92) الفتن, 93) الأحكام, 94) التمني, 95) أخبار الآحاد, 96) الإعتصام بالكتاب والسنة, 97) التوحيد.

 

Dari susunan di atas, kita dapat mengetahui sistematika pembagian kitab yang dilakukan oleh Imam al-Bukhari. Mengenai hal ini dapat kami kemukakan beberapa catatan:

 

Pertama, Imam al-Bukhari memulai Shahih-nya dengan pembahasan wahyu dan ditutup dengan masalah tauhid. Bagian awal dan akhir memiliki hubungan yang erat.

Kedua, Imam al-Bukhari menempatkan pada kitab ke-4 (al-wudhu) sampai ke-33 (al-i’tikaf) hadis-hadis mengenai ibadah. Pada beberapa naskah, masalah haji lebih didahulukan daripada masalah saum.

Ketiga, Kitab al-buyu’ (No. 34) sampai al-washaya (No. 55) berisi hadis mengenai mu’amalat.

Keempat, ada pemisahan antara kitab aljihad (No. 56 s/d 58) dan kitab maghazi [peperangan] (No. 64)

Kelima, ada pemisahan antara kitab ath’imah [makanan] (No. 70) dengan kitab asy’ribah [minuman] (No. 74).

Keenam, pembagian kitab-kitab-nya sangat rinci hingga berjumlah 97 kitab. Jumlah seperti ini tidak terdapat pada kitab hadis lainnya.

 

Suatu hal yang perlu mendapat perhatian mengenai cetakan, yaitu setiap kitab berakhir bersamaan dengan berakhinya jilid atau juz,  selain kitab magazhi, karena kitab ini bersambung pada jilid atau juz berikutnya.[7]

 

Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah kitab dalam Shahih al-Bukhari. Al-Karmani menetapkan sebanyak 100 lebih.[8] Dr. Musthafa Daib al-Bugha menetapkan sebanyak 100 kitab.[9] M. Fuad Abd al-Baqi menetapkan 97.[10] Tim Syirkah al-‘Alamiah li al-Baramij menetapkan sebanyak 77.[11] Sedangkan pada Shahih al-Bukhari terbitan Dar el-Fikr, Beirut, 1994 & 1995; Dar al-Salam, Riyadh, 1997, sebanyak 98 kitab.

 

Berdasarkan penelitian kami, perbedaan tersebut disebabkan ketidakjelasan kriteria dalam penetapan kitab. Karena itu ada “kitab” yang dianggap sebagai “bab”, juga sebaliknya ada “bab” yang dianggap “kitab”, bahkan terdapat pembahasan yang sama sekali tidak dianggap sebagai “kitab” dan “bab”. Hal ini mengindikasikan dua kemungkinan; Pertama, penulisan kitab tersebut dilakukan oleh Imam al-Bukhari, namun terjadi perbedaan setelah disalin oleh para murid dan atau generasi selanjutnya, Kedua, Imam al-Bukhari tidak menulis kitab  itu, namun dilakukan oleh para murid dan atau generasi selanjutnya.

 

 

By Amin Muchtar, sigabah.com

 

[1]Lihat, Al-Asqalani, op.cit., hal 676

[2]Lihat, Al-Nawawi, op.cit., h. 92; Al-Dzahabi, op.cit., XII: 404; Al-Mizzi, op.cit. XXIV:443

[3]Lihat, Al-Asqalani, loc.cit

[4]Lihat, Dr. Abu Fatah Abu Ghuddad, al-Ta’liq ‘ala Siyar A’lam al-Nubala, op.cit. XII:404

[5]Lihat, Muhamad bin Thahir Al-Maqdisi, Syurut al-Aimmah al-Sittah, Dar el-Kotob al-Ilmiyah, Beirut, 1984, hal. 10; Al-Husaini, op.cit., hal. 88-89; Azami, op.cit., hal. 142; Al-Asqalani, op.cit. h., 676-677

[6]Versi Muhamad Fuad Abd al-Baqi. (Lihat, Miftah Kunuz al-Sunnah, Syirkah Musahamah Mishriyyah, Mesir, 1933, hal. ba-da)

[7]Versi Muhamad Fuad Abd al-Baqi. Namun pada berbagai litografi Shahih al-Bukhari, keadaan ini tidak selalu sama.

[8]Lihat, Al-Qashthalani, Irsyad al-Sari, Dar el-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut,1996, I:41

[9]Lihat, Shahih al-Bukhari, ver. 1.08, Muhaddith Program ver. 8.61;

[10]Lihat, Miftah Kunuz al-Sunnah, op.cit, hal. ba-da.

[11]Lihat, Shahih al-Bukhari, Mausu’ah al-Hadits al-Syarif, Ver. 1.2., 1991-1996

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}