Pada edisi sebelumnya telah disajikan pengertian dan keragaman hukum taklifi secara garis besar. Sementara pada edisi ini akan disajikan tentang pengertian dan keragaman hukum wadh’i. Topik ini merupakan lanjutan dari topik utama pengertian dan keragaman hukum.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa hukum syariat terbagi ke dalam dua jenis: (1) hukum taklifi, (2) hukum wad’i.
(2) Pengertian Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’I adalah:
خِطَابُ اللَّهِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِينَ بِالوَضْعِ
“Khithâb (titah) Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang sebagai subjek hukum) berupa wadh’.” (Lihat, Ma’alim Ushul Al-Fiqh ‘Inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, hal. 314)
Dalam difinisi lain:
خِطَابُ اللهِ تَعَالَى الْمُتَعَلِّقُ بِجَعْلِ الشَّيْئِ سَبَبًا لِفِعْلِ الْمُكَلَّفِ أَوْ شَرْطًا لَهُ أَوْ مَانِعًا مِنْهُ ، أَوْ صَحِيْحًا أَوْ فَاسِدًا أَوْ عَزِيْمَةً أَوْرُخْصَةً.
“Khithâb (titah) Allah yang berkaitan dengan menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi perbuatan mukallaf, atau shahih, fasid/batal, azimah, atau rukhsah.” (Lihat, Syarh Al-Mu’tamad, hal. 84)
Definisi di atas menunjukkan bahwa hukum wadh’i meliputi: [1] sebab/illat, [2] syarat, [3] mani’, [4] shahih-fasad/batal, [5] azimah-rukhshah.
Sebagai contoh, Firman Allah Swt.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan.” Q.s. Al-Maidah:38
Ayat di atas dikategorikan hukum wadh’i, karena menjadikan pencurian sebagai sebab wajibnya potong tangan pencuri.
Firman Allah Swt.
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.” Q.s. Al-Isra:78
Ayat di atas dikategorikan hukum wadh’i, karena menjadikan tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya salat Zhuhur.
Nabi saw. bersabda:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak berwudhu.” HR. Abu Dawud
Sabda Nabi di atas dikategorikan hukum wadh’i, karena menjadikan wudhu’ sebagai syarat sahnya shalat.
Nabi saw. Bersabda:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟
“Bukankah wanita itu jika datang haid tidak boleh shalat dan shaum.” Muttafaq ‘Alaih
Sabda Nabi di atas dikategorikan hukum wadh’i, karena menjadikan haid sebagai mani’ (penghalang) wajibnya shalat dan shaum.
Nabi saw. bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Diangkatnya pena (tidak dicatat) dari tiga pihak; dari orang yang tidur hingga ia terjaga, dari anak kecil hingga ia dewasa, dan dari orang yang gila hingga ia mengerti atau sadar.” HR. Ibnu Majah dan Ahmad, dengan sedikit perbedaan redaksi
Sabda Nabi di atas dikategorikan hukum wadh’i, karena menjadikan tidur, anak kecil, dan gila sebagai mani’ (penghalang) dari taklif (pembebanan tugas).
Contoh lain, sabda Nabi tentang salat lima waktu dikategorikan hukum wadh’I (kategori azimah), karena menjadikan keadaan biasa sebagai sebab berlakunya hukum wajib shalat.
Firman Allah tentang safar (QS. An-Nisa:101) dikategorikan hukum wadh’I (kategori rukhsah), karena menjadikan keadaan khusus (safar) sebagai sebab berlakunya hukum kebolehan menqashar shalat.
Ikhtilaf (pertentangan) Pemikiran Hukum
Terjadi perbedaan pemikiran di kalangan para ulama dalam tataran filsafat ilmu ushul fiqih, tentang aqsaam (klasifikasi, pembagian) dan anwaa‘ (diversifikasi, penganekaragaman) hukum, baik hukum yang lima maupun azimah dan rukhsah, shihah, fasad dan buthlan. Apakah termasuk bagian dari hukum taklifi atau wadh’i, atau terpisah dari keduanya? Perbedaan ini juga diikuti oleh guru besar ushul fikih kontemporer, dalam kasus ini kami ambil contoh lima orang, yaitu guru utama kita UstadzAbdul Hamid Hakim dalam kitabnya as-Sulam, Prof. Dr. Abu Zahrah, dan Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan di satu pihak, dengan Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf dan Prof. Dr. Wahbah Zuhaili di pihak yang lain.
Ikhtilaf Ahkam Khamsah
Ahli Ushul fiqih sepakat bahwa hukum itu terbagi menjadi dua bagian; (1) taklifi, (2) wadh’i. Abdul Hamid Hakim dalam as-Sullam cenderung untuk menempatkan ‘azimah dan rukshah sebagai bagian hukum tersendiri, bukan bagian dari taklifi maupun wadh’i. Dalam hal ini tampaknya beliau mengadopsi konsep hukum versi as-Syaukani dalam Irsyadul Fuhul.
Namun Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf dan Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili cenderung menempatkan kelimanya sebagai bagian dari hukum wadh’i. Hanya saja Dr. Wahbah membuat strukturalisasi tersendiri sebagai berikut: [1] sabab, [2] syarat, [3] mani’, [4] shihhah wal fasad awil buthlan, [5] azimah war rukhshah. Dalam hal ini tampak keduanya mengadopsi konsep hukum versi Saifudin al-Amidi (w. 631 H) dalam al-Ihkam fi Ushulil Ahkam.
Sedangkan Prof. Dr. Abu Zahrah dan Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan cenderung membagi kelimanya menjadi dua bagian; rukshah dan azimah ditetapkan sebagai bagian dari taklifi, sedangkan sihhah wal fasad wal buthlan ditetapkan sebagai bagian dari wadh’i. Hanya saja Dr. Abdul Karim menempatkan fasad sebagai sub bagian, bukan bagian langsung dari wadh’i.
Sehubungan dengan perbedaan pandangan di atas, di sini akan kita kaji berbagai argumentasi mereka, sebagai berikut:
Pertama, argumen pihak Abu Zahrah dan Abdul Karim
‘Azimah dan Ruksah ditetapkan sebagai bagian dari taklifi karena keduanya merupakan tuntutan. Namun terdapat perbedaan di antara keduanya:
1.1. ‘azimah itu merupakan tuntutan, baik melakukan atau meninggalkan, yang berlaku umum. Artinya disyariatkan agar menjadi peraturan umum bagi seluruh mukallaf (subjek, cakap hkum) dalam keadaan biasa.
1.2. rukshah itu meupakan tuntutan, baik melakukan atau meninggalkan, yang berlaku khusus. Artinya disyariatkan agar menjadi peraturan bagi seluruh mukallaf dalam keadaan khusus.
Shihhah dan Buthlan ditetapkan sebagai bagian dari wadh’i berdasarkan pertimbangan:
1.3. keduanya merupakan sifat bagi perbuatan yang tergantung pada faktor yang lain, dalam hal ini rukun dan syarat. Shihah adalah sifat perbuatan yang memenuhi unsur rukun dan syarat. Sedangkan buthlan adalah sifat perbuatan yang tidak memenuhi unsur rukun dan syarat. Berarti ada atau tidak adanya perbuatan itu tergantung kepada kedua unsur tersebut. Sedangkan terwujudnya sesuatu kepada sesuatu yang lain bagian dari wadh’i.
b. Pada shihhah dan buthlan itu tidak ada tuntutan, baik melakukan, meninggalkan, maupun takhyir (pilihan), tetapi keduanya sebagai sifat bagi suatu perbuatan yang memenuhi atau tidak memenuhi syarat dan rukun.
Kedua, argumen pihak Wahab Khalaf dan Wahbah Zuhaili
Azimah dan Ruksah ditetapkan sebagai bagian dari wadh’i dengan pertimbangan:
2.1. ‘azimah pada hakikatnya kembali kepada persoalan bahwa syaari’ (Allah) menjadikan keadaan biasa sebagai sebab berlakunya hukum taklifi yang lima bagi mukallaf.
2.2. rukhsah pada hakikatnya kembali kepada persoalan bahwa syaari’ menjadikan keadaan khusus sebagai sebab berlakunya hukum takhfif (keringanan) bagi mukallaf.
Sementara Shihhah dan Buthlan ditetapkan sebagai bagian dari wadh’i karena:
2.3. keduanya merupakan sifat bagi perbuatan yang tergantung pada faktor yang lain, dalam hal ini rukun dan syarat. Shihah adalah sifat perbuatan yang memenuhi unsur rukun dan syarat. Sedangkan buthlan adalah sifat perbuatan yang tidak memenuhi unsur rukun dan syarat. Berarti ada atau tidak adanya perbuatan itu tergantung kepada kedua unsur tersebut. Sedangkan terwujudnya sesuatu kepada sesuatu yang lain bagian dari wadh’i.
2.4. pada shihhah dan buthlan itu tidak ada tuntutan, baik melakukan, meninggalkan, maupun takhyir (pilihan), tetapi keduanya sebagai sifat bagi suatu perbuatan yang memenuhi atau tidak memenuhi syarat dan rukun.
Hubungan Antara Taklifi dan Wadh’i
Dilihat dari segi sifat khithâb (titah Allah), hukum taklifi adalah tuntutan untuk melaksanakan dan meninggalkan suatu perbuatan. Sedangkan hukum Wadh’i, berkaitan dengan kondisi taklif yang dilaksanakan. Jadi hukum wadh’I menjadi acuan terwujud dan tidaknya hukum taklifi. Sebagai misal, kewajiban mendirikan shalat adalah hukum taklifi, hukum ini tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna, kecuali setelah dipadukan dengan kondisinya, yakni standar syarat sah, batal, sebab, mani’ (halangan) dan rukhshah (dispensasi).
Karena kedua hukum ini (Taklifi dan wadh’i) adalah hukum syariat, maka dalil keduanya harus bersumber dari dalil-dalil syariat, bukan yang lain.
By Amin Muchtar, sigabah.com