Rupanya Pak Jokowi ini adalah pemain kartu. Setelah Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), maka yang terakhir dilempar adalah “Kartu Pra Kerja”. Menjanjikan lulusan SMK untuk masuk kerja dengan menggunakan kartu ini dan selama belum bekerja mendapat gaji. Tidak jelas sebagai apa “gaji” itu, konon kompensasi pelatihan. Menaker dan Menkeu memberi penjelasan simpang siur. Potensi hoax juga terbuka. Ini program baru yang dilempar di luar Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2020. Menkeu kebingungan memasukkan karena akan jadi beban APBN. Publik menangkap dengan sederhana bahwa ini adalah program “pengangguran akan digaji”.
Sebagai konten kampanye “janji” seperti ini dinilai melanggar UU No 7 tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 280 ayat (1) Jo Pasal 521 yang berkaitan dengan janji memberi uang. Karenanya sudah selayaknya jika dilaporkan ke Bawaslu. Namun Bawaslu diprediksi tidak mudah memproses kasus yang berhubungan dengan “Presiden RI”. Membandingkan dengan Caleg yang menjanjikan umroh gratis kemudian diproses Bawaslu dan dipidana, maka perbuatan Pak Jokowi ini sebenarnya lebih parah.
Sekurangnya ada tiga pelanggaran, yaitu:
Pertama, pelanggaran sebagaimana diatur Pasal 280 ayat (1) butir j UU Pemilu yang menyangkut “janji atau memberi uang”.
Kedua, ini bisa hoax dan sebagaimana Sarumpaet, maka bisa dikenakan Pasal penyebaran kebohongan. Apa yang dikemukakan Pak Jokowi itu tidak memiliki dasar hukum dan pembuktian.
Ketiga, melanggar asas pemerintahan yang baik (good governance) karena sewenang-wenang memasukkan program yang tak ada dalam Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2020.
Dalam pertandingan sepakbola, jika melanggar satu kali dan ringan wasit bisa memberi peringatan, bila lebih berat kartu kuning, jika dinilai berat dan membahayakan tentu kartu merah. Menjanjikan “gaji bagi pengangguran” adalah pelanggaran berat karena ini bisa jadi hoax luar biasa, membodohi rakyat, membuat Menteri kalang kabut, serta menciptakan ketidakpercayaan pada kinerja Pemerintahan. Presiden sepertinya sedang bermain-main dengan kartu ini.
Rakyat tentu tak ingin Pilpres sebagai ajang perjudian. Penjudi yang “kalah” akan terus mengeluarkan uang yang dimilikinya. Bila perlu berhutang. Menjual atau menggadaikan apa yang ada. Harmoni rumah tangga sudah diabaikan. Yang penting menang dengan segala cara.
Sayang banyak penjudi yang bernafsu itu tetap kalah dan kalah. Akhirnya dengan bahasa kasar “muka kusut, pulang hanya
bercelana kolor”.
“Kartu Pra Kerja” bukan lemparan judi. Karenanya mesti dengan kalkulasi. Politik adalah langkah yang penuh dengan “policy”. Bijak, rasional, sehat dan bermartabat. Kita bangsa yang besar dan beradab. Tidak ingin ke depan memiliki Presiden penjudi dan barbar. Siapapun dia harus jujur, fair dan meninggikan harkat rakyat. Indonesia maju adalah Indonesia menang dengan pemimpin terbaik yang cerdas, rela berkorban dan bertanggungjawab.
Rakyat sudah sehat dan pintar dalam menentukan pilihan. Iming-iming hanya membuat perut mual.
Bandung, 8 Maret 2019
by M Rizal Fadillah