Rasa ketentraman dan kenyamanan kaum muslim di seluruh Indonesia saat beridul fitri, Jumat 17 Juli 2015, telah terusik dan sempat terinterupsi oleh pemberitaan suatu tragedi yang menimpa saudara mereka di Karubaga, Tolikara, Papua. Sekelompok massa kafir, Gereja Injili Di Indonesia (GIDI), berupaya mengusir umat Islam setempat saat tengah menjalankan shalat Id dengan agitasi kekerasan. Akibatnya, umat Islam lari ketakutan dan sejumlah bangunan, termasuk sebuah masjid dibakar.
Tragedi Tolikara tentu saja bukan suatu peristiwa kebetulan, apalagi dipicu persoalan sepele (baca: speaker), melainkan bagian dari skenario besar (kristenisasi dan berakan zending) yang telah dipersiapkan oleh musuh-musuh Islam dalam konteks global pada umumnya, Indonesia pada khususnya. Demikian itu dapat kita cermati dari rentetan kejadian sebelumnya yang telah dirancang oleh mereka selama bertahun-tahun dalam beragam pola dan modus. Tragedi ini telah mengusik saya untuk menerawang kembali ke masa-masa awal diskusi intensif, tahun 2003, dengan “teman senior” saya, seorang mantan diplomat, tentang kristenisasi dan gerakan zending di Indonesia.
Kristenisasi adalah sebuah gerakan keagamaan yang bersifat politis kolonialis. Gerakan yang muncul akibat kegagalan perang salib sebagai upaya penyebaran agama Kristen ke tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia ketiga, terutama umat Islam, sering kali menjadi hanya sekadar isu dan mitos pinggiran. Padahal, kenyataannya adalah sebaliknya. Untuk melihat secara jernih, ada baiknya kita menoleh sejarah ke belakang.
Singkat cerita, kristenisasi, sejak pertama kali diproklamirkan oleh Raymond Lull, tersiar secara luas di negara-negara dunia ketiga. Kristenisasi mendapatkan sokongan internasional yang melimpah dari negara-negara Eropa, Amerika, gereja, lembaga, universitas, organisasi internasional, dan media. Di Indonesia, proyek kristenisasi, selain didukung oleh kekuatan dana yang sangat besar dengan melibatkan para konglomerat keturunan Cina, ternyata mendapat `dukungan’ pula dari beberapa orang yang sering disebut “cendekiawan muslim”, hemat kami lebih pas untuk disebut “para calo akidah”. Tokoh-tokoh ini memperkenalkan paham liberalisme dan pluralisme yang kerap mengusung slogan `membangun dunia baru’, dengan penyatuan agama dan melepaskan fanatisme agama. Anda mungkin masih ingat munculnya pengantar seorang “tokoh muslim” pada buku Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, karya Bambang Noorsena, pendiri Kanisah Ortodoks Syiria (KOS) di Indonesia. Begitu pula pernyataan seorang “tokoh muslim” lain pada buku Pluralitas Agama, Kerukunan dalam Keragaman.
Melalui pluralisme, umat Islam diprovokasi agar melapaskan aqidahnya. Tidak lagi meyakini agamanya saja yang benar, dan kemudian diajak untuk mengakui bahwa agama Kristen juga benar. Teologi pluralis sejatinya pembuka pintu bagi misi Kristen dan sasaran kristenisasi tidak hanya kalangan akar rumput, tapi juga ulama dan tokoh masyarakat.
Racun berlabel “Toleransi Beragama”
Saya dan juga anak saya, sejak di lingkungan sekolah dasar, telah diajarkan misalnya, bahwa kamu tidak hanya akan bertemu dengan teman yang seagama saja. Akan tetapi, akan ada pemeluk agama yang lainnya. Meski berbeda agama namun siswa wajib menghormatinya karena sama-sama penduduk di bumi Indonesia yang dilindungi oleh undang-undang. Seperti yang diajarkan di bangku sekolah, bahwa dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa, “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”. Saya yakin mayoritas umat Islam di Indonesia sangat menghormati “nilai luhur” pengajaran berbangsa di atas. Namun, apakah “nilai luhur” ini dianut pula oleh orang kafir, khususnya misionaris-salibis? Fakta yang ada menunjukkan sebaliknya.
Ketika saya berusia 2 tahun, 1975, di Indonesia terdaftar 9.819 buah gereja milik Kristen Protestan, 3.897 orang pastur, 8.504 orang missionaris sukarela. Sedangkan Katholik memiliki 7.250 buah gereja, 2.630 orang pastur dan 5.393 orang missionaris sukarela.
Saat saya berusia 37 tahun, 2010, selama 35 tahun kristenisasi di Indonesia telah berhasil membukukan rekor baru. Jumlah pemeluk Kristen Protestan sebanyak 16.528.513. Sementara pemeluk Katolik sebesar 6.907.873. Adapun sarana ibadah mereka yang terdaftar sebanyak 50.565 buah gereja milik Kristen Protestan. Sedangkan Katholik memiliki 11.191 buah gereja. Laju pertumbuhan pemeluk kristen ini tentu saja bukan karena adanya “subsidi silang penduduk import” dari luar negeri, melainkan karena umat Islam terlalu toleran terhadap kristenisasi dan gerakan zending, juga pengaruh “virus” yang disebarkan para calonya melalui “Merk Dagang” Kerukunan dan toleransi Kehidupan Beragama. Data ini dipastikan mengalami peningkatan hingga 2015 sekarang, saat saya berusia 42 tahun.
Fakta bahwa umat Islam Indonesia terlalu toleran terhadap kristenisasi dan gerakan zending dapat dilihat dari rasio jumlah pemeluk dan sarana ibadahnya. Jika data statistik di atas kita jadikan acuan, maka didapatkan jumlah muslim di Indonesia sebanyak 207 juta lebih dan mesjid sebanyak 255,147, berarti rasionya satu masjid digunakan oleh 812 orang (1:817). Mari kita bandingkan dengan kristen dan gereja. Jumlah pemeluk Kristen Protestan sebanyak 16.528.513 dengan jumlah gereja 50.565. Berarti rasionya 1:327. Sementara jumlah pemeluk Katolik sebanyak 6.907.873 dengan jumlah gereja 11.191. Ini menunjukkan rasio 1:617.
Jadi, ungkapan minoritas-mayoritas pemeluk agama pada kondisi tertentu menjadi nisbi (relatif). Jika kelompok gereja yang mengklaim sebagai umat minoritas, mengaku kesulitan dalam beribadah dan pendirian rumah ibadah, sebenarnya hal demikian itu dialami juga oleh umat Islam di beberapa daerah ketika muslim menjadi minoritas di tempat itu.
Dengan demikian, barang dagangan bernama “toleransi sebagai pilar kehidupan sosial” sejatinya hanya diwajibkan bagi umat Islam, tanpa tawar-menawar lagi, agar menjadi “relawan” alias rela tidak melawan.
Dengan cara demikian, tidaklah mengherankan jika kristenisasi dan gerakan zending, dengan menghalalkan berbagai cara, strategi dan taktik, telah berhasil “menerjunkan secara bebas” jumlah umat Islam di Indonesia dari 90% menjadi 75%. Keberhasilan itu berkat kerja keras ratusan agen kristenisasi, misionaris asing, dan misionaris lintas kultural serta ribuan misionaris pribumi, dan tak lupa peran penting “para calo”, dalam “meninabobokan” umat Islam menjadi “makhluk paling toleran”.
GIDI Menikmati “Toleransi Umat Islam”
Gereja Injili di Indonesia (DIGI) tidak dapat mengelak dari tudingan terlibat pembakaran masjid di Tolikara, Papua. Indikasi ini dihubungkan dengan keberadaan surat tanggal 11 Juli 2015 yang dikeluarkan Badan Pekerja Wilayah Toli DIGI. Isi surat itu melarang umat Islam merayakan Idul Fitri pada tanggal 17 Juli. Kemenag mendesak ketua Sinode GIDI agar mengklarifikasi dan meminta maaf atas insiden pembakaran Masjid saat sholat Idul Fitri.
Keberadaan GIDI di Indonesia bukanlah hal baru. Usia GIDI telah mencapai lebih dari setengah abad. GIDI juga tercatat di Kementerian Agama RI. Dalam situs resminya, Gereja ini berdiri sejak tanggal 12 Februari 1962. Terdaftar pada Departemen Agama RI di Jakarta Nomor E/Ket/385-1745/76. Gereja mendaftar ulang lewat Akta Nomor 15 Tanggal 6 Januari 1989. Bentuk GIDI adalah Otonom dan Gereja Nasional dengan masa berlaku tak Terbatas. Sistem Pemerintahannya, Presbiterian-Kongregasional.
Setelah berkiprah selama setengah abad di Papua, Anggota Jemaat GIDI tercatat 976.000 jiwa. Semuanya terdaftar dalam Surat Baptisan. Gereja GIDI secara keseluruhan terdiri dari delapan Wilayah Pelayanan di seluruh Indonesia. Terdiri atas 61 Klasis, 11 Calon Klasis. GIDI juga memiliki dua buah rumah sakit swasta, Klinik Kalvari di Wamena dan rumah sakit Immanuel di Mulia.
Selain itu, GIDI juga berkiprah di bidang pendidikan, lewat sekolah Tingkat Atas: STAKIN, SAID dan STT GIDI di Sentani. Sekolah Alkitab berbahas daerah (Lokal): 7 buah. TK-PAUD 5 buah, SMP dan SMU sebanyak 9 buah tersebar di seluruh wilayah GIDI.
GIDI pertama kali dirintis oleh tiga orang dari Badan Misi UFM dan APCM yaitu Hans Veldhuis, Fred Dawson, Russel Bond. Setelah merintis pos di Senggi termasuk membuka lapangan terbang pertama Senggi (1951-1954), pada tanggal 20 Januari 1955 ketiga misionaris beserta tujuh orang pemuda dari Senggi terbang dari Sentani tiba di Lembah Baliem di Hitigima menggunakan pesawat amphibi Sealander.
Kemudian mereka melanjutkan misi dengan berjalan kaki dari Lembah Baliem ke arah Barat pegunungan Jayawijaya melalui dusun Piramid. Dari Piramid bertolak menyeberangi sungai Baliem dan menyusuri sungai Wodlo dan tiba di Ilugwa. Setelah mereka beristirahat lanjutkan perjalanan ke arah muara sungai Ka’liga (Hablifura) dan akhirnya tiba di danau Archbol pada tanggal 21 Februari 1955. Di area danau Acrhbold disinilah pertama kali mereka mendirikan Camp Injili dan meletakkan dasar teritorial penginjilan.
Pada tahun itu pula pada tanggal 25 Maret 1955 pesawat jenis JZ-PTB Piper Pacer berhasil mendarat di Danau Archbold. Mereka membuka lapangan terbang di Archbold sambil mengadakan survei pengembangan pelayanan di sekitar Bokondini dan Kelila. Pada bulan Maret 1955 Bert Power dan Ross Bertell tiba di Bokondini.
Selain misi UFM, Gesswein dan Widbin bersama Misi ABMS lainnya meninggalkan Camp Injili Archbol pada tanggal 28 April dan tiba di Bokondini pada tanggal 1 Mei 1955. Di Bokondini membuka lapangan terbang pertama tanggal 5 Juni 1965 dan Pilot Dave Steiger mendaratkan pesawat pertama kali di Bokondini. Sejak itulah secara resmi membuka Pos UFM dan APCM di Bokondini sebagai basis penginjilan di seluruh pegunungan tengah Papua.
Pada tanggal 5 Juni 1957, pesawat MAF pertama kali mendarat di Swart Valley sekarang disebut Karubaga Wilayah Toli. Lalu, pada bulan Agustus 1958, tiga orang UFM Ralph Maynard, Bert Power dan Leon Dillinger berjalan kaki dari Karubaga menuju ke daerah Yamo membuka lapangan terbang di Mulia. Setelah membuka pos-pos penginjilan, sebagai hasil pertama dari Badan Misi UFM dan APCM melakukan pembaptisan pertama berjumah 9 orang di Kelila wilayah Bogo pada tanggal 29 Juli 1962.
Inilah cikal bakal jemaat mula-mula dalam sejarah berdirinya Gereja Injili Di Indonesia. Dan, baptisan yang kedua dilakukan pada tanggal 16 september 1962 di Bokondini dan disusul baptisan ketiga di Kanggime tanggal 27 Januari 1963. Sejak itu, terjadi pembaptisan dimana-mana. Inilah awal permulaan dari kongregasional, suatu pertumbuhan orang-orang percaya yang kemudian menjadi sebuah gereja lokal yang otonom, independen dan demokrasi dengan sistem pemerintahan Kongregasional-Presbiaterian.
Pada waktu itu gereja pribumi ini semakin hari semakin bertumbuh dan mengalami kemajuan yang sangat pesat maka para pendiri bekerjasama dengan Tiga Badan Misi APCM, UFM dan RBMU bersepakat untuk mendirikan gereja dengan nama sendiri (terpisah dari gereja-gereja dari luar).
Akhirnya pada tanggal 12 Februari 1963 mereka bersepakat memberi nama gereja ini pertama kali disebut Gereja Injili Irian Barat (GIIB) -1971 dengan pusat gereja di Irian Jaya. Pada tahun 1971 nama gereja GIIB diganti dengan GIIJ (Gereja Injili Irian Jaya) – 1988.
Sejalan dengan masa peralihan Irian Barat ke wilayah NKRI dimana nama Irian Barat diganti dengan Irian Jaya. Pada tahun 1988 nama gereja ini berubah menjadi Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan gereja dari tanah Papua merambah hingga ke pulau-pulau seluruh Nusantara Indonesia. (Baca profil GIDI http://www.pusatgidi.org/ind/selayang-pandang-0)
Paparan data di atas menunjukkan bahwa GIDI telah menikmati kebebasan beragama di Indonesia karena begitu tolerannya umat Islam terhadap kristenisasi dan gerakan zending di Indonesia. Apakah keadaan yang “seimbang” didapat oleh umat Islam di Papua? Peristiwa yang baru lalu menunjukkan keadaan yang sebaliknya.
Selama umat Islam masih terlalu toleran terhadap kristenisasi dan gerakan zending maka dapat dipastikan bahwa “tragedi Tolikara, Papua” dapat meletus setiap saat di berbagai daerah di bumi pertiwi yang kita cintai ini.
Maha Benar Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt. berfirman: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).’ Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”QS. Al-Baqarah :120
Nabi saw. bersabda: “Tidak akan kiamat sebelum umatku mengikuti apa-apa yang dilakukan bangsa-bangsa terdahulu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.’ Di antara para sahabat ada yang bertanya, ‘Wahai Rasululah, apakah yang dimaksud adalah Yahudi dan Nasrani ?’ Rasulullah menjawab, ‘Siapa lagi (kalau bukan mereka)’.” HR. Al-Bukhari
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta