Luangkan waktu beberapa saat untuk merenungkan fenomena ciptaan Allah, berita, kisah dan juga aturan-Nya yang termaktub di dalam Al-Qur’an, maka kita akan mendapatkan betapa sempurnanya Allah Swt. Semakin sering dan mendalam merenungkan dan memikirkannya, maka akan semakin tampak kesempurnaan-Nya, sehingga lafal tasbih, tahmid dan takbir akan mengalir dari hati, terucap dari lidah yang digetarkan oleh keimanan.
Dalam surat al-Fatihah disebutkan, bahwa Allah sebagai Rab, Pemelihara alam semesta yang kemudian diikuti dengan sifat ar-Rahmaan dan ar-Rahiim. Dari situ kita dapat saksikan dan rasakan keseimbangan alam dan lahiriah kehidupan yang serasi dan harmonis sehingga makhluk hidup bisa tinggal di bumi ini. Demikian juga dengan keberadaan manusia, Allah menciptakan dan menyempurnakannya. Diberikannya potensi dan kesempatan untuk tampil sebagai makhluk unik yang berbeda dengan makhluk lainnya karena dianugrahi akal dan fitrah katauhidan. Kemudian Allah ilhamkan perbuatan dosa dan ketaqwaan (QS. Asy-Syam:8) sehingga manusia bisa membedakan yang hak dan bathil. Inilah sebenarnya pejuangan hidup manusia, dari sejak Nabi Adam sampai hari qiamat nanti, sehingga manusia terbagi dua, yaitu orang yang celaka karena terseret dan tenggelam dalam kekufuran karena menyalahi fitrah dan orang yang selamat dalam agama yang sesuai fitrah (Islam).
Akal dan fitrah ketauhidan merupakan amanah agung yang harus dipelihara. Namun kemampuan akal manusia ada batasnya, tidak bisa menjangkau seluruh fenomena ciptaan Allah apalagi perkara gaib yang meliputi tentang dzat Allah, alam akhirat, kejadian-kejadian umat-umat terdahulu dan lain sebagainya. Bila manusia “membiarkan” keterbatasan akalnya tanpa mengikutsertakan bimbingan Penciptanya maka akan rusaklah fitrah ketauhidannya.
Kerusakan fitrah ketauhidan akan mengakibatkan kerusakan alam serta tatanan kehidupan manusia, baik pribadi maupun sosial, karena bercampurnya antara yang haq dan yang bathil, sehingga kebenaran menjadi samar, bahkan pada suatu generasi dalam masa tertentu, yang haq itu hilang sebagaimana telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Karena itu Allah Swt. memberikan tuntunan cara mengimani perkara gaib melalui para nabi dan Rasulullah saw. agar tidak terjerumus pada khurafat dan takhayul yang merusak fitrah ketauhidan, juga dibekali dengan prinsip pelaksanaan keimanan agar terhindar dari perbuatan bid’ah ketika beribadah.
Mencintai orang-orang shaleh adalah suatu keniscayaan dan kebaikan. Namun bila kecintaan tersebut tidak didasari ketauhidan akan mengakibatkan kemusyrikan, dan bila tidak dibimbing syariat akan mengakibatkan penyimpangan yang akhirnya akan menjerumuskan pada kemusyrikan, sebagaimana dialami oleh umat Nabi Nuh As.
Manusia pada generasi awal anak cucu Adam As. masih konsisten dalam beribadah hanya kepada Allah Swt. Namun seiring dengan semakin langkanya orang ‘alim, tinggalah beberapa orang shaleh yang gemar melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Pada suatu ketika mereka pun meninggal dunia secara bersamaan dalam satu bulan. Sebagai bukti kecintaan kepada mereka dibuatlah patung-patungnya, yaitu Wad, Suwa’, Yaguts, Ya’uq dan Nasr (QS. Nuh: 23) sebagai pengingat terhadap ajaran yang telah mereka sampaikan. Hal ini dilakukan oleh generasi tersebut tiada lain atas dasar niat baik dan semangat yang luhur agar istiqomah dalam jalan yang haq, tanpa niat untuk mengultuskan apalagi menyembah mereka. Namun generasi berikutnya terus menerus melebih-lebihkan kebaikan mereka dengan dongeng-dongeng takhayul berdasarkan perasaan dan pemikiran tanpa tuntunan Ilahi hingga akhirnya patung-patung itu disembah karena dianggap memiliki kekuatan ketuhanan. Keadaan ini terus berlangsung dalam waktu relative lama hingga generasi betikutnya terjerumus pada kemusyrikan yang sulit diberantas (QS. Nuh: 5-11). Inilah kemusyrikan pertama yang dilakukan manusia.
Pada saat manusia tenggelam dalam kemusyrikan sedemikian itu, Allah Swt. mengutus Nabi Nuh As. untuk mengembalikan mereka kepada jalan yang lurus, fitrah ketauhidan. Dakwah yang dijalaninya selama 950 tahun hanya diikuti oleh sedikit manusia (QS. Al-‘Ankabut: 14), hingga Allah menurunkan azab berup banjir yang dahsyat, menenggelamkan seluruh manusia yang kufur (QS.Nuh:26-27), juga menghanyutkan patung-patung yang mereka sembah, hingga kemudian patung-patung itu ditemukan oleh seorang dukun di Mekah pada masa jahiliyyah dan disimpan di Ka’bah sebagai bagian sesembahan dari 360 patung yang ada.
Bila kita tidak ingin dihujat pada hari penghisaban nanti oleh generasi setelah kita (QS. Al-Baqarah:165-167), kita jangan menjadi mata rantai penyumbang dan penyambung penyimpangan agama sedikit pun dengan dalih niat baik dan bermanfaat, atau mencampuradukan agama dengan kearifan lokal yang menyalahi akidah dan syariah dengan dalih untuk memelihara budaya bangsa. Sebab setiap perkara yang berhubungan dengan agama Islam tanpa ketentuan dan contoh dari Rasulullah, sebagaimana dilakukan oleh umat Nabi Nuh As, akan menjerumuskan kita pada kemusyrikan dan perbid’ahan.
Sehubungan dengan itu, marilah kita jaga fitrah ketauhidan dengan ketaatan secara totalitas (kaffah) agar tidak menjadi bagian penyumbang berbagai penyimpangan agama yang menjerumuskan pada kemusyrikan dan perbid’ahan, sehingga tidak dihujat di hari penghisaban nanti oleh generasi manusia setelah kita.
Sumber: Buletin Humaira, Edisi 6 Oktober 2015