Klasifikasi Hari di Bulan Ramadhan
Pada sebagian kaum muslimin terdapat keyakinan bahwa di antara ciri keistimewaan bukan Ramadhan adalah hari-hari di Bulan itu diklasifikasikan menjadi tiga: Awalnya Rahmat, pertengahannya Maghfirah, dan akhirnya ‘Itqun Minan Nar (pembebasan dari api neraka). Klasifikasi ini tidak dijumpai pada bulan-bulan lainnya.
Keyakinan ini, menurut pengamatan kami, tidak terlepas dari peranan sebuah hadis yang sering kali disampaikan oleh sebagian khatib dan ustadz, baik dalam acara pengajian, buku, media elektronik maupun internet.
Setelah kami analisa dari segi redaksinya, hadis tentang klasifikasi hari-hari Bulan Ramadhan itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama, diawali atau dirangkai dengan kalimat-kalimat lain sebagai berikut:
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ خَطَبَنَا رَسُوْلُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فيِ آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ شَهْرٌ مُبَارَكٌ شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ وَشَهْرٌ يَزْدَادُ فِيْهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ مَنْ فَطَّرَ فِيْهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوْبِهِ وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْتَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ قَالُوْا لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفْطِرُ الصَّائِمَ فَقَالَ يُعْطِي اللهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ أَوْ شُرْبَةِ مَاءٍ أَوْ مَذِقَةِ لَبَنٍ وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ…
Dari Salman, ia berkata, “Pada hari akhir bulan Sya’ban Rasulullah saw. mengkhutbah kepada kami. Beliau bersabda, ’Hai manusia! Telah menaungi kamu bulan yang agung, bulan yang penuh dengan berkah, bulan yang padanya ada satu malam lebih baik dari seribu bulan. Allah tetapkan shaum padanya sebagai satu kewajiban, dan salat pada malamnya sebagai tathawu (sunnat). Siapa yang mendekatkan (melaksanakan) sesuatu kebaikkan (sunnat), maka (pahalanya) seperti (pahala) bagi orang yang menunaikan kewajiban. Dan siapa yang menunaikan kewajiban, (pahalanya) seperti (pahala) yang menunaikan kewajiban sebanyak tujuh puluh kali. Bulan itu adalah bulan (penuh dengan) kesabaran dan bersabar itu pahalanya adalah surga. Bulan yang penuh dengan kebaikan, bulan yang akan bertambah rezeki seorang mukmin. Barang siapa memberi makan orang shaum pada bulan itu, maka hal itu merupakan magfirah bagi dosa-dosanya dan lehernya akan terlepas dari api neraka, dan baginya (orang yang memberi makan) akan mendapat pahala seperti pahala yang shaum tanpa terkurangi sedikitpun dari pahalanya itu. Para sahabat bertanya, ’Kami semua tidak mempunyai sesuatu untuk memberi makan yang shaum, beliau menjawab,’Allah akan memberi pahala seperti ini kepada orang yang memberi makan yang shaum walaupun hanya dengan sebiji kurma, atau seteguk air, atau sesuatu yang dicampur dengan susu. Dan bulan itu adalah bulan yang awalnya penuh rahmat, pertengahannya penuh maghfirah dan ahirnya pembebasan dari neraka… HR. Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi, dan Al-Haitsami. [1]
Kedudukan Hadis Pertama
Hadis ini bersumber dari dua orang rawi, yaitu:
Pertama, Ali bin Zaid bin Jud’an. Ia adalah Ali bin Zaid bin Abdullah bin Abu Mulaikah. Namanya Zuhair bin Abdullah bin Jud’an bin Amr bin Ka’ab bin Taim bin Murrah al Qurasyi at Taimi. Dia telah dinyatakan daif oleh para ahli hadis, antara lain: Abu bakar bin Khuzaimah mengatakan,’Aku tidak berhujjah dengannya karena ia buruk hafalan.” [2]
Kedua, Yusuf bin Ziad an-Nahdi. Dia telah dinyatakan daif oleh para ahli hadis, antara lain, Al Bukhari dan Abu Hatim berkata, ’Munkar al-Hadits (hadisnya tidak halal diriwayatkan).” [3]
Penilaian Para ulama Terhadap Hadis di atas
Kata Ibnu Abu Hatim, “Saya bertanya kepada ayah saya tentang hadis…(di atas). Maka beliau menjawab:
هذَا حَدِيْثٌ مُنْكَرٌ غَلِطَ فِيْهِ عَبْدُ اللهِ بنُ بَكْرٍ إِنَّمَا هُوَ أَبَانُ بْنُ أبِيْ عَيَّاشٍ فَجَعَلَ عَبْدُ اللهِ بْنُ بَكْرٍ أَبَانًا إِيَاسًا.
“Ini hadis yang munkar, Abdullah bin Bakr telah melakukan kesalahan di dalamnya, rawi sebenarnya tiada lain Aban bin Abu ‘Ayyas, lalu Abdullah bin Bakar menjadikan (mengganti) Aban dengan Iyas.”[4]
Kata Ibnu Hajar:
رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي (الشُّعَبِ) مِنْ طُرُقٍ : عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُجْرٍ بِهَذَا الإِسْنَادِ وَمِنْ طَرِيقٍ أُخْرَى : عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَكْرٍ السَّهْمِيِّ عَنْ إِيَاسِ بْنِ عَبْدِ الْغَفَّارِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ وَالأَوَّلُ أَتَمُّ وَمَدَارُهُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ وَهُوَ ضَعِيفٌ , وَأَمَّا يُوسُفُ بْنُ زِيَادٍ فَضَعِيفٌ جِدًّا وَأَمَّا إِيَاسُ بْنُ عَبْدِ الْغَفَّارِ فَمَا عَرَفْتُهُ
“Hadisnya diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iman melalui beberapa jalur periwayatan: Dari Ali bin Hujr dengan sanad ini. Dan dari jalur lain: dari Abdullah bin Bakr as-Sahmi, dari Iyas bin Abdul Ghaffar, dari Ali bin Zaid. Jalur pertama lebih komplit dan porosnya Ali bin Zaid, dan dia daif. Adapun Yusuf bin Ziyad, maka ia sangat daif. Sedangkan Iyas bin Abdul Ghaffar, maka aku tidak mengenalnya.” [5]
Kedua, tanpa diawali dengan kalimat-kalimat lain sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ’Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah magfirah, dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.” HR. Ibnu Adi, Al-Uqaili, Ad-Dailami, dan Al-Khathib al-Baghdadi. [6]
Kedudukan Hadis kedua
Hadis ini bersumber dari dua orang rawi yang dinyatakan daif, yaitu:
Pertama, Maslamah bin As Shlt. Abu Hatim berkata, ’Matruk al-Hadits.” [7]
Kedua, Salam bin Sawwar.
Nama lengkapnya Salam bin Sulaiman bin Sawwar, Abul Abbas, as Tsaqafi, al Madain. Menurut Abu Hatim, ’Ia rawi yang tidak kuat”. Ibnu Adi berkata, ’Munkar al-Hadits.” [8]
Penilaian Para ulama Terhadap Hadis di atas:
Kata Al-Khathib al-Baghdadi:
وكان ضعيفا في الحديث ومن ضعفه اختلاف روايته هذا الحديث
“Salam daif dalam hadis, dan di antara bentuk kedaifannya terdapat ikhtilaf dalam meriwayatkan hadis ini.” [9]
Kata Muhammad al-Lakhmi:
إسناده ضعيف جدا والحديث منكر
“Sanadnya sangat daif, dan hadis itu munkar.” [10]
Kata Syekh al-Albani, “(Hadis ini) dha’ief jiddan (sangat dhaif).” [11] Dalam kitabnya yang lain, Syekh al-Albani berkata, “Munkar.” [12]
Kesimpulan:
Karena hadis yang berkaitan dengan klasifikasi hari di bulan Ramadhan kedudukannya dhaif, maka tidak dapat dijadikan hujjah untuk keyakinan adanya klasifikasi itu. Dengan begitu, hari-hari di bulan Ramadhan derajatnya sama, sejak awal hingga akhir, sebagai bulan penuh berkah dan magfirah. Dari sisi mana nilai berkah dan nya? Akan diuraikan dalam paket kajian “Ibadah Ramadhan Sesuai Sunnah” edisi khusus.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
[1] Lihat, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:192, No. hadis 1887, al-Baihaqi, Fadha’il al-Awqat, hlm. 43, No. hadis 40, dan Al-Haitsami, Musnad al-Harits atau Zawa’id al-Haitsami, I:413, No. 321. Hingga kalimat:
وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا
“…dan salat pada malamnya sebagai tathawu (sunnat),” berderajat shahih, karena terdapat saksi (penguat) dari beberapa riwayat lainnya meski dengan sedikit perbedaan redaksi. Namun kalimat selanjutnya hingga akhir (yang panjang) berderajat dha’if.
[2] Lihat, Tahdzib al-Kamal, XX: 434-445
[3] Lihat, Mizan al-‘Itidal, IV : 465
[4] Lihat, ‘Ilal al-Hadits, hlm. 289
[5] Lihat, Ittihaf al-Muhirrah bil Fawa’id al-Mubtakirah min Athraf al-Asyrah, V:560
[6] HR. Ibnu Adi, al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal, IV:325, Al-Uqaili, Adh-Dhu’afa al-Kabir, III:437, No. hadis 750, Ad-Dailami, Al-Firdaws bi Ma’tsur al-Khithab, I:138, No. hadis 79, dan Al-Khathib al-Baghdadi, Mawdhih Awham al-Jam’I wat Tafriq, II:144, No. hadis 233
[7] Lihat, Al-Jarh wa at-Ta’dil, VIII: 269; Ad-Du’afa wa al- Matrukin, III : 119
[8] Lihat, Mizan al-I’tidal, II : 178.
[9] Lihat, Mawdhih Awham al-Jam’I wa at-Tafriq, II:144
[10] Lihat, Masyikhah Abi Thahir Ibn Abu As-Shaqr, hlm. 83
[11] Lihat, Shahih wa Dha’if al-Jami’ as-Shagir wa Ziyadatuhu, hlm. 495
[12] Lihat, Silsilah al-Ahadits ad-Dha’iefah wa al-Mawdhu’ah, IV:70