Kapan Terjadinya Nuzulul Quran?
Mayoritas kaum muslimin di Indonesia tentu akan menjawab tanggal 17 Ramadhan. Jika pertanyaan itu dilanjutkan, mengapa 17 Ramadhan? Jawabannya belum tentu diketahui oleh mayoritas kaum muslimin di Indonesia.
Sejauh pengetahuan kami, gagasan ini berawal dari Ibnu Ishaq (w. 150 H), seorang pakar tarikh Islam. Ia menyatakan bahwa ayat Al-Quran pertama kali turun adalah pada tanggal 17 Ramadhan. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah:
إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“…jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan yaitu di hari bertemunya dua pasukan.” (QS. Al- Anfal: 41).
Adapun kerangka metodologinya sebagai berikut:
Furqan adalah pemisah antara yang hak dan yang batil. Yang dimaksud dengan hari Al-Furqan ialah hari kemenangan kaum Muslimin dan kekalahan orang kafir, yaitu hari bertemunya dua pasukan di perang Badar. Bertemunya dua pasukan, muslimin dan musyrikin, itu terjadi pada hari Jumat tanggal 17 Ramadhan tahun 2 H. Dan hari Furqan adalah hari ketika Al-Quran pertama kali diturunkan. Kedua hari itu sama-sama hari Jumat dan tanggal 17 Ramadhan, tapi tahunnya berbeda.
Selain itu didasarkan pada atsar (pendapat sahabat) sebagai berikut:
عَنْ حَوْطٍ الْعَبْدِيِّ قَالَ: سَأَلْتُ زَيْدَ بن أَرْقَمَ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ؟ فَقَالَ: مَا أَشُكُّ وَمَا أَمْتَرِيْ أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعَ عَشْرَةَ لَيْلَةَ نُزُولِ الْقُرْآنِ وَيَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ
Dari Hawth Al-‘Abadiy, ia berkata, “Saya bertanya kepada Zaid bin Arqam tentang Lailatul Qadar?” Maka ia menjawab, “Saya tidak ragu bahwa Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 sebagai malam turunnya Al-Quran dan hari bertemunya dua pasukan.” HR. Ath-Thabrani. [1]
Kata Ibnu Hajar, “Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah dan Ath-Thabrani dengan redaksi:
مَا أَشُكُّ وَلاَ أَمْتَرِي أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعَ عَشْرَةَ مَنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ أُنْزِلَ الْقُرْآنُ
‘Saya tidak ragu bahwa Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 Ramadhan sebagai malam turunnya Al-Quran.’ Dan diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud.” [2]
Pendapat “17 Ramadhan” dipilih juga oleh Ustadz Muhammad Hudhari Bik dan Syekh Mushthafa Al-Maragi. Syekh al-Maraghi menjelaskan, “Surat Al-Qadr menegaskan, bahwa turunnya Al-Quran itu pada malam Lailah Al-Qadar. Ayat dalam surat Ad-Dukhan menguatkan dan menjelaskan, bahwa turunnya (Al-Quran) itu pada malam yang diberkahi. Ayat yang terdapat pada surat Al-Baqarah menunjukkan bahwa turunnya al-Quran itu pada bulan Ramadan. Dan ayat pada Surat Al-Anfal menunjukkan, bahwa turunnya Al-Quran itu pada hari yang sama (nama harinya) dengan hari bertemunya dua pasukan besar pada perang Badar yang pada hari itu Allah memisahkan yang haq dan yang batal. Maka jelaslah bahwa malam itu adalah malam Jumat tanggal 17 Ramadhan. [3]
Pandangan para ulama
Pendapat Ibnu Ishaq ini diterima secara meluas di Indonesia. Tapi Imam Az-Zarqani membantah pendapat ini, walaupun ia tidak menyebutkan secara jelas tanggal berapa ayat Al-Quran itu pertama kali turun.
Hemat kami, menurut pendapat ini yang dimaksud Nuzulul Quran adalah turunnya ayat Al-Quran untuk pertama kali kepada Nabi saw. Ini berarti dapat dikategorikan Nuzulul Quran pada tahap ketiga, yaitu ketika Al-Quran turun kepada Nabi saw. secara berangsur-angsur.
Adapun berkenaan dengan atsar, selain status hadisnya mauquf (perkataan shahabat Nabi), bukan sabda Nabi saw. (hadis marfu’), juga menurut para ahli hadis, hadis tersebut tidak lepas dari kedha’ifan.
Status Hadis Zaid bin Arqam
Ath-Thabrani meriwayatkan hadis di atas melalui rawi bernama Muhammad bin Abdullah Al-Hadhrami, dari Salm bin Junadah, dari Zaid Al-Hubbaab, dari Al-Mas’udiy, dari Hawth Al-‘Abadiy. [4] Sementara Ibnu Abu Syaibah melalui rawi Yazid bin Harun, dari Al-Mas’udiy, dari Hawth Al-‘Abadiy.[5]
Adapun sebab kedha’ifannya berporos pada rawi Hawth Al-‘Abadiy. Menurut Abul Fidaa Zainuddin Qasim Quthluubugha, namanya Hawth bin ‘Abdul ‘Aziz Al-‘Abadiy. Dia meriwayatkan hadis dari Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Arqam. Sementara yang meriwayatkan darinya adalah Abdul Malik bin Maisarah dan Al-Mas’udiy. [6]
Kata Imam Al-Bukhari:
حَدِيثُهُ هَذَا مُنْكَرٌ
“Hadisnya ini munkar (diingkari).” [7]
Sementara dalam kitab At-Tarikh Al-Kabir-nya, setelah Imam Al-Bukhari menyebutkan riwayat “17 Ramadhan” tersebut, ia berkata:
وَ هَذَا مُنْكَرٌ لاَ يُتَابَعُ عَلَيْهِ
“Ini adalah hadis munkar, tidak ada taa’bi’ (penguat) atasnya.” [8]
Kata Ibnu Hajar Al-Asqalani:
وَلاَ يُدْرَى مَنْ هُوَ
“Dan tidak diketahui siapa dia.” [9]
Berdasarkan penjelasan para ahli hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa riwayat di atas tidak benar disandarkan sebagai perkataan Zaid bin Arqam, karena hadisnya dha’if.
Status Hadis Ibnu Mas’ud
Hadis Ibnu Mas’ud diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan redaksi sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ:الْتَمِسُوهَا لَيْلَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ، فَإِنَّهَا صَبِيحَةُ يَوْمِ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Carilah Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 karena malam itu adalah permulaan siang hari Furqan sebagai hari bertemunya dua pasukan.” HR. Ath-Thabrani. [10]
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Syaibah dan Abdurrazaq dengan redaksi sebagai berikut:
الْتَمِسُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ لَيْلَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ ، فَإِنَّهَا صَبِيحَةُ بَدْرٍ يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ
“Carilah Lailatul Qadar itu pada malam ke-17 karena malam itu adalah permulaan siang hari Badar, sebagai hari Furqan, hari bertemunya dua pasukan.” [11]
Ath-Thabrani meriwayatkan hadis di atas melalui rawi bernama “’Abdan bin Ahmad, dari Abu Bakar bin Abu Syaibah, dari Wakii’, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Hujair Ats-Tsa’labiy, dari Al-Aswad bin Yazid, dari Ibnu Mas’ud. [12]
Sementara Ibnu Abu Syaibah dan Abdurrazaq melalui rawi Wakii’, dari Israil dan ayahnya. Keduanya dari Abu Ishaq, dari Hujair Ats-Taghlabiy, dari Al-Aswad bin Ali’, dari Ibnu Mas’ud. [13]
Adapun sebab kedha’ifannya berporos pada rawi Abu Ishaq. Menurut Syekh Al-Albaniy, “Ini sanad yang dha’if, Abu Ishaq adalah As-Sabii’I, ia mudallis (menyamarkan sanad) dan mukhtalith (berubah daya hapalannya). Selain itu, hadis tersebut menyalahi riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud dan lainnya bahwa bahwa Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir (dari bulan Ramadhan).” [14]
Berdasarkan penjelasan para ahli hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa riwayat di atas tidak benar disandarkan sebagai perkataan Ibnu Mas’ud, karena hadisnya dha’if.
Dengan demikian, pendapat bahwa Al-Quran itu diturunkan pada “17 Ramadhan” sama sekali tidak merujuk kepada nash (keterangan agama) yang shahih lagi sharih (jelas). Sekarang, kita tinggal menelusuri celah lain yang menunjukkan waktu berbeda, antara 21 dan 24 Ramadhan. Analisa peluang kedua tanggal tersebut akan disampaikan pada edisi selanjutya.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
[1]Lihat, Al-Mu’jamul Kabir, V:131-132, No. hadis 4939.
[2]Lihat, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, juz 4, hlm. 263.
[3]Lihat, Tafsir Al-Maraghi, juz 10, hlm. 207.
[4]Lihat, Al-Mu’jamul Kabir, V:131.
[5]Lihat, Al-Mushannaf, II:326.
[6]Lihat, Ats-Tsiqat Mimman Lam Yaqa’ fiil Kutub As-Sittah, IV:71.
[7]Lihat, Majma’uz Zawaa`id wa Manba’ul Fawaa`id, juz 3, hlm. 178.
[8]Lihat, At-Tarikh Al-Kabir, III:91.
[9]Lihat, Lisaanul Miizaan, III:307.
[10]Lihat, Al-Mu’jamul Kabir, X:130, No. hadis 10.203.
[11]Lihat, Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, II:396, No. hadis 21; Mushannaf Abdurrazaq, II:251, No. hadis 8680.
[12]Lihat, Al-Mu’jamul Kabir, X:130.
[13]Lihat, Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, II:396; Mushannaf Abdurrazaq, II:251.
[14]Lihat, Dha’iif Sunan Abu Dawud, II:65-66.