Sayyidah Hafshoh binti Umar bin al-Khattab Ra, salah seorang Ummul Mukminin yang memiliki kesempatan untuk menjaga mushaf al-Qur’an pertama. Mushaf tersebut ditulis oleh satu tim yang diketuai oleh Zaid binTsabit al-Anshori. Dia salah seorang penulis al-Qur’an yang dipilih Nabi Muhammad Saw.. Pembukuan al-Qur’an pertama dilaksanakan pada masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. Pada masa kekhalifahan Usman bin ‘Affan, mushaf ini jadi rujukan penulisan al-Qur’an yang akurat sehingga disebarlah salinan- salinannya ke Syam, Mesir, Kufah, Bashrah, Mekkah dan untuk Madinah sendiri.
Lima tahun sebelum Muhammad diangkat menjadi Nabi, Mekah dilanda banjir besar. Bangunan Ka’bah mengalami kerusakan berat, maka orang-orang Quraisy merenovasinya. Ketika akan meletakkan Hajar Aswad, terjadi perselisihan di antara mereka. Muhammad tampil menyesaikan perselisihan tersebut. Pada tahun inilah Hafshoh binti Umar bin al-Khattab lahir bersamaan dengan lahirnya Fatimah az-Zahra, putri bungsu Muhammad saw. dari istri sayyidah Khadijah.
Sayyidah Hafshoh Ra. bagaikan tanaman yang berasal dari bibit unggul. Ditanam di tempat yang subur dan mendapatkan perlakuan atau perawatan yang sempurna. Tentu saja hasilnya luar biasa.
Ayahanda sayyidah Hafshoh adalah Umar bin al-Khattab yang diberi gelar al-Faruq. Dia memiliki pengetahuan yang luas dan kecerdasan yang luar biasa, di mana seringkali ayat-ayat al-Qur’an menyetujui pemikiran dan ucapannya. Karakternya tegas dan keras yang dibalut nilai-nilai tauhid dan syariat menjadikannya pribadi yang kokoh, sehingga Nabi Muhammad saw. pun mengomentarinya, “Setan pun takut kepada Umar.” Istri Umar—Ibunya Hafshoh—adalah Zainab binti Mazh’un, saudara perempuan sahabat utama Rosulullah saw., bernama Usman bin Mazh’un.
Cahaya Islam menyinari kalbu sayyidah Hafshoh di usia sebelas tahun bersamaan dengan masuknya Umar ke pangkuan Islam pada tahun enam dari kenabian. Kecintaannya terhadap ilmu dan kesusasteraan menjadikannya fasih dalam berbicara dan berpidato. Ia juga merupakan salah seorang dari tujuh belas orang yang pandai membaca dan menulis ketika itu.
Sebelum masa hijrah ke Madinah, sayyidah Hafshoh menikah dengan Khunais bin Hudzafah yang masuk Islam sebelum Rasulullah saw. membuat kelompok pengajian di rumah al-Arqom bin Abil Arqom. Dia masuk Islam lewat sentuhan Abu Bakar ash-Shiddiq Ra.
Pada tahun kedua Hijriyyah, terjadi perang Badar. Kaum muslimin mendapat kemenangan besar. Pada perang ini, Khunais gugur sebagai syuhada. Sayyidah Hafshoh sangat sedih, begitu juga ayahnya Umar bin al-Khattab. Kemudian Umar meminta Abu Bakar menikahinya, tapi dia menolak. Begitu juga Usman bin Affan. Karena mereka berdua tahu, bahwa Nabi akan menikahinya. Dan memang benar, pada tahun ketiga hijrah Nabi Muhammad saw. menikahinya.
Tahun ketiga Hijrah adalah tahun penyempurnaan kepribadian Hafshoh, karena pada tahun ini dia menjadi isteri Nabi saw., sehingga gelar Ummul Mukminin (ibu kaum beriman) disematkan kepadanya. Dengan demikian, sebagaimana isteri-isteri Nabi yang lain, Hafshoh juga bagian dari Ahlul Bait Nabi (keluarga Nabi). Hal itu sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an, surat al-Ahzab: 28-34 .
Kecintaan terhadap ilmu dan kecerdasan sayyidah Hafshoh tampak semakin cemerlang karena hidupnya mendampingi seorang Nabi yang mulia sebagai sumber ilmu, hidayah dan tuntunan hidup yang sempurna. Hafshoh juga tercatat sebagai ahli shaum, tahajjud dan akan menjadi isteri Nabi di Surga, sebagaimana dikabarkan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. Demikian itu merupakan penghargaan istimewa yang diberikan Allah Swt. kepadanya, hingga Hafshoh pantas mengemban amanat memelihara mushaf al-Qur’an pertama.
Sepeninggal Nabi Muhammad saw. sayyidah Hafshoh Ra, di samping sebagai ibu kaum beriman, dia juga berperan sebagai “madrasah” (media ilmu) bagi kaum mukminin. Kehidupan panjangnya menjadi sarana kemaslahatan dan kebahagiaan akhirat bagi seluruh kaum muslimin sepanjang masa. Pada tahun 41 H. (ada juga yang berpendapat tahun 45 H.) sayyidah Hafshoh kembali ke haribaan Allah Swt. bengan meninggalkan ilmu yang bermanfaat dan keteladanan bagi kita semua.
Sumber: Buletin Humaira, edisi 3, Mei 2015