Preloader logo

DEMI POLITIK, ULAMA HINA ULAMA ?

Ketika dimintai tanggapannya terhadap hasil Ijtima Ulama II yang secara resmi menyatakan dukungan sepenuhnya kepada pasangan bakal calon presiden – wakil presiden Prabowi Subianto – Sandiaga Uno, bakal cawapres K.H. Ma’ruf Amin tetap optimis, jika pasangan Jokowi – Ma’ruf dapat memenangkan Pilpres 2019.
Ya saya kira enggak ada masalah” kata dia.

Sikap  optimis untuk menang dan ketidak khawatiran beliau dengan adanya dukungan ijtima Ulama kepada pasangan bakal capres-cawapres Prabowo Subianto -Sandiaga Uno  –  didasari atas keyakinan dan  klaim ybs, bahwasanya sekitar 400 ulama dari berbagai pondok pesantren menyatakan dukungan untuk pasangan Jokowi – Ma’ruf.

Sampai dititik ini pernyataan ybs masih wajar dan masuk  akal.

Yang luar biasa dan terasa sangat tidak wajar, ketika Ia menilai dan menyatakan, bahwa Ulama yang mendukung Jokowi – Ma’ruf adalah orang orang yang memiliki keilmuwan tentang Islam, “Ulamanya benar-benar ulama, kiyai dan itu mendukung Jokowi – Ma’ruf Amin. Jadi enggak ada masalah” (REPUBLIKA, Senin 17 September 2018, hal.3 kol.2).

Mafhum mukholafah” atau – pengertian yang terkandung dibalik – pernyatannya tersebut,  bahwa para ulama, kiyai yang tergabung dalam iltima’ ulama itu bukanlah ulama dan kiyai yang sesungguhnya.

Setiap orang yang mengenal K.H.Ma’ruf Amin tentu akan terkejut dengan perubahan sikap dan pernyataannya ini. Begitu pula dengan beberapa pernyataan ybs lainnya, baik menjelang, terlebih setelah ybs ditetapkan sebagai bakal cawapres.

Pertanyaan yang segera muncul adalah, bagaimana mungkin seorang kiyai Ma’ruf Amin yang pernah dihormati ummat karena ketokohan ke ulamaan nya, tiba-tiba menyatakan bahwa yang bergabung di dalam Ijtima Ulama itu bukanlah ulama yang sesungguhnya ?  dan bahwasanya ulama dan kiyai yang sesungguhnya hanyalah mereka yang mendukung Jokowi – Ma’ruf Amin ?

Begitu sangat kotor kah politik di negeri ini, sehingga bisa  merubah kepribadian seorang Ulama ?

Rasanya sulit diterima akal sehat, jika seorang K.H. Ma’ruf Amin tidak mengetahui dan memahami, bahwasanya yang berhak menetapkan seseorang itu mu’min atau kafir, Ulama atau bukan Ulama hanyalah Alloh SWT dan RasulNya.
Padahal, begitu sangat eksplisit sekali Alloh SWT menyatakan bahwa yang tergolong Ulama hanyalah mereka yang “Yakhsyalloh” – hanya takut kepada  Alloh -. Yang berperan dan membawa misi sebagai  “Warosatul Anbiya” – Pewaris para Nabi –

Adalah sangat bijak kiranya bila seorang K.H. Ma’ruf Amin membiarkan ummat untuk menilai sesuai dengan petunjuk Alloh SWT dan RasulNya,  siapa yang benar-benar Ulama dan mana yang bukan Ulama.

Kriteria yang paling mendasar dari seorang Ulama tentu saja tidak hanya dilihat dari keilmuan semata , tapi bahkan yang paling utama seberapa jauh ilmu yang dimilikinya itu membuat ybs hanya takut kepada Alloh SWT, Takut untuk berucap, bersikap dan bertindak yang tidak diridhoi Alloh SWT.
Bukan yang takut kepada Alloh, namun jauh lebih takut jika harus kehilangan kenikmatan duniawi,  jabatan dan atau kesempatan untuk memperoleh jabatan.

Seorang UIama yang menurut Rasululloh SAW,   sangat siap untuk mengorbankan kenikmatan duniawi demi menegakkan risalah yang diwariskan Nabi, bukan malah yang sebaliknya.

Saya sampaikan semua ini sebagai wujud “Tawaashaw bilhaq”  yang diwajibkan Alloh SWT. Sekaligus bukti konkrit cinta  kepada sesama mu’min. Cinta  kepada seorang tokoh Ulama yang pernah menjadi panutan Ummat.

Saya yakin ummat yang pernah bangga memiliki seorang Ulama K.H. Ma’ruf Amin, sangat tidak berharap jika harus kehilangan kepribadian beliau sebagai Ulama.

#SyiahbukanIslam
#JundullahANNAS
#GEMAANNAS
#GARDAANNAS
#ANNASFoundation

Dikutip dari             : –

Penulis                   : K.H. Athian Ali M Dai, Lc,.MA

Jika artikel ini bermanfaat, silahkan share.  Lets change the world together saudaraku !…

sigabah.com | annasindonesia.com

There is 1 comment
  1. nice post

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}