Kritikan Umum atas Tijani dan Konsepnya (5)
Keenam, Penyimpangan Tijani dari Kaidah-kaidah Penulisan.
Tijani tidak menempuh konsep penulisan yang kita kenal dalam buku-bukunya, baik dari segi pemaparan masalah dan sistematikanya ataupun dari segi pengutipan materi dari buku-buku rujukan. Sebagaimana ia pun tidak berpegang teguh pada kajian ilmiyyah yang benar yang dibangun di atas argumen ketika ia memaparkan setiap permasalahan dan judul, bahkan kita dapatkan buku-bukunya kosong dari itu semua.
Adapun konsepnya dalam memaparkan masalah, ia tidak menempuh konsep yang jelas dalam memaparkannya, seperti membagikan permasalah ke beberapa pembahasan yang meliputi pasal dan bab yang sesuai—sebagaimana kita kenal dan konsep penulisan karya tulis modern[1]—atau mengambil sistematika orang-orang terdahulu yang memaparkan permasalahan-permasalahannya di bawah beberapa pasal dan bab tersendiri dengan penuh ketelitian dalam pemaparan dan penyusunannya, akan tetapi konsep yang dia telusuri adalah dengan cara menulis beberapa judul yang tidak berhubungan satu sama lainnya, dan di samping itu disertai pula dengan beberapa pengulangan judul dalam pembahasan yang sama dalam buku yang sama, sehingga buku-bukunya bagaikan kumpulan informasi yang tidak diedit dan ditertibkan.
Di antara beberapa contoh ketidakserasian judul dan urutannya, apa yang ia tulis dalam bukunya: “Li Akuuna Ma’ash Shaadiqin”, tentang masalah Syura’ dengan judul: “Ta’liq ‘Alasy Syura’” (Catatan atau komentar atas Syura). Judul pembahasan ini seakan-akan telah dibahas sebelumnya, kemudian setelah itu barulah adanya sebuah komentar atau catatan penting berkenaan dengan permasalahan tersebut. Ternyata pembahasan itu belum pernah dibahas sebelumnya! Namun judul ini terletak setelah judul: “Syawaahid Ukhra ‘Ala Wilaayati Ali” (Bukti-bukti lain atas kepemimpinan Ali). Kemudian setelah judul “Syura” tersebut ia menulis sebuah judul: “Al-Ikhtilaaf Fii at-Tsaqalain” (Perselisihan antara Manusia dan Jin).
Dan diselang satu pembahasan setelah itu, ia menulis sebuah judul baru dengan nama: “Ikhtilaaful Madzahib As-Sunniyyah Fis Sunnah An–Nabawiyyah” (Perselisihan Madzhab-Madzhab Sunni dalam Sunnah Nabawiyyah), kemudian setelah itu ia berpindah kepada judul baru: “Al–Qadhaa’ Wal Qodar ‘Inda Ahlis Sunnah” (Qadha dan Qadar menurut Ahlus Sunnah), dan dua pembahasan setelah itu ia membahas tentang “Khumus” dan “Taqlid”.[2] Demikianlah At-Tijani menulis bukunya, ia tidak menempuh konsep penulisan ilmiah yang jelas, akan tetapi ia hanya menulis beberapa judul yang beraneka ragam, kemudian ia menulis omong kosong yang tidak ilmiah di bawah judul-judul tersebut dengan kapasitas rata-rata tidak lebih dari tiga sampai empat halaman, kemudian setelah itu ia berpindah ke pembahasan lain dengan cara yang sama.
Sebagai tambahan dari contoh tersebut di atas, saya kutip beberapa judul dari bukunya “Asy Syi’ah Hum Ahlus Sunnah” (Syi’ah adalah Ahlus Sunnah), ia tulis secara berurutan, padahal pembahasannya berbeda. Sesuai urutan:
- “At-Taqliid Wal Marja’iyyah ‘Inda Ahlis Sunnah” (Taqlid dan Narasumber menurut Ahlus Sunnah);
- “Al-Khulafaa’ur Raasyidun ‘Indasy Syi’ah” (Khulafa’ur Rasyidun menurut Syi’ah);
- “Al-Khulafaa’ur Raasyidun ‘Inda Ahlis Sunnah” (Khulafa’ur Rasyidun menurut Ahlus Sunnah);
- “An-Nabiy Shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam
Laa yaqbalu Tasyrii’a Ahlis Sunnah Wal Jamaa’ah” (Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menerima syari’at Ahlus Sunnah Wal Jama’ah); - “Tanbiih Laa Budda Minhu” (Peringatan Penting)”;
- “’Adaawatu Ahlis Sunnah Li Ahlil Bait Taksyifu ‘an Huwayyatihim” (Permusuhan Ahlus Sunnah kepada Ahlul Bait menyingkap identitas mereka).
Semua judul itu, ia bahas dalam tiga belas halaman saja tanpa adanya ikatan satu sama lainnya.[3]
Sebagai contoh pula, ia menulis judul-judul berikut dengan urutan:
- “Fashlul Khithaab Fii Taqyiimil Ashhaab” (Pembahasan Tuntas Dalam Menilai Para Sahabat);
- “Mukhaalafatu Ahlis Sunnah Wal Jamaa’ah Lis Sunan An–Nabawiyyah” (Penyimpangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terhadap Sunnah-sunnah Nabi);
- “Nizhaamul Hukmi Fil Islaam” (Tata negara di dalam Islam);
- “Al-Qawul Bi ‘Adaalatish Shahaabah Yukhaalifu Shariihas Sunnah” (Perkataan Keadilan Para Shahabat menyelisihi Sunnah Yang jelas).[4]
Dengan kerancuan yang amat sangat dalam memaparkan masalah, Tijani pun tidak mencukupkan diri sampai di situ saja, ia pun berulang kali mengulangnya di beberapa tempat yang berbeda pada setiap buku yang ia tulis, sehingga terjadi pengulangan yang membosankan, yang tidak bermanfaat.
Seperti pembahasannya tentang masalah Sikap Ahlus Sunnah terhadap Sunah Nabi, dan klaimnya bahwa mereka telah menyelisihinya. Ia telah membahasnya di beberapa tempat dalam bukunya “Asy-Syi’ah Hum Ahlus Sunnah”:
Pertama, di halaman 29 di bawah judul: “Mukhaalafatuhum Lis Sunnah” (Penyimpangan mereka terhadap Sunnah)
Kedua, di halaman 45 di bawah judul: “Ahlus Sunnah Laa Ya’rifuunas Sunnah An-Nabawiyyah” (Ahlus Sunnah tidak mengetahui Sunah Nabi).
Ketiga, di halaman 52 di bawah judul; “Ahlus Sunnah Wa Mahqus Sunnah” (Ahlus Sunnah dan Penghapusan Sunnah).
Keempat, di halaman 287 di bawah judul: “Mukhaalafatu Ahlis Sunnah Wal Jama’ah Lis Sunan An Nabawiyyah” (Peyimpangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terhadap Sunah-sunah Nabi).
Kelima, di halaman 295 di bawah judul: “An-Nabiyyu Shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam Ya’murul Muslimiin bil Iqtidaa’ bi ‘Utratihi wa Ahlus Sunnah Yukhaalifuunahu” (Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk bersuri tauladan kepada keluarganya, sedangkan Ahlus Sunnah menyelisihinya.)
Dan seperti dalam mendefinisikan Ahlus Sunnah, ia telah membahasnya di beberapa tempat di dalam buku “Asy-Syi’ah Hum Ahlus Sunnah”:
Pertama, di halaman 75 di bawah judul: “At-Ta’riif bi A’immati Ahlis Sunnah” (Mengenal Imam-imam Ahlus Sunnah).
Kedua, di halaman 170 di bawah judul: “A’Immatu Ahlis Sunnah wa Aqthaabuhum” (Imam-imam Ahlus Sunnah dan pemuka-pemuka mereka).
Demikian pula dalam masalah sikap Ahlus Sunnah terhadap Shalawat Nabi, ia membahasnya dalam dua tempat yang berjauhan dalam buku yang sama:
Pertama, di halaman 164 di bawah judul “Tahriifu Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah Kaifiyyatash Shalaati ‘ala Muhammad wa Aalihi” (Perubahan Shalawat kepada Nabi dan Keluarganya yang dilakukan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah)
Kedua, di halaman 303 di bawah judul “Ahlus Sunnah wash Shalaatul Batra’” (Ahlus Sunnah dan Shalawat Batra’).
Ini semua adalah sebagai contoh yang kita dapatkan di dalam satu buku saja, adapun jikalau kita mau mengungkapkan dalam seluruh bukunya, maka tentu sangat banyak jumlahnya.
Adapun ketidak amanahannya dalam mengutip materi dari beberapa referensi, maka sangatlah jelas bagi setiap orang yang membaca buku-buku dan tulisannya, bahkan hampir seluruhnya. Akan tetapi akan saya sebutkan di sini hanya sebagai contoh saja. Antara lain ia mengutip beberapa hadis munkar dan palsu (maudhu’), sementara ia mendakwakan keshahihannya dengan tanpa menunjukkan referensinya dari kitab-kitab sunnah, seperti hadis:
كم من قارئ للقرآن والقرآن يلعنه
“Betapa banyak pembaca Al-Qur’an sementara Al-Qur’an melaknatnya.”[5]
اختلاف أمتي رحمة
“Perselisihan ummatku rahmat.”[6]
علي قائد البررة وقاتل الكفرة
“Ali pemimpin orang-orang baik dan pembunuh orang-orang kafir.”[7]
أصحابي كالنجوم بأيهم اقتديتم اهتديتم
“Para sahabatku bagaikan bintang-bintang, dengan siapa saja di antara mereka kalian bersuri tauladan, maka kalian akan mendapat petunjuk.”[8]
علي مني بمنزلتي من ربي
“Ali di sisiku seperti kedudukanku di sisi Rabbku.”[9]
حلال محمد حلال إلى يوم القيامة
“Penghalalan Muhammad, halal sampai hari kiamat.”[10]
الغيرة للرجل إيمان وللمرأة كفر
“Cemburu bagi laki-laki adalah Iman dan bagi wanita kufur.”[11]
Demikian pula dalam menisbatkan beberapa perkataan dan perbuatan kepada para Sahabat dengan apa-apa yang tidak layak dengan kedudukan mereka dengan tanpa menunjukkan rujukan dan sumbernya. Seperti penisbatan mereka bagi A’isyah radhiyallaahu anha bahwa beliau menolak pemakaman Fatimah radhiyallaahu anha di sisi bapaknya. Begitu pula beliau telah menolak Husein untuk memakamkan Hasan di samping kakeknya Shallallaahu alaihi wa sallam, kemudian Aisyah menunggangi keledai dan keluar dengan berteriak: “Janganlah kalian masukkan orang yang tidak kusukai ke rumahku.”[12]
Dan ia pun mengira bahwa Husein radhiyallaahu anhu telah melakukan thawaf dengan saudaranya, Hasan, radhiyallaahu anhu setelah wafatnya di atas kuburan kakeknya.[13] Sebagaimana ia pun telah menuduh mayoritas para sahabat dengan tuduhan-tuduhan yang amat tidak senonoh, ia berkata: “Para Ahli sejarah telah menyebutkan berbagai macam kejadian-kejadian aneh yang mengherankan yang terjadi pada masa itu, yang dimunculkan oleh para sahabat yang telah menjadi para khalifah dan pemimpin setelah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam. Seperti pemaksaan kepada manusia untuk melakukan bai’at dengan pukulan dan teror dengan menggunakan kekuatan. Dan seperti penyerangan mereka terhadap rumah Fatimah, sehingga mereka menggugurkan jabang bayi yang dikandungnya. Mengeluarkan Ali dalam keadaan terbelenggu dipundaknya dan mengancamnya untuk dibunuh jikalau menolak untuk berba’iat. Merampas hak-hak Az-Zahra’, seperti kebun Kurma, harta pusaka, dan bagian karib kerabat, sehingga beliau meninggal dalam keadaaan marah kepada mereka, dan beliau senantiasa mendoakan mereka celaka pada setiap shalat. Dan seperti kesewenang-wenangan mereka dalam menjamah hal-hal yang diharamkann oleh Allah Azza wa Jalla, seperti pembunuhan bagi orang-orang yang tidak berdosa dan menodai istri-istri mereka tanpa menghormati masa iddah. Demikian pula seperti perubahan yang mereka lakukan terhadap hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya dalam Qur’an dan Sunnah, dan menggantikannya dengan hukum-hukum ijtihadi yang mendukung kepentingan pribadi mereka. Dan seperti pengasingan mereka terhadap Abu Dzar dan pengusirannya dari kota Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dan seperti “Celaan dan Cacian terhadap Ahlul Bait” yang telah disucikan oleh Allah Azza wa Jalla…”[14]
Dan tuduhan lain sebagainya tanpa disertai argumen atau menyandarkannya pada satu referensi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Adapun ketidaktelitiannya dalam mengupas setiap permasalahan dengan sistematika ilmiah yang benar, hal tersebut sangat banyak kita dapatkan dalam buku-bukunya. Karena kebanyakan isi dan kandungannya hanyalah perkataan dan pendapat-pendapat pribadi semata yang kosong dari setiap dalil. Sebagai contoh, perkataannya: “Ketika Imam Ali syahid dan Muawiyah mengambil alih kekuasaan setelah perdamaian dengan Imam Hasan, maka Muawiyah dijadikan sebagai “Amir al-Mukminin”. Tahun pengangkatan itu dinamakan sebagai Tahun Jama’ah. Nah, dengan demikian penamaan Ahlu Sunnah wal Jama’ah sebenarnya menunjukkan identitas pengikut sunnah Muawiyah dan sepakat menerimanya sebagai pemimpin bukan pengikut sunnah Rasulullah saw.”[15]
Dan perkataannya: “Dan sekedar kajian anda atas Aqidah Syi’ah Al–Imamiyyah dalam permasalahan ini, hati anda akan merasa tenang, akal anda akan menerima penta’wilan ayat-ayat Qur’an yang bermakna tajsim atau tasybih bagi Allah, atau dengan membawanya ke arah majaz dan isti’arah, bukan atas dasar sebenarnya dan tidak pula sesuai dengan zahir-zahir lafal, sebagaimana diyakini oleh sebagian orang.”[16]
Ia pun berkata: “Yang penting, anda harus mengetahui, kenapa Umar berubah pikiran dalam masalah bai’at? Saya hampir yakin, bahwa dia telah mendengarkan bahwa sebagian sahabat ingin membai’at Ali bin Abi Thalib setelah wafat Umar, dan inilah yang paling tidak disukai oleh Umar.”[17]
Dan komentarnya ketika mengkritik kadar harta zakat yang harus dikeluarkan dalam syariat Islam dan Jizyah dari orang-orang kafir,sebagai penolakannya terhadap Allah dalam hukum dan syariat-Nya, ia berkata: “Maka tidak mungkin bagi negara Islam untuk bersandar kepada 2,5 %, karena itu merupakan jumlah yang sedikit yang tidak akan mencukupi kebutuhan negara untuk melakukan persiapan kekuatan, membangun sekolah-sekolah dan rumah sakit, membangun jalan raya, apalagi untuk menjamin kehidupan setiap individu rakyatnya, sebagaimana tidak mungkin bagi negara Islam untuk menggantungkan diri kepada peperangan yang berdarah, dan memerangi manusia untuk menjamin kelangsungannya dan mengembangkan instansi-instansinya di atas pendanaan orang-orang yang terbunuh yang tidak menginginkan Islam.”[18]
Inilah beberapa contoh permasalahn dan hukum yang telah ditetapkan oleh Tijani tanpa melakukan riset ilmiah yang berlandaskan dalil syar’i atau perkataan salah seorang ulama, namun semata-mata dilandaskan atas keyakinan pribadi dan pendapat-pendapatnya yang sesat, sehingga ia mendustakan nash dan membantah hukum Allah, dan ia pun menetapkan kejadian-kejadian sejarah dengan prasangka dusta dan hawa nafsunya. Dan itu semua diakibatkan oleh sifat dengkinya kepada para penduhulu umat ini demi membela Syi’ah dan akidahnya, maka semoga Allah memberikan apa yang berhak diterimanya.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
Sumber:
- Kasyf al-Jaani Muhammad at-Tijani fii Kutubih al-Arba’ah, karya Syekh Usman al-Khamis.
- Buku Catatan Hitam Dr. Muhammad al-Tijani, penerjemah Ustadz Zezen Zainal Mursalin, Lc.
Lampiran Teks Asli Syekh Usman al-Khamis
[1] Kecuali pada buku Fas’aluu Ahladz Dzikr, ia telah membaginya ke dalam beberapa pasal, sekalipun ia tidak berpegang teguh dengan konsep yang ilmiyyah dalam memaparkan masalah yang ada di dalamnya seperti di dalam buku-bukunya yang lain.
[2] Lihat, pembahasan-pembahasan ini dari hlm. 111 – 154 pada bukunya Li Akuuna Ma’ash Shaadiqin.
[3] Lihat, Asy-Syi’ah Hum Ahlus Sunnah, hlm. 146-159.
[4] Ibid., hlm. 280 –292.
[5] Lihat, Tsummah Ihtadaitu, hlm. 180. Catatan kami, yang jelas M.Tijani mengutip riwayat itu dari referensi syiah, antara lain Mustadrak al-Wasaa’il wa Mustanbath al-Masaa’il, karya Mirza Husen an-Nuri ath-Thabarsi (w. 1320 H), sebagaimana tercantum pada Juz 30, hlm. 470
[6] Lihat, Li Akuuna Ma’ash Shaadiqiin, hlm. 20 dan 126.
[7] Ibid., hlm. 45.
[8] Ibid., hlm. 16.
[9] Ibid., hlm. 162.
[10] Ibid., hlm. 193.
[11] Lihat, Fas’aluu Ahladz Dzikr, hlm. 80.
[12] Lihat, Tsummah Ihtadaitu, hlm. 165.
[13] Ibid., hlm. 166.
[14] Lihat, Fas’aluu Ahladz Dzikr, hlm. 159-160.
[15] Lihat, Tsummah Ihtadaitu, hlm. 203.
[16] Lihat, Li Akuuna Ma’ash Shadiqin, hlm. 27.
[17] Ibid., hlm. 88.
[18] Ibid., hlm. 152.