Preloader logo

TARGET RAMADHAN (IV): CERDAS SPIRITUAL

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh dengan petunjuk agama. Petunjuk agama yang terpancar pada “bulan suci” ini “dikemas” dalam dua model dilihat dari aspek objeknya: (1) Berlaku untuk seluruh manusia (hidaayah ‘aammah), (2) Berlaku hanya untuk orang beriman (hidaayah ‘khashah). Model pertama disebut hidayah al-‘ilm wa al-Irsyaaad (هداية العلم والإرشاد). Model kedua disebut hidayah ad-diin wa at-Tawfiq (هداية الدين والتوفيق).

Model pertama dinyatakan dalam firman Allah Swt.:

هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185)

Hudan linnaas, artinya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh manusia, bukan hanya bagi orang yang beriman, kepada jalan kebenaran dan jalan kehidupan yang lurus. (Lihat, Tafsir Ath-Thabari, III:192)

Hidayah model ini merupakan sebab seseorang memperoleh petunjuk tentang jalan kebenaran, namun boleh jadi tidak berhasil menggapai taufiq karena ia masih enggan mengikutinya. Dengan perkataan lain, ia tahu kebenaran namun enggan mengikutinya.

Hal demikian dapat kita lihat pada sebagian orang yang beriman kepada seruan para nabi, namun menolak terhadap sebagian syariatnya. Sehubungan dengan itu, Allah Swt. berfirman tentang kaum Tsamud:

وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى فَأَخَذَتْهُمْ صَاعِقَةُ الْعَذَابِ الْهُونِ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.” QS. Fushilat: 17

Kalimat: “maka mereka telah Kami beri petunjuk” (فَهَدَيْنَاهُمْ) artinya, Kami telah menjelaskan dan menyeru mereka, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk. Dengan perkataan lain, Allah Swt. telah membuka mata hati kaum Tsamud melalui lisan Nabi Shalih agar mereka mengetahui dan mengikuti kebenaran (al-haq),  namun mereka malah menentang dan mendustakannya. Jadi, mereka disesatkan Allah sebagai siksaan karena mereka meninggalkan petunjuk setelah diperoleh mereka.

Dalam konteks Ramadhan, orang yang mengaku muslim memiliki kecenderungan untuk berbuat baik.  Tidak sedikit Muslimah mendadak menjadi rela membalut dirinya menutup aurat. Busana muslimah menjadi pakaian yang paling laris, diborong oleh siapa saja, bahkan oleh orang yang sehari-harinya tidak memakai busana muslimah. Begitu pula ragam acara dan event dikemas menarik secara khusus dalam rangka memeriahkan bulan Ramadhan, sehingga aura Ramadhan sangat terasa dan menggiring orang untuk mudah melakukan kebaikan.

Kegiatan dan acara lomba juga semarak dilakukan dimana-mana. Di Mall, di kantor, di sekolah, di masyarakat bahkan di berbagai belahan di seluruh dunia. Selain itu, pengajian dan ceramah banyak dipenuhi oleh jamaah. Tadarus Al-Qur’an menjadi kegiatan rutin di lakukan di berbagai tempat, mulai dari masjid hingga di pasar.

Semangat meningkatkan ibadah relatif menjalar secara merata pada segenap lapisan masyarakat tak kecuali anak-anak, semua bergegas menuju masjid.  Kegiatan tilawah dan tadarus tidak hanya dilakukan di pagi hari ba’da shalat subuh, namun juga pada sore menjelang berbuka, atau malam hari setelah shalat tarawih bahkan dini hari menjelang sahur.

Bagi orang yang telah menggapai hidayah ad-diin wa at-taufiq, aktivitas demikian akan terus terjaga dan terpelihara meskipun bulan Ramadhan telah berlalu meninggalkannya.

Model kedua dinyatakan dalam firman Allah Swt.:

لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” QS. Al-Baqarah:186

Kata Yarsyuduun berasal dari kata Ar-Rusyd (الرشد) (kebenaran), lawan kata Ghayy (الغيّ) (Kesesatan). Kata ini biasa digunakan untuk fungsi petunjuk (الهداية). Dalam al-Qur’an kata ar-Rusyd disebut dengan dua bentuk: Rusyd (الرُّشْدُ) dan Rasyad (الرَّشَدُ). Perbedaan di antara keduanya dapat dilihat dari aspek cakupan, (الرَّشَدُ) adalah hidayah untuk selalu berada pada kebenaran dalam urusan ukhrawi semata. Sedangkan (الرُّشْدُ) selalu berada pada kebenaran dalam urusan dunia-akhirat. (Lihat, Mufradat fii Gharib al-Qur’an, hal. 354-355)

Kalimat La’allahum Yarsyuduun ditempatkan sebagai khatimah (penutup) beberapa topik pembicaraan dalam QS. Al-Baqarah:186, sebagai berikut:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” QS. Al-Baqarah: 186

Ayat tersebut tidak berbicara tentang shaum Ramadhan, namun ditempatkan di antara ayat-ayat shaum. Jika dibaca sepintas lalu, penempatan atau penyisipan ayat itu pada pembahasan tentang shaum bias saja dianggap tidak relevan (ghair munaasabah). Namun, jika kita menukik lebih dalam di situ kita temukan beragam rahasia dan maksud mengagumkan dilihat dari persepektif hidayah bulan Ramadhan.

Adapun rahasia penempatan ayat ini dalam rangkain ayat-ayat shaum, dijelaskan oleh para ulama, antara lain Imam al-Baidhawi berkata:

وَاعْلَمْ أَنَّهُ – تَعَالَى – لَمَّا أَمَرَهُمْ بِصَوْمِ الشَّهْرِ وَمُرَاعَاةِ الْعِدَّةِ وَحَثَّهُمْ عَلَى الْقِيَامِ بِوَظَائِفِ التَّكْبِيْرِ وَالشُّكْرِ عَقَبَهَ بِهَذِهِ الآيَةِ الدَّالَّةِ عَلَى أَنَّهُ خَبِيْرٌ بِأَحْوَالِهِمْ سَمِيْعٌ لِأَقْوَالِهِمْ، مُجِيْبٌ لِدُعَائِهِمْ، مُجَازٌ عَلَى أَعْمَالِهِمْ تَأْكِيْدًا لَهُ وَحَثًّا عَلَيْهِ

“Dan ketahuilah bahwa Allah Swt. tatkala memerintahkan mereka untuk shaum pada bulan itu, memperhatikan bilangannya, menganjurkan mereka untuk menunaikan fungsi-fungsi takbir dan syukur, lalu Allah mendatangkan ayat ini yang menunjukkan bahwa Allah Maha Mengetahui keadaan mereka, Maha Mendengar perkataan mereka, Maha Mengabulkan doa mereka, Maha Membalas atas amal mereka, sebagai penguat dan anjuran atasnya.” (Lihat, at-Tafsir al-Wasith li al-Qur’an al-Karim, 1: 390)

Imam Ibnu Katsir berkata:

وَفِي ذِكْرِهِ تَعَالَى هَذِهِ الْآيَةَ الْبَاعِثَةَ عَلَى الدُّعَاءِ مُتَخَلَّلَةً بَيْنَ أَحْكَامِ الصِّيَامِ إِرْشَادٌ إِلَى الِاجْتِهَادِ فِي الدُّعَاءِ عِنْدَ إِكْمَالِ الْعِدَّةِ بَلْ وَعِنْدَ كُلِّ فِطْرٍ

“Dan pada penyebutan-Nya ayat ini, yang menganjuran untuk berdoa, di sela-sela hukum-hukum shaum mengandung petunjuk agar berdoa dengan sungguh-sungguh di saat menyempurnakan bilangan Ramadhan, dan bahkan di setiap berbuka.”

Selanjutnya, Imam Ibnu Katsir menyebutkan beberapa dalil, antara lain:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: لِلصَّائِمِ عِنْدَ إِفْطَارِهِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ. فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو إِذَا أَفْطَرَ دَعَا أَهْله وَوَلَده

Dari Abdullah bin Amr, ia berkata, ‘Saya pernah mendengar Nabi Saw. Bersabda, ‘Bagi orang yang shaum terdapat doa yang dikabulkan saat berbukanya.” Maka Abdullah bin Amr apabila berbuka shaum beliau berdoa untuk keluarga dan anaknya.

عَنْ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : قَالَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةً مَا تُرَدُّ

“Dari Abdullah bin Amr, ia berkata, ‘Nabi saw. Bersabda, ‘Sesungguhnya bagi orang shaum di saat berbuka terdapat doa yang tidak ditolak (diijabah)’.” (Lihat, Tafsir Ibnu katsir, II:193)

Ulama generasi mutakahir, seperti Dr. Abdul Karim al-Khatib, menjelaskan:

جَاءَتْ هذِهِ الآيَةُ بَيْنَ الآيَاتِ الشَّارِحَةِ لِلصَّوْمِ وَأَحْكَامِهِ لِتَلْفِتَ الصَّائِمِيْنَ إِلَى مَا هُمْ عَلَيْهِ فِي تِلْكَ الْحَالِ مِنْ صَفَاءٍ رُوْحِيٍّ يُدْنِيْهِمْ مِنَ اللّهِ وَيَجْعَلُهُمُ أَكْثَرَ اسْتِعْدَادًا لِلْاِتِّصَالِ بِهِ ..

“Ayat ini datang di antara ayat-ayat yang menjelaskan tentang shaum dan hukum-hukumnya dengan tujuan agar mengarahkan perhatian orang-orang yang shaum kepada sesuatu yang mereka berada di atasnya dalam kondisi shaum itu, yaitu berupa ketulusan ruhani yang akan mendekatkan mereka dari Allah dan menjadikan mereka lebih banyak berkecenderungan untuk berhubungan erat dengannya.

فَاللّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى دَائِمًا أَبَدًا أَقْرَبُ إِلَى الإِنْسَانِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ وَلكِنَّ الإِنْسَانَ هُوَ الَّذِيْ تَخْتَلِفُ أَحْوَالُهُ مَعَ اللّهِ فَيَدْنُوْ أَوْ يَبْعُدُ وَيَتَّصِلُ أَوْ يَنْقَطِعُ حَسَبَ إِيْمَانِهِ بِهِ وَطَاعَتِهِ لَهُ وَرَجَاءِهِ فِيْهِ .. وَالإِنْسَانُ فِى شَهْرِ الصَّوْمِ مُهَيِّأٌ لِلْقُرْبِ مِنَ اللّهِ مُسْتَيْقِظُ الْمَشَاعِرِ وَالأَحَاسِيْسِ لِمُنَاجَاتِهِ

Maka Allah Swt. selamanya lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya sendiri, namun manusia yang berbeda-beda kondisinya ketika bersama Allah, maka terkadang mendekat atau menjauh, berhubungan erat atau terputus sesuai dengan kadar keimanan dan ketaatan terhadap-Nya serta pengharapan pada-Nya…dan manusia pada bulan shaum mempersiapkan diri untuk dekat dari Allah, menyiagakan perasaan dan inderanya untuk bermunajat (berdoa dengan penuh harap) kepadanya.” (Lihat, At-Tafsir al-Qur’aani li al-Qur’aan, I:202-203)

Adapun berkenaan dengan kalimat La’allahum Yarsyudun (لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ), Syekh Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi menjelaskan:

وَالْمَعْنَى: لَقَدْ وَعَدْتُكُمْ يَا عِبَادِيْ بِأَنْ أُجِيْبُ دُعَاءَكُمْ إِذَا دَعَوْتُمُوْنِيْ، وَعَلَيْكُمْ أَنْتُمْ أَنْ تَسْتَجِيْبُوْا لِأَمْرِيْ، وَأَنْ تَقِفُوْا عِنْدَ حُدُوْدِيْ، وَأَنْ تَثْبُتُوْا عَلَى إِيْمَانِكُمْ بِيْ، لَعَلَّكُمْ بِذَلِكَ تَصِلُوْنَ إِلَى مَا فِيْهِ رُشْدُكُمْ وَسَعَادَتُكُمْ فِي الْحَيَاتَيْنِ الْعَاجِلَةِ وَالآجِلَةِ.

Maknanya: “Wahai hamba-Ku, sungguh Aku telah menjanjikan pada kalian bahwa Aku akan mengabulkan do’a kalian apabila kalian berdo’a pada-Ku, dan hendaklah kalian memenuhi segala perintah-Ku, menjaga batasan-batasan-Ku, tetap berpegang pada keimanan kalian terhadap-Ku, supaya dengan hal itu kalian dapat sampai pada sesuatu yang di dalamnya terdapat petunjuk dan kebahagiaan bagi kalian pada dua kehidupan, kehidupan sekarang (dunia) dan kehidupan berikutnya (akhirat).” (Lihat, at-Tafsir al-Wasith li al-Qur’an al-Karim, I:391)

Sementara dalam penjelasan Imam Abu Zahrah:

قَالَ تَعَالَى: لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ، أَيْ يَرْجُوْنَ بِالإِيْمَانِ الصَّادِقِ وَالاِلْتِجَاءِ إِلَيْهِ سُبْحَانَهُ وَحْدَهُ أَنْ يَرْشُدُوْا بِأَنْ يَسِيْرُوْا فِيْ طَرِيْقِ الرَّشَادِ الَّذِيْ لَا عِوَجَ فِيْهِ فَيُصْلِحُوْنَ وَيُصْلِحُ النَّاسَ بِهِمْ، وَيَسْلُكُوْنَ جَمِيْعًا طَرِيْقَ الْهِدَايَةِ وَاللهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ.

Allah Swt. berfirman (لعلهم يرشدون) “yaitu mereka berharap dengan keimanan yang tulus dan berlindung kepada Allah Swt. semata supaya mereka selalu berada dalam kebenaran dengan menempuh jalan kebenaran yang tidak ada kebengkokan padanya, maka mereka sholeh dan orang-orang pun sholeh dengan mereka, dan mereka semua menempuh jalan hidayah dan Allah Swt. memberi hidayah orang yang Dia kehendaki.” (Lihat, Zahrah at-Tafasir, I:564.)

Berbagai penjelasan para ulama tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa bagi orang beriman bulan Ramadhan merupakan salah satu momen emas untuk menggapai hidayah ad-diin wa at-Tawfiq. Ciri keberhasilan dalam menggapainya, yaitu: (1) Ia akan selalu merasa dekat dan diawasi oleh Allah (muraqabah), (2) Ia akan selalu berada dalam kebenaran, baik dalam mengelola urusan dunia maupun akhirat. Sikap mawas diri dan konsisten demikian itu akan senantiasa terpelihara meskipun bulan Ramadhan telah usai.

Jadi, bagi orang beriman bulan Ramadhan merupakan momen terbaik untuk “mengasah” kecerdasan spiritualnya, yaitu kemampuan untuk memaknai dan menempatkan setiap ucapan dan tindakan dalam kebenaran dengan prinsip hanya karena Allah Swt. di sepanjang hayatnya.

Bandung, 05 Ramadhan 1439 H/21 Mei 2018 M

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta.

Baca pula target Ramadhan (I): Pengendalian Diri, di sini

Baca pula target Ramadhan (II): Upgrading Kualitas Ilmu, di sini

Baca pula target Ramadhan (III): Hamba Pandai Bersyukur, di sini

There is 1 comment
  1. sutiono

    Mantap. Ijin copas tadz !

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}