Pertama, persoalan terbesar bangsa ini adalah ketidakadilan sosial yang semakin menguat dan kesenjangan yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin. Dua persoalan besar ini yang sekarang sedang kita hadapi, bukan soal intoleransi karena hingga detik ini bangsa kita tidak menghadapi persoalan serius terkait toleransi.
Kalau hanya karena pada pilkada DKI Jakarta mayoritas warga Jakarta yang muslim memilih pemimpin muslim dianggap tidak toleran, ini salah kaprah. Memilih pemimpin yang seakidah dijamin konstitusi.
Kedua, jika memang maksud dalam tulisan editorial ini mengatakan reuni 212 adalah perayaan intoleransi, sangat disayangkan. Ini bukan hanya salah kaprah tetapi tuduhan yang serius. Aksi 212 tahun lalu itu ikut dihadiri presiden dan wapres serta hampir semua petinggi republik ini. Apa mungkin mereka mau hadir jika Aksi 212 adalah aksi intoleran.
Aksi 212 justru sikap tegas umat Islam untuk menggunakan jalur2 konstitusional dengan menggelar demonstrasi damai yang memang hak warga negara yang dijamin undang2.
Tuntutan aksi 212 adalah segera lakukan penegakkan hukum terhadap penistaan agama yang dilakuan Ahok. Bayangkan aksi yg diikuti 7 juta orang bisa berlangsung tertib tanpa menimbulkan kerusakan sedikitpun bahkan tidak meninggalkan sampah sama sekali.
Tidak ada alasan memandang aksi 212 dan reuni aksi 212 sebagai perayaan intoleransi. Saya berharap ada penjelasan dari pihak yang mengeluarkan editorial ini.
sigabah.com | fahiraidris.id